Home / Horor / Rumah Tengah Hutan / Malam Penuh Misteri

Share

Malam Penuh Misteri

Author: Azka Taslimi
last update Huling Na-update: 2022-02-12 13:43:19

“Jadi, apakah kami boleh menginap di sini, Kek?” tanya Dika pada seseorang yang rambutnya memutih, dia selalu tersenyum ramah kepada siapa saja.

“Silakan, kami selalu terbuka untuk para pendatang, khususnya yang akan membawa kebaikan pada desa kami,” kata kakek dengan nada tuanya, suara serak, di jari-jari tangan kanannya terselip rokok lintingan panjang, asap tebal mengepul ketika ia mengeluarkannya.

“Terima kasih,” kata Aurel ikut bahagia.

Meskipun sederhana, sepi, dan sepertinya angker, tapi rumah itu telah menyambut mereka dengan ramah. Kecuali sang nenek yang sedari tadi belum mengeluarkan senyumnya, ia berkata datar tanpa senyum. “Itu ada dua kamar kosong, kalian bisa menggunakannya!”

Jimat tidak sengaja menyahut, “Satu kamar untuk dua orang?”

Buru-buru Misa menyumpal mulut Jimat, “Terima kasih, semoga kami betah,” Misa berkata.

“Jika kalian tidak betah bisa pulang kapan pun,” ujar nenek.

Deg... Dika menangkap pesan kasar itu. Buru-buru dia berkata, “Kami akan betah!”

Pukul setengah dua belas malam akhirnya mereka masuk ke dalam kamar masing-masing. Ada dua kamar yang saling bersebelahan. Jimat bersama dengan Dika, sedang Aurel sekamar dengan Misa. Tidak ada lampu, hanya sinar dimar minyak tanah menjadi penerang, sinar kemerahannya bergerak-gerak ketika angin masuk lewat jendela.

“Gini amat kamarnya,” gerutu Aurel.

“Hus, masih untung kita mendapatkan tempat untuk menginap,” ujar Misa membuat Aurel semakin sebal.

“Iya, sih, mendapat tempat menginap, tapi berisik sekali suara katak itu.” Aurel menyumpal telinganya dengan jari-jari tangan. Dari belakang rumah, tepatnya dari sawah yang tergenang air hujan, memang suara katak keras sekali berbunyi. Tapi bagi Misa itu adalah suara yang enak didengarkan.

“Nikmati saja,” kata Misa sembari menjatuhkan diri di atas dipan.

Bruk...

Misa mengerang kesakitan, itu adalah dipan yang tidak ada kasurnya sama sekali. “Sakiitt,”

“Nikmati saja!” Aurel menirukan kata-kata Misa barusan.

Hanya selimut tergeletak di atasnya, juga selembar tikar pandan berwarna cokelat sedikit hijau terang. Untunglah, itu cukup nyaman di kulit meski pun nanti ketika bangun ada bekas-bekas tikar pada tubuh.

“Aduh, Mis, Misa..” Aurel mengerang kesakitan.

“Kenapa? Ada apa, Rel?” tanya Misa khawatir sembari mendekati Aurel.

“Perut aku... sepertinya aku akan beol,” ujar Aurel.

Misa memukul dahinya sendiri, tersenyum kecut. “Please, jangan sekarang, Rel! Kita tidak tahu di mana toiletnya.”

Aurel memegangi perutnya, sudah tidak tahan.

Preeeetttt...

Kentut Aurel keluar begitu saja, baunya tidak ada obat. “Aku benar-benar sudah tidak tahan, Mis!” kata Aurel memelas, ia duduk jongkok di atas lantai sembari memegangi perutnya.

“Terus?” tanya Misa gemas.

“Antar aku ke toilet!” Aurel menarik tangan Misa dengan tangan kanannya, tangan kiri memegangi perutnya sendiri.

“Emangnya kamu tahu di mana?” Misa bingung.

“Em... tidak, sih. Tapi ini keburu keluar anaknya.” Aurel menahan napas dengan harapan bisa lebih lama menunda beol.

“Keluar!” ajak Misa. Misa sendiri tidak tahu di mana letak toilet. Tapi setidaknya jika tidak tahu toiletnya di mana, Aurel bisa beol di mana saja, asalkan tidak di dalam kamar.

“Kamu tunggu di sini dulu, Rel, aku akan menari di mana toiletnya,” ujar Misa sembari membawa dimar minyak tanah di tangannya.

“Iya,” sahut Aurel setengah menahan sakit.

Misa berjalan menuju dapur. Di sana tidak ada sinar sama sekali. Ketika Misa datang barulah dapur berwarna kemerahan diterpa cahaya minyak tanah.

Deg...

Napas Misa berhenti sejenak ketika melihat sosok hitam di sana, matanya bersinar-sinar memantulkan sinar kemerahan dimar. Rambutnya putih, semuanya putih. Misa berteriak tertehan. Syukurlah ia segera sadar bahwa itu adalah nenek judes. Sedang apa dia di kegelapan seperti itu?

“Ada apa?” tanya nenek datar, dia tidak kaget sama sekali.

“Kami mau ke toilet, Nek. Di mana toiletnya?” tanya Misa gugup.

“Tidak ada toilet, adanya sungai belakang rumah.” Nenek berkata sambil berlalu, menuju kamarnya. Dia berjalan tanpa penerangan, anehnya dia bisa melihat dan tidak menabrak.

“Sungai?” tanya Misa pada diri sendiri. “Ngeri malam-malam seperti ini.”

Misa kembali ke depan, menemui Aurel yang jongkok dengan sinar minyak tanah dari ruang tengah. “Kamu menyapa dia apa tidak?” tanya Misa.

“Siapa?” tanya Aurel meringis.

“Nenek tua itu.”

Aurel memelotot, “Aku tidak melihatnya. Memangnya dari mana dia?”

“Dari dapur, aku hampir saja berteriak karena kaget tadi!” kata Misa mengingat kembali kejadian beberapa saat lalu.

“Tidak, aku tidak melihatnya. Udah, udah...”

Preeettt...

Aurel kembali kentut, suaranya memecah keheningan malam berbaur dengan suara kodok.

“Di mana toiletnya?” tanya Aurel terbata-bata.

“Sungai, tidak ada toilet,” kata Misa menarik tangan Aurel keluar rumah.

“Sungai?” tanya Aurel tidak percaya.

“Iya. Diam, nanti ada yang dengar.” Misa menyuruh Aurel diam. Malam itu memang hening, tidak ada suara. Misa khawatir jika Aurel berkata keras nanti akan membangunkan yang lain, dan mereka pula yang malu.

“Tapi aku takut, Mis,” gerutu Aurel juga mengeluh.

“Tidak apa-apa, dari pada beol di kamar,” sahut Misa.

Tung... tong... tung... tong...

Terdengar suara katak saling bersahutan, menambah syahdu suasana. Cahaya minyak tanah yang dibawa Misa terombang-ambingkan angin basah sisa hujan. Masih ada butiran-butiran kecil air dari langit yang turun, mengharuskan Misa melindungi dimarnya agar tidak padam oleh air tersebut.

“Di mana, Mis?”

“Di sana!” Misa menunjuk sungai. Di atas sungai itu ada sebuah ruang sederhana yang dibuat dari anyaman bambu. Di situlah warga tepian sungai itu mandi dan buang hajat.

“Aku malu, Mis,” keluh Aurel.

“Pada siapa?” tanya Misa.

“Nanti kalau tiba-tiba ada orang datang bagaimana?”

“Aku akan menunggu di situ.” Misa menunjuk sebuah batu besar tidak jauh dari ruang sederhana itu.

Aurel setengah takut setengah malu akhirnya berjalan pelan menuju bangunan sederhana itu. “Ih, gelap kali, Mis. Boleh aku bawa lampunya?” tanya Aurel.

Misa berjalan memberikan dimar minyak tanah kepada Aurel. Setelah itu Misa duduk di atas batu, di balik gelapnya malam. Samar-samar dia melihat Aurel masuk di balik bangunan anyaman bambu itu. Sebenarnya Aurel takut, namun dipaksa oleh perutnya. Misa sendiri juga tidak kalah takut.

“Mis, Misa!” terdengar Aurel memanggil Misa.

“Iya, ada apa?” sahut suara di balik kegelapan.

“Jangan pergi, jangan jauh-jauh, aku takut!” pinta Aurel.

“Aku di sini.” Misa memastikan.

Lima menit akhirnya Aurel selesai. Ia keluar dari ruangan itu, setengah celananya basah oleh air sungai yang deras.

Tiba-tiba Aurel melihat sosok putih berdiri di balik sungai, di seberang sungai. “Aaa...” Aurel berteriak.

“Eh, ada apa, Rel?” Cepat-cepat Misa mendekat, tapi bebatuan sungai yang terjal membuat jalannya tidak bisa cepat.

“Hantuuu..” Aurel berteriak lagi.

“Di mana?” Misa menengok kanan-kiri, tidak ada apa-apa.

“Itu.” Aurel menunjuk sawah.

“Ya Tuhan, Aurela Putri Laksmana, itu bukan hantu. Itu orang-orangan sawah.” Misa tertawa, bersaing dengan suara gemuruh sungai.

“HA? Yang benar kamu, Mis?” Aurel melihat kembali hantu itu dan benar, itu adalah orang-orangan sawah. “Oh, iya. Aku yang terlalu penakut,” kata Aurel cengengesan.

“Makanya lain kali kam...” Misa tidak bisa meneruskan kata-katanya, matanya melihat sosok wanita di samping orang-orangan sawah. Matanya menyala merah, rambut panjangnya menyentuh dedaunan hijau padi. “Ayo kita kembali!” ajak Misa tanpa memberi tahu Aurel bahwa ia melihat hantu.

“Kenapa? Kamu melihat hantu?” tebak Aurel.

“Tidak. Dingin, ngantuk pula aku.” Misa melangkah terlebih dahulu.

Mereka kembali ke dalam rumah dengan jantung bergetar. Mereka berdua sama-sama takutnya, tapi memang tidak ada pilihan lain.

“Mis, besok pagi kita beli lampu di kota aja, ya,” usul Aurel.

“Benar. Kita harus beli lampu yang bisa diisi ulang,” sahut Misa.

Keduanya telah berbaring di dalam kamar, di atas dipan kayu bertikar daun pandan. “Emangnya isi dayanya di mana?” tanya Misa.

“Aku kira di mobil Dika bisa, deh.”

“Tapi...” Misa berhenti bicara.

Tok... tok... tok...

Pintu diketuk dari luar. Siapa malam-malam seperti ini mengetuk pintu mereka?

Misa berinisiatif untuk mengintip dari lubang pintu. Ia melangkah mendekati pintu.

“Mau ke mana, Mis?” tanya Aurel.

“Hus, diam!” tukas Misa.

Mata Misa dia tempelkan di lubang pintu, dan seketika itu juga...

“Aaa..”

Ia kaget setengah mati.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Rumah Tengah Hutan   Adakah?

    Entah kenapa, malam ini, Rabu malam Kamis, saya disuruh menghadap kepada Kyai Shodiq. Kesalahan apa lagi yang saya kalukan sehingga disuruh menghadap beliau? Apakah sekarang sapinya yang hilang? Tidak mungkin.“Kang Akmal, ditimbali mbah Kyai.” Begitu kata salah satu teman saya.“Iya.” Jawab saya.Tergesa-gesa saya memakai baju lengan panjang, membenarkan sarung, mencari kopyah hitam saya. Sekarang sudah cukup malam, pukul setengah sepuluh. Tidak seperti biasanya mbah Kyai menimbali santrinya. Baiklah, saya akan segera menghadap beliau.Halaman ndalem terlihat sepi. Biasanya, dari halaman ndalem itu selalu terdengar suara tamu-tamu mbah Kyai membahas sebuah ilmu. Banyak sekali tamu mbah Kyai setiap harinya, hingga biasanya sampai larut malam. Tapi sepertinya tidak dengan malam ini, keadaan sudah sepi.Pintu utama ndalem mbah Kyai masih terbuka lebar, lampu menyala terang. Kondisi dalam juga sepi. Dari luar saya melihat disana hanya ada mbah Kyai dan gus Malik sedang membicarakan sesua

  • Rumah Tengah Hutan   Benarkah Demikian?

    Jadi begini kawan, kami sholat isya’ pula ketika bertemu dengan kakek yang entah siapa namanya. Dari pada nanti sibuk mencari air untuk wudzu lagi, lebih baik menunggu sejenak dan sudah tidak khawatir lagi.Sampai larut malam, kira-kira pukul sebelas malam, kami belum berhasil menemukan kambing mbah Kyai. Entah kemana kambing keparat itu pergi. Ah, karena kesalahan saya siang tadi, malam ini saya dan Alfin tidak mengikuti pengajian setelah maghrib dan isya’.Kami duduk di bawah pohon rindang tengah hutan, dengan penerangan satu senter yang sudah tidak terang lagi. Demi menghemat baterai, yang satu tidak kami nyalakan. Dingin tidak terkira dibawah pohon ini, banyak nyamuk pula. Jika bukan kambing mbah Kyai, maka sudah saya tinggalkan tempat ini sejak tadi.“Apakah kita akan tidur disini?” tanya Alfin padaku.“Yah, apakah kamu bisa tidur. Kalau aku mungkin bisa-bisa saja.”Saya sudah terbiasa dengan nyamuk banyak, hawa dingin, suasana gelap, namun tidak dengan tengah-tengah hutan. Waktu

  • Rumah Tengah Hutan   Merayakan Kehidupan

    Bukan sebuah waktu yang pendek bagi saya. Tiga tahun, waktu yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, serta memerlukan sebuah impian. Karena tiga tahun, masa yang akan datang tergambarkan.Menjadi santri itu berat, tidak sembarangan orang akan kuat. Berbagai ujian akan datang ketika seseorang mendatangi pesantren dengan niat mencari ilmu.Pertama, tentu harus siap bepisah dengan keluarga, teman-teman, dan orang terdekat lainnya. Bahkan, untuk anak yang tidak siap berpisah dengan orang tua, ujian pertama ini akan menjadi ujian terberat.Kedua, adalah peraturan-peraturan yang mengikat, terasa seperti mengekang santri. Mulai dari dilarang menonton televisi, sampai dilarang berhubungan dengan lawan jenis. Berat? Untuk yang sudah terbiasa melakukan, lalu datang ke pesantren, akan sulit meninggal-kan kebiasanan tersebut.Tiga, pesantren mengajarkan santrinya siap mlarat. Artinya, semua santri selama hidup dalam lingkungan pesantren harus hidup apa adanya, makan apa adanya, layaknya orang mlara

  • Rumah Tengah Hutan   Apakah Masih Ada?

    Bicara mengenai cita-cita, saya ingin menjadi manusia sungguhan. Apakah saat ini saya bukan manusia sungguhan? Bukan begitu maksudnya. Saya ingin menjadi orang sukses, banyak uang, mobil, dan hal-hal yang menandakan saya adalah orang kaya. Dalam sebuah karir, cita-cita saya adalah menjadi Ustadz, seperti Abdul Somad. Lc. terkenal. Setelah menikah saya ingin hidup bahagia dan membahagiakan keluarga saya. Anak-anak saya cerdas, pintar, dan mengikuti jejak langkah saya. Kemudian, setelah mati masuk surga. Ekspektasi banyak yang tidak sesuai dengan kondisi, berbeda pula dengan sebuah realisasi. Tapi diantara itu semua yang paling penting adalah menjalani. Banyak harapan, boleh saja, asalkan tidak membuat putus jalan.Cita-cita saya sangat luhur, bukan? Saya ingin menjadi orang yang bahagia dunia akhirat. Ketika hidup di dunia, saya ingin menjadi orang kaya, bahagia. Dan ketika mati nanti, masih nanti, masih lama, saya ingin menjadi orang yang masuk surga. Indah sekali dalam anganan.Ber

  • Rumah Tengah Hutan   Sulap Yang Membahagiakan

    Dua malam yang lalu, ketika aku berkunjung ke pasar malam, aku bertemu dengan seorang penjual buku yang seumuran denganku. Namanya adalah Adi. Sebenarnya aku tidak tahu di mana hebatnya dia, lagi pula aku juga belum mengerti banyak tentang hidupnya. Hanya saja sekarang aku tahu apa yang lebih darinya jika dibandingkan dengan diriku, Adi adalah seorang pekerja keras. Aku kagum dengannya.Sekarang aku tengah berada di ruang kelas, jam istirahat. Hari ini aku tidak pergi ke kantin, sebab ada yang aneh dengan mama sepagi ini, mama membawakanku bekal makanan, padahal dari rumah aku sudah sarapan. Hemm... tidak apa-apa, hitung-hitung untuk menghemat uang jajan. Lumayan, bisa untuk membeli komik atou novel-novel. Kenapa tidak buku pelajaran saja? Aku tidak terlalu suka membaca buku pelajaran. Lagi pula, aku merasa bahwa di dalam komik itu ada banyak sekali pelajaran yang bisa aku ambil, tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.Aku dan Zila makan bersama, memakan bekal yang diberikan mama

  • Rumah Tengah Hutan   Malam Hari

    Malam hari, pukul delapan, ketika waktu makan malam.Keluarga kami sudah berkumpul semua seperti biasa di meja makan, makan malam. Hari ini masih dengan suasana yang biasa, bahagia. Walaupun keluarga kami hanya tiga orang, kami sudah cukup lebih dari bahagia. Banyak di dunia ini orang yang ingin mempunyai keturunan, tapi Tuhan tidak menghendaki.“Bagaimana sekolah kamu, Nisa?” Papa bertanya kepadaku, yang duduk diseberang meja sendirian. Mama ikut menatapku dengan tatapan datar, dari seberang meja pula.“Eh, baik-baik saja, Pa.” Aku menjawab dengan sangat jujur, karena aku adalah anak yang jujur. Hehe …Papa menatapku sejenak, lalu bicara lagi kepadaku sambil menunggu Mama selesai mengisi piring Papa. “Papa kira hari ini kamu ada masalah, tidak seperti biasanya kamu banyak melamun seperti malam ini.”“Dari mana Papa tau?”“Eh, tau apanya? Beneran kamu ada masalah? Ceritakan saja, mungkin Mama dan Papa bisa bantu?” Papa malah salah tangkap kali ini. Bukan itu yang aku maksud, Pa, tapi

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status