Beranda / Horor / Rumah Tengah Hutan / Ketukan Dari Jendela

Share

Ketukan Dari Jendela

Penulis: Azka Taslimi
last update Terakhir Diperbarui: 2022-02-19 18:53:04

Pukul satu siang akhirnya mereka sampai di rumah kakek tua. Mereka disambut dengan hidangan sederhana dan nenek marah-marah. “Dari mana saja kalian lama sekali?”

“Maaf, Nek, kami dari pasar dan tadi di tengah hutan mobil kami bannya nancap di tanah.” Dika menjelaskan.

“Sekarang kalian makanlah apa adanya!” perintah kakek dengan perhatian penuh.

“Baik, Kek!” Jimat menyambut paling semangat. Misa bersungut-sungut melihat tingkah Jimat, masih tersisa marah di dalam hatinya.

“Sudah, Mis. Marahnya dilanjut nanti saja, sekarang makan dulu,” bujuk Aurel dengan suara lirih, hampir berbisik di telinga kanannya.

“Iya.”

Mereka makan siang bersama, nenek dan kakek pergi ke belakang. Sebenarnya perut mereka belum terlalu lapar kembali. Hanya saja karena tadi di dalam hutan hampir satu jam, maka mereka merasakan sebuah kegabutan yang luar biasa.

“Ini baru masakan organik.” Jimat berkomentar dengan mulut penuh makanan.

Mereka makan dengan makanan yang sepenuhnya hasil olahan sayur-sayuran. Daun singkong ditambah dengan ikan hasil tangkapan kakek dari sungai, dan sambal korek. Aurel sama-sama semangat seperti Jimat. Namun Dika dan Misa tampaknya tidak terlalu suka dengan makanannya. Misa hanya mengambil ikan, sedangkan Dika hanya mengambil sambal memetik kemangi dari luar.

“Eh, Dik, makan ikan laut biar cerdas,” ujar Jimat di tengah-tengah acara makan-makan.

“Memangnya kamu cerdas?” tanya Dika sinis. “Makan yang banyak biar kamu cerdas. Kalau aku sudah tidak perlu makan ikan laut, sudah cerdas,” lanjutnya. Dika menahan tawanya.

“Benarkah begitu?” tanya Aurel.

“Begitu yang mana?” tanya Jimat.

“Membuat cerdas,”

“Benar.”

“Mis, bicaralah! Kenapa diam saja?” Dika kasihan kepada Misa.

“Iya, Mis. Tadi sebenarnya di dalam hutan aku hanya bercanda,” ujar Jimat, dia sedikit merasa bersalah membuat Misa menjadi demikian.

“Iya, iya,” ujar Misa geram.

“Nah, gitu, baru Misa yang cantik.” Dika tertawa.

Siang berlanjut malam dan akhirnya malam datang. Besok mereka berempat akan memulai penelitian yang menjadi tujuan utama mereka. Besok mereka akan belajar kehidupan masyarakat desa setempat, untuk menjadi bahan lulus kuliah.

Bintang tampak bersinar terang di atas sana. Angin samar-samar berhembus ringan membelai tubuh, mereka berempat berada di halaman rumah untuk mengamati malam dan keindahannya.

“Enak, ya, hidup di desa seperti ini, damai!” ujar Dika ketika sebuah bintang berpindah tempat.

“Nggak, lah. Sinyal saja sulit di sini,” sahut Aurel, dia duduk di samping Misa yang hanya banyak diam dan memandang keindahan langit.

Di kota memang jarang dijumpai pemandangan seperti demikian. Tidak banyak orang yang bisa memandang langit penuh dengan bintang, entah itu terhalang dengan gedung-gedung pencakar langit, terhalang megahnya lampu dan sebagainya. Sehingga bagi orang kota, melihat bintang bertebar di langit adalah sebuah keindahan tersendiri.

Misa keturunan Bandung, Dika keturunan Jakarta, Aurel keturunan Depok, sedang yang asli keturunan Jogja adalah Jimat. Mereka kuliah di Jogja ada beberapa sebab, salah satunya adalah mengikuti orang tua yang bekerja.

“Kalian bayangkan saja masyarakat sini yang sudah puluhan tahun hidup di desa,” ujar Dika. “mereka tidak membutuhkan sinyal seperti kita, tidak membutuhkan mobil dan kereta cepat seperti kita. Mereka sudah cukup dengan itu semua, tidak membutuhkan teknologi canggih,” lanjut Dika.

“Ada benarnya juga apa yang kamu katakan, Dik,” komentar Misa. “Tapi ada yang kurang juga. Aku rasa manusia butuh sebuah perkembangan, dan teknologi adalah salah satu bentuk perkembangan,” jelas Misa.

“Jadi, semua itu tergantung dengan hati masing-masing, gitu saja, kok, repot!” Jimat menerangkan isi hatinya.

“Nah, kali ini aku setuju dengan Jimat!” sahut Aurel.

“Eh, jangan-jangan...” Misa menggantung kata-katanya.

“Jangan macam-macam,” desak Aurel.

“Jangan-jangan kalian saling suka?” Misa menggoda.

“Ih, sumpah. Aku lebih suka jomblo, deh, jika jodohku Jimat!” Aurel memukul punggung Misa pelan.

Sama, Jimat juga tidak terima. “Siapa juga yang ingin jodoh sepertimu, Rel. Cantik, sih, tapi kalau tidak bisa masak, lemot berpikir, dan tidak peka, bagaimana bisa menjadi istri yang baik?” Jimat membalas dengan tidak kalah pedasnya.

“Nanti ujung-ujungnya saling cinta,” goda Dika.

“Jijik.” Aurel menjauh.

Bleder...

Terdengar gemuruh dari langit. Suasana langit yang sebelumnya cerah kini menjadi penuh dengan awan hitam, bintang-gemintang menghilang tidak ada yang tahu ke mana. Angin bertambah kencang, dan sepertinya sebentar lagi hujan akan datang.

“Aneh sekali. Cerah, kok, bisa langsung menjadi hujan,” ujar Misa.

“Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin,” sahut Dika.

“Masuk, yuk! Keburu hujan!” Aurel berjalan lebih dahulu.

Mereka masuk ke dalam kamar masing-masing, tapi waktu masih menunjukkan pukul delapan, terlalu dini untuk tidur. Akhirnya dengan sinar cahaya lampu yang mereka beli tadi siang, Aurel dan Misa membaca-baca buku. Dika dan Jimat bermain hp di dalam kamarnya, mendengarkan musik keras-keras dari headset, sehingga mereka tidak mendengar bahwa ada seseorang yang mengetuk jendela dari luar. Semakin lama semakin keras, namun mereka berdua tetap tidak mendengarnya saking keras musik yang mereka dengarkan.

Tiba-tiba angin bertiup keras, lampu yang mereka beli dari kota jatuh dari meja dan mati. Suasana sontak menjadi gelap, mereka tidak menyalakan dimar minyak tanah. Udara dingin terasa, Jimat bangkit dari posisi tidurnya dan berusaha mengambil kembali lampu yang jatuh dengan penyinaran dari lampu flas hp. Namun betapa terkejutnya Jimat ketika pemandangan yang ia lihat pertama kali ketika lampu flas menyala adalah wajah sosok wanita berambut panjang, berpakaian serba putih.

“Aaa... hantu!” teriak Jimat keras sekali.

Dika tidak mengeluarkan suara, Jimat telah mematikan kembali lampu flas hp-nya dan membenamkan diri di balik selimutnya. Dika belum juga mengeluarkan suara. Bahkan ketika Jimat berusaha meraba-raba keberadaan Dika, dia tidak menemukan sama sekali sosok Dika.

“Dik, kamu di mana, Dik? Jangan sembunyi di bawah kolong, aku takut sendirian di sini, Dik!” Jimat mengeluarkan semua keluh kesahnya.

Tapi tidak ada jawaban terdengar, yang menyahut hanyalah suara angin bercampur dengan hujan lebat. Samar-samar dari lubang jendela yang tidak sepenuhnya rapat terlihat kilat menyambar. Udara masuk dan dinginnya minta ampun.

“Dik, di mana, sih, kamu?” Jimat berkata dari balik selimutnya. Ia tidak berani menyalakan lampu hpnya.

Akhirnya Jimat terpaksa untuk menyalakan lampu hpnya, di dalam selimut.

Dan betapa terkejutnya dia...

Prak...

Jimat melemparkan hp itu sembarangan dan mengenai tembok ruangan, mati seketika. Walpapernya berubah menjadi hantu wanita yang beberapa saat lalu ia lihat dengan mata telanjang. “Oh, Tuhan, kenapa hidupnya menjadi seperti ini?” Jimat mengeluh sembari memanjatkan doa. “Aku selalu berlindung kepadaMu, Tuhan!” Itu adalah kata-kata yang selalu ia ucapkan ketika berada dalam masalah dan melupakan ketika masalah pergi.

Manusia, memang banyak lupanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Rumah Tengah Hutan   Adakah?

    Entah kenapa, malam ini, Rabu malam Kamis, saya disuruh menghadap kepada Kyai Shodiq. Kesalahan apa lagi yang saya kalukan sehingga disuruh menghadap beliau? Apakah sekarang sapinya yang hilang? Tidak mungkin.“Kang Akmal, ditimbali mbah Kyai.” Begitu kata salah satu teman saya.“Iya.” Jawab saya.Tergesa-gesa saya memakai baju lengan panjang, membenarkan sarung, mencari kopyah hitam saya. Sekarang sudah cukup malam, pukul setengah sepuluh. Tidak seperti biasanya mbah Kyai menimbali santrinya. Baiklah, saya akan segera menghadap beliau.Halaman ndalem terlihat sepi. Biasanya, dari halaman ndalem itu selalu terdengar suara tamu-tamu mbah Kyai membahas sebuah ilmu. Banyak sekali tamu mbah Kyai setiap harinya, hingga biasanya sampai larut malam. Tapi sepertinya tidak dengan malam ini, keadaan sudah sepi.Pintu utama ndalem mbah Kyai masih terbuka lebar, lampu menyala terang. Kondisi dalam juga sepi. Dari luar saya melihat disana hanya ada mbah Kyai dan gus Malik sedang membicarakan sesua

  • Rumah Tengah Hutan   Benarkah Demikian?

    Jadi begini kawan, kami sholat isya’ pula ketika bertemu dengan kakek yang entah siapa namanya. Dari pada nanti sibuk mencari air untuk wudzu lagi, lebih baik menunggu sejenak dan sudah tidak khawatir lagi.Sampai larut malam, kira-kira pukul sebelas malam, kami belum berhasil menemukan kambing mbah Kyai. Entah kemana kambing keparat itu pergi. Ah, karena kesalahan saya siang tadi, malam ini saya dan Alfin tidak mengikuti pengajian setelah maghrib dan isya’.Kami duduk di bawah pohon rindang tengah hutan, dengan penerangan satu senter yang sudah tidak terang lagi. Demi menghemat baterai, yang satu tidak kami nyalakan. Dingin tidak terkira dibawah pohon ini, banyak nyamuk pula. Jika bukan kambing mbah Kyai, maka sudah saya tinggalkan tempat ini sejak tadi.“Apakah kita akan tidur disini?” tanya Alfin padaku.“Yah, apakah kamu bisa tidur. Kalau aku mungkin bisa-bisa saja.”Saya sudah terbiasa dengan nyamuk banyak, hawa dingin, suasana gelap, namun tidak dengan tengah-tengah hutan. Waktu

  • Rumah Tengah Hutan   Merayakan Kehidupan

    Bukan sebuah waktu yang pendek bagi saya. Tiga tahun, waktu yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, serta memerlukan sebuah impian. Karena tiga tahun, masa yang akan datang tergambarkan.Menjadi santri itu berat, tidak sembarangan orang akan kuat. Berbagai ujian akan datang ketika seseorang mendatangi pesantren dengan niat mencari ilmu.Pertama, tentu harus siap bepisah dengan keluarga, teman-teman, dan orang terdekat lainnya. Bahkan, untuk anak yang tidak siap berpisah dengan orang tua, ujian pertama ini akan menjadi ujian terberat.Kedua, adalah peraturan-peraturan yang mengikat, terasa seperti mengekang santri. Mulai dari dilarang menonton televisi, sampai dilarang berhubungan dengan lawan jenis. Berat? Untuk yang sudah terbiasa melakukan, lalu datang ke pesantren, akan sulit meninggal-kan kebiasanan tersebut.Tiga, pesantren mengajarkan santrinya siap mlarat. Artinya, semua santri selama hidup dalam lingkungan pesantren harus hidup apa adanya, makan apa adanya, layaknya orang mlara

  • Rumah Tengah Hutan   Apakah Masih Ada?

    Bicara mengenai cita-cita, saya ingin menjadi manusia sungguhan. Apakah saat ini saya bukan manusia sungguhan? Bukan begitu maksudnya. Saya ingin menjadi orang sukses, banyak uang, mobil, dan hal-hal yang menandakan saya adalah orang kaya. Dalam sebuah karir, cita-cita saya adalah menjadi Ustadz, seperti Abdul Somad. Lc. terkenal. Setelah menikah saya ingin hidup bahagia dan membahagiakan keluarga saya. Anak-anak saya cerdas, pintar, dan mengikuti jejak langkah saya. Kemudian, setelah mati masuk surga. Ekspektasi banyak yang tidak sesuai dengan kondisi, berbeda pula dengan sebuah realisasi. Tapi diantara itu semua yang paling penting adalah menjalani. Banyak harapan, boleh saja, asalkan tidak membuat putus jalan.Cita-cita saya sangat luhur, bukan? Saya ingin menjadi orang yang bahagia dunia akhirat. Ketika hidup di dunia, saya ingin menjadi orang kaya, bahagia. Dan ketika mati nanti, masih nanti, masih lama, saya ingin menjadi orang yang masuk surga. Indah sekali dalam anganan.Ber

  • Rumah Tengah Hutan   Sulap Yang Membahagiakan

    Dua malam yang lalu, ketika aku berkunjung ke pasar malam, aku bertemu dengan seorang penjual buku yang seumuran denganku. Namanya adalah Adi. Sebenarnya aku tidak tahu di mana hebatnya dia, lagi pula aku juga belum mengerti banyak tentang hidupnya. Hanya saja sekarang aku tahu apa yang lebih darinya jika dibandingkan dengan diriku, Adi adalah seorang pekerja keras. Aku kagum dengannya.Sekarang aku tengah berada di ruang kelas, jam istirahat. Hari ini aku tidak pergi ke kantin, sebab ada yang aneh dengan mama sepagi ini, mama membawakanku bekal makanan, padahal dari rumah aku sudah sarapan. Hemm... tidak apa-apa, hitung-hitung untuk menghemat uang jajan. Lumayan, bisa untuk membeli komik atou novel-novel. Kenapa tidak buku pelajaran saja? Aku tidak terlalu suka membaca buku pelajaran. Lagi pula, aku merasa bahwa di dalam komik itu ada banyak sekali pelajaran yang bisa aku ambil, tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.Aku dan Zila makan bersama, memakan bekal yang diberikan mama

  • Rumah Tengah Hutan   Malam Hari

    Malam hari, pukul delapan, ketika waktu makan malam.Keluarga kami sudah berkumpul semua seperti biasa di meja makan, makan malam. Hari ini masih dengan suasana yang biasa, bahagia. Walaupun keluarga kami hanya tiga orang, kami sudah cukup lebih dari bahagia. Banyak di dunia ini orang yang ingin mempunyai keturunan, tapi Tuhan tidak menghendaki.“Bagaimana sekolah kamu, Nisa?” Papa bertanya kepadaku, yang duduk diseberang meja sendirian. Mama ikut menatapku dengan tatapan datar, dari seberang meja pula.“Eh, baik-baik saja, Pa.” Aku menjawab dengan sangat jujur, karena aku adalah anak yang jujur. Hehe …Papa menatapku sejenak, lalu bicara lagi kepadaku sambil menunggu Mama selesai mengisi piring Papa. “Papa kira hari ini kamu ada masalah, tidak seperti biasanya kamu banyak melamun seperti malam ini.”“Dari mana Papa tau?”“Eh, tau apanya? Beneran kamu ada masalah? Ceritakan saja, mungkin Mama dan Papa bisa bantu?” Papa malah salah tangkap kali ini. Bukan itu yang aku maksud, Pa, tapi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status