Share

Memulai Misi dan Sebuah Firasat

“Jangan! Jangan bunuh aku! Jangan bunuh aku!” teriak Jimat dari balik selimut.

Tubuhnya basah dengan keringat dingin, lehernya dicekik oleh tangan dingin dari belakang. Selimut telah hilang jatuh ke bawah, angin bertiup kencang membuka jendela kayu. Jimat berharap teman-temannya akan segera datang membantunya. Namun tangan dingin itu sekarang mengeratkan cekikan pada lehernya, sehingga dia tidak bisa berteriak sama sekali. Napasnya tidak beraturan, hidungnya disumpal oleh beberapa jari dari belakang. Tangan dingin semakin mengeratkan cekikan, Jimat mati-matian mempertahankan hidup dan berusaha bernapas.

“Jangan, jangan bunuh aku! Aku mohon!” Jimat mengeluarkan suara seraknya, hampir tidak ada yang mendengar.

Tiba-tiba pintu dibuka dari luar, Misa datang membawa lampu putih ditangannya.

“Pergi kau! Ini bukan waktunya untuk bermain-main!” ujar Misa. Sekejap, angin berhenti, terdengar suara hujan yang damai, jendela menutup dengan sendirinya.

Brak... Suara jendela terhempaskan angin dari dalam.

“Misa, tolong aku, Mis!” ujar Jimat memegangi lehernya yang merah.

“Tenang, Jimat, dia sudah pergi dan kamu aman,” kata Misa menenangkan Jimat.

“Terima kasih,” ujar Jimat, dia membaringkan diri di atas dipan kayu memegangi lehernya. Hawa dingin terasa. “Di mana Dika dan Aurel?” tanya Jimat ketakutan.

“Mereka aman di dalam kamar.” Misa memberitakan.

“Syukurlah!” Hampir saja Jimat meneteskan air mata. Dia belum mengerti sama sekali apa yang terjadi pada diri dan teman-temannya. “Apa sebenarnya yang terjadi, Mis?” tanya Jimat dengan napas yang lebih teratur.

“Aku juga tidak mengerti apa yang terjadi, Mat! Aku belum mengerti,” ujar Misa. “Tapi, setidaknya untuk malam ini kita aman, hantu itu sudah pergi!” lanjutnya.

“Syukurlah! Jangan pergi, Mis, aku benar-benar takut!” Jimat baru kali ini memohon serius kepada Misa.

Misa prihatin, namun dia tidak bisa berlama-lama di dalam kamar itu, ada Aurel yang harus ditemaninya. “Aku panggilkan Dika agar segera kembali ke sini, aku harus menemani Aurel di kamarnya!” ujar Misa.

“Iya, Dika suruh cepat ke sini.” Jimat memohon.

“Iya.” Misa berjalan keluar setelah menyalakan lampu kamar Jimat yang jatuh tadi, serta mengambilkan hp Jimat yang dibuangnya beberapa saat lalu.

Jimat kedap-kedip di dalam kamar, takut. Sesekali matanya memandang jendela yang tertutup rapat, damai, suara hujan di luar menambah syahdu suasana. Mata Jimat berbalik arah, memandang langit-langit ruangan yang gelap, lampu putih itu sinarnya tidak sampai pada langit-langit rumah tinggi.

“Haaa..”

Tiba-tiba Jimat berteriak ketika melihat bayangan berkelebat di ambang pintu.

“Tenang, Mat! Ini aku, Dika!” Suara Dika membuat Jimat tenang.

“Kamu, ngagetin saja!” ujar Jimat meraih selimut di bawah Dipan. “Tadi kamu ke mana, sih, pas ada hantu?” tanya Jimat.

“Aku lari, aku benar-benar takut, Mat!” jawab Dika sambil cengengesan.

“Hem, kamu tidak setia kawan! Kenapa lari aku tidak diajak!” geram Jimat.

“Iya maapin aku, aku refleks lari begitu saja.” Dika beralasan.

Malam berlanjut normal. Satu hal yang membuat Jimat penasaran, kenapa tiba-tiba Misa yang datang? Kenapa mereka tidak datang bertiga? Yang lebih mengherankan lagi adalah kenapa hantu itu tiba-tiba pergi ketika Misa berkata bahwa ini bukanlah waktu untuk bermain? Sampai pukul dua belas malam Jimat tidak bisa memecahkan misteri itu, akhirnya tertidur.

“Ah, semoga semua baik-baik saja,” ujar Jimat dalam hati. Akhirnya dia tidur.

Besok pagi mereka akan memulai sebuah penelitian tentang budaya dan segala yang berhubungan dengan masyarakat desa setempat. Dika tidur sejak tadi, dia tidak ingin memikirkan banyak hal, berlebih tentang hantu itu.

Misa dan Aurel di kamarnya juga demikian, tidak banyak bicara. Aurel tidur sedari tadi, namun Misa belum bisa memejamkan matanya sampai pukul setengah satu dini hari. Udara dingin, Misa merapatkan selimut Aurel dan bergegas berdiri, dia membuka jendela samar-samar dan melihat keadaan di luar. Gelap, tidak ada apa pun yang tampak, suara burung-burung malam kembali bernyanyi setelah hujan reda. Dari belakang rumah suara kodok saling bersahutan, membuat suasana syahdu menenangkan. Lima menit Misa kembali menutup jendela setelah udara dingin tidak dapat ditahannya.

Samar-samar Misa mematikan lampu, keadaan gelap, suara nyaman terdengar memanjakan telinga. Misa tidur pukul satu malam. Dari luar jendela mengintip seorang wanita. Bukan, itu bukan wanita, itu adalah seorang hantu wanita. Rambutnya panjang, wajahnya pucat, bajunya serba putih. Sebenarnya apa yang dia inginkan dengan mendatangi para pendatang itu?

***

Pagi datang. Dari kejauhan terdengar suara ayam berkokok, matahari menyambut dengan nyaman sinar hangatnya. Misa membangunkan Aurel di sampingnya, dengan segera dia beranjak meninggalkan dipan dan mencari udara segar di halaman rumah. Tanah basah, sebagian masih mengenangkan air sisa hujan. Rumput dan dedaunan mengembun, putih bersih di atasnya. Ketika ada burung yang hinggap pada salah satu dahan maka embun-embun itu berjatuhan menyatu dengan air hujan di bawah.

Tidak berselang lama Jimat, Aurel, dan Dika juga keluar rumah. Kakek dan nenek tidak ada di rumah, mungkin mereka sudah berangkat ke sawah seperti petani kebanyakan.

“Aduh, perutku mules pagi-pagi begini,” ujar Jimat memegangi perutnya.

“Beol, lah!” sahut Dika.

“Males, masih dingin seperti ini. Di sungai pasti tambah dingin,” ujar Jimat.

“Lalu?” tanya Aurel sewot.

“Iya tetap ke sungai, lah, masak di kamar!” Jimat ngonyos pergi menuju belakang rumah, ke sungai.

Di jalanan depan rumah, pada jalanan berbatu itu, anak-anak SD berangkat sekolah dengan seragam khasnya, merah putih. Ini adalah hari pertama sekolah dalam seminggu. Misa memandang mereka dengan pandangan damai. Dia ingat sekali dengan masa-masa ia sekolah SD, di mana setiap pagi pasti ada saja barang yang hilang, entah itu dasi, ikat pinggang, topi, bahkan sampai kaos kaki. Kadang pula yang hilang adalah buku PR yang semalam ia kerjakan mati-matian. Misa tersenyum geli mengingat itu kembali.

“Heh, kenapa malah senyum-senyum sendiri, Mis?” Aurel mengagetkan Misa.

“Hahaha, iya, aku teringat dengan masa-masa SD dahulu!” sahut Misa, anak-anak SD ramai di depan mereka, di jalanan berbatu basah.

“Iya, sih, kangen juga dengan masa-masa SD!” sahut Aurel dengan nada mengingat, dia tersenyum geli di samping Misa.

“Masa itu tidak ada yang bisa diulang, dan tidak akan mungkin!” Dika mengikuti pembicaraan dari belakang.

“Kalau itu semua manusia juga sudah tahu,” kata Aurel.

“Maka tidak ada gunanya mengingat masa-masa itu,” pendapat Dika.

“Tidak, mengingat itu tidak salah, hanya mengingat,” sahut Misa. “Eh, itu...”

Misa menghampiri Rana yang berjalan sendirian tidak jauh dari rombongan anak-anak lain. Rana adalah gadis kecil kelas enam yang berkenalan dengan Misa ketika di sungai, ia dianggap nakal oleh anak-anak lain. Rana pagi itu tampak sedih, tidak ada yang mau menjadi temannya.

“Kenapa kamu sendirian, Rana?” tanya Misa menghentikan langkah Rana.

“Mereka tidak ingin berteman dengan Rana, Mbak!” ujar Rana mengadu layaknya anak kecil.

Kasihan sekali anak ini, batin Misa.

“Memangnya jauh sekolahnya?” tanya Misa.

“Tidak, Mbak! Hanya dua puluh menit perjalanan,” jelas Rana.

Sebenarnya ingin sekali Misa mengantarkannya, tapi tidak bisa karena ia harus mempersiapkan tugas untuk hari ini.

“Tidak apa-apa, Mbak. Rana sudah biasa berangkat dan pulang sendiri!” ujar Rana setelah Misa meminta maaf.

Dari belakang Misa memandang Rana, kasihan dalam hatinya.

“Siapa anak kecil itu, Mis?” tanya Dika.

“Namanya Rana. Kasihan, Dik, dia dijauhi oleh teman-temannya. Katanya nakal, tapi dia sebenarnya tidak nakal,” kata Misa.

“Dari mana kamu tahu kalau dia tidak nakal?” tany Dika menguji.

“Buktinya dia baik-baik saja dan banyak diamnya ketika bersamaku di sungai,” jelas Misa.

“Itu bisa saja terjadi karena kamu orang baru, dan kamu belum akrab dengan dia, dan dia masih sungkan denganmu,” pendapat Dika.

“Begitu?” tanya Misa mengangkat bahu.

Dika menjawab dengan memanyunkan bibirnya. “Bisa jadi.”

Memang benar apa yang dikatakan oleh Dika, Rana bukanlah anak yang baik-baik saja.

“Ayo kita siap-siap memulai penelitian,” ajak Jimat yang baru kembali dari sungai. Wajahnya agak bersih, membasuh muka di sungai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status