Share

Kucing Hitam

Author: Azka Taslimi
last update Last Updated: 2022-02-18 12:45:23

“Gorengannya berapaan, Bu?” tanya Misa pada ibu-ibu penjaga warung.

“Seribuan!” jawab ibu tanpa memandang Misa, tangannya lamban menyiapkan kopi entah untuk siapa.

“Wow, murah sekali, Mis,” ujar Aurel.

“Menurutku sama saja,” sahut Misa sembari memasukkan beberapa gorengan ke dalam plastik putih. Sepagi ini gorengan sudah siap, dan masih hangat.

“Sudah, bu, jadinya berapa?” tanya Misa.

Ibu tidak mendengar, lalu Aurel mengulanginya lagi, “Berapa totalnya, Bu?” Dengan nada yang lebih keras. Sama saja, ibu penjaga warung itu tidak mendengar panggilan Aurel.

Anehnya, ibu itu malah nyelonong pergi ke dapur, tanpa melihat Misa atau pun Aurel, mereka berdua kebingungan sendiri. “Hai, Bu!” Auerel setengah berteriak kembali memanggil.

“Hus, sudah, Rel. Mungkin dia ke kamar mandi sebentar,” ujar Misa.

Akhirnya mereka menunggu sembari duduk-duduk memainkan ponsel.

“Emang hp mu keluar sinyal, Mis?” tanya Aurel.

“Sama sekali tidak,” sahut Misa. “Aku hanya membalas-balas pesan saja dan menulis kabar kepada orang tua, biar nanti kalau ada sinyal bisa langsung kirim sendiri,” lanjutnya.

“Eh, ini sudah lima menit. Niat jualan apa nggak, sih, ibu itu?” gerutu Aurel.

Tapi tidak lama berselang dari luar warung terlihat ibu-ibu masuk, dia masih usia tiga puluhan. “Eh, maaf, Mbak, sudah lama menunggu?” tanya ibu itu.

“Ibu siapa?” Aurel bertanya begitu saja.

“Saya pemilik warung ini,” jawab ibu itu ramah.

“Lho? Kalau begitu ibu-ibu yang tadi  siapa?” tanya Misa.

“Siapa, Mbak?” ibu penjaga warung ikut penasaran.

Aurel menjelaskan, “Tadi sudah ada ibu-ibu yang menemui kita dan melayani. Tapi ketika kami akan membayar, dia pergi lewat pintu belakang, dan sampai saat ini belum kembali. Kami masih menunggunya.”

Ibu tertawa, “Ah, itu barangkali tetangga sini yang tidak sengaja masuk warung,” ibu menjelaskan.

Tapi sepertinya Misa menangkap hawa-hawa tidak jujur pada ibu itu. Ada sebuah rahasia kecil yang diseumbunyikan olehnya. Namun, Misa tidak mempunyai batasan untuk memaksa ibu itu agar berkata jujur kepadanya.

“Iya, sudah, jadinya berapa, Bu?” Misa akhirnya cukup memuaskan diri.

“Lima belas ribu,” jawab ibu.

Misa mengeluarkan uang pas, beberapa saat kemudian mereka berdua telah kembali lagi menuju rumah penginapan.

“Lama sekali ngapain saja?” Kedatangan mereka langsung disambut oleh Jimat yang sewot.

“Kayak gak tau wanita saja,” sahut Dika.

“Memangnya kamu tahu wanita, Dik?” tanya Jimat nyengir.

“Setidaknya aku lebih tau dari pada kamu,” jawab Dika, Jimat terdiam.

“Eh, ke pasar, yuk!” ajak Misa.

“Untuk?” tanya Dika.

“Beli lampu,” sahut Aurel.

Aurel mempunyai rencana untuk menceritakan kejadian di warung tadi. “Eh, kalian tahu ada peristiwa penting apa tadi di warung?” tanya Aurel.

“Eh, gak usah diceritakan, nanti malah Dika takut lagi,” sahut Misa cepat. Akhirnya Aurel diam, tidak jadi bercerita.

“Apa, sih?” Dika tidak terima.

“Ini masalah hantu, nanti malah kamu tidak berani ke luar,” sahut Misa.

Mereka berangkat menuju pasar, empat puluh lima menit perjalanan dengan mobil. Ketika mamasuki wilayah perkotaan, hati Misa riang tidak terkira. “Syukurlah, akhirnya semua pesan terkirim meski belum mendapatkan jawaban,” ujarnya dengan riang gembira. Yang lain juga demikian, kecuali Dika yang konsentrasi penuh mengedarai mobil.

“Halah, palingan juga chat dari group. Siapa, sih, yang ngechat jomblo?” Dika menyindir Jimat.

“Eh, gini-gini aku juga punya orang yang suka sama aku.” Jimat tidak terima.

“Hahahahah.” Aurel tertawa keras.

“Kasihan sekali jadi kamu, Mat!” kata Misa dengan raut wajah memelas.

“Kasihan? Kasihani diri sendiri sebelum mengasihani orang lain. Apa kabar JOMBLO!” Jimat meledek Misa dan benar, tepat pada sasaran. Misa benar-benar jomblo.

Misa diam, akhirnya semua diam. Lima menit berselang mereka sampai di pasar dan berbelanja seperlunya. Mereka tidak sadar bahwa sejak keluar dari desa tadi ada sepasang mata yang mengikutinya, tidak memberi celah sama sekali.

Pukul sepuluh mereka makan di sebuah warung pinggir jalan, mie ayam. Mereka tampak bahagia sekali sebelum nanti akhirnya akan menyambut tugas berat sebagai syarat kelulusan sarjana.

Hari ini matahari tidak terlalu bahagia, murung saja sejak pagi tadi. Awan hitam mengumpul di mana-mana, tapi tampaknya masih terlalu pagi untuk hujan turun. Namun begitu, tidak ada manusia yang bisa menghalangi kehendak Yang Maha Kuasa. Pukul setengah sebelas, ketika Misa menutup pintu mobil...

Brak...

Hujan turun dengan derasnya. “Untunglah sudah masuk mobil!” ujar Misa disambut syukur oleh teman-temannya.

Perjalanan tidak bisa maksimal, pandangan mata hanya sekitar tujuh meter. Hujan benar-benar deras, suasana gelap segera terjadi, ditambah dengan angin besar.

“Hati-hati, Dik!” pesan Misa.

“Siap,” sahut Dika dari kursi kemudi.

Entah kenapa tiba-tiba hati Misa merasa tidak enak, merasa akan ada sebuah hal buruk akan terjadi pada mereka. “Semoga hanya firasatku saja,” doa Misa dalam hati.

“Aduh, kenapa tadi tidak beli bensin pula, bodoh,” Dika membodoh-bodohkan dirinya sendiri.

“Memangnya habis isi mobilnya?” tanya Jimat.

“Mungkin masih bisa sampai rumah. Ah, sudahlah, masih ada cadangan di bagasi,” ujar Dika menenangkan teman-temannya.

Satu jam berlalu, dan mereka baru memasuki gapura desa. Desa itu tampak sepi, hujan-hujan begini tidak ada sama sekali kendaraan yang melintas kecuali mobil Dika.

Cittt...

Suara rem mobil....

“Astaghfirullah...”

Tiba-tiba Dika mengagetkan seisi mobil. “Ada apa, Dik?” tanya Misa.

“Kucing tadi, entah dari mana melintas begitu saja,” sahut Dika.

Jimat menerangkan, “Menurut kakekku, jika kita bertemu dengan kucing hitam di tengah jalan, maka kita dalam bahay...”

“Tidak usah diteruskan,” Aurel menghentikannya.

“Iya. Siapa pula kakekmu itu?” Misa menyahuti.

Jimat diam, mengerti keadaan saat ini.

“Tapi tidak apa-apa, kan, kucingnya?” tanya Aurel.

“Syukurlah, tidak apa-apa,” jawab Dika.

“Syukurlah,” timpal Misa.

Perjalanan kembali berlanjut, pelan-pelan merambat. Hujan semakin deras, bahkan sekarang Dika harus berhati-hati, memilih jalan yang tidak tergenang air berlebih. Ujian sebenarnya terjadi, jalanan tidak berbatu, hanya tanah kosongan. Ban mobil berputar-putar tidak mau berjalan. “Bagaimana ini?” tanya Dika pada teman-teman.

“Nunggu kering?” usul Aurel.

“Kita turun dan dorong,” usul Jimat.

Misa diam, tidak mengeluarkan pendapat.

“Heh, kamu bagaimana, Mis?” tanya Jimat sewot.

“Tidak tahu,” jawab Misa polos.

Jimat sedikit tersinggung, “Hai, kamu ketua kelompok ini, Mis. Mikir dikit, dong!”

Mendengar itu Dika tidak enak, “Sudah-sudah, jangan...”

Tapi keburu Misa marah, “Kamu kira aku tidak mikir sejak kemarin?”

“Mana buktinya?” Jimat tidak ingin kalah.

Misa terdiam, dia menangis, Aurel merangkulnya.

“Kenapa jadi gini, sih,” gerutu Dika pada dirinya sendiri. “Kita tunggu saja sampai hujannya reda,” lanjut Dika.

“Jimat keterlaluan kamu,” gerutu Aurel membela Misa.

Misa menenggelamkan diri dalam pelukan Aurel, tangisnya tidak berhenti. Ia tidak menyangka bahwa Jimat akan berkata demikian kepadanya.

Dan inilah awal sebuah misteri rumah tengah hutan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rumah Tengah Hutan   Adakah?

    Entah kenapa, malam ini, Rabu malam Kamis, saya disuruh menghadap kepada Kyai Shodiq. Kesalahan apa lagi yang saya kalukan sehingga disuruh menghadap beliau? Apakah sekarang sapinya yang hilang? Tidak mungkin.“Kang Akmal, ditimbali mbah Kyai.” Begitu kata salah satu teman saya.“Iya.” Jawab saya.Tergesa-gesa saya memakai baju lengan panjang, membenarkan sarung, mencari kopyah hitam saya. Sekarang sudah cukup malam, pukul setengah sepuluh. Tidak seperti biasanya mbah Kyai menimbali santrinya. Baiklah, saya akan segera menghadap beliau.Halaman ndalem terlihat sepi. Biasanya, dari halaman ndalem itu selalu terdengar suara tamu-tamu mbah Kyai membahas sebuah ilmu. Banyak sekali tamu mbah Kyai setiap harinya, hingga biasanya sampai larut malam. Tapi sepertinya tidak dengan malam ini, keadaan sudah sepi.Pintu utama ndalem mbah Kyai masih terbuka lebar, lampu menyala terang. Kondisi dalam juga sepi. Dari luar saya melihat disana hanya ada mbah Kyai dan gus Malik sedang membicarakan sesua

  • Rumah Tengah Hutan   Benarkah Demikian?

    Jadi begini kawan, kami sholat isya’ pula ketika bertemu dengan kakek yang entah siapa namanya. Dari pada nanti sibuk mencari air untuk wudzu lagi, lebih baik menunggu sejenak dan sudah tidak khawatir lagi.Sampai larut malam, kira-kira pukul sebelas malam, kami belum berhasil menemukan kambing mbah Kyai. Entah kemana kambing keparat itu pergi. Ah, karena kesalahan saya siang tadi, malam ini saya dan Alfin tidak mengikuti pengajian setelah maghrib dan isya’.Kami duduk di bawah pohon rindang tengah hutan, dengan penerangan satu senter yang sudah tidak terang lagi. Demi menghemat baterai, yang satu tidak kami nyalakan. Dingin tidak terkira dibawah pohon ini, banyak nyamuk pula. Jika bukan kambing mbah Kyai, maka sudah saya tinggalkan tempat ini sejak tadi.“Apakah kita akan tidur disini?” tanya Alfin padaku.“Yah, apakah kamu bisa tidur. Kalau aku mungkin bisa-bisa saja.”Saya sudah terbiasa dengan nyamuk banyak, hawa dingin, suasana gelap, namun tidak dengan tengah-tengah hutan. Waktu

  • Rumah Tengah Hutan   Merayakan Kehidupan

    Bukan sebuah waktu yang pendek bagi saya. Tiga tahun, waktu yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, serta memerlukan sebuah impian. Karena tiga tahun, masa yang akan datang tergambarkan.Menjadi santri itu berat, tidak sembarangan orang akan kuat. Berbagai ujian akan datang ketika seseorang mendatangi pesantren dengan niat mencari ilmu.Pertama, tentu harus siap bepisah dengan keluarga, teman-teman, dan orang terdekat lainnya. Bahkan, untuk anak yang tidak siap berpisah dengan orang tua, ujian pertama ini akan menjadi ujian terberat.Kedua, adalah peraturan-peraturan yang mengikat, terasa seperti mengekang santri. Mulai dari dilarang menonton televisi, sampai dilarang berhubungan dengan lawan jenis. Berat? Untuk yang sudah terbiasa melakukan, lalu datang ke pesantren, akan sulit meninggal-kan kebiasanan tersebut.Tiga, pesantren mengajarkan santrinya siap mlarat. Artinya, semua santri selama hidup dalam lingkungan pesantren harus hidup apa adanya, makan apa adanya, layaknya orang mlara

  • Rumah Tengah Hutan   Apakah Masih Ada?

    Bicara mengenai cita-cita, saya ingin menjadi manusia sungguhan. Apakah saat ini saya bukan manusia sungguhan? Bukan begitu maksudnya. Saya ingin menjadi orang sukses, banyak uang, mobil, dan hal-hal yang menandakan saya adalah orang kaya. Dalam sebuah karir, cita-cita saya adalah menjadi Ustadz, seperti Abdul Somad. Lc. terkenal. Setelah menikah saya ingin hidup bahagia dan membahagiakan keluarga saya. Anak-anak saya cerdas, pintar, dan mengikuti jejak langkah saya. Kemudian, setelah mati masuk surga. Ekspektasi banyak yang tidak sesuai dengan kondisi, berbeda pula dengan sebuah realisasi. Tapi diantara itu semua yang paling penting adalah menjalani. Banyak harapan, boleh saja, asalkan tidak membuat putus jalan.Cita-cita saya sangat luhur, bukan? Saya ingin menjadi orang yang bahagia dunia akhirat. Ketika hidup di dunia, saya ingin menjadi orang kaya, bahagia. Dan ketika mati nanti, masih nanti, masih lama, saya ingin menjadi orang yang masuk surga. Indah sekali dalam anganan.Ber

  • Rumah Tengah Hutan   Sulap Yang Membahagiakan

    Dua malam yang lalu, ketika aku berkunjung ke pasar malam, aku bertemu dengan seorang penjual buku yang seumuran denganku. Namanya adalah Adi. Sebenarnya aku tidak tahu di mana hebatnya dia, lagi pula aku juga belum mengerti banyak tentang hidupnya. Hanya saja sekarang aku tahu apa yang lebih darinya jika dibandingkan dengan diriku, Adi adalah seorang pekerja keras. Aku kagum dengannya.Sekarang aku tengah berada di ruang kelas, jam istirahat. Hari ini aku tidak pergi ke kantin, sebab ada yang aneh dengan mama sepagi ini, mama membawakanku bekal makanan, padahal dari rumah aku sudah sarapan. Hemm... tidak apa-apa, hitung-hitung untuk menghemat uang jajan. Lumayan, bisa untuk membeli komik atou novel-novel. Kenapa tidak buku pelajaran saja? Aku tidak terlalu suka membaca buku pelajaran. Lagi pula, aku merasa bahwa di dalam komik itu ada banyak sekali pelajaran yang bisa aku ambil, tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.Aku dan Zila makan bersama, memakan bekal yang diberikan mama

  • Rumah Tengah Hutan   Malam Hari

    Malam hari, pukul delapan, ketika waktu makan malam.Keluarga kami sudah berkumpul semua seperti biasa di meja makan, makan malam. Hari ini masih dengan suasana yang biasa, bahagia. Walaupun keluarga kami hanya tiga orang, kami sudah cukup lebih dari bahagia. Banyak di dunia ini orang yang ingin mempunyai keturunan, tapi Tuhan tidak menghendaki.“Bagaimana sekolah kamu, Nisa?” Papa bertanya kepadaku, yang duduk diseberang meja sendirian. Mama ikut menatapku dengan tatapan datar, dari seberang meja pula.“Eh, baik-baik saja, Pa.” Aku menjawab dengan sangat jujur, karena aku adalah anak yang jujur. Hehe …Papa menatapku sejenak, lalu bicara lagi kepadaku sambil menunggu Mama selesai mengisi piring Papa. “Papa kira hari ini kamu ada masalah, tidak seperti biasanya kamu banyak melamun seperti malam ini.”“Dari mana Papa tau?”“Eh, tau apanya? Beneran kamu ada masalah? Ceritakan saja, mungkin Mama dan Papa bisa bantu?” Papa malah salah tangkap kali ini. Bukan itu yang aku maksud, Pa, tapi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status