“Jadi, apakah kami boleh menginap di sini, Kek?” tanya Dika pada seseorang yang rambutnya memutih, dia selalu tersenyum ramah kepada siapa saja.
“Silakan, kami selalu terbuka untuk para pendatang, khususnya yang akan membawa kebaikan pada desa kami,” kata kakek dengan nada tuanya, suara serak, di jari-jari tangan kanannya terselip rokok lintingan panjang, asap tebal mengepul ketika ia mengeluarkannya.
“Terima kasih,” kata Aurel ikut bahagia.
Meskipun sederhana, sepi, dan sepertinya angker, tapi rumah itu telah menyambut mereka dengan ramah. Kecuali sang nenek yang sedari tadi belum mengeluarkan senyumnya, ia berkata datar tanpa senyum. “Itu ada dua kamar kosong, kalian bisa menggunakannya!”
Jimat tidak sengaja menyahut, “Satu kamar untuk dua orang?”
Buru-buru Misa menyumpal mulut Jimat, “Terima kasih, semoga kami betah,” Misa berkata.
“Jika kalian tidak betah bisa pulang kapan pun,” ujar nenek.
Deg... Dika menangkap pesan kasar itu. Buru-buru dia berkata, “Kami akan betah!”
Pukul setengah dua belas malam akhirnya mereka masuk ke dalam kamar masing-masing. Ada dua kamar yang saling bersebelahan. Jimat bersama dengan Dika, sedang Aurel sekamar dengan Misa. Tidak ada lampu, hanya sinar dimar minyak tanah menjadi penerang, sinar kemerahannya bergerak-gerak ketika angin masuk lewat jendela.
“Gini amat kamarnya,” gerutu Aurel.
“Hus, masih untung kita mendapatkan tempat untuk menginap,” ujar Misa membuat Aurel semakin sebal.
“Iya, sih, mendapat tempat menginap, tapi berisik sekali suara katak itu.” Aurel menyumpal telinganya dengan jari-jari tangan. Dari belakang rumah, tepatnya dari sawah yang tergenang air hujan, memang suara katak keras sekali berbunyi. Tapi bagi Misa itu adalah suara yang enak didengarkan.
“Nikmati saja,” kata Misa sembari menjatuhkan diri di atas dipan.
Bruk...
Misa mengerang kesakitan, itu adalah dipan yang tidak ada kasurnya sama sekali. “Sakiitt,”
“Nikmati saja!” Aurel menirukan kata-kata Misa barusan.
Hanya selimut tergeletak di atasnya, juga selembar tikar pandan berwarna cokelat sedikit hijau terang. Untunglah, itu cukup nyaman di kulit meski pun nanti ketika bangun ada bekas-bekas tikar pada tubuh.
“Aduh, Mis, Misa..” Aurel mengerang kesakitan.
“Kenapa? Ada apa, Rel?” tanya Misa khawatir sembari mendekati Aurel.
“Perut aku... sepertinya aku akan beol,” ujar Aurel.
Misa memukul dahinya sendiri, tersenyum kecut. “Please, jangan sekarang, Rel! Kita tidak tahu di mana toiletnya.”
Aurel memegangi perutnya, sudah tidak tahan.
Preeeetttt...
Kentut Aurel keluar begitu saja, baunya tidak ada obat. “Aku benar-benar sudah tidak tahan, Mis!” kata Aurel memelas, ia duduk jongkok di atas lantai sembari memegangi perutnya.
“Terus?” tanya Misa gemas.
“Antar aku ke toilet!” Aurel menarik tangan Misa dengan tangan kanannya, tangan kiri memegangi perutnya sendiri.
“Emangnya kamu tahu di mana?” Misa bingung.
“Em... tidak, sih. Tapi ini keburu keluar anaknya.” Aurel menahan napas dengan harapan bisa lebih lama menunda beol.
“Keluar!” ajak Misa. Misa sendiri tidak tahu di mana letak toilet. Tapi setidaknya jika tidak tahu toiletnya di mana, Aurel bisa beol di mana saja, asalkan tidak di dalam kamar.
“Kamu tunggu di sini dulu, Rel, aku akan menari di mana toiletnya,” ujar Misa sembari membawa dimar minyak tanah di tangannya.
“Iya,” sahut Aurel setengah menahan sakit.
Misa berjalan menuju dapur. Di sana tidak ada sinar sama sekali. Ketika Misa datang barulah dapur berwarna kemerahan diterpa cahaya minyak tanah.
Deg...
Napas Misa berhenti sejenak ketika melihat sosok hitam di sana, matanya bersinar-sinar memantulkan sinar kemerahan dimar. Rambutnya putih, semuanya putih. Misa berteriak tertehan. Syukurlah ia segera sadar bahwa itu adalah nenek judes. Sedang apa dia di kegelapan seperti itu?
“Ada apa?” tanya nenek datar, dia tidak kaget sama sekali.
“Kami mau ke toilet, Nek. Di mana toiletnya?” tanya Misa gugup.
“Tidak ada toilet, adanya sungai belakang rumah.” Nenek berkata sambil berlalu, menuju kamarnya. Dia berjalan tanpa penerangan, anehnya dia bisa melihat dan tidak menabrak.
“Sungai?” tanya Misa pada diri sendiri. “Ngeri malam-malam seperti ini.”
Misa kembali ke depan, menemui Aurel yang jongkok dengan sinar minyak tanah dari ruang tengah. “Kamu menyapa dia apa tidak?” tanya Misa.
“Siapa?” tanya Aurel meringis.
“Nenek tua itu.”
Aurel memelotot, “Aku tidak melihatnya. Memangnya dari mana dia?”
“Dari dapur, aku hampir saja berteriak karena kaget tadi!” kata Misa mengingat kembali kejadian beberapa saat lalu.
“Tidak, aku tidak melihatnya. Udah, udah...”
Preeettt...
Aurel kembali kentut, suaranya memecah keheningan malam berbaur dengan suara kodok.
“Di mana toiletnya?” tanya Aurel terbata-bata.
“Sungai, tidak ada toilet,” kata Misa menarik tangan Aurel keluar rumah.
“Sungai?” tanya Aurel tidak percaya.
“Iya. Diam, nanti ada yang dengar.” Misa menyuruh Aurel diam. Malam itu memang hening, tidak ada suara. Misa khawatir jika Aurel berkata keras nanti akan membangunkan yang lain, dan mereka pula yang malu.
“Tapi aku takut, Mis,” gerutu Aurel juga mengeluh.
“Tidak apa-apa, dari pada beol di kamar,” sahut Misa.
Tung... tong... tung... tong...
Terdengar suara katak saling bersahutan, menambah syahdu suasana. Cahaya minyak tanah yang dibawa Misa terombang-ambingkan angin basah sisa hujan. Masih ada butiran-butiran kecil air dari langit yang turun, mengharuskan Misa melindungi dimarnya agar tidak padam oleh air tersebut.
“Di mana, Mis?”
“Di sana!” Misa menunjuk sungai. Di atas sungai itu ada sebuah ruang sederhana yang dibuat dari anyaman bambu. Di situlah warga tepian sungai itu mandi dan buang hajat.
“Aku malu, Mis,” keluh Aurel.
“Pada siapa?” tanya Misa.
“Nanti kalau tiba-tiba ada orang datang bagaimana?”
“Aku akan menunggu di situ.” Misa menunjuk sebuah batu besar tidak jauh dari ruang sederhana itu.
Aurel setengah takut setengah malu akhirnya berjalan pelan menuju bangunan sederhana itu. “Ih, gelap kali, Mis. Boleh aku bawa lampunya?” tanya Aurel.
Misa berjalan memberikan dimar minyak tanah kepada Aurel. Setelah itu Misa duduk di atas batu, di balik gelapnya malam. Samar-samar dia melihat Aurel masuk di balik bangunan anyaman bambu itu. Sebenarnya Aurel takut, namun dipaksa oleh perutnya. Misa sendiri juga tidak kalah takut.
“Mis, Misa!” terdengar Aurel memanggil Misa.
“Iya, ada apa?” sahut suara di balik kegelapan.
“Jangan pergi, jangan jauh-jauh, aku takut!” pinta Aurel.
“Aku di sini.” Misa memastikan.
Lima menit akhirnya Aurel selesai. Ia keluar dari ruangan itu, setengah celananya basah oleh air sungai yang deras.
Tiba-tiba Aurel melihat sosok putih berdiri di balik sungai, di seberang sungai. “Aaa...” Aurel berteriak.
“Eh, ada apa, Rel?” Cepat-cepat Misa mendekat, tapi bebatuan sungai yang terjal membuat jalannya tidak bisa cepat.
“Hantuuu..” Aurel berteriak lagi.
“Di mana?” Misa menengok kanan-kiri, tidak ada apa-apa.
“Itu.” Aurel menunjuk sawah.
“Ya Tuhan, Aurela Putri Laksmana, itu bukan hantu. Itu orang-orangan sawah.” Misa tertawa, bersaing dengan suara gemuruh sungai.
“HA? Yang benar kamu, Mis?” Aurel melihat kembali hantu itu dan benar, itu adalah orang-orangan sawah. “Oh, iya. Aku yang terlalu penakut,” kata Aurel cengengesan.
“Makanya lain kali kam...” Misa tidak bisa meneruskan kata-katanya, matanya melihat sosok wanita di samping orang-orangan sawah. Matanya menyala merah, rambut panjangnya menyentuh dedaunan hijau padi. “Ayo kita kembali!” ajak Misa tanpa memberi tahu Aurel bahwa ia melihat hantu.
“Kenapa? Kamu melihat hantu?” tebak Aurel.
“Tidak. Dingin, ngantuk pula aku.” Misa melangkah terlebih dahulu.
Mereka kembali ke dalam rumah dengan jantung bergetar. Mereka berdua sama-sama takutnya, tapi memang tidak ada pilihan lain.
“Mis, besok pagi kita beli lampu di kota aja, ya,” usul Aurel.
“Benar. Kita harus beli lampu yang bisa diisi ulang,” sahut Misa.
Keduanya telah berbaring di dalam kamar, di atas dipan kayu bertikar daun pandan. “Emangnya isi dayanya di mana?” tanya Misa.
“Aku kira di mobil Dika bisa, deh.”
“Tapi...” Misa berhenti bicara.
Tok... tok... tok...
Pintu diketuk dari luar. Siapa malam-malam seperti ini mengetuk pintu mereka?
Misa berinisiatif untuk mengintip dari lubang pintu. Ia melangkah mendekati pintu.
“Mau ke mana, Mis?” tanya Aurel.
“Hus, diam!” tukas Misa.
Mata Misa dia tempelkan di lubang pintu, dan seketika itu juga...
“Aaa..”
Ia kaget setengah mati.
“Hai, kenapa malam-malam malah bikin orang kaget, sih?” gerutu Misa yang mengintip dari lubang pintu dan mendapati Dika di sana.Dika membuka paksa pintu kamar, dia terlihat buru-buru. Pintu kamar itu memang tidak dikunci, memang tidak ada kuncinya. Jadi, mudah saja bagi Dika untuk masuk.“Aku boleh tidur di sini, gak?” tanya Dika ketakutan.“Eh, kamarmu sendiri kenapa?” tanya Misa penasaran.“Aku takut. Aku tadi melihat hantu di jendala kamar, aku takut,” jawab Dika segera mendudukkan diri di atas dipan, di samping Aurel. Misa dan Aurel tidak bisa mengelak bahwa Dika melihat hantu, pasalnya mereka berdua juga sudah merasakan hal yang demikian beberapa saat lalu. Syukurlah, ternyata hantu yang dilihat Aurel hanya orang-orangan sawah dan hansip yang tengah berjaga.“Boleh, tapi di bawah,” ujar Misa. “Lalu bagaimana dengan Jimat?” tanya Misa.“Dia baik-
“Gorengannya berapaan, Bu?” tanya Misa pada ibu-ibu penjaga warung.“Seribuan!” jawab ibu tanpa memandang Misa, tangannya lamban menyiapkan kopi entah untuk siapa.“Wow, murah sekali, Mis,” ujar Aurel.“Menurutku sama saja,” sahut Misa sembari memasukkan beberapa gorengan ke dalam plastik putih. Sepagi ini gorengan sudah siap, dan masih hangat.“Sudah, bu, jadinya berapa?” tanya Misa.Ibu tidak mendengar, lalu Aurel mengulanginya lagi, “Berapa totalnya, Bu?” Dengan nada yang lebih keras. Sama saja, ibu penjaga warung itu tidak mendengar panggilan Aurel.Anehnya, ibu itu malah nyelonong pergi ke dapur, tanpa melihat Misa atau pun Aurel, mereka berdua kebingungan sendiri. “Hai, Bu!” Auerel setengah berteriak kembali memanggil.“Hus, sudah, Rel. Mungkin dia ke kamar mandi sebentar,” ujar Misa.Akhirnya mereka menunggu sembari duduk-dudu
Pukul satu siang akhirnya mereka sampai di rumah kakek tua. Mereka disambut dengan hidangan sederhana dan nenek marah-marah. “Dari mana saja kalian lama sekali?” “Maaf, Nek, kami dari pasar dan tadi di tengah hutan mobil kami bannya nancap di tanah.” Dika menjelaskan. “Sekarang kalian makanlah apa adanya!” perintah kakek dengan perhatian penuh. “Baik, Kek!” Jimat menyambut paling semangat. Misa bersungut-sungut melihat tingkah Jimat, masih tersisa marah di dalam hatinya. “Sudah, Mis. Marahnya dilanjut nanti saja, sekarang makan dulu,” bujuk Aurel dengan suara lirih, hampir berbisik di telinga kanannya. “Iya.” Mereka makan siang bersama, nenek dan kakek pergi ke belakang. Sebenarnya perut mereka belum terlalu lapar kembali. Hanya saja karena tadi di dalam hutan hampir satu jam, maka mereka merasakan sebuah kegabutan yang luar biasa. “Ini baru masakan organik.” Jimat berkomentar dengan mulut penuh makanan. Mereka makan de
“Jangan! Jangan bunuh aku! Jangan bunuh aku!” teriak Jimat dari balik selimut.Tubuhnya basah dengan keringat dingin, lehernya dicekik oleh tangan dingin dari belakang. Selimut telah hilang jatuh ke bawah, angin bertiup kencang membuka jendela kayu. Jimat berharap teman-temannya akan segera datang membantunya. Namun tangan dingin itu sekarang mengeratkan cekikan pada lehernya, sehingga dia tidak bisa berteriak sama sekali. Napasnya tidak beraturan, hidungnya disumpal oleh beberapa jari dari belakang. Tangan dingin semakin mengeratkan cekikan, Jimat mati-matian mempertahankan hidup dan berusaha bernapas.“Jangan, jangan bunuh aku! Aku mohon!” Jimat mengeluarkan suara seraknya, hampir tidak ada yang mendengar.Tiba-tiba pintu dibuka dari luar, Misa datang membawa lampu putih ditangannya.“Pergi kau! Ini bukan waktunya untuk bermain-main!” ujar Misa. Sekejap, angin berhenti, terdengar suara hujan yang damai, jendela menutu
“Aku harap kita bisa memulai misi ini dengan kekompakan, agar cepat selesai dan mendapatkan hasil sesuai dengan harapan!” ujar Misa kepada teman-temannya di halaman rumah.Mereka membawa masing-masing tas punggung berisi segala peralatan dan kebutuhan. Pertama yang akan mereka lakukan adalah meninjau tempat peribadatan warga. Tidak bisa dipungkiri bahwa agama adalah hal pokok yang menandai peradaban suatu bangsa, termasuk juga kepercayaan. Namun sejak pertama kali menginjakkan kaki di desa tersebut, mereka tidak melihat tempat ibadah sama sekali. Tidak ada masjid, tidak ada gereja, tidak ada tempat ibadah lain. Apakah desa itu tidak mengenal agama?“Iya, benar apa yang kamu katakan, Mis!” sahut Aurel. “Kita adalah sebuah tim yang harus menjaga kekompakan,” lanjutnya.Rencananya mereka akan mendatangi ketua RT untuk mencari keterangan singkat darinya. Misa memimpin perjalanan. Mereka sudah menanyakan rumah pak RT dari kakek, da
Keringat dingin mengucur dari pelipis Dika. Wajahnya pucat, kakinya masih merasakan sentuhan hantu yang dimaksudkannya.“Ada apa, Dik?” tanya Misa pelan, ia mendekati Dika yang berada di kursi seberang meja.“Hantu!” Dika menunjuk bawah meja dengan kedipan matanya.“Mana?” tanya Misa belum mengerti dengan isyarat Dika.“Di bawah meja,” sahut Dika cepat.Misa menurunkan pandangan, hampir saja dia memukul Dika karena tingkahnya.“Itu kucing, bagaimana, sih?” Misa sedikit geram dan marah.“Ha? Kucing? Jelas-jelas itu hantu!” Dika mengelak.Misa memaksa Dika menurunkan pandangannya dan melihat bawah meja. “Hantu...” terika Dika lagi setelah melihat bawah meja.“Astaghfirullah...” Misa berucap dan geleng-geleng kepala. Pak RT tertawa pelan melihat tingkah Dika.Benar, Dika memang melihat hantu di bawah meja itu, hantu yang t
“Kenapa, sih, Dik?” tanya Aurel sepulangnya mereka dari rumah pak RT. Mereka berdua duduk-duduk santai di teras rumah, semilir angin menemani pada teriknya matahari.“Entahlah, Rel. Aku pikir aku baik-baik saja, tidak ada yang salah denganku. Tapi entah kenapa, orang-orang sepertinya menganggapku tidak waras.” Mata Dika memandang langit di kejauhan, sinar matahari lamat-lamat menerobos sela dedaunan.“Aku tidak menyalahkanmu, Dik. Tapi, aku juga tidak bisa membenarkanmu. Aku rasa kamu terlalu terbawa suasana tadi malam.” Aurel berusaha mengingatkan Dika dengan cara halus.“Terima kasih. Semoga kita baik-baik saja.” Harapan Dika.Mereka makan siang, memakan masakan yang disajikan oleh nenek. Ternyata nenek tidak seburuk yang dia bayangkan, dia baik hati, hanya saja sedikit cuek dengan keadaan yang terjadi. Rasa cueknya lebih mengarah pada rasa takut, bukan sebuah benci.Dika teringat kata-kata nenek ke
“Misa, kamu tidak apa-apa?” Aurel cepat membantu Misa.Misa tidak bisa berkata apa-apa, dia masih shok. Sebuah dahan pohon jati patah dan jatuh begitu saja. Dia benar-benar kaget dan tidak akan menyangka. Untunglah beberapa saat sebelum pohon jatuh nenek datang. Entah dari mana atau akan ke mana dia, datangnya benar-benar dalam waktu yang tepat. Nenek mendorong tubuh Misa sehingga terhindar dari runtuhan dahan jati.“Kenapa kalian ke sini?” tanya nenek dengan suara tuanya, serak-serak basah namun cukup jelas.Jimat menjawab, “Kami tengah melakukan penelitian, Nek!”Nenek geleng-geleng kepala. “Begitu pentingkah ijasah bagi kalian sehingga mempertaruhkan nyawa?” Nenek tidak menduga.Misa menjawab, “Semua ini adalah tugas, Nek!”Setelah itu nenek pergi begitu saja meninggalkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak akan terjawab. Dika sekarang mengerti maksud bisikan yang berkata kepada dir