Share

Rumah Tengah Hutan
Rumah Tengah Hutan
Penulis: Azka Taslimi

Rumah Tengah Hutan

Jika kalian mengira bahwa dimensi ruang itu hanya satu, maka adalah sebuah kesalahan besar. Dimensi tidak terkira jumlahnya, hanya saja kita tidak atau belum mengenalnya. Tahukah kalian bahwa bangsa Jin itu bisa hidup bahkan sampai dua ribu tahun? Tahukah kalian bahwa satu hari pada hari manusia, itu sama dengan satu tahun dalam waktu Jin? Atau, tahukah kalian bahwa di bawah tanah sana ada sebuah bangsa yang telah membodohi manusia bahwa yang membuat gempa adalah pergerakan lempeng? Merekalah yang menjadikan gempa bumi, dan novel ini akan menguak tabir misteri tersebut.

***

“Apakah semua sudah siap?” tanya Misa selaku ketua rombongan kecil itu.

Mereka berkumpul dan berangkat dari rumah Misa, pukul setengah tujuh malam. Mereka menuju sebuah desa yang telah ditetapkan oleh dosen pembimbing. Dika, akan menjadi sopir mobil pribadi ayahnya yang mereka pinjam.

Rombongan itu berjumlah empat mahasiswa. Misa, Dika, Aurel, dan Jimat. Sebenarnya nama Jimat bukanlah nama asli, aslinya Rahmat. Namun karena rambutnya panjang, dan dia suka hal-hal gaib, maka teman-temannya memanggil dia dengan sebutan Jimat, hampir mirip dengan nama aslinya.

“Semua sudah siap!” teriak Dika dari belakang mobil, dia telah selesai menaikkan semua kebutuhan yang akan dibawa.

Brak...

Dika menutup keras pintu belakang mobil, semua kebutuhan telah dimasukkan.

“Ibu, aku berangkat dahulu!” pamit Misa kepada ibunya.

“Aku juga berangkat dulu, Tante!” ujar Aurel menyalami ibunya Misa.

“Oke, aku juga!” Jimat menyusul.

Dika telah duduk di balik kemudi, dia akan menjadi sopir selama semalaman penuh. Beberapa saat kemudian mesin mobil terdengar berteriak nyaring, mobil itu setengah tua namun terawat.

Berangkat dari Jogja menuju Ngawi setidaknya membutuhkan waktu sekitar tiga jam, itu pun jika perjalanan benar-benar lancar.

“Semoga selamat sampai tujuan!” ujar Misa dari kursi depan, ia duduk di samping Dika yang mengemudi.

“Amin!” Aurel menyahuti.

“Amin!” Jimat bersuara.

“Tidak terasa sebentar lagi kita akan wisuda. Tidak terasa empat tahun panjang menjadi mahasiswa.” Dika mengemudikan mobilnya dengan santai, 80km per jam.

“Iya, tidak terasa juga kita semakin tua!” sahut Misa.

Pukul setengah sepuluh mereka sampai di perbatasan Ngawi, beberapa ratus meter di depan sana mereka akan memasuki wilayah Ngawi. Jalanan gelap, sebentar lagi hujan akan turun, lidah api menyambar-nyambar di atas sana, gemuruh meledak-ledak.

“Buka g****e map, Misa!” perintah Dika kepada Misa.

“Siap!” sahut Misa, dia cekatan mengetikkan alamat tujuan yang diberikan oleh dosen pembimbing.

“Nah, pertigaan depan itu belok kanan!” ujar Misa memberikan aba-aba kepada Dika.

“Jangan sampai salah baca map, Misa!” Jimat dari belakang memperingatkan. “Nanti masuk sungai lagi!” Dia cengengesan. Yang lain tidak berniat untuk bercanda, lelah juga mengantuk.

“Belok kiri!” Misa sedikit mengantuk.

Lima belas menit pertama menggunakan map biasa-biasa saja. Namun beberapa menit kemudian hal aneh mulai terjadi. Lihatlah! Di depan sana ada sebuah gapura bertuliskan “Pemakaman Umum Desa Srikandi!”.

“Hai, Misa! Kenapa kita malah menuju makam?” Dika bertanya geram.

Jimat dan Aurel membelalakkan mata, kepalanya sedikit mendongak ke depan.

“Aku juga tidak tahu, aku hanya mengikuti map ini!” Misa beralasan menunjukkan mapnya.

“Coba kamu cek lagi!” ujar Dika.

Tapi tiba-tiba...

“Aaaa...” Misa berteriak. Sontak Dika menyalakan lampu dalam mobil.

“Kamu kenapa, Misa?” tanya Dika kebingungan.

“Kenapa?” Jimat mengangkat kepala lebih maju.

“Itu, walpaper aku berganti gambar pocong sendiri!” Misa menunjuk handphonenya yang terjatuh.

Dika tidak percaya, dia mengambil handphone Misa dan menyalakannya.

“Hahahha, kamu malah bercanda, Misa!” Dika tertawa keras. “Ini, mah, gambar Jimat lagi makan! Hahaha” Dika tertawa lagi.

Misa tidak percaya, ia menarik handphone itu dari tangan Dika, menyalakannya dan benar, itu adalah gambar Jimat sedang makan, mulutnya penuh dengan makanan.

“Benar, aku tidak bohong, jelas-jelas itu tadi gambar pocong!” ujar Misa masih tidak percaya dengan poto Jimat.

“Heh, itu tadi gambar Jimat.” Sekali lagi Dika meyakinkan.

“Tega amat kamu, Mis!” Jimat cemberut sebab Misa menyamakan dirinya dengan pocong.

“Ha... ha... hantu...” Tiba-tiba Aurel dari kursi belakang berteriak.

“Mana hantunya?” tanya Jimat antusias, dia tidak lagi cemberut.

Aurel tidak berani membuka mata, ia membenamkan matanya pada pangkuan. “Di sana!” Aurel menunjuk makam dengan tangan kanannya.

“Hahaha,” kali ini Jimat yang tertawa, “itu hansip lagi ronda, Rel!” katanya.

“Bukan, itu hantu!” Aurel tetap tidak berani membuka mata.

“Aurel, itu benar hansip lagi ronda!” ujar Dika dari depan. Misa menahan tawanya.

Barulah beberapa saat kemudian Aurel berani membuka mata, dan dia melihat bahwa itu adalah hansip makam, wajahnya seram.

“Apakah sudah menemukan jalan yang benar, Misa?” tanya Dika.

“Jangan sampai salah lagi!” Jimat mengingatkan.

“Iya, iya. Namanya juga manusia,” gerutu Misa tidak merasa bersalah.

Mobil memutar balik, Dika sedikit kesal dengan Misa.

Dalam perjalanan otak Misa sedikit ngeblank. Dia masih membenarkan apa yang dia lihat, bahwa walpaper handphonenya benar-benar gambar pocong, bukan Jimat. Lagi pula siapa yang mengganti walpaper yang sebelumnya gambar bunga menjadi gambar Jimat? Aneh, batin Misa.

“Mungkin hp mu sudah minta adik, Mis!” Dika memberikan kemungkinan terbaik.

“Belum, lah. Baru saja dua bulan lalu aku ganti hp ini,” Misa mengelak.

“Hp China, tuh!” Jimat berkomentar.

“Memangnya hp kamu apa?” tanya Misa sinis.

“Bercanda kali, Mis. Hp ku Asus, buatan Korea!” sahut Jimat.

“HA? Memangnya ada Asus buatan Korea?” Aurel angkat bicara.

“Sudah, sudah. Gitu saja jadi masalah!” Dika menyuruh mereka berhenti.

Jalanan gelap. Di depan sana tampak sebuah pertigaan yang di tengah-tengahnya ada ban besar. “Belok kanan,” Misa memberikan aba-aba.

“Yang benar?” tanya Dika menyelidik.

“Benar,” sahut Misa datar.

Pukul sepuluh malam, keadaan gelap dan sepi. Bahkan saat ini hujan, kaca mobil tertutup rapat.

“Nah, alamat ini menunjukkan rumah di depan itu,” seru Misa ketika melihat sebuah rumah di depan sana, samar-samar beradu dengan derasnya hujan, pandangan kabur.

“Kita akan menginap di rumah tua itu?” tanya Aurel tidak enak.

“Tidak apa-apa, yang penting sebentar lagi kita menjadi sarjana!” ujar Dika. Dia selalu teropsesi dengan hal-hal besar.

“Untunglah dari pada menginap di pemakaman,” ujar Jimat, matanya melirik Misa.

“Ih, kamu nyebelin banget, deh, Jim!” Misa menggerutu.

“Lagian kamu...” Suara Jimat terputus, dari depan sana tampak seseorang berjalan mendekati mobil, tidak menggunakan payung, rambutnya panjang, putih.

“Siapa dia?” tanya Misa entah kepada siapa.

“Kalau aku tahu pasti aku akan menjawab,” sahut Jimat, dia benar-benar menyebalkan malam ini.

Orang tua itu mendekat, dia berjalan dengan tongkat sebagai penopang, jalannya membungkuk. Orang tua itu semakin mendekat.

Tok... tok... tok...

Kaca mobil diketuk tiga kali dari luar. Dika ragu antara membukanya atau tidak. Jika dia membuka kaca, maka akan dipastikan jika air hujan akan masuk ke dalam mobil meski tidak banyak. Namun jika ia tidak membukanya, maka akan tidak sopan dengan orang tua itu.

“Buka aja, Dik!” Misa menyuruh.

Dika akhirnya membuka kaca mobil, hanya setengah.

“Haa..” Tiba-tiba Dika berteriak.

“Ada apa, Dik?” tanya Misa bingung.

“Tidak apa-apa, aku hanya kaget,” sahut Dika, lalu dia kembali menghadap orang di luar mobil. “Ada apa, Pak?” Dika memberanikan diri bertanya.

“Kalian sudah ditunggu di dalam rumah itu!” kata suara dari luar, suaranya serak. Ketika berkata ia memasukkan sebagian kepalanya ke dalam mobil, membuat Dika sedikit menarik kepalanya.

“Terima kasih,” ujar Dika demi sopan santun.

Tanpa menunggu lama orang tua itu segera pergi. Dika menatapnya dari spion mobil. Aneh, orang itu tiba-tiba saja menghilang, tanpa jejak.

“Tadi kamu kenapa, Dik?” tanya Misa lagi.

“Enggak, gak papa. Tadi aku kaget saja, mata orang itu hanya satu!” ujar Dika.

Tiga teman Dika tidak percaya. Aurel berkata, “Tidak, aku melihat matanya dua.”

“Iya, aku juga melihatnya dua,” sahut Misa. “Kalau kamu, Jim?” tanya Misa pada Jimat, ia menoleh ke belakang.

“Dua,” jawab Jimat singkat.

“Berarti aku yang salah lihat!” Dika mengalah, namun dalam hati ia tetap yakin bahwa mata orang tua bungkuk itu hanya satu, satunya lagi kosong.

Dika menginjak gas mobil, memasukkan mobil pada halaman rumah yang luas itu. Tampak dari dalam sinar kemerahan, dan itu adalah lampu minyak tanah. Desa itu belum ada listrik, masih menggunakan minyak tanah sebagai penerang malam.

“Ayo kita turun!” ajak Dika setelah mobil diparkirnya di bawah pohon beringin di tengah-tengah halaman. Tidak ada tempat parkir yang lebih baik dari itu. Mereka berlarian menuju teras rumah, menutupkan tas kecil pada kepala agar terhindar dari hujan. Air hujan muncrat-muncrat ketika mereka menginjaknya.

Di balik pintu mengintiplah seorang perempuan tua, mengawasi dengan mata waspada dan tidak suka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status