Home / Horor / Rumah Tengah Hutan / Memulai Misi dan Sebuah Firasat

Share

Memulai Misi dan Sebuah Firasat

Author: Azka Taslimi
last update Huling Na-update: 2022-02-22 03:15:02

“Jangan! Jangan bunuh aku! Jangan bunuh aku!” teriak Jimat dari balik selimut.

Tubuhnya basah dengan keringat dingin, lehernya dicekik oleh tangan dingin dari belakang. Selimut telah hilang jatuh ke bawah, angin bertiup kencang membuka jendela kayu. Jimat berharap teman-temannya akan segera datang membantunya. Namun tangan dingin itu sekarang mengeratkan cekikan pada lehernya, sehingga dia tidak bisa berteriak sama sekali. Napasnya tidak beraturan, hidungnya disumpal oleh beberapa jari dari belakang. Tangan dingin semakin mengeratkan cekikan, Jimat mati-matian mempertahankan hidup dan berusaha bernapas.

“Jangan, jangan bunuh aku! Aku mohon!” Jimat mengeluarkan suara seraknya, hampir tidak ada yang mendengar.

Tiba-tiba pintu dibuka dari luar, Misa datang membawa lampu putih ditangannya.

“Pergi kau! Ini bukan waktunya untuk bermain-main!” ujar Misa. Sekejap, angin berhenti, terdengar suara hujan yang damai, jendela menutup dengan sendirinya.

Brak... Suara jendela terhempaskan angin dari dalam.

“Misa, tolong aku, Mis!” ujar Jimat memegangi lehernya yang merah.

“Tenang, Jimat, dia sudah pergi dan kamu aman,” kata Misa menenangkan Jimat.

“Terima kasih,” ujar Jimat, dia membaringkan diri di atas dipan kayu memegangi lehernya. Hawa dingin terasa. “Di mana Dika dan Aurel?” tanya Jimat ketakutan.

“Mereka aman di dalam kamar.” Misa memberitakan.

“Syukurlah!” Hampir saja Jimat meneteskan air mata. Dia belum mengerti sama sekali apa yang terjadi pada diri dan teman-temannya. “Apa sebenarnya yang terjadi, Mis?” tanya Jimat dengan napas yang lebih teratur.

“Aku juga tidak mengerti apa yang terjadi, Mat! Aku belum mengerti,” ujar Misa. “Tapi, setidaknya untuk malam ini kita aman, hantu itu sudah pergi!” lanjutnya.

“Syukurlah! Jangan pergi, Mis, aku benar-benar takut!” Jimat baru kali ini memohon serius kepada Misa.

Misa prihatin, namun dia tidak bisa berlama-lama di dalam kamar itu, ada Aurel yang harus ditemaninya. “Aku panggilkan Dika agar segera kembali ke sini, aku harus menemani Aurel di kamarnya!” ujar Misa.

“Iya, Dika suruh cepat ke sini.” Jimat memohon.

“Iya.” Misa berjalan keluar setelah menyalakan lampu kamar Jimat yang jatuh tadi, serta mengambilkan hp Jimat yang dibuangnya beberapa saat lalu.

Jimat kedap-kedip di dalam kamar, takut. Sesekali matanya memandang jendela yang tertutup rapat, damai, suara hujan di luar menambah syahdu suasana. Mata Jimat berbalik arah, memandang langit-langit ruangan yang gelap, lampu putih itu sinarnya tidak sampai pada langit-langit rumah tinggi.

“Haaa..”

Tiba-tiba Jimat berteriak ketika melihat bayangan berkelebat di ambang pintu.

“Tenang, Mat! Ini aku, Dika!” Suara Dika membuat Jimat tenang.

“Kamu, ngagetin saja!” ujar Jimat meraih selimut di bawah Dipan. “Tadi kamu ke mana, sih, pas ada hantu?” tanya Jimat.

“Aku lari, aku benar-benar takut, Mat!” jawab Dika sambil cengengesan.

“Hem, kamu tidak setia kawan! Kenapa lari aku tidak diajak!” geram Jimat.

“Iya maapin aku, aku refleks lari begitu saja.” Dika beralasan.

Malam berlanjut normal. Satu hal yang membuat Jimat penasaran, kenapa tiba-tiba Misa yang datang? Kenapa mereka tidak datang bertiga? Yang lebih mengherankan lagi adalah kenapa hantu itu tiba-tiba pergi ketika Misa berkata bahwa ini bukanlah waktu untuk bermain? Sampai pukul dua belas malam Jimat tidak bisa memecahkan misteri itu, akhirnya tertidur.

“Ah, semoga semua baik-baik saja,” ujar Jimat dalam hati. Akhirnya dia tidur.

Besok pagi mereka akan memulai sebuah penelitian tentang budaya dan segala yang berhubungan dengan masyarakat desa setempat. Dika tidur sejak tadi, dia tidak ingin memikirkan banyak hal, berlebih tentang hantu itu.

Misa dan Aurel di kamarnya juga demikian, tidak banyak bicara. Aurel tidur sedari tadi, namun Misa belum bisa memejamkan matanya sampai pukul setengah satu dini hari. Udara dingin, Misa merapatkan selimut Aurel dan bergegas berdiri, dia membuka jendela samar-samar dan melihat keadaan di luar. Gelap, tidak ada apa pun yang tampak, suara burung-burung malam kembali bernyanyi setelah hujan reda. Dari belakang rumah suara kodok saling bersahutan, membuat suasana syahdu menenangkan. Lima menit Misa kembali menutup jendela setelah udara dingin tidak dapat ditahannya.

Samar-samar Misa mematikan lampu, keadaan gelap, suara nyaman terdengar memanjakan telinga. Misa tidur pukul satu malam. Dari luar jendela mengintip seorang wanita. Bukan, itu bukan wanita, itu adalah seorang hantu wanita. Rambutnya panjang, wajahnya pucat, bajunya serba putih. Sebenarnya apa yang dia inginkan dengan mendatangi para pendatang itu?

***

Pagi datang. Dari kejauhan terdengar suara ayam berkokok, matahari menyambut dengan nyaman sinar hangatnya. Misa membangunkan Aurel di sampingnya, dengan segera dia beranjak meninggalkan dipan dan mencari udara segar di halaman rumah. Tanah basah, sebagian masih mengenangkan air sisa hujan. Rumput dan dedaunan mengembun, putih bersih di atasnya. Ketika ada burung yang hinggap pada salah satu dahan maka embun-embun itu berjatuhan menyatu dengan air hujan di bawah.

Tidak berselang lama Jimat, Aurel, dan Dika juga keluar rumah. Kakek dan nenek tidak ada di rumah, mungkin mereka sudah berangkat ke sawah seperti petani kebanyakan.

“Aduh, perutku mules pagi-pagi begini,” ujar Jimat memegangi perutnya.

“Beol, lah!” sahut Dika.

“Males, masih dingin seperti ini. Di sungai pasti tambah dingin,” ujar Jimat.

“Lalu?” tanya Aurel sewot.

“Iya tetap ke sungai, lah, masak di kamar!” Jimat ngonyos pergi menuju belakang rumah, ke sungai.

Di jalanan depan rumah, pada jalanan berbatu itu, anak-anak SD berangkat sekolah dengan seragam khasnya, merah putih. Ini adalah hari pertama sekolah dalam seminggu. Misa memandang mereka dengan pandangan damai. Dia ingat sekali dengan masa-masa ia sekolah SD, di mana setiap pagi pasti ada saja barang yang hilang, entah itu dasi, ikat pinggang, topi, bahkan sampai kaos kaki. Kadang pula yang hilang adalah buku PR yang semalam ia kerjakan mati-matian. Misa tersenyum geli mengingat itu kembali.

“Heh, kenapa malah senyum-senyum sendiri, Mis?” Aurel mengagetkan Misa.

“Hahaha, iya, aku teringat dengan masa-masa SD dahulu!” sahut Misa, anak-anak SD ramai di depan mereka, di jalanan berbatu basah.

“Iya, sih, kangen juga dengan masa-masa SD!” sahut Aurel dengan nada mengingat, dia tersenyum geli di samping Misa.

“Masa itu tidak ada yang bisa diulang, dan tidak akan mungkin!” Dika mengikuti pembicaraan dari belakang.

“Kalau itu semua manusia juga sudah tahu,” kata Aurel.

“Maka tidak ada gunanya mengingat masa-masa itu,” pendapat Dika.

“Tidak, mengingat itu tidak salah, hanya mengingat,” sahut Misa. “Eh, itu...”

Misa menghampiri Rana yang berjalan sendirian tidak jauh dari rombongan anak-anak lain. Rana adalah gadis kecil kelas enam yang berkenalan dengan Misa ketika di sungai, ia dianggap nakal oleh anak-anak lain. Rana pagi itu tampak sedih, tidak ada yang mau menjadi temannya.

“Kenapa kamu sendirian, Rana?” tanya Misa menghentikan langkah Rana.

“Mereka tidak ingin berteman dengan Rana, Mbak!” ujar Rana mengadu layaknya anak kecil.

Kasihan sekali anak ini, batin Misa.

“Memangnya jauh sekolahnya?” tanya Misa.

“Tidak, Mbak! Hanya dua puluh menit perjalanan,” jelas Rana.

Sebenarnya ingin sekali Misa mengantarkannya, tapi tidak bisa karena ia harus mempersiapkan tugas untuk hari ini.

“Tidak apa-apa, Mbak. Rana sudah biasa berangkat dan pulang sendiri!” ujar Rana setelah Misa meminta maaf.

Dari belakang Misa memandang Rana, kasihan dalam hatinya.

“Siapa anak kecil itu, Mis?” tanya Dika.

“Namanya Rana. Kasihan, Dik, dia dijauhi oleh teman-temannya. Katanya nakal, tapi dia sebenarnya tidak nakal,” kata Misa.

“Dari mana kamu tahu kalau dia tidak nakal?” tany Dika menguji.

“Buktinya dia baik-baik saja dan banyak diamnya ketika bersamaku di sungai,” jelas Misa.

“Itu bisa saja terjadi karena kamu orang baru, dan kamu belum akrab dengan dia, dan dia masih sungkan denganmu,” pendapat Dika.

“Begitu?” tanya Misa mengangkat bahu.

Dika menjawab dengan memanyunkan bibirnya. “Bisa jadi.”

Memang benar apa yang dikatakan oleh Dika, Rana bukanlah anak yang baik-baik saja.

“Ayo kita siap-siap memulai penelitian,” ajak Jimat yang baru kembali dari sungai. Wajahnya agak bersih, membasuh muka di sungai.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Rumah Tengah Hutan   Adakah?

    Entah kenapa, malam ini, Rabu malam Kamis, saya disuruh menghadap kepada Kyai Shodiq. Kesalahan apa lagi yang saya kalukan sehingga disuruh menghadap beliau? Apakah sekarang sapinya yang hilang? Tidak mungkin.“Kang Akmal, ditimbali mbah Kyai.” Begitu kata salah satu teman saya.“Iya.” Jawab saya.Tergesa-gesa saya memakai baju lengan panjang, membenarkan sarung, mencari kopyah hitam saya. Sekarang sudah cukup malam, pukul setengah sepuluh. Tidak seperti biasanya mbah Kyai menimbali santrinya. Baiklah, saya akan segera menghadap beliau.Halaman ndalem terlihat sepi. Biasanya, dari halaman ndalem itu selalu terdengar suara tamu-tamu mbah Kyai membahas sebuah ilmu. Banyak sekali tamu mbah Kyai setiap harinya, hingga biasanya sampai larut malam. Tapi sepertinya tidak dengan malam ini, keadaan sudah sepi.Pintu utama ndalem mbah Kyai masih terbuka lebar, lampu menyala terang. Kondisi dalam juga sepi. Dari luar saya melihat disana hanya ada mbah Kyai dan gus Malik sedang membicarakan sesua

  • Rumah Tengah Hutan   Benarkah Demikian?

    Jadi begini kawan, kami sholat isya’ pula ketika bertemu dengan kakek yang entah siapa namanya. Dari pada nanti sibuk mencari air untuk wudzu lagi, lebih baik menunggu sejenak dan sudah tidak khawatir lagi.Sampai larut malam, kira-kira pukul sebelas malam, kami belum berhasil menemukan kambing mbah Kyai. Entah kemana kambing keparat itu pergi. Ah, karena kesalahan saya siang tadi, malam ini saya dan Alfin tidak mengikuti pengajian setelah maghrib dan isya’.Kami duduk di bawah pohon rindang tengah hutan, dengan penerangan satu senter yang sudah tidak terang lagi. Demi menghemat baterai, yang satu tidak kami nyalakan. Dingin tidak terkira dibawah pohon ini, banyak nyamuk pula. Jika bukan kambing mbah Kyai, maka sudah saya tinggalkan tempat ini sejak tadi.“Apakah kita akan tidur disini?” tanya Alfin padaku.“Yah, apakah kamu bisa tidur. Kalau aku mungkin bisa-bisa saja.”Saya sudah terbiasa dengan nyamuk banyak, hawa dingin, suasana gelap, namun tidak dengan tengah-tengah hutan. Waktu

  • Rumah Tengah Hutan   Merayakan Kehidupan

    Bukan sebuah waktu yang pendek bagi saya. Tiga tahun, waktu yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, serta memerlukan sebuah impian. Karena tiga tahun, masa yang akan datang tergambarkan.Menjadi santri itu berat, tidak sembarangan orang akan kuat. Berbagai ujian akan datang ketika seseorang mendatangi pesantren dengan niat mencari ilmu.Pertama, tentu harus siap bepisah dengan keluarga, teman-teman, dan orang terdekat lainnya. Bahkan, untuk anak yang tidak siap berpisah dengan orang tua, ujian pertama ini akan menjadi ujian terberat.Kedua, adalah peraturan-peraturan yang mengikat, terasa seperti mengekang santri. Mulai dari dilarang menonton televisi, sampai dilarang berhubungan dengan lawan jenis. Berat? Untuk yang sudah terbiasa melakukan, lalu datang ke pesantren, akan sulit meninggal-kan kebiasanan tersebut.Tiga, pesantren mengajarkan santrinya siap mlarat. Artinya, semua santri selama hidup dalam lingkungan pesantren harus hidup apa adanya, makan apa adanya, layaknya orang mlara

  • Rumah Tengah Hutan   Apakah Masih Ada?

    Bicara mengenai cita-cita, saya ingin menjadi manusia sungguhan. Apakah saat ini saya bukan manusia sungguhan? Bukan begitu maksudnya. Saya ingin menjadi orang sukses, banyak uang, mobil, dan hal-hal yang menandakan saya adalah orang kaya. Dalam sebuah karir, cita-cita saya adalah menjadi Ustadz, seperti Abdul Somad. Lc. terkenal. Setelah menikah saya ingin hidup bahagia dan membahagiakan keluarga saya. Anak-anak saya cerdas, pintar, dan mengikuti jejak langkah saya. Kemudian, setelah mati masuk surga. Ekspektasi banyak yang tidak sesuai dengan kondisi, berbeda pula dengan sebuah realisasi. Tapi diantara itu semua yang paling penting adalah menjalani. Banyak harapan, boleh saja, asalkan tidak membuat putus jalan.Cita-cita saya sangat luhur, bukan? Saya ingin menjadi orang yang bahagia dunia akhirat. Ketika hidup di dunia, saya ingin menjadi orang kaya, bahagia. Dan ketika mati nanti, masih nanti, masih lama, saya ingin menjadi orang yang masuk surga. Indah sekali dalam anganan.Ber

  • Rumah Tengah Hutan   Sulap Yang Membahagiakan

    Dua malam yang lalu, ketika aku berkunjung ke pasar malam, aku bertemu dengan seorang penjual buku yang seumuran denganku. Namanya adalah Adi. Sebenarnya aku tidak tahu di mana hebatnya dia, lagi pula aku juga belum mengerti banyak tentang hidupnya. Hanya saja sekarang aku tahu apa yang lebih darinya jika dibandingkan dengan diriku, Adi adalah seorang pekerja keras. Aku kagum dengannya.Sekarang aku tengah berada di ruang kelas, jam istirahat. Hari ini aku tidak pergi ke kantin, sebab ada yang aneh dengan mama sepagi ini, mama membawakanku bekal makanan, padahal dari rumah aku sudah sarapan. Hemm... tidak apa-apa, hitung-hitung untuk menghemat uang jajan. Lumayan, bisa untuk membeli komik atou novel-novel. Kenapa tidak buku pelajaran saja? Aku tidak terlalu suka membaca buku pelajaran. Lagi pula, aku merasa bahwa di dalam komik itu ada banyak sekali pelajaran yang bisa aku ambil, tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.Aku dan Zila makan bersama, memakan bekal yang diberikan mama

  • Rumah Tengah Hutan   Malam Hari

    Malam hari, pukul delapan, ketika waktu makan malam.Keluarga kami sudah berkumpul semua seperti biasa di meja makan, makan malam. Hari ini masih dengan suasana yang biasa, bahagia. Walaupun keluarga kami hanya tiga orang, kami sudah cukup lebih dari bahagia. Banyak di dunia ini orang yang ingin mempunyai keturunan, tapi Tuhan tidak menghendaki.“Bagaimana sekolah kamu, Nisa?” Papa bertanya kepadaku, yang duduk diseberang meja sendirian. Mama ikut menatapku dengan tatapan datar, dari seberang meja pula.“Eh, baik-baik saja, Pa.” Aku menjawab dengan sangat jujur, karena aku adalah anak yang jujur. Hehe …Papa menatapku sejenak, lalu bicara lagi kepadaku sambil menunggu Mama selesai mengisi piring Papa. “Papa kira hari ini kamu ada masalah, tidak seperti biasanya kamu banyak melamun seperti malam ini.”“Dari mana Papa tau?”“Eh, tau apanya? Beneran kamu ada masalah? Ceritakan saja, mungkin Mama dan Papa bisa bantu?” Papa malah salah tangkap kali ini. Bukan itu yang aku maksud, Pa, tapi

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status