Keringat dingin mengucur dari pelipis Dika. Wajahnya pucat, kakinya masih merasakan sentuhan hantu yang dimaksudkannya.
“Ada apa, Dik?” tanya Misa pelan, ia mendekati Dika yang berada di kursi seberang meja.
“Hantu!” Dika menunjuk bawah meja dengan kedipan matanya.
“Mana?” tanya Misa belum mengerti dengan isyarat Dika.
“Di bawah meja,” sahut Dika cepat.
Misa menurunkan pandangan, hampir saja dia memukul Dika karena tingkahnya.
“Itu kucing, bagaimana, sih?” Misa sedikit geram dan marah.
“Ha? Kucing? Jelas-jelas itu hantu!” Dika mengelak.
Misa memaksa Dika menurunkan pandangannya dan melihat bawah meja. “Hantu...” terika Dika lagi setelah melihat bawah meja.
“Astaghfirullah...” Misa berucap dan geleng-geleng kepala. Pak RT tertawa pelan melihat tingkah Dika.
Benar, Dika memang melihat hantu di bawah meja itu, hantu yang tadi malam mendatangi dan mengganggu Jimat. Tapi anehnya ketika yang melihat adalah orang lain, dalam sekejap hantu itu berubah menjadi kucing bermata hitam pekat.
“Ini, ini, lihat!” Jimat mengangkat kucing itu pas di depan wajah Dika.
Saat itulah Dika menyadari dan melihat bahwa itu benar-benar kucing, tapi ia juga tidak menyalahkan pandangan pertamanya bahwa dia melihat hantu.
“Kucing!” Dika mendesis pelan dan menutup wajahnya dengan kedua tangan, menyandarkan tubuh pada penyangga belakang kursi.
“Maaf, Pak! Teman saya memang begitu orangnya!” Misa meminta maaf kepada pak RT.
“Tidak apa-apa, memang banyak pendatang baru yang seperti itu,” ujar pak RT.
Pak RT melanjutkan keterangan tentang awal mula desa Ngasinan. “Ada sebuah legenda atau apa saya kurang mengerti, pada jaman dahulu air di desa ini rasanya asin sekali, maka mudahnya orang mengenal desa ini dengan sebutan Ngasinan.”
Semua mencatat keterangan dengan teliti, kecuali Jimat yang hanya mendengarkan dan santai-santai saja membenahi rambut keritingnya, disapu angin yang masuk lewat pintu depan. Pagi menjelang siang, dan udara masih terasa dingin.
“Lalu mengenai kepercayaan atau agama masyarakat?” tanya Aurel, dan itu adalah pertanyaan kedua yang akan dijawab oleh pak RT.
“Ehem...” Pak RT berdehem ringan sebelum memulai jawabannya. “Masyarakat umumnya beraga Islam, namun saya kira itu hanya KTP mereka, tidak semua menjalankan agama dengan baik. Di sini masih banyak sekali masyarakat abangan, dalam artian menjalankan kepercayaan-kepercayaan yang bukan berasal dari ajaran agama,” jelas pak RT.
Semua mengangguk paham kecuali Jimat. “Lalu,” ujar Jimat, “apakah di desa ini tidak ada tempat beribadah umat Islam?” Pertanyaan yang bagus dari Jimat.
“Ada, di ujung desa,” sahut pak RT dengan wajah datar, sepertinya tidak ingin mengatakan lebih jauh tentang tempat beribadah itu.
“Kenapa tidak dibangun di tengah-tengah desa saja? Kan, lebih mudah untuk dijangkau semua kalangan?” Jimat bertanya lagi.
Pak RT diam, tidak menjawab, malah mengganti topik pembicaraan dengan bahasan lain. “Berapa lama kalian akan berada di desa ini?”
“Bagaimana, sih?” Jimat berdesis kepada Misa, di sampingnya.
“Mungkin ada sesuatu yang tidak boleh kita ketahui,” ujar Misa mendekatkan bibir ke telinga Jimat.
“Mungkin bisa sampai dua minggu, Pak!” jawab Aurel dengan senyum khas, menunjukkan giginya yang tidak rata namun nyaman di pandang, dia manis dengan gigi itu.
Dika menangkap kesan wajah tidak bersahabat pada senyum pak RT, sepertinya pak RT tidak senang mereka berada di sana dan bertanya banyak hal kepadanya. Dika melamun, sampai-sampai ia tidak mendengarkan Misa yang berbicara kepadanya. “Dik, kamu kenapa?” tanya Misa, Dika tidak mendengarnya.
Samar-samar telinga Dika mendengar sebuah teriakan dari salah satu ruangan rumah itu. “Tolong, bebaskan kami! Jangan sakiti kami, keluarga kami menunggu di rumah!” Dika berusaha mencari ruangan itu dengan matanya, melirik ke sana kemari, memandang ke sana ke mari, namun tidak menemukan secara pasti dari mana suara itu berasal.
Semakin lama suara itu semakin jelas di telinga Dika, dia berusaha konsentrasi penuh untuk menangkap asal suara tersebut. “Jangan kurung dan bunuh kami!” Suara itu terdengar memilukan.
“Hai, kamu kenapa, Dik?” Aurel memukul pundak kanan Dika.
“Ha...” Dika kaget, keringat dingin keluar dari pelipisnya. Aurel heran dengan kelakuan Dika akhir-akhir ini. “Maaf, aku tidak apa-apa. Apakah sudah selesai?” tanya Dika dengan suara bergetar.
“Pak RT, maaf sepertinya kami harus pulang ke penginapan terlebih dahulu,” ujar Aurel.
“Baik. Rumah ini selalu terbuka untuk kalian,” sahut pak RT dengan senyum ramah.
“Kenapa, Rel?” tanya Misa tidak mengerti, tiba-tiba saja Aurel mengajak pulang padahal pertanyaan masih banyak.
“Ada masalah kecil,” sahut Aurel.
Misa mengangguk mengerti, mereka pulang pukul setengah sebelas siang.
“Hoek... hoek...”
Tiba-tiba di halaman rumah Dika muntah-muntah.
“Kamu masuk angin, Dik?” tanya Jimat sembari memijat leher belakang Dika.
“Tidak, tiba-tiba saja aku mencium bau bangkai!” Dika menutup hidungnya rapat-rapat. Yang aneh adalah mereka yang lain tidak mencium bau bangkai yang dimaksud Dika.
“Belum sikat gigi barangkali kamu, Dik.” Misa berkata dengan entengnya.
Dika tidak terima, menurutnya ini masalah serius dan tidak baik jika dibuat bercandaan. “Ternyata benar yang dikatakan Jimat, kamu tidak berpikir sebagai ketua misi,” kata Dika.
Deg...
Kata-kata itu menusuk hati Misa, dia marah. “Eh, kamu itu yang tidak mikir. Kucing bilangnya hantu, bau bunga melati dikata bangkai. Mikir sedikit kenapa itu otak!”
“Eh, sudah, sudah, tidak usah diperpanjang!” Aurel melerai mereka berdua.
“Yuk, pulang!” ajak Jimat dengan suara lemasnya, dia bingung dengan keadaan yang akhir-akhir ini terjadi. Dia tidak menyalahkan Dika, sebab tadi malam memang dia juga melihat bahkan diganggu oleh hantu, di kamarnya.
Entah kenapa, malam ini, Rabu malam Kamis, saya disuruh menghadap kepada Kyai Shodiq. Kesalahan apa lagi yang saya kalukan sehingga disuruh menghadap beliau? Apakah sekarang sapinya yang hilang? Tidak mungkin.“Kang Akmal, ditimbali mbah Kyai.” Begitu kata salah satu teman saya.“Iya.” Jawab saya.Tergesa-gesa saya memakai baju lengan panjang, membenarkan sarung, mencari kopyah hitam saya. Sekarang sudah cukup malam, pukul setengah sepuluh. Tidak seperti biasanya mbah Kyai menimbali santrinya. Baiklah, saya akan segera menghadap beliau.Halaman ndalem terlihat sepi. Biasanya, dari halaman ndalem itu selalu terdengar suara tamu-tamu mbah Kyai membahas sebuah ilmu. Banyak sekali tamu mbah Kyai setiap harinya, hingga biasanya sampai larut malam. Tapi sepertinya tidak dengan malam ini, keadaan sudah sepi.Pintu utama ndalem mbah Kyai masih terbuka lebar, lampu menyala terang. Kondisi dalam juga sepi. Dari luar saya melihat disana hanya ada mbah Kyai dan gus Malik sedang membicarakan sesua
Jadi begini kawan, kami sholat isya’ pula ketika bertemu dengan kakek yang entah siapa namanya. Dari pada nanti sibuk mencari air untuk wudzu lagi, lebih baik menunggu sejenak dan sudah tidak khawatir lagi.Sampai larut malam, kira-kira pukul sebelas malam, kami belum berhasil menemukan kambing mbah Kyai. Entah kemana kambing keparat itu pergi. Ah, karena kesalahan saya siang tadi, malam ini saya dan Alfin tidak mengikuti pengajian setelah maghrib dan isya’.Kami duduk di bawah pohon rindang tengah hutan, dengan penerangan satu senter yang sudah tidak terang lagi. Demi menghemat baterai, yang satu tidak kami nyalakan. Dingin tidak terkira dibawah pohon ini, banyak nyamuk pula. Jika bukan kambing mbah Kyai, maka sudah saya tinggalkan tempat ini sejak tadi.“Apakah kita akan tidur disini?” tanya Alfin padaku.“Yah, apakah kamu bisa tidur. Kalau aku mungkin bisa-bisa saja.”Saya sudah terbiasa dengan nyamuk banyak, hawa dingin, suasana gelap, namun tidak dengan tengah-tengah hutan. Waktu
Bukan sebuah waktu yang pendek bagi saya. Tiga tahun, waktu yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, serta memerlukan sebuah impian. Karena tiga tahun, masa yang akan datang tergambarkan.Menjadi santri itu berat, tidak sembarangan orang akan kuat. Berbagai ujian akan datang ketika seseorang mendatangi pesantren dengan niat mencari ilmu.Pertama, tentu harus siap bepisah dengan keluarga, teman-teman, dan orang terdekat lainnya. Bahkan, untuk anak yang tidak siap berpisah dengan orang tua, ujian pertama ini akan menjadi ujian terberat.Kedua, adalah peraturan-peraturan yang mengikat, terasa seperti mengekang santri. Mulai dari dilarang menonton televisi, sampai dilarang berhubungan dengan lawan jenis. Berat? Untuk yang sudah terbiasa melakukan, lalu datang ke pesantren, akan sulit meninggal-kan kebiasanan tersebut.Tiga, pesantren mengajarkan santrinya siap mlarat. Artinya, semua santri selama hidup dalam lingkungan pesantren harus hidup apa adanya, makan apa adanya, layaknya orang mlara
Bicara mengenai cita-cita, saya ingin menjadi manusia sungguhan. Apakah saat ini saya bukan manusia sungguhan? Bukan begitu maksudnya. Saya ingin menjadi orang sukses, banyak uang, mobil, dan hal-hal yang menandakan saya adalah orang kaya. Dalam sebuah karir, cita-cita saya adalah menjadi Ustadz, seperti Abdul Somad. Lc. terkenal. Setelah menikah saya ingin hidup bahagia dan membahagiakan keluarga saya. Anak-anak saya cerdas, pintar, dan mengikuti jejak langkah saya. Kemudian, setelah mati masuk surga. Ekspektasi banyak yang tidak sesuai dengan kondisi, berbeda pula dengan sebuah realisasi. Tapi diantara itu semua yang paling penting adalah menjalani. Banyak harapan, boleh saja, asalkan tidak membuat putus jalan.Cita-cita saya sangat luhur, bukan? Saya ingin menjadi orang yang bahagia dunia akhirat. Ketika hidup di dunia, saya ingin menjadi orang kaya, bahagia. Dan ketika mati nanti, masih nanti, masih lama, saya ingin menjadi orang yang masuk surga. Indah sekali dalam anganan.Ber
Dua malam yang lalu, ketika aku berkunjung ke pasar malam, aku bertemu dengan seorang penjual buku yang seumuran denganku. Namanya adalah Adi. Sebenarnya aku tidak tahu di mana hebatnya dia, lagi pula aku juga belum mengerti banyak tentang hidupnya. Hanya saja sekarang aku tahu apa yang lebih darinya jika dibandingkan dengan diriku, Adi adalah seorang pekerja keras. Aku kagum dengannya.Sekarang aku tengah berada di ruang kelas, jam istirahat. Hari ini aku tidak pergi ke kantin, sebab ada yang aneh dengan mama sepagi ini, mama membawakanku bekal makanan, padahal dari rumah aku sudah sarapan. Hemm... tidak apa-apa, hitung-hitung untuk menghemat uang jajan. Lumayan, bisa untuk membeli komik atou novel-novel. Kenapa tidak buku pelajaran saja? Aku tidak terlalu suka membaca buku pelajaran. Lagi pula, aku merasa bahwa di dalam komik itu ada banyak sekali pelajaran yang bisa aku ambil, tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.Aku dan Zila makan bersama, memakan bekal yang diberikan mama
Malam hari, pukul delapan, ketika waktu makan malam.Keluarga kami sudah berkumpul semua seperti biasa di meja makan, makan malam. Hari ini masih dengan suasana yang biasa, bahagia. Walaupun keluarga kami hanya tiga orang, kami sudah cukup lebih dari bahagia. Banyak di dunia ini orang yang ingin mempunyai keturunan, tapi Tuhan tidak menghendaki.“Bagaimana sekolah kamu, Nisa?” Papa bertanya kepadaku, yang duduk diseberang meja sendirian. Mama ikut menatapku dengan tatapan datar, dari seberang meja pula.“Eh, baik-baik saja, Pa.” Aku menjawab dengan sangat jujur, karena aku adalah anak yang jujur. Hehe …Papa menatapku sejenak, lalu bicara lagi kepadaku sambil menunggu Mama selesai mengisi piring Papa. “Papa kira hari ini kamu ada masalah, tidak seperti biasanya kamu banyak melamun seperti malam ini.”“Dari mana Papa tau?”“Eh, tau apanya? Beneran kamu ada masalah? Ceritakan saja, mungkin Mama dan Papa bisa bantu?” Papa malah salah tangkap kali ini. Bukan itu yang aku maksud, Pa, tapi