Share

Hantu Dalam Cermin Dan Ngasinan

“Aku harap kita bisa memulai misi ini dengan kekompakan, agar cepat selesai dan mendapatkan hasil sesuai dengan harapan!” ujar Misa kepada teman-temannya di halaman rumah.

Mereka membawa masing-masing tas punggung berisi segala peralatan dan kebutuhan. Pertama yang akan mereka lakukan adalah meninjau tempat peribadatan warga. Tidak bisa dipungkiri bahwa agama adalah hal pokok yang menandai peradaban suatu bangsa, termasuk juga kepercayaan. Namun sejak pertama kali menginjakkan kaki di desa tersebut, mereka tidak melihat tempat ibadah sama sekali. Tidak ada masjid, tidak ada gereja, tidak ada tempat ibadah lain. Apakah desa itu tidak mengenal agama?

“Iya, benar apa yang kamu katakan, Mis!” sahut Aurel. “Kita adalah sebuah tim yang harus menjaga kekompakan,” lanjutnya.

Rencananya mereka akan mendatangi ketua RT untuk mencari keterangan singkat darinya. Misa memimpin perjalanan. Mereka sudah menanyakan rumah pak RT dari kakek, dan dengan senang hati kakek menunjukkan rumah pak RT.

“Ayo berangkat!” ajak Misa. Mereka berjalan beriringan.

Dengan seragam khas kampusnya mereka terlihat sangat mencolok. Kemeja putih, jas biru muda, rok selutut untuk Misa dan Aurel, serta celana panjang untuk Dika dan Jimat. Di antara itu semua Jimatlah yang paling kusam, kusut, namun semangatnya menggebu-gebu.

Lima belas menit dengan berjalan kaki akhirnya mereka sampai di pelataran rumah pak RT. Pintu rumah tampak terbuka lebar, sepertinya pak RT menunggu di dalam. Di halaman rumah luas itu tumbuh subur rumput-rumput yang terpotong rapi, sisi kanan-kiri dipenuhi dengan pohon ceri.

“Ini rumahnya?” tanya Jimat.

“Iya,” sahut Misa.

Rumah itu berdinding kayu tua, bentuknya seperti rumah joglo, tinggi menjulang. “Keren sekali, ini hampir sama dengan Keraton Jogja,” ujar Jimat mengungkapkan kekagumannya.

“Jauhlah!” Aurel tidak setuju.

Dari dalam rumah, setelah mengetahui bahwa para mahasiswa itu ada di halaman rumah, keluarlah seorang lelaki berambut putih, jalannya setengah membungkuk, ia mengenakan baju batik coklat motif burung serta celana kain hitam panjang.

“Jangan masuk, jangan masuk!” ujar Dika lirih setelah melihat pak RT dari kejauhan.

“Jauh-jauh ke sini cari pak RT, malah jangan masuk!” Jimat berjalan terlebih dahulu mendekati tangga yang akan digunakan untuk naik ke teras rumah.

Misa berjalan di belakang Jimat, Aurel bertanya kepada Dika yang belum bergerak, “Kenapa, Dik?”

“Aku merasakan hawa tidak enak, Rel. Aku kira ini bukan rumah baik-baik,” jelas Dika.

Aurel tidak mengerti, akhirnya dia berkata, “Ayo! Jangan berpikiran seperti itu. Keadaan adalah kita yang menentukan, jadi buruk tidaknya tergantung kepada kita,” lanjut Aurel. Lalu ia berjalan di belakang Misa, Dika dengan terpaksa harus mengikutinya.

“Selamat datang di rumah ini,” sambut pak RT dengan riangnya.

“Selamat pagi, Pak RT!” Jimat sok akrab, dia menyalami pak RT dan terpaksa Misa dan yang lain mengikutinya.

“Silakan masuk! Jangan di luar!” Pak RT masuk terlebih dahulu membuka pintu semakin lebar.

Jimat tanpa ragu masuk, Misa selanjutnya mengikuti. Di belakangnya Aurel berjalan lamban menanti Dika di tangga teras. “Dik, ayo!” bisik Aurel dari balik pintu.

“Iya, bentar!” sahut Dika, ia berjalan lebih cepat namun dengan langkah gontai.

Tapi tiba-tiba saja Dika mendapatkan sebuah hal yang tidak terkira.

Deg...

Jantungnya bergetar hebat, matanya memandang sekelabat bayangan di kaca lemari yang ada di dalam ruang tamu. Bayangan itu hampir mirip dengan hantu yang tadi malam mengganggu Jimat, bahkan sama persis. Hantu itu berada di dalam kaca, tidak mungkin Dika salah lihat.

“Rel, di dalam kaca itu ada hantu!” ujar Dika.

“Hantu apa? Tidak ada apa-apa juga!” sahut Aurel, dia tidak melihat apa yang Dika lihat.

“Benar, Rel, aku tidak bohong!” ujar Dika berusaha meyakinkan.

“Iya, aku percaya tapi...” kata-kata Aurel terputus.

“Kenapa kalian masih di sini? Tidak enak sama tuan rumah!” Misa datang dengan sedikit marah dan kesal.

Dika dan Aurel berjalan beriringan, Dika berjalan paling belakang. Hati Dika memang mengatakan bahwa rumah itu adalah rumah yang penuh dengan misteri dan hantu. “Tenang saja, Dik. Semoga tidak ada apa-apa,” ujar Aurel berusaha menenangkan Dika.

“Kenapa? Ada masalah?” tanya pak RT setelah mengetau gelagat tidak normal dari Dika dan Aurel.

Misa yang menjawab, “Tidak ada apa-apa, Pak RT! Teman saya merasa ada barang yang tertinggal di rumah penginapan!”

Pak RT matanya menyelidik, mengerti dengan apa yang dikatakan Misa namun tidak sepenuhnya percaya. "Benarkah demikian?” tanya pak RT langsung kepada Dika.

“Iya, benar, demikian!” ujar Dika.

Pak RT tersenyum, entah kenapa Dika tidak suka dengan senyum itu, rasanya ada hawa tidak nyaman dan tidak normal dalam senyumnya.

“Jadi tujuan utama kami datang ke sini adalah untuk menanyakan beberapa hal kepada bapak.” Misa menjelaskan apa yang menjadi tujuan mereka.

“Baik, jika saya bisa membantu dan bisa memberikan keterangan, kenapa tidak?” ujar pak RT.

“Terima kasih,” sahut Jimat.

Misa menyiapkan pertanyaan pertama, yaitu tentang asal-usul desa. “Kenapa desa ini dinamakan dengan desa Ngasinan, Pak?” tanya Misa.

Pak RT tersenyum ramah, dan Dika tetap tidak suka dengan senyum itu, ia merasa bahwa ada hawa tidak baik di dalam senyumnya.

“Mendengar dari para leluhur, panjang sekali sejarah yang terjadi. Namun setidaknya saya bisa memberikan beberapa keterangan yang mungkin bisa membantu!” ujar pak RT, ia terlihat menata kalimat.

Pikiran Dika melayang jauh tidak terkontrol. “Haa...” tiba-tiba Dika berteriak nyaring.

Kakinya dipegang oleh sebuah tangan yang penuh dengan bulu, dari kolong meja yang gelap dan pengap itu.

“Ada apa, Dik?” tanya Aurel khawatir memegang pundak Dika.

“Hantu!” Dika mengeluh pelan di telinga Aurel.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status