Share

Kucing Hitam

“Gorengannya berapaan, Bu?” tanya Misa pada ibu-ibu penjaga warung.

“Seribuan!” jawab ibu tanpa memandang Misa, tangannya lamban menyiapkan kopi entah untuk siapa.

“Wow, murah sekali, Mis,” ujar Aurel.

“Menurutku sama saja,” sahut Misa sembari memasukkan beberapa gorengan ke dalam plastik putih. Sepagi ini gorengan sudah siap, dan masih hangat.

“Sudah, bu, jadinya berapa?” tanya Misa.

Ibu tidak mendengar, lalu Aurel mengulanginya lagi, “Berapa totalnya, Bu?” Dengan nada yang lebih keras. Sama saja, ibu penjaga warung itu tidak mendengar panggilan Aurel.

Anehnya, ibu itu malah nyelonong pergi ke dapur, tanpa melihat Misa atau pun Aurel, mereka berdua kebingungan sendiri. “Hai, Bu!” Auerel setengah berteriak kembali memanggil.

“Hus, sudah, Rel. Mungkin dia ke kamar mandi sebentar,” ujar Misa.

Akhirnya mereka menunggu sembari duduk-duduk memainkan ponsel.

“Emang hp mu keluar sinyal, Mis?” tanya Aurel.

“Sama sekali tidak,” sahut Misa. “Aku hanya membalas-balas pesan saja dan menulis kabar kepada orang tua, biar nanti kalau ada sinyal bisa langsung kirim sendiri,” lanjutnya.

“Eh, ini sudah lima menit. Niat jualan apa nggak, sih, ibu itu?” gerutu Aurel.

Tapi tidak lama berselang dari luar warung terlihat ibu-ibu masuk, dia masih usia tiga puluhan. “Eh, maaf, Mbak, sudah lama menunggu?” tanya ibu itu.

“Ibu siapa?” Aurel bertanya begitu saja.

“Saya pemilik warung ini,” jawab ibu itu ramah.

“Lho? Kalau begitu ibu-ibu yang tadi  siapa?” tanya Misa.

“Siapa, Mbak?” ibu penjaga warung ikut penasaran.

Aurel menjelaskan, “Tadi sudah ada ibu-ibu yang menemui kita dan melayani. Tapi ketika kami akan membayar, dia pergi lewat pintu belakang, dan sampai saat ini belum kembali. Kami masih menunggunya.”

Ibu tertawa, “Ah, itu barangkali tetangga sini yang tidak sengaja masuk warung,” ibu menjelaskan.

Tapi sepertinya Misa menangkap hawa-hawa tidak jujur pada ibu itu. Ada sebuah rahasia kecil yang diseumbunyikan olehnya. Namun, Misa tidak mempunyai batasan untuk memaksa ibu itu agar berkata jujur kepadanya.

“Iya, sudah, jadinya berapa, Bu?” Misa akhirnya cukup memuaskan diri.

“Lima belas ribu,” jawab ibu.

Misa mengeluarkan uang pas, beberapa saat kemudian mereka berdua telah kembali lagi menuju rumah penginapan.

“Lama sekali ngapain saja?” Kedatangan mereka langsung disambut oleh Jimat yang sewot.

“Kayak gak tau wanita saja,” sahut Dika.

“Memangnya kamu tahu wanita, Dik?” tanya Jimat nyengir.

“Setidaknya aku lebih tau dari pada kamu,” jawab Dika, Jimat terdiam.

“Eh, ke pasar, yuk!” ajak Misa.

“Untuk?” tanya Dika.

“Beli lampu,” sahut Aurel.

Aurel mempunyai rencana untuk menceritakan kejadian di warung tadi. “Eh, kalian tahu ada peristiwa penting apa tadi di warung?” tanya Aurel.

“Eh, gak usah diceritakan, nanti malah Dika takut lagi,” sahut Misa cepat. Akhirnya Aurel diam, tidak jadi bercerita.

“Apa, sih?” Dika tidak terima.

“Ini masalah hantu, nanti malah kamu tidak berani ke luar,” sahut Misa.

Mereka berangkat menuju pasar, empat puluh lima menit perjalanan dengan mobil. Ketika mamasuki wilayah perkotaan, hati Misa riang tidak terkira. “Syukurlah, akhirnya semua pesan terkirim meski belum mendapatkan jawaban,” ujarnya dengan riang gembira. Yang lain juga demikian, kecuali Dika yang konsentrasi penuh mengedarai mobil.

“Halah, palingan juga chat dari group. Siapa, sih, yang ngechat jomblo?” Dika menyindir Jimat.

“Eh, gini-gini aku juga punya orang yang suka sama aku.” Jimat tidak terima.

“Hahahahah.” Aurel tertawa keras.

“Kasihan sekali jadi kamu, Mat!” kata Misa dengan raut wajah memelas.

“Kasihan? Kasihani diri sendiri sebelum mengasihani orang lain. Apa kabar JOMBLO!” Jimat meledek Misa dan benar, tepat pada sasaran. Misa benar-benar jomblo.

Misa diam, akhirnya semua diam. Lima menit berselang mereka sampai di pasar dan berbelanja seperlunya. Mereka tidak sadar bahwa sejak keluar dari desa tadi ada sepasang mata yang mengikutinya, tidak memberi celah sama sekali.

Pukul sepuluh mereka makan di sebuah warung pinggir jalan, mie ayam. Mereka tampak bahagia sekali sebelum nanti akhirnya akan menyambut tugas berat sebagai syarat kelulusan sarjana.

Hari ini matahari tidak terlalu bahagia, murung saja sejak pagi tadi. Awan hitam mengumpul di mana-mana, tapi tampaknya masih terlalu pagi untuk hujan turun. Namun begitu, tidak ada manusia yang bisa menghalangi kehendak Yang Maha Kuasa. Pukul setengah sebelas, ketika Misa menutup pintu mobil...

Brak...

Hujan turun dengan derasnya. “Untunglah sudah masuk mobil!” ujar Misa disambut syukur oleh teman-temannya.

Perjalanan tidak bisa maksimal, pandangan mata hanya sekitar tujuh meter. Hujan benar-benar deras, suasana gelap segera terjadi, ditambah dengan angin besar.

“Hati-hati, Dik!” pesan Misa.

“Siap,” sahut Dika dari kursi kemudi.

Entah kenapa tiba-tiba hati Misa merasa tidak enak, merasa akan ada sebuah hal buruk akan terjadi pada mereka. “Semoga hanya firasatku saja,” doa Misa dalam hati.

“Aduh, kenapa tadi tidak beli bensin pula, bodoh,” Dika membodoh-bodohkan dirinya sendiri.

“Memangnya habis isi mobilnya?” tanya Jimat.

“Mungkin masih bisa sampai rumah. Ah, sudahlah, masih ada cadangan di bagasi,” ujar Dika menenangkan teman-temannya.

Satu jam berlalu, dan mereka baru memasuki gapura desa. Desa itu tampak sepi, hujan-hujan begini tidak ada sama sekali kendaraan yang melintas kecuali mobil Dika.

Cittt...

Suara rem mobil....

“Astaghfirullah...”

Tiba-tiba Dika mengagetkan seisi mobil. “Ada apa, Dik?” tanya Misa.

“Kucing tadi, entah dari mana melintas begitu saja,” sahut Dika.

Jimat menerangkan, “Menurut kakekku, jika kita bertemu dengan kucing hitam di tengah jalan, maka kita dalam bahay...”

“Tidak usah diteruskan,” Aurel menghentikannya.

“Iya. Siapa pula kakekmu itu?” Misa menyahuti.

Jimat diam, mengerti keadaan saat ini.

“Tapi tidak apa-apa, kan, kucingnya?” tanya Aurel.

“Syukurlah, tidak apa-apa,” jawab Dika.

“Syukurlah,” timpal Misa.

Perjalanan kembali berlanjut, pelan-pelan merambat. Hujan semakin deras, bahkan sekarang Dika harus berhati-hati, memilih jalan yang tidak tergenang air berlebih. Ujian sebenarnya terjadi, jalanan tidak berbatu, hanya tanah kosongan. Ban mobil berputar-putar tidak mau berjalan. “Bagaimana ini?” tanya Dika pada teman-teman.

“Nunggu kering?” usul Aurel.

“Kita turun dan dorong,” usul Jimat.

Misa diam, tidak mengeluarkan pendapat.

“Heh, kamu bagaimana, Mis?” tanya Jimat sewot.

“Tidak tahu,” jawab Misa polos.

Jimat sedikit tersinggung, “Hai, kamu ketua kelompok ini, Mis. Mikir dikit, dong!”

Mendengar itu Dika tidak enak, “Sudah-sudah, jangan...”

Tapi keburu Misa marah, “Kamu kira aku tidak mikir sejak kemarin?”

“Mana buktinya?” Jimat tidak ingin kalah.

Misa terdiam, dia menangis, Aurel merangkulnya.

“Kenapa jadi gini, sih,” gerutu Dika pada dirinya sendiri. “Kita tunggu saja sampai hujannya reda,” lanjut Dika.

“Jimat keterlaluan kamu,” gerutu Aurel membela Misa.

Misa menenggelamkan diri dalam pelukan Aurel, tangisnya tidak berhenti. Ia tidak menyangka bahwa Jimat akan berkata demikian kepadanya.

Dan inilah awal sebuah misteri rumah tengah hutan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status