Share

Ketukan Dari Jendela

Pukul satu siang akhirnya mereka sampai di rumah kakek tua. Mereka disambut dengan hidangan sederhana dan nenek marah-marah. “Dari mana saja kalian lama sekali?”

“Maaf, Nek, kami dari pasar dan tadi di tengah hutan mobil kami bannya nancap di tanah.” Dika menjelaskan.

“Sekarang kalian makanlah apa adanya!” perintah kakek dengan perhatian penuh.

“Baik, Kek!” Jimat menyambut paling semangat. Misa bersungut-sungut melihat tingkah Jimat, masih tersisa marah di dalam hatinya.

“Sudah, Mis. Marahnya dilanjut nanti saja, sekarang makan dulu,” bujuk Aurel dengan suara lirih, hampir berbisik di telinga kanannya.

“Iya.”

Mereka makan siang bersama, nenek dan kakek pergi ke belakang. Sebenarnya perut mereka belum terlalu lapar kembali. Hanya saja karena tadi di dalam hutan hampir satu jam, maka mereka merasakan sebuah kegabutan yang luar biasa.

“Ini baru masakan organik.” Jimat berkomentar dengan mulut penuh makanan.

Mereka makan dengan makanan yang sepenuhnya hasil olahan sayur-sayuran. Daun singkong ditambah dengan ikan hasil tangkapan kakek dari sungai, dan sambal korek. Aurel sama-sama semangat seperti Jimat. Namun Dika dan Misa tampaknya tidak terlalu suka dengan makanannya. Misa hanya mengambil ikan, sedangkan Dika hanya mengambil sambal memetik kemangi dari luar.

“Eh, Dik, makan ikan laut biar cerdas,” ujar Jimat di tengah-tengah acara makan-makan.

“Memangnya kamu cerdas?” tanya Dika sinis. “Makan yang banyak biar kamu cerdas. Kalau aku sudah tidak perlu makan ikan laut, sudah cerdas,” lanjutnya. Dika menahan tawanya.

“Benarkah begitu?” tanya Aurel.

“Begitu yang mana?” tanya Jimat.

“Membuat cerdas,”

“Benar.”

“Mis, bicaralah! Kenapa diam saja?” Dika kasihan kepada Misa.

“Iya, Mis. Tadi sebenarnya di dalam hutan aku hanya bercanda,” ujar Jimat, dia sedikit merasa bersalah membuat Misa menjadi demikian.

“Iya, iya,” ujar Misa geram.

“Nah, gitu, baru Misa yang cantik.” Dika tertawa.

Siang berlanjut malam dan akhirnya malam datang. Besok mereka berempat akan memulai penelitian yang menjadi tujuan utama mereka. Besok mereka akan belajar kehidupan masyarakat desa setempat, untuk menjadi bahan lulus kuliah.

Bintang tampak bersinar terang di atas sana. Angin samar-samar berhembus ringan membelai tubuh, mereka berempat berada di halaman rumah untuk mengamati malam dan keindahannya.

“Enak, ya, hidup di desa seperti ini, damai!” ujar Dika ketika sebuah bintang berpindah tempat.

“Nggak, lah. Sinyal saja sulit di sini,” sahut Aurel, dia duduk di samping Misa yang hanya banyak diam dan memandang keindahan langit.

Di kota memang jarang dijumpai pemandangan seperti demikian. Tidak banyak orang yang bisa memandang langit penuh dengan bintang, entah itu terhalang dengan gedung-gedung pencakar langit, terhalang megahnya lampu dan sebagainya. Sehingga bagi orang kota, melihat bintang bertebar di langit adalah sebuah keindahan tersendiri.

Misa keturunan Bandung, Dika keturunan Jakarta, Aurel keturunan Depok, sedang yang asli keturunan Jogja adalah Jimat. Mereka kuliah di Jogja ada beberapa sebab, salah satunya adalah mengikuti orang tua yang bekerja.

“Kalian bayangkan saja masyarakat sini yang sudah puluhan tahun hidup di desa,” ujar Dika. “mereka tidak membutuhkan sinyal seperti kita, tidak membutuhkan mobil dan kereta cepat seperti kita. Mereka sudah cukup dengan itu semua, tidak membutuhkan teknologi canggih,” lanjut Dika.

“Ada benarnya juga apa yang kamu katakan, Dik,” komentar Misa. “Tapi ada yang kurang juga. Aku rasa manusia butuh sebuah perkembangan, dan teknologi adalah salah satu bentuk perkembangan,” jelas Misa.

“Jadi, semua itu tergantung dengan hati masing-masing, gitu saja, kok, repot!” Jimat menerangkan isi hatinya.

“Nah, kali ini aku setuju dengan Jimat!” sahut Aurel.

“Eh, jangan-jangan...” Misa menggantung kata-katanya.

“Jangan macam-macam,” desak Aurel.

“Jangan-jangan kalian saling suka?” Misa menggoda.

“Ih, sumpah. Aku lebih suka jomblo, deh, jika jodohku Jimat!” Aurel memukul punggung Misa pelan.

Sama, Jimat juga tidak terima. “Siapa juga yang ingin jodoh sepertimu, Rel. Cantik, sih, tapi kalau tidak bisa masak, lemot berpikir, dan tidak peka, bagaimana bisa menjadi istri yang baik?” Jimat membalas dengan tidak kalah pedasnya.

“Nanti ujung-ujungnya saling cinta,” goda Dika.

“Jijik.” Aurel menjauh.

Bleder...

Terdengar gemuruh dari langit. Suasana langit yang sebelumnya cerah kini menjadi penuh dengan awan hitam, bintang-gemintang menghilang tidak ada yang tahu ke mana. Angin bertambah kencang, dan sepertinya sebentar lagi hujan akan datang.

“Aneh sekali. Cerah, kok, bisa langsung menjadi hujan,” ujar Misa.

“Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin,” sahut Dika.

“Masuk, yuk! Keburu hujan!” Aurel berjalan lebih dahulu.

Mereka masuk ke dalam kamar masing-masing, tapi waktu masih menunjukkan pukul delapan, terlalu dini untuk tidur. Akhirnya dengan sinar cahaya lampu yang mereka beli tadi siang, Aurel dan Misa membaca-baca buku. Dika dan Jimat bermain hp di dalam kamarnya, mendengarkan musik keras-keras dari headset, sehingga mereka tidak mendengar bahwa ada seseorang yang mengetuk jendela dari luar. Semakin lama semakin keras, namun mereka berdua tetap tidak mendengarnya saking keras musik yang mereka dengarkan.

Tiba-tiba angin bertiup keras, lampu yang mereka beli dari kota jatuh dari meja dan mati. Suasana sontak menjadi gelap, mereka tidak menyalakan dimar minyak tanah. Udara dingin terasa, Jimat bangkit dari posisi tidurnya dan berusaha mengambil kembali lampu yang jatuh dengan penyinaran dari lampu flas hp. Namun betapa terkejutnya Jimat ketika pemandangan yang ia lihat pertama kali ketika lampu flas menyala adalah wajah sosok wanita berambut panjang, berpakaian serba putih.

“Aaa... hantu!” teriak Jimat keras sekali.

Dika tidak mengeluarkan suara, Jimat telah mematikan kembali lampu flas hp-nya dan membenamkan diri di balik selimutnya. Dika belum juga mengeluarkan suara. Bahkan ketika Jimat berusaha meraba-raba keberadaan Dika, dia tidak menemukan sama sekali sosok Dika.

“Dik, kamu di mana, Dik? Jangan sembunyi di bawah kolong, aku takut sendirian di sini, Dik!” Jimat mengeluarkan semua keluh kesahnya.

Tapi tidak ada jawaban terdengar, yang menyahut hanyalah suara angin bercampur dengan hujan lebat. Samar-samar dari lubang jendela yang tidak sepenuhnya rapat terlihat kilat menyambar. Udara masuk dan dinginnya minta ampun.

“Dik, di mana, sih, kamu?” Jimat berkata dari balik selimutnya. Ia tidak berani menyalakan lampu hpnya.

Akhirnya Jimat terpaksa untuk menyalakan lampu hpnya, di dalam selimut.

Dan betapa terkejutnya dia...

Prak...

Jimat melemparkan hp itu sembarangan dan mengenai tembok ruangan, mati seketika. Walpapernya berubah menjadi hantu wanita yang beberapa saat lalu ia lihat dengan mata telanjang. “Oh, Tuhan, kenapa hidupnya menjadi seperti ini?” Jimat mengeluh sembari memanjatkan doa. “Aku selalu berlindung kepadaMu, Tuhan!” Itu adalah kata-kata yang selalu ia ucapkan ketika berada dalam masalah dan melupakan ketika masalah pergi.

Manusia, memang banyak lupanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status