"Agas? Agas!" Suara Om Dimas menuntun langkahku menuju cahaya.
Aku menarik napas dalam-dalam dan aku terbangun di kamar klinik dengan napas terengah-engah dan bersimbah keringat. Aku melihat sekeliling. Om Dimas dan ibu, beserta Dokter menatapku dengan lega.
"Syukurlah, kamu akhirnya siuman." Om Dimas tampak lega saat aku menatapnya. "Tadi kamu pingsan pas di loteng. Kepalamu berdarah."
Aku teringat aku terjatuh dari tangga ketika aku memeriksa loteng. Tiba-tiba, nyeri di kepalaku kambuh, serasa sesuatu mencengkram kepalaku dengan erat. “Arrggh!” Aku menggenggam bagian belakang kepalaku. Terasa seperti ada perban menempel.
Aku menutup mata sesaat merasakan sakit. Di kala waktu singkat itu, sosok makhluk hitam bertanduk, mata nyaris mencuat keluar, lidah nan panjang menjuntai, dan sayap bagaikan seorang peri menggeram tepat di wajahku. Aku terkesiap membuka mata, melihat pandangan itu sirna sesaat.
Apa itu tadi? Tanyaku dalam hati. Yang kulihat saat ini hanyalah Om Dimas dan ibuku yang menatapku heran.
"Kepala kamu masih sakit?" tanya ibuku.
"Hu-uh." Aku mengangguk pelan dengan wajah merana.
"Kamu istirahat saja dulu sampai pusingnya reda. Om bakal panggil Farid buat anter kamu pulang. Kebetulan Om masih ada urusan dulu sama ibu kamu,” jelas paman tiri dari ibuku itu.
Pada akhirnya, Farid diminta Om Dimas mengantarku pulang dan memastikan aku tiba di rumah dengan selamat. Aku melihat raut wajahnya yang sekilas memberikan ratapan ketus, namun ia langsung membalas dengan jawaban yang santun.
“Boleh. Ayo pulang, Gas,” jawabnya dengan ramah sembari memegang pundakku.
Ya, aku tahu dia terpaksa melakukannya. Selama perjalanan, ia tidak memberikan sepatah kata pun.
Setelah beberapa saat berjalan, tiba-tiba Farid berhenti. Dia menoleh ke arahku dengan tatapan tajam dan suara dingin. "Turun di sini aja!" katanya tegas, menunjuk ke trotoar di pinggir jalan.
Aku terdiam sejenak, merasa bingung dan sedikit takut. "Tapi ini kan masih jauh dari rumah," jawabku pelan.
"Ya, gue tahu," balasnya singkat. "Gue mau main sama temen-temen gue. Turun!"
Dengan berat hati, aku menuruti perintahnya. Aku turun dari kendaraan dan berdiri di pinggir jalan, merasa sangat tidak nyaman dan sedikit terlantar.
“Kak ....” aku berusaha memanggilnya dengan lembut.
Tiba-tiba, Farid menggeram. Dia tiba-tiba berteriak padaku. “Jangan panggil, kak! Gue bukan kakak lo, dan lo bukan—dan gak akan pernah—jadi adek gue! Selamanya! PAHAM!?”
Auch! Itu adalah kata-kata paling menyakitkan yang pernah diutarakan Farid kepadaku. Baru beberapa hari aku mengenalnya, ia memang sering menghujatku, tapi ini adalah kata-katanya yang paling menusuk. Aku hanya terdiam menatap amarah yang membara di wajahnya.
Sesaat, ia langsung memutar gas sepeda motornya dan pergi meninggalkanku, di jalanan yang sepi ini. Aku terdiam dengan mataku yang berkaca-kaca, berusaha menahan sebuah perasaan yang ingin tercuat dari dalam dadaku. Hingga ketika ia sudah jauh, air mataku mengalir dengan deras. Tak kuat, aku menangis, mengeluarkan semua kesedihan dalam diriku.
Aku berjalan menyusuri jalan ini dengan penuh keterpaksaan—sambil menangis. Namun, tangisanku reda seketika, karena perasaan lain muncul menutupinya. Ada perasaan takut yang datang. Di jalanan yang sepi ini, memberikan nuansa menyeramkan. Tidak ada mobil atau pun orang melintas. Hanya pepohonan di samping dan tiang listrik dengan beberapa poster “Orang Hilang”, membuat bulu kuduk merinding. Padahal hari masih siang.
Langkahku beradu cepat dengan detak jantungku. Napasku tersentak! Aku melihat beberapa orang berdiri di sekitar pohon di pinggir jalan. Yang membuatku merinding adalah, wajah-wajah mereka yang pucat menatapku dengan datar dan pensaran.
Aku buru-buru menunduk, menghindari kontak mata dengan mereka dan sosok-sosok lainnya yang tiba-tiba bermunculan. Aku terus berlari sekuat yang kubisa, mengabaikan mereka semua yang menatapku.
Ketika aku melangkah lebih jauh, aku merasa makhluk-makhluk itu sudah tidak nampak. Aku merasa lega sesaat. Tapi, saat itu juga, bahaya yang lebih besar justru mengintai.
Kretek! Suara retakan kayu—yang terdengar begitu familiar muncul di benak telingaku.
Kretek, kretek! Suara itu bermunculan setiap aku melangkah. Bulu kudukku berdiri. Pada akhirnya, aku menghentikan langkahku. Suara itu seketika berhenti, namun aku merasakan ada sesuatu yang berdiri di belakangku.
Perlahan, aku menoleh ke belakang. Aku terpaku saat melihat sosok makhluk yang menjelma di hadapanku. Sosok bertubuh kurus tinggi, berwarna hitam pekat, dan dua mata besar yang menyala terang seperti senter menatapku dengan penuh keingintahuan.
Aku melangkahkan kakiku, dan sosok itu melangkah, setiap gerakannya sejalan dengan langkahku. Hanya saja langkah yang diambil cukup panjang, hingga jaraknya semakin dekat dengan diriku. Aku merasa napas tercekat di tenggorokanku, dan kepanikan mulai menguasai diriku. Tidak ada tempat untuk bersembunyi, dan aku merasa terjebak dalam situasi ini.
Dengan hati yang berdegup kencang dan rasa takut yang memenuhi pikiranku, aku tahu bahwa aku tidak punya pilihan selain berlari sekuat yang aku bisa. Tanpa ragu, aku memutuskan untuk melarikan diri dari makhluk yang mengintai dengan secepat mungkin.
Tanpa menoleh ke belakang, aku mempercepat langkahku, berusaha menghindari langkah makhluk itu yang seakan-akan mengikuti setiap gerakku. Aku bisa mendengar makhluk itu menggeram dengan lantang. Langkahku menjadi semakin cepat, hatiku berdegup semakin kencang, dan napasku semakin terengah-engah.
Rasanya waktu berjalan sangat lambat, dan setiap detik terasa seperti abad. Aku tidak peduli dengan arah mana yang aku tuju, yang penting aku menjauh dari makhluk yang mengerikan itu secepat mungkin. “Waaaaaaaa!!!” Aku berteriak tak karuan.
Hingga akhirnya, halte bus ujung jalan terlihat. “Akhirnya, akhirnya.” Napasku sudah tersengal-sengal dan keringat membasahi tubuhku. Aku terus berlari tanpa pandang bulu. Mataku terus memandang lurus ke depan, fokus pada tujuan akhirku.
Saat aku semakin mendekatinya, aku melihat sebuah bus yang hendak berhenti di halte. Hati ini berdegup kencang, harapan seolah-olah muncul kembali di tengah kegelapan yang menyelimuti jalanan. Aku memanggil bus itu dengan sekuat tenaga, berharap agar sopirnya mendengar panggilanku.
“Tunggu! Tunggu!” teriakku, suara itu meluncur dari tenggorokanku yang kering oleh hembusan angin malam.
Aku berlari semakin cepat, kaki-kakiku terus bergerak tanpa henti menuju halte.
Namun, dengan keajaiban yang mungkin datang dari langit, bus itu berhenti di halte tepat saat aku mencapainya. Aku bisa merasakan lega yang membanjiri hatiku saat aku melihat pintu bus terbuka lebar, menunggu untuk menyambut penumpang baru.
Aku segera melompat ke dalam bus, menghirup udara yang segar dan membebaskan diriku dari kegelapan yang mencekam. Dengan langkah-langkah yang berat, aku menemukan tempat duduk kosong dan duduk dengan letih, membiarkan rasa lega meresapi setiap serat tubuhku.
Saat itu juga, aku langsung melihat keluar jendela, mungkin mencari tanda-tanda keberadaan sosok misterius yang mengikuti langkahku. “Kemana makhluk itu?” Tak ada tanda-tanda makhluk itu, seakan-akan semua itu hanya ilusi yang mengganggu pikiranku. Aku mencoba meredakan kecemasanku dengan mengalihkan perhatian pada pemandangan di luar jendela.
Akhirnya bus berhenti di halte tepat di depan komplek perumahanku. Tidak begitu lama sebetulnya, hanya lima belas menit saja. Tapi rasanya waktu terasa begitu lama di dalam bus. Aku berjalan menuju rumahku dengan langkah-langkah yang berat.
Sesampainya di rumah, aku langsung menuju kamarku. Dengan tangan gemetar, aku mengunci pintu dan bersembunyi di sudut kamar, menarik napas dalam-dalam, berharap semua ini hanya mimpi buruk yang segera berakhir.
“Ini gak nyata. Ini gak nyata.” Aku memeluk lututku, mencoba menenangkan diri, namun tubuhku tak bisa berhenti gemetar. Kepalaku mulai berdenyut, rasa sakit yang semakin kuat. Dunia di sekitarku mulai berputar, gelap. Tubuhku semakin lemas.
Sebelum aku sempat mengerti apa yang terjadi, semuanya berubah gelap. Aku pingsan, jatuh tak sadarkan diri di lantai kamarku.
***
“Emang bagus, ya?” tanya Dave sambil melirik poster besar di dekat pintu masuk teater. Gambar seorang wanita berwajah pucat dengan mata merah menatap tajam ke arah mereka, dikelilingi bayangan gelap. Karlina hanya tersenyum kecil sambil meraih lengan Dave, menariknya menuju pintu teater. “Moga aja. Lagian, kamu kan selalu bilang kalau film horor Hollywood lebih ‘berkelas’, bukan?” “Jelas,” jawab Dave sambil mendesah. Saat mereka melewati antrean yang panjang di pintu teater sebelah, Dave melirik tulisan besar di layar digital: “Santet dari Kegelapan”. Dia langsung mengernyit. “Hadeh. Heran, padahal horor Indonesia kalo gak santet, religi, ya thread viral. Tapi kok, bisa sampe serame itu. Apa bagusnya, sih,” katanya setengah berbisik, tapi cukup keras hingga seorang pria di antrean melirik ke arahnya dengan dahi berkerut. Karlina mencubit lengannya. “Dave! Jangan ngomong gitu. Ada orang yang suka.” “Ouch! Aku cuma jujur,” jawabnya santai. “Kalau mau bikin film horor, ya bikin ceri
Tiga bulan berlalu.Akhirnya kehidupanku berjalan dengan sangat mulus.Kabar baiknya adalah, aku akan mengikuti program Student Exchange semester depan, dan saat ini aku sedang mengikuti karantina fasih Bahasa Inggris di Pare.Kali ini aku tidak akan menceritakan kisah mengenai diriku. Sejatinya, tak ada yang menarik saat ini.Namun, aku akan menceritakan kejadian mengerikan yang menimpa sahabatku.***Januari 2018.Seorang pria dengan setelan kemeja formal ditambah dasi terlihat duduk di sofa. Ia mengeluarkan sebuah koper dan mengambil sebuah map berisikan lembaran kertas yang dijepit oleh stapler. Ia meletakannya di sebuah meja, di hadapan tiga pemuda.“David Malcolm,” ujar pria itu.“Ya, pak,” jawab seorang anak berambut emas yang duduk di tengah.“Oke, tolong tandatangan di sini,” ia menunjukan kolom yang harus ditandatangani, “dan di sini.”Pemuda di samping David menepuk punggung pemuda itu sembari ia menandatangani. “Mantap, Dave.”“Alhamdulillah,” seru gadis di samping kanan D
Suatu hari, aku dan Ralph berangkat menuju rumah nenek Ralph di Samarinda. Perjalanan di bus terasa menyenangkan dengan canda dan tawa yang terus berlanjut di sepanjang jalan.“Makasih ya, Gas, lo mau bantu gue urus nenek. Repot soalnya om lagi pergi. Kakek udah meninggal. Mana nenek sekarang pake kursi roda lagi.”“Gapapa, Ralph. Santai aja.”Ketika sampai di rumah neneknya, Ralph langsung membuka pintu. Saat itu omnya belum lama sudah pergi, jadi ia bisa langsung memasukinya.Nenek Ralph di kursi roda menyambut kami dengan senyuman ramah dan langsung mengajak kami menikmati teh hangat di beranda.Tiba-tiba, Ralph menarik tubuhku.“Hey!” Aku terkejut.“Ssst, Gas. Gue mau kasih tau lo, kalo nenek gue indigo juga kayak elo,” bisiknya di telingaku.“O-okay.” Aku tidak bisa berkata-kata lagi.Ketika Ralph pamit untuk mandi, ia menatapku sejenak dengan tatapan penuh harap."Gas, gue titip nenek sebentar, ya. Lo jagain," katanya dengan nada serius, tapi penuh kepercayaan. Aku mengangguk, m
Ralph dengan berani maju ke depan, berdiri di antara para hantu dan tubuh Agas serta ibunya. Dengan kedua tangan terkepal, dia menatap makhluk-makhluk itu dengan penuh tekad, meskipun wajahnya tampak sedikit pucat.“Dave, Karlina! Kalian jagain tubuh mereka! Gue bakal coba tahan mereka!” seru Ralph sambil melangkah maju.“Ralph, jangan konyol! Mereka bukan manusia!” Karlina memperingatkan, suaranya gemetar.“Justru karena itu gue yang maju! Gue paling paham soal beginian!” Ralph membalas dengan nada meyakinkan, meski dalam hatinya dia juga tahu ini bukan lelucon.Hantu-hantu itu, yang sempat mundur karena cahaya lentera, kini kembali mendekat dengan lebih ganas. Ralph mengambil sebuah kayu panjang yang ia temukan di sudut ruangan, mengayunkannya ke arah salah satu hantu yang mencoba merangkak menuju tubuh Agas.“Jangan berani-berani sentuh temen gue!” teriak Ralph, memukul kayu itu ke udara, meskipun serangannya hanya menembus tubuh hantu tersebut tanpa efek.Salah satu hantu dengan w
Sementara itu, di dunia nyata, Ralph, Dave, dan Karlina masih berkumpul di ruang bawah tanah, menunggu diriku dan ibuku kembali ke tubuh kami. Kedua tubuh kami tampak tidak bergerak, seperti sedang tertidur lelap, namun wajah mereka sedikit berkerut, seolah sedang berjuang keras.Dave mondar-mandir dengan gelisah. “Kenapa lama banget, sih? Mereka baik-baik aja, kan?” tanyanya sambil terus melirik tubuh Agas.Karlina, meski juga khawatir, mencoba menenangkan Dave. “Santai, Dave. Kita harus percaya sama Agas. Dia pasti bisa bawa ibunya kembali.”Ralph duduk di dekat tubuh Agas, dengan mata berbinar-binar. “Kalau lo jadi mereka, lo juga pasti lama, Dave. Lo nggak tahu, kan, dunia arwah kayak apa? Mungkin ada naga, ada kastil terbang, atau... mungkin ada hantu yang keren-keren!” katanya dengan nada sedikit terlalu semangat.Karlina memelototi Ralph. “Lo bisa nggak serius, Ralph? Ini nyawa temen kita yang lagi dipertaruhkan!”Namun, sebelum ada yang bisa membalas, suasana di ruang bawah ta
"Anak nakal. Kamu jangan mengambil barang orang, dong," kata Asmodiel dengan nada nyinyir.Aku bangkit. Hatiku benar-benar gusar. Takkan kubiarkan dia sembarangan meremehkanku."Aku mengakui kamu cukup hebat, ya." Dia berjalan mondar-mandir, sembari mendekatiku. "Kekuatanku cukup menarik. Bahkan membuat Umbrosus tertarik padamu."Aku terengah-engah. "Siapa itu?""Kamu gak tahu? Manusia bayangan."Oooh si manusia bayangan. Baik aku mengetahui nama aslinya sekarang."Dia gemetar seperti anak kecil saat merasakan kekuatanku. Setiap jiwa, setiap energi yang mereka koleksi, aku bisa merasakannya... mengendalikannya."Aku mengerutkan dahi, menahan amarah. "Jangan berharap aku jadi bagian dari koleksimu."Senyum Asmodiel melebar. "Kamu masih belum paham, ya, Agas? Aku tidak hanya ingin sekadar menguasaimu. Aku ingin kekuatanmu... jiwamu. Dengan itu, aku akan menjadi lebih dari sekadar penguasa di sini. Aku akan menembus batas yang tak pernah ada iblis lain bisa bayangkan."Ia mendekat lebih