Beranda / Horor / Rumah Tengah Hutan / Rana Anak Nakal

Share

Rana Anak Nakal

Penulis: Azka Taslimi
last update Terakhir Diperbarui: 2022-02-14 15:42:49

“Hai, kenapa malam-malam malah bikin orang kaget, sih?” gerutu Misa yang mengintip dari lubang pintu dan mendapati Dika di sana.

Dika membuka paksa pintu kamar, dia terlihat buru-buru. Pintu kamar itu memang tidak dikunci, memang tidak ada kuncinya. Jadi, mudah saja bagi Dika untuk masuk.

“Aku boleh tidur di sini, gak?” tanya Dika ketakutan.

“Eh, kamarmu sendiri kenapa?” tanya Misa penasaran.

“Aku takut. Aku tadi melihat hantu di jendala kamar, aku takut,” jawab Dika segera mendudukkan diri di atas dipan, di samping Aurel.  

Misa dan Aurel tidak bisa mengelak bahwa Dika melihat hantu, pasalnya mereka berdua juga sudah merasakan hal yang demikian beberapa saat lalu. Syukurlah, ternyata hantu yang dilihat Aurel hanya orang-orangan sawah dan hansip yang tengah berjaga.

“Boleh, tapi di bawah,” ujar Misa. “Lalu bagaimana dengan Jimat?” tanya Misa.

“Dia baik-baik saja di kamar, tidur,” jawab Dika cepat, wajahnya pucat, benar-benar pucat.

“Oke. Tidur, udah malam,” ujar Misa.

“Eh, Dik, kamu laki tapi takut juga ya dengan hantu,” cibir Aurel.

“Emangnya kalau laki gak boleh takut hantu?” Dika membaringkan diri di atas selimut yang sempat ia bawa lari dari kamar.

Malam berjalan dengan lambatnya. Dika sesekali terbangun, melihat jendela, melihat kolong tempat tidur, sesekali melihat bagian bawah pintu yang berlubang. Dika benar-benar tidak nyenyak tidur malam itu hingga sampai akhirnya ia benar tidur pukul tiga dini hari. Keringat dingin membasahi keningnya. Rasanya selalu ada yang mengawasinya, tapi entah dari arah mana dia tidak tahu.

Pukul setengah enam pagi Misa bangun dari tidurnya dan segera membangunkan Aurel. “Bangun, sudah pagi!” Misa menggoyang-goyangkan tubuh Aurel, sekejap tubuh itu hanya menggeliat.

“Jam berapa, sih? Masih dingin banget,” Aurel merapatkan selimutnya.

“Setengah enam, bangun!” Misa memaksa menarik selimut Misa.

Mereka keluar rumah dan berjalan menuju sungai belakang rumah. Dika belum bangun, ngorok keras di samping dipan.

"Dingin sekali, Mis!” keluh Aurel ketika melewati kandang kambing dengan beberapa kambing di dalamnya, mereka mengembik semangat menyambut hari.

Mbek... mbek.. mbek...

“Namanya juga pagi, di desa pula,” sahut Misa.

Lima menit berjalan, akhirnya mereka sampai di sungai. Tidak banyak orang tua, kebanyakan adalah anak-anak yang mandi karena akan berangkat sekolah. Rupanya sungai itu tidak hanya digunakan untuk mandi dan mencuci, bahkan digunakan juga untuk minum dan memasak.

“Eh, sepertinya ada yang aneh, deh, Mis!” mata Aurel menyelidik, pandangannya memutari sawa di seberang sungai.

“Apa?” tanya Misa biasa saja, tidak merasa ada yang aneh.

“Kamu ingat tadi malam?” tanya Aurel.

“Ingat. Kenapa?”

“Ke mana hilangnya orang-orangan sawah tadi malam? Bukankah tadi malam di situ?” Aurel menunjuk sebuah pojok sawah.

“Eh, benar juga yang kamu katakan, Rel? Ke mana perginya?” Misa juga bingung, kepalanya memutari segala penjuru sawah.

“Atau jangan-jangan...” Aurel menebak-nebak, menggantung katanya.

“Udah-udah, mungkin sudah dipindah sama yang punya sawah!" Misa mengambil kesimpulan yang paling logis dan tidak menakutkan.

Air sungai sedikit keruh, pengaruh dari hujan deras dan panjang tadi malam. Kendati demikian, air tersebut masih layak digunakan untuk mencuci muka, mandi, dan mencuci pakaian. Tapi mungkin ketika akan digunakan untuk air minum harus didiamkan beberapa saat sampai kotorannya mengendap.

“Wow, baru kali ini aku merasakan air dingin bukan dari kulkas,” Aurel berdecak kagum.

“Yang bener? Memangnya kamu tidak pernah ke air terjun?” sahut Misa dengan pertanyaan.

“Boro-boro, liburan aja setahun sekali.” Aurel cemberut mengingat keluarganya yang tidak suka liburan.

Beberapa anak kecil yang tengah mandi telanjang memperhatikan mereka, mereka adalah orang asing yang pagi ini adalah pagi pertamanya.

“Hai, adik-adik!” sapa Aurel sok akrab. Ia berjalan mendekati anak-anak itu.

“Apa gak dingin pagi-pagi seperti ini mandi?” tanya Aurel polos.

“Tidak, mbak! Kami sudah terbiasa,” jawab salah satu dari mereka.

Tapi di antara sekian banyak anak di sana, ada satu anak perempuan yang menjauh dari gerombolan, Misa mendekatinya. “Jangan, Mbak! Dia itu nakal!” teriak salah satu anak ketika mengetahui bahwa Misa mendekati anak perempuan itu, rambutnya panjang.

“Tidak apa-apa. Kasihan dia, tidak ada temannya,” ujar Misa berjalan pelan,

Celana Misa bagian bawah basah oleh derasnya aliran sungai. “Hai, kamu sendirian saja!” sapa Misa ketika dekat dengan anak itu.

Anak itu menghadapkan wajah kepada Misa, ada raut kesedihan yang mendalam pada wajahnya, dan itu adalah kesan pertama yang Misa tangkap dari gadis kecil itu.

“Iya, Mbak!” jawabnya lirih.

“Nama kamu siapa?” tanya Misa mencoba lebih dekat dan duduk di sebuah batu, di samping gadis cilik.

“Rana, Mbak. Nama mbak siapa?” Anak itu menyebutkan diri dengan nama Rana.

Misa memperkenalkan diri, “Nama aku, Misa.”

Mereka berdua berjabat tangan dengan keadaan tangan basah. “Enak, ya, hidup di desa ini,” kata Misa memandang anak yang tengah mandi itu. Dia menenggelamkan sebagian tubuhnya di dalam air.

“Tidak, Mbak. Orangnya nakal-nakal, tidak ada yang baik dengan aku,” kata Rana selayaknya anak-anak.

Misa diam, tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya beberapa saat ia menemukan tema pembicaraan baru, tentang sekolah Rana. “Rana kelas berapa?"

"Enam, mau lulus tahun depan!” sahutnya.

Pagi itu Misa berkenalan dengan anak gadis yang anak-anak lain bilang dia nakal. Menurut misa tidak juga. Akhirnya Misa dan Aurel pulang bersama dengan gadis kecil, beriringan di jalanan tanah berbatu.

“Kamu tinggal dengan siapa?” tanya Misa.

“Dengan nenek,” jawabnya singkat.

“Orang tua kamu?” sahut Aurel.

“Mereka sudah lama meninggal!”

Misa dan Aurel sama-sama terdiam mendengar jawaban anak itu. Mereka tidak mengira bahwa anak kecil seperti itu sudah tidak mempunyai bapak dan ibu, hanya tinggal dengan neneknya. Kemungkinan besar kakeknya juga sudah meninggal, jadi buru-buru Misa mengalihkan pembicaraan.

“Apa cita-citamu, Rana?”

“Aku ingin menjadi dokter,” jawabnya singkat. Sekarang Misa mengerti bahwa Rana tidak suka berbicara panjang lebar, entah masih malu atau itu adalah sifat aslinya.

“Mbak baru ya, di sini?” tanya Rana.

Aurel yang menjawab, “Iya, kami adalah pendatang, baru tadi malam datang. Kami berasal dari Jogja!”

“Oh, begitu.”

Di persimpangan jalan mereka berpisah. Ketika sampai di rumah, ternyata Dika dan Jimat sudah bangun. Mereka asyik menikmati kopi hangat di depan rumah, entah siapa yang membuatkan.

“Siapa yang buat?” tanya Aurel.

“Aku beli, dong,” sahut Jimat semangat menunjukkan kopi hitam hangatnya.

“Eh, di mana warungnya?” tanya Misa, ia ingin membeli sesuatu pula.

“Di sana, jalan itu belok kiri lalu belok lagi kanan. Nah, di samping kiri jalan ada sebuah warung kecil.” Jimat menjelaskan.

“Oh,” Misa dan Aurel masuk ke dalam rumah, mengambil uang untuk membeli sesuatu.

Di sana nantilah mereka akan menemukan sebuah keanehan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Rumah Tengah Hutan   Adakah?

    Entah kenapa, malam ini, Rabu malam Kamis, saya disuruh menghadap kepada Kyai Shodiq. Kesalahan apa lagi yang saya kalukan sehingga disuruh menghadap beliau? Apakah sekarang sapinya yang hilang? Tidak mungkin.“Kang Akmal, ditimbali mbah Kyai.” Begitu kata salah satu teman saya.“Iya.” Jawab saya.Tergesa-gesa saya memakai baju lengan panjang, membenarkan sarung, mencari kopyah hitam saya. Sekarang sudah cukup malam, pukul setengah sepuluh. Tidak seperti biasanya mbah Kyai menimbali santrinya. Baiklah, saya akan segera menghadap beliau.Halaman ndalem terlihat sepi. Biasanya, dari halaman ndalem itu selalu terdengar suara tamu-tamu mbah Kyai membahas sebuah ilmu. Banyak sekali tamu mbah Kyai setiap harinya, hingga biasanya sampai larut malam. Tapi sepertinya tidak dengan malam ini, keadaan sudah sepi.Pintu utama ndalem mbah Kyai masih terbuka lebar, lampu menyala terang. Kondisi dalam juga sepi. Dari luar saya melihat disana hanya ada mbah Kyai dan gus Malik sedang membicarakan sesua

  • Rumah Tengah Hutan   Benarkah Demikian?

    Jadi begini kawan, kami sholat isya’ pula ketika bertemu dengan kakek yang entah siapa namanya. Dari pada nanti sibuk mencari air untuk wudzu lagi, lebih baik menunggu sejenak dan sudah tidak khawatir lagi.Sampai larut malam, kira-kira pukul sebelas malam, kami belum berhasil menemukan kambing mbah Kyai. Entah kemana kambing keparat itu pergi. Ah, karena kesalahan saya siang tadi, malam ini saya dan Alfin tidak mengikuti pengajian setelah maghrib dan isya’.Kami duduk di bawah pohon rindang tengah hutan, dengan penerangan satu senter yang sudah tidak terang lagi. Demi menghemat baterai, yang satu tidak kami nyalakan. Dingin tidak terkira dibawah pohon ini, banyak nyamuk pula. Jika bukan kambing mbah Kyai, maka sudah saya tinggalkan tempat ini sejak tadi.“Apakah kita akan tidur disini?” tanya Alfin padaku.“Yah, apakah kamu bisa tidur. Kalau aku mungkin bisa-bisa saja.”Saya sudah terbiasa dengan nyamuk banyak, hawa dingin, suasana gelap, namun tidak dengan tengah-tengah hutan. Waktu

  • Rumah Tengah Hutan   Merayakan Kehidupan

    Bukan sebuah waktu yang pendek bagi saya. Tiga tahun, waktu yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, serta memerlukan sebuah impian. Karena tiga tahun, masa yang akan datang tergambarkan.Menjadi santri itu berat, tidak sembarangan orang akan kuat. Berbagai ujian akan datang ketika seseorang mendatangi pesantren dengan niat mencari ilmu.Pertama, tentu harus siap bepisah dengan keluarga, teman-teman, dan orang terdekat lainnya. Bahkan, untuk anak yang tidak siap berpisah dengan orang tua, ujian pertama ini akan menjadi ujian terberat.Kedua, adalah peraturan-peraturan yang mengikat, terasa seperti mengekang santri. Mulai dari dilarang menonton televisi, sampai dilarang berhubungan dengan lawan jenis. Berat? Untuk yang sudah terbiasa melakukan, lalu datang ke pesantren, akan sulit meninggal-kan kebiasanan tersebut.Tiga, pesantren mengajarkan santrinya siap mlarat. Artinya, semua santri selama hidup dalam lingkungan pesantren harus hidup apa adanya, makan apa adanya, layaknya orang mlara

  • Rumah Tengah Hutan   Apakah Masih Ada?

    Bicara mengenai cita-cita, saya ingin menjadi manusia sungguhan. Apakah saat ini saya bukan manusia sungguhan? Bukan begitu maksudnya. Saya ingin menjadi orang sukses, banyak uang, mobil, dan hal-hal yang menandakan saya adalah orang kaya. Dalam sebuah karir, cita-cita saya adalah menjadi Ustadz, seperti Abdul Somad. Lc. terkenal. Setelah menikah saya ingin hidup bahagia dan membahagiakan keluarga saya. Anak-anak saya cerdas, pintar, dan mengikuti jejak langkah saya. Kemudian, setelah mati masuk surga. Ekspektasi banyak yang tidak sesuai dengan kondisi, berbeda pula dengan sebuah realisasi. Tapi diantara itu semua yang paling penting adalah menjalani. Banyak harapan, boleh saja, asalkan tidak membuat putus jalan.Cita-cita saya sangat luhur, bukan? Saya ingin menjadi orang yang bahagia dunia akhirat. Ketika hidup di dunia, saya ingin menjadi orang kaya, bahagia. Dan ketika mati nanti, masih nanti, masih lama, saya ingin menjadi orang yang masuk surga. Indah sekali dalam anganan.Ber

  • Rumah Tengah Hutan   Sulap Yang Membahagiakan

    Dua malam yang lalu, ketika aku berkunjung ke pasar malam, aku bertemu dengan seorang penjual buku yang seumuran denganku. Namanya adalah Adi. Sebenarnya aku tidak tahu di mana hebatnya dia, lagi pula aku juga belum mengerti banyak tentang hidupnya. Hanya saja sekarang aku tahu apa yang lebih darinya jika dibandingkan dengan diriku, Adi adalah seorang pekerja keras. Aku kagum dengannya.Sekarang aku tengah berada di ruang kelas, jam istirahat. Hari ini aku tidak pergi ke kantin, sebab ada yang aneh dengan mama sepagi ini, mama membawakanku bekal makanan, padahal dari rumah aku sudah sarapan. Hemm... tidak apa-apa, hitung-hitung untuk menghemat uang jajan. Lumayan, bisa untuk membeli komik atou novel-novel. Kenapa tidak buku pelajaran saja? Aku tidak terlalu suka membaca buku pelajaran. Lagi pula, aku merasa bahwa di dalam komik itu ada banyak sekali pelajaran yang bisa aku ambil, tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.Aku dan Zila makan bersama, memakan bekal yang diberikan mama

  • Rumah Tengah Hutan   Malam Hari

    Malam hari, pukul delapan, ketika waktu makan malam.Keluarga kami sudah berkumpul semua seperti biasa di meja makan, makan malam. Hari ini masih dengan suasana yang biasa, bahagia. Walaupun keluarga kami hanya tiga orang, kami sudah cukup lebih dari bahagia. Banyak di dunia ini orang yang ingin mempunyai keturunan, tapi Tuhan tidak menghendaki.“Bagaimana sekolah kamu, Nisa?” Papa bertanya kepadaku, yang duduk diseberang meja sendirian. Mama ikut menatapku dengan tatapan datar, dari seberang meja pula.“Eh, baik-baik saja, Pa.” Aku menjawab dengan sangat jujur, karena aku adalah anak yang jujur. Hehe …Papa menatapku sejenak, lalu bicara lagi kepadaku sambil menunggu Mama selesai mengisi piring Papa. “Papa kira hari ini kamu ada masalah, tidak seperti biasanya kamu banyak melamun seperti malam ini.”“Dari mana Papa tau?”“Eh, tau apanya? Beneran kamu ada masalah? Ceritakan saja, mungkin Mama dan Papa bisa bantu?” Papa malah salah tangkap kali ini. Bukan itu yang aku maksud, Pa, tapi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status