“Stop, Agas!” kata ibuku, saat kami berbicara empat mata di kamarku. “Ibu gak mau denger lagi!”
“Kenapa ibu gak mau percaya sih, bu?” sanggahku dengan cetus sekaligus memohon.
Ibuku mendesah. “Gak ada yang Namanya hantu! Kamu harus tahu ayah dulu kayak gitu, dan liat apa yang terjadi, kan?”
“Hmmm, aku rindu ayah.”
Ibu menatapku tajam. “Udah cukup! Ayahmu meninggal lima tahun yang lalu! Ayahmu selalu aja berhalusinasi sampe akhirnya mengidap skizofrenia. Ibu gak mau kamu sampe kayak ayah kamu!”
“Emang ayah kena skizofrenia? Kenapa semua orang selalu nganggep ayah kena skizo?” gertakku dengan nada ketus.
“Ibu gak mau kamu ikut-ikutan delusi ayahmu,” lanjut ibu, suaranya semakin tinggi. “Ibu udah cukup sabar menghadapi omong kosong ini bertahun-tahun, Agas. Kamu nggak tahu betapa beratnya itu!”
Aku menggeleng frustrasi. “Ayah bukan delusi! Dia bukan skizofren! Kenapa semua orang selalu nganggep ayah kayak gitu?!”
“Karena itu fakta!” Ibu membalas dengan cepat. “Dokter udah bilang, Agas. Ayahmu sering dengar suara-suara yang nggak ada, lihat hal-hal yang nggak nyata. Itu skizofrenia!”
Aku mendesah, mencoba menahan emosi yang semakin membuncah di dadaku. “Tapi, Bu… kalo emang skizofrenia, kematiannya aneh? Kenapa gak ada yang tahu persis gimana ayah meninggal? Semua kayak tertutup. Kenapa, Bu?”
“Karena dia bunuh diri!” gertak ibuku.
Sekejap aku terdiam dengan pernyataan ibuku.
“Ayahmu ditemukan meminum sianida di kamarnya. Dan ada surat wasiat yang ditujukan kepada ibu. Surat berisi ucapan selamat tinggal, karena ia menyesal dengan dirinya.” Ibu mulai terisak, suaranya pecah saat mencoba melanjutkan, “Dia… dia gak kuat lagi, Agas. Ayahmu bilang… semua suara dan bayangan yang menghantuinya. Dia merasa gak bisa lindungi kita. Dia… dia merasa dia adalah beban bagi keluarga ini.”
Aku berdiri membeku, otakku tidak bisa memproses apa yang baru saja kudengar. Bunuh diri? Ayahku yang selama ini, akhirnya menyerah pada penderitaannya?
Ibu terus menangis, tubuhnya bergetar hebat. “Dia mencintai kamu, Agas. Dia mencintai kita… tapi dia terlalu tersiksa dengan apa yang dia lihat, dengan semua yang dia alami. Ibu… Ibu gak bisa menghentikannya.”
Air mata mulai memenuhi mataku. “Kenapa, Bu? Kenapa gak pernah cerita sama aku? Kenapa aku gak tahu apa-apa?”
Ibu menggeleng, tangisnya semakin menjadi. “Ibu Cuma pengen kamu hidup normal, Agas. Ibu gak mau kamu ikut terjerat di dunia yang sama kayak ayahmu. Ibu gak mau kamu harus ngalamin semua itu.”
Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata ibu menghantamku keras, meninggalkan rasa perih dan kebingungan yang menyelimuti dadaku. Sementara, ibu hanya terus menangis, suaranya pelan tapi penuh dengan rasa sakit yang selama ini disimpannya sendirian.
Memori masa kecilku bersama almarhum ayahku terasa samar dan singkat, tetapi entah kenapa aku merasakan ikatan di antara kami jauh lebih kuat daripada ikatan di antara aku dan ibuku. Dan aku percaya jika ayahku masih hidup, dia akan memercayaiku serta berpihak kepadaku.
Aku menghela napas dalam-dalam, merasakan kekecewaan dan kesepian bergelombang di dalam hati. Setiap kali aku mencoba membuka diri kepada ibuku, rasanya selalu ada jarak yang tak terdapat penjelasan, seperti kita berbicara yang berbeda. Aku merasa seolah-olah tidak ada yang bisa memahami aku sepenuhnya, bahkan ibuku sendiri.
Setiap kali aku merasa seperti itu, hatiku selalu dipenuhi oleh rasa sedih dan kehilangan yang tak terlukiskan. Aku merindukan kehadiran ayahku, sosok yang selalu memberiku kehangatan, dukungan, dan pengertian yang tak terbatas. Dan meskipun aku tahu bahwa ibuku melakukan yang terbaik yang dia bisa, rasanya seperti ada kekosongan yang tak terisi dalam hubungan kami.
***
“Kasus penculikan!”….
“15 orang menghilang dalam dua hari ini,”….
“Seorang mahasiswa dinyatakan hilang,”….
“Harap berhati-hati. Jangan keluar malam hari,”….
“Bila ingin keluar, disarankan untuk tidak sendiri,”….
Berita-berita televisi dikumandangkan.
Aku menghampiri ibuku yang sedang duduk di sofa. Aku bisa melihat matanya terpaku pada televisi yang menyiarkan berita tentang orang-orang yang hilang di sekitar kota Balikpapan. Ibuku terlihat begitu tegang ekspresinya, yang tak henti-hentinya mencari wajah-wajah yang hilang di televisi.
“Bu, aku berangkat sekolah ya,” ucapku dengan lembut, mencoba mengalihkan sedikit kekhawatiran yang terpancar dari wajahnya.
Ibuku menoleh ke arahku dengan senyum samar. “Ya, hati-hati di perjalanan, Nak. Inget, lagi marak penculikan. Jaga diri, ya. Jangan jauh-jauh dari Farid.”
Ugh, kenapa harus Farid? Mentang-mentang dia saudara sepupuku, aku merasa dipaksa untuk bisa akrab dengannya, walau itu mustahil. Aku mengangguk, meskipun hatiku sedikit terbebani oleh pernyataannya.
Aku menyusutkan bahu saat aku duduk di kursi belakang motor. Langkah itu membuatku semakin tidak nyaman, terutama saat Farid terus mengoceh di telingaku.
“Mundur, jangan deket-deket. Gue jadi sesek, tau gak?” gerutu Farid, suaranya bergemuruh meskipun kita sedang berada di keramaian jalan.
“Ibu tadi bilang gue jangan jauh-jauh dari elu, Rid.” Aku berkata berusaha menenangkan diriku.
“Bodo amat sih kalo lo ilang juga. Seneng gue juga,” cetus Farid kepadaku. “Lo tuh Cuma gulma di kehidupan gue.”
Kesal, itu yang kurasakan mendengar kata-kata Farid, tapi aku memilih untuk tetap diam. Bagaimana pun, aku tidak ingin memperkeruh suasana. Kami terus melaju di kemacetan yang padat, meskipun rasanya seperti aku sedang dijatuhkan ke dalam jurang emosi yang semakin dalam.
Seketika, telepon genggam Farid berdering keras, memecah keheningan yang menyiksa. Dengan cepat, dia menepi ke pinggir jalan untuk mengangkatnya.
“Hah? Gak bisa. Gue lagi di jalan, cok!” desis Farid dengan nada cemberut. “Ya udah, gue ke sana.”
Setelah menutup teleponnya dengan kasar, Farid memalingkan wajahnya . “Sorry, Gas. Ada urusan mendadak. Lo turun, ya. Udah deket kok, sekolah.” Tanpa menunggu jawabanku, dia langsung memacu motornya menjauh, meninggalkanku sendirian di tepi jalan yang ramai.
Hmmm, tumben. Biasanya, Farid lebih kasar dan cuek. Tapi kali ini, dia terdengar sedikit lebih ramah, meski tetap meninggalkanku tanpa banyak basa-basi.
Ketika akhirnya tiba di sekolah, aku merasa lega karena ternyata aku tidak terlambat. Aku mempercepat langkahku menuju kelas. Semoga hari ini berjalan lancar, pikirku saat memasuki kelas.
***
“Emang bagus, ya?” tanya Dave sambil melirik poster besar di dekat pintu masuk teater. Gambar seorang wanita berwajah pucat dengan mata merah menatap tajam ke arah mereka, dikelilingi bayangan gelap. Karlina hanya tersenyum kecil sambil meraih lengan Dave, menariknya menuju pintu teater. “Moga aja. Lagian, kamu kan selalu bilang kalau film horor Hollywood lebih ‘berkelas’, bukan?” “Jelas,” jawab Dave sambil mendesah. Saat mereka melewati antrean yang panjang di pintu teater sebelah, Dave melirik tulisan besar di layar digital: “Santet dari Kegelapan”. Dia langsung mengernyit. “Hadeh. Heran, padahal horor Indonesia kalo gak santet, religi, ya thread viral. Tapi kok, bisa sampe serame itu. Apa bagusnya, sih,” katanya setengah berbisik, tapi cukup keras hingga seorang pria di antrean melirik ke arahnya dengan dahi berkerut. Karlina mencubit lengannya. “Dave! Jangan ngomong gitu. Ada orang yang suka.” “Ouch! Aku cuma jujur,” jawabnya santai. “Kalau mau bikin film horor, ya bikin ceri
Tiga bulan berlalu.Akhirnya kehidupanku berjalan dengan sangat mulus.Kabar baiknya adalah, aku akan mengikuti program Student Exchange semester depan, dan saat ini aku sedang mengikuti karantina fasih Bahasa Inggris di Pare.Kali ini aku tidak akan menceritakan kisah mengenai diriku. Sejatinya, tak ada yang menarik saat ini.Namun, aku akan menceritakan kejadian mengerikan yang menimpa sahabatku.***Januari 2018.Seorang pria dengan setelan kemeja formal ditambah dasi terlihat duduk di sofa. Ia mengeluarkan sebuah koper dan mengambil sebuah map berisikan lembaran kertas yang dijepit oleh stapler. Ia meletakannya di sebuah meja, di hadapan tiga pemuda.“David Malcolm,” ujar pria itu.“Ya, pak,” jawab seorang anak berambut emas yang duduk di tengah.“Oke, tolong tandatangan di sini,” ia menunjukan kolom yang harus ditandatangani, “dan di sini.”Pemuda di samping David menepuk punggung pemuda itu sembari ia menandatangani. “Mantap, Dave.”“Alhamdulillah,” seru gadis di samping kanan D
Suatu hari, aku dan Ralph berangkat menuju rumah nenek Ralph di Samarinda. Perjalanan di bus terasa menyenangkan dengan canda dan tawa yang terus berlanjut di sepanjang jalan.“Makasih ya, Gas, lo mau bantu gue urus nenek. Repot soalnya om lagi pergi. Kakek udah meninggal. Mana nenek sekarang pake kursi roda lagi.”“Gapapa, Ralph. Santai aja.”Ketika sampai di rumah neneknya, Ralph langsung membuka pintu. Saat itu omnya belum lama sudah pergi, jadi ia bisa langsung memasukinya.Nenek Ralph di kursi roda menyambut kami dengan senyuman ramah dan langsung mengajak kami menikmati teh hangat di beranda.Tiba-tiba, Ralph menarik tubuhku.“Hey!” Aku terkejut.“Ssst, Gas. Gue mau kasih tau lo, kalo nenek gue indigo juga kayak elo,” bisiknya di telingaku.“O-okay.” Aku tidak bisa berkata-kata lagi.Ketika Ralph pamit untuk mandi, ia menatapku sejenak dengan tatapan penuh harap."Gas, gue titip nenek sebentar, ya. Lo jagain," katanya dengan nada serius, tapi penuh kepercayaan. Aku mengangguk, m
Ralph dengan berani maju ke depan, berdiri di antara para hantu dan tubuh Agas serta ibunya. Dengan kedua tangan terkepal, dia menatap makhluk-makhluk itu dengan penuh tekad, meskipun wajahnya tampak sedikit pucat.“Dave, Karlina! Kalian jagain tubuh mereka! Gue bakal coba tahan mereka!” seru Ralph sambil melangkah maju.“Ralph, jangan konyol! Mereka bukan manusia!” Karlina memperingatkan, suaranya gemetar.“Justru karena itu gue yang maju! Gue paling paham soal beginian!” Ralph membalas dengan nada meyakinkan, meski dalam hatinya dia juga tahu ini bukan lelucon.Hantu-hantu itu, yang sempat mundur karena cahaya lentera, kini kembali mendekat dengan lebih ganas. Ralph mengambil sebuah kayu panjang yang ia temukan di sudut ruangan, mengayunkannya ke arah salah satu hantu yang mencoba merangkak menuju tubuh Agas.“Jangan berani-berani sentuh temen gue!” teriak Ralph, memukul kayu itu ke udara, meskipun serangannya hanya menembus tubuh hantu tersebut tanpa efek.Salah satu hantu dengan w
Sementara itu, di dunia nyata, Ralph, Dave, dan Karlina masih berkumpul di ruang bawah tanah, menunggu diriku dan ibuku kembali ke tubuh kami. Kedua tubuh kami tampak tidak bergerak, seperti sedang tertidur lelap, namun wajah mereka sedikit berkerut, seolah sedang berjuang keras.Dave mondar-mandir dengan gelisah. “Kenapa lama banget, sih? Mereka baik-baik aja, kan?” tanyanya sambil terus melirik tubuh Agas.Karlina, meski juga khawatir, mencoba menenangkan Dave. “Santai, Dave. Kita harus percaya sama Agas. Dia pasti bisa bawa ibunya kembali.”Ralph duduk di dekat tubuh Agas, dengan mata berbinar-binar. “Kalau lo jadi mereka, lo juga pasti lama, Dave. Lo nggak tahu, kan, dunia arwah kayak apa? Mungkin ada naga, ada kastil terbang, atau... mungkin ada hantu yang keren-keren!” katanya dengan nada sedikit terlalu semangat.Karlina memelototi Ralph. “Lo bisa nggak serius, Ralph? Ini nyawa temen kita yang lagi dipertaruhkan!”Namun, sebelum ada yang bisa membalas, suasana di ruang bawah ta
"Anak nakal. Kamu jangan mengambil barang orang, dong," kata Asmodiel dengan nada nyinyir.Aku bangkit. Hatiku benar-benar gusar. Takkan kubiarkan dia sembarangan meremehkanku."Aku mengakui kamu cukup hebat, ya." Dia berjalan mondar-mandir, sembari mendekatiku. "Kekuatanku cukup menarik. Bahkan membuat Umbrosus tertarik padamu."Aku terengah-engah. "Siapa itu?""Kamu gak tahu? Manusia bayangan."Oooh si manusia bayangan. Baik aku mengetahui nama aslinya sekarang."Dia gemetar seperti anak kecil saat merasakan kekuatanku. Setiap jiwa, setiap energi yang mereka koleksi, aku bisa merasakannya... mengendalikannya."Aku mengerutkan dahi, menahan amarah. "Jangan berharap aku jadi bagian dari koleksimu."Senyum Asmodiel melebar. "Kamu masih belum paham, ya, Agas? Aku tidak hanya ingin sekadar menguasaimu. Aku ingin kekuatanmu... jiwamu. Dengan itu, aku akan menjadi lebih dari sekadar penguasa di sini. Aku akan menembus batas yang tak pernah ada iblis lain bisa bayangkan."Ia mendekat lebih