“Hai, kenapa malam-malam malah bikin orang kaget, sih?” gerutu Misa yang mengintip dari lubang pintu dan mendapati Dika di sana.
Dika membuka paksa pintu kamar, dia terlihat buru-buru. Pintu kamar itu memang tidak dikunci, memang tidak ada kuncinya. Jadi, mudah saja bagi Dika untuk masuk.
“Aku boleh tidur di sini, gak?” tanya Dika ketakutan.
“Eh, kamarmu sendiri kenapa?” tanya Misa penasaran.
“Aku takut. Aku tadi melihat hantu di jendala kamar, aku takut,” jawab Dika segera mendudukkan diri di atas dipan, di samping Aurel.
Misa dan Aurel tidak bisa mengelak bahwa Dika melihat hantu, pasalnya mereka berdua juga sudah merasakan hal yang demikian beberapa saat lalu. Syukurlah, ternyata hantu yang dilihat Aurel hanya orang-orangan sawah dan hansip yang tengah berjaga.
“Boleh, tapi di bawah,” ujar Misa. “Lalu bagaimana dengan Jimat?” tanya Misa.
“Dia baik-baik saja di kamar, tidur,” jawab Dika cepat, wajahnya pucat, benar-benar pucat.
“Oke. Tidur, udah malam,” ujar Misa.
“Eh, Dik, kamu laki tapi takut juga ya dengan hantu,” cibir Aurel.
“Emangnya kalau laki gak boleh takut hantu?” Dika membaringkan diri di atas selimut yang sempat ia bawa lari dari kamar.
Malam berjalan dengan lambatnya. Dika sesekali terbangun, melihat jendela, melihat kolong tempat tidur, sesekali melihat bagian bawah pintu yang berlubang. Dika benar-benar tidak nyenyak tidur malam itu hingga sampai akhirnya ia benar tidur pukul tiga dini hari. Keringat dingin membasahi keningnya. Rasanya selalu ada yang mengawasinya, tapi entah dari arah mana dia tidak tahu.
Pukul setengah enam pagi Misa bangun dari tidurnya dan segera membangunkan Aurel. “Bangun, sudah pagi!” Misa menggoyang-goyangkan tubuh Aurel, sekejap tubuh itu hanya menggeliat.
“Jam berapa, sih? Masih dingin banget,” Aurel merapatkan selimutnya.
“Setengah enam, bangun!” Misa memaksa menarik selimut Misa.
Mereka keluar rumah dan berjalan menuju sungai belakang rumah. Dika belum bangun, ngorok keras di samping dipan.
"Dingin sekali, Mis!” keluh Aurel ketika melewati kandang kambing dengan beberapa kambing di dalamnya, mereka mengembik semangat menyambut hari.
Mbek... mbek.. mbek...
“Namanya juga pagi, di desa pula,” sahut Misa.
Lima menit berjalan, akhirnya mereka sampai di sungai. Tidak banyak orang tua, kebanyakan adalah anak-anak yang mandi karena akan berangkat sekolah. Rupanya sungai itu tidak hanya digunakan untuk mandi dan mencuci, bahkan digunakan juga untuk minum dan memasak.
“Eh, sepertinya ada yang aneh, deh, Mis!” mata Aurel menyelidik, pandangannya memutari sawa di seberang sungai.
“Apa?” tanya Misa biasa saja, tidak merasa ada yang aneh.
“Kamu ingat tadi malam?” tanya Aurel.
“Ingat. Kenapa?”
“Ke mana hilangnya orang-orangan sawah tadi malam? Bukankah tadi malam di situ?” Aurel menunjuk sebuah pojok sawah.
“Eh, benar juga yang kamu katakan, Rel? Ke mana perginya?” Misa juga bingung, kepalanya memutari segala penjuru sawah.
“Atau jangan-jangan...” Aurel menebak-nebak, menggantung katanya.
“Udah-udah, mungkin sudah dipindah sama yang punya sawah!" Misa mengambil kesimpulan yang paling logis dan tidak menakutkan.
Air sungai sedikit keruh, pengaruh dari hujan deras dan panjang tadi malam. Kendati demikian, air tersebut masih layak digunakan untuk mencuci muka, mandi, dan mencuci pakaian. Tapi mungkin ketika akan digunakan untuk air minum harus didiamkan beberapa saat sampai kotorannya mengendap.
“Wow, baru kali ini aku merasakan air dingin bukan dari kulkas,” Aurel berdecak kagum.
“Yang bener? Memangnya kamu tidak pernah ke air terjun?” sahut Misa dengan pertanyaan.
“Boro-boro, liburan aja setahun sekali.” Aurel cemberut mengingat keluarganya yang tidak suka liburan.
Beberapa anak kecil yang tengah mandi telanjang memperhatikan mereka, mereka adalah orang asing yang pagi ini adalah pagi pertamanya.
“Hai, adik-adik!” sapa Aurel sok akrab. Ia berjalan mendekati anak-anak itu.
“Apa gak dingin pagi-pagi seperti ini mandi?” tanya Aurel polos.
“Tidak, mbak! Kami sudah terbiasa,” jawab salah satu dari mereka.
Tapi di antara sekian banyak anak di sana, ada satu anak perempuan yang menjauh dari gerombolan, Misa mendekatinya. “Jangan, Mbak! Dia itu nakal!” teriak salah satu anak ketika mengetahui bahwa Misa mendekati anak perempuan itu, rambutnya panjang.
“Tidak apa-apa. Kasihan dia, tidak ada temannya,” ujar Misa berjalan pelan,
Celana Misa bagian bawah basah oleh derasnya aliran sungai. “Hai, kamu sendirian saja!” sapa Misa ketika dekat dengan anak itu.
Anak itu menghadapkan wajah kepada Misa, ada raut kesedihan yang mendalam pada wajahnya, dan itu adalah kesan pertama yang Misa tangkap dari gadis kecil itu.
“Iya, Mbak!” jawabnya lirih.
“Nama kamu siapa?” tanya Misa mencoba lebih dekat dan duduk di sebuah batu, di samping gadis cilik.
“Rana, Mbak. Nama mbak siapa?” Anak itu menyebutkan diri dengan nama Rana.
Misa memperkenalkan diri, “Nama aku, Misa.”
Mereka berdua berjabat tangan dengan keadaan tangan basah. “Enak, ya, hidup di desa ini,” kata Misa memandang anak yang tengah mandi itu. Dia menenggelamkan sebagian tubuhnya di dalam air.
“Tidak, Mbak. Orangnya nakal-nakal, tidak ada yang baik dengan aku,” kata Rana selayaknya anak-anak.
Misa diam, tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya beberapa saat ia menemukan tema pembicaraan baru, tentang sekolah Rana. “Rana kelas berapa?"
"Enam, mau lulus tahun depan!” sahutnya.
Pagi itu Misa berkenalan dengan anak gadis yang anak-anak lain bilang dia nakal. Menurut misa tidak juga. Akhirnya Misa dan Aurel pulang bersama dengan gadis kecil, beriringan di jalanan tanah berbatu.
“Kamu tinggal dengan siapa?” tanya Misa.
“Dengan nenek,” jawabnya singkat.
“Orang tua kamu?” sahut Aurel.
“Mereka sudah lama meninggal!”
Misa dan Aurel sama-sama terdiam mendengar jawaban anak itu. Mereka tidak mengira bahwa anak kecil seperti itu sudah tidak mempunyai bapak dan ibu, hanya tinggal dengan neneknya. Kemungkinan besar kakeknya juga sudah meninggal, jadi buru-buru Misa mengalihkan pembicaraan.
“Apa cita-citamu, Rana?”
“Aku ingin menjadi dokter,” jawabnya singkat. Sekarang Misa mengerti bahwa Rana tidak suka berbicara panjang lebar, entah masih malu atau itu adalah sifat aslinya.
“Mbak baru ya, di sini?” tanya Rana.
Aurel yang menjawab, “Iya, kami adalah pendatang, baru tadi malam datang. Kami berasal dari Jogja!”
“Oh, begitu.”
Di persimpangan jalan mereka berpisah. Ketika sampai di rumah, ternyata Dika dan Jimat sudah bangun. Mereka asyik menikmati kopi hangat di depan rumah, entah siapa yang membuatkan.
“Siapa yang buat?” tanya Aurel.
“Aku beli, dong,” sahut Jimat semangat menunjukkan kopi hitam hangatnya.
“Eh, di mana warungnya?” tanya Misa, ia ingin membeli sesuatu pula.
“Di sana, jalan itu belok kiri lalu belok lagi kanan. Nah, di samping kiri jalan ada sebuah warung kecil.” Jimat menjelaskan.
“Oh,” Misa dan Aurel masuk ke dalam rumah, mengambil uang untuk membeli sesuatu.
Di sana nantilah mereka akan menemukan sebuah keanehan.
“Gorengannya berapaan, Bu?” tanya Misa pada ibu-ibu penjaga warung.“Seribuan!” jawab ibu tanpa memandang Misa, tangannya lamban menyiapkan kopi entah untuk siapa.“Wow, murah sekali, Mis,” ujar Aurel.“Menurutku sama saja,” sahut Misa sembari memasukkan beberapa gorengan ke dalam plastik putih. Sepagi ini gorengan sudah siap, dan masih hangat.“Sudah, bu, jadinya berapa?” tanya Misa.Ibu tidak mendengar, lalu Aurel mengulanginya lagi, “Berapa totalnya, Bu?” Dengan nada yang lebih keras. Sama saja, ibu penjaga warung itu tidak mendengar panggilan Aurel.Anehnya, ibu itu malah nyelonong pergi ke dapur, tanpa melihat Misa atau pun Aurel, mereka berdua kebingungan sendiri. “Hai, Bu!” Auerel setengah berteriak kembali memanggil.“Hus, sudah, Rel. Mungkin dia ke kamar mandi sebentar,” ujar Misa.Akhirnya mereka menunggu sembari duduk-dudu
Pukul satu siang akhirnya mereka sampai di rumah kakek tua. Mereka disambut dengan hidangan sederhana dan nenek marah-marah. “Dari mana saja kalian lama sekali?” “Maaf, Nek, kami dari pasar dan tadi di tengah hutan mobil kami bannya nancap di tanah.” Dika menjelaskan. “Sekarang kalian makanlah apa adanya!” perintah kakek dengan perhatian penuh. “Baik, Kek!” Jimat menyambut paling semangat. Misa bersungut-sungut melihat tingkah Jimat, masih tersisa marah di dalam hatinya. “Sudah, Mis. Marahnya dilanjut nanti saja, sekarang makan dulu,” bujuk Aurel dengan suara lirih, hampir berbisik di telinga kanannya. “Iya.” Mereka makan siang bersama, nenek dan kakek pergi ke belakang. Sebenarnya perut mereka belum terlalu lapar kembali. Hanya saja karena tadi di dalam hutan hampir satu jam, maka mereka merasakan sebuah kegabutan yang luar biasa. “Ini baru masakan organik.” Jimat berkomentar dengan mulut penuh makanan. Mereka makan de
“Jangan! Jangan bunuh aku! Jangan bunuh aku!” teriak Jimat dari balik selimut.Tubuhnya basah dengan keringat dingin, lehernya dicekik oleh tangan dingin dari belakang. Selimut telah hilang jatuh ke bawah, angin bertiup kencang membuka jendela kayu. Jimat berharap teman-temannya akan segera datang membantunya. Namun tangan dingin itu sekarang mengeratkan cekikan pada lehernya, sehingga dia tidak bisa berteriak sama sekali. Napasnya tidak beraturan, hidungnya disumpal oleh beberapa jari dari belakang. Tangan dingin semakin mengeratkan cekikan, Jimat mati-matian mempertahankan hidup dan berusaha bernapas.“Jangan, jangan bunuh aku! Aku mohon!” Jimat mengeluarkan suara seraknya, hampir tidak ada yang mendengar.Tiba-tiba pintu dibuka dari luar, Misa datang membawa lampu putih ditangannya.“Pergi kau! Ini bukan waktunya untuk bermain-main!” ujar Misa. Sekejap, angin berhenti, terdengar suara hujan yang damai, jendela menutu
“Aku harap kita bisa memulai misi ini dengan kekompakan, agar cepat selesai dan mendapatkan hasil sesuai dengan harapan!” ujar Misa kepada teman-temannya di halaman rumah.Mereka membawa masing-masing tas punggung berisi segala peralatan dan kebutuhan. Pertama yang akan mereka lakukan adalah meninjau tempat peribadatan warga. Tidak bisa dipungkiri bahwa agama adalah hal pokok yang menandai peradaban suatu bangsa, termasuk juga kepercayaan. Namun sejak pertama kali menginjakkan kaki di desa tersebut, mereka tidak melihat tempat ibadah sama sekali. Tidak ada masjid, tidak ada gereja, tidak ada tempat ibadah lain. Apakah desa itu tidak mengenal agama?“Iya, benar apa yang kamu katakan, Mis!” sahut Aurel. “Kita adalah sebuah tim yang harus menjaga kekompakan,” lanjutnya.Rencananya mereka akan mendatangi ketua RT untuk mencari keterangan singkat darinya. Misa memimpin perjalanan. Mereka sudah menanyakan rumah pak RT dari kakek, da
Keringat dingin mengucur dari pelipis Dika. Wajahnya pucat, kakinya masih merasakan sentuhan hantu yang dimaksudkannya.“Ada apa, Dik?” tanya Misa pelan, ia mendekati Dika yang berada di kursi seberang meja.“Hantu!” Dika menunjuk bawah meja dengan kedipan matanya.“Mana?” tanya Misa belum mengerti dengan isyarat Dika.“Di bawah meja,” sahut Dika cepat.Misa menurunkan pandangan, hampir saja dia memukul Dika karena tingkahnya.“Itu kucing, bagaimana, sih?” Misa sedikit geram dan marah.“Ha? Kucing? Jelas-jelas itu hantu!” Dika mengelak.Misa memaksa Dika menurunkan pandangannya dan melihat bawah meja. “Hantu...” terika Dika lagi setelah melihat bawah meja.“Astaghfirullah...” Misa berucap dan geleng-geleng kepala. Pak RT tertawa pelan melihat tingkah Dika.Benar, Dika memang melihat hantu di bawah meja itu, hantu yang t
“Kenapa, sih, Dik?” tanya Aurel sepulangnya mereka dari rumah pak RT. Mereka berdua duduk-duduk santai di teras rumah, semilir angin menemani pada teriknya matahari.“Entahlah, Rel. Aku pikir aku baik-baik saja, tidak ada yang salah denganku. Tapi entah kenapa, orang-orang sepertinya menganggapku tidak waras.” Mata Dika memandang langit di kejauhan, sinar matahari lamat-lamat menerobos sela dedaunan.“Aku tidak menyalahkanmu, Dik. Tapi, aku juga tidak bisa membenarkanmu. Aku rasa kamu terlalu terbawa suasana tadi malam.” Aurel berusaha mengingatkan Dika dengan cara halus.“Terima kasih. Semoga kita baik-baik saja.” Harapan Dika.Mereka makan siang, memakan masakan yang disajikan oleh nenek. Ternyata nenek tidak seburuk yang dia bayangkan, dia baik hati, hanya saja sedikit cuek dengan keadaan yang terjadi. Rasa cueknya lebih mengarah pada rasa takut, bukan sebuah benci.Dika teringat kata-kata nenek ke
“Misa, kamu tidak apa-apa?” Aurel cepat membantu Misa.Misa tidak bisa berkata apa-apa, dia masih shok. Sebuah dahan pohon jati patah dan jatuh begitu saja. Dia benar-benar kaget dan tidak akan menyangka. Untunglah beberapa saat sebelum pohon jatuh nenek datang. Entah dari mana atau akan ke mana dia, datangnya benar-benar dalam waktu yang tepat. Nenek mendorong tubuh Misa sehingga terhindar dari runtuhan dahan jati.“Kenapa kalian ke sini?” tanya nenek dengan suara tuanya, serak-serak basah namun cukup jelas.Jimat menjawab, “Kami tengah melakukan penelitian, Nek!”Nenek geleng-geleng kepala. “Begitu pentingkah ijasah bagi kalian sehingga mempertaruhkan nyawa?” Nenek tidak menduga.Misa menjawab, “Semua ini adalah tugas, Nek!”Setelah itu nenek pergi begitu saja meninggalkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak akan terjawab. Dika sekarang mengerti maksud bisikan yang berkata kepada dir
Malam kesekian kalinya sejak pertama kali mereka datang kembali tiba. Malam khas datang dengan hawa dingin, suara jangkrik, serta suara angin menyobek-nyobek daun pisang. Hujan telah reda, namun genangan air masih tercecer di mana-mana. Pukul setengah delapan malam, gelapnya minta ampun, gelap sekali.“Mat, kamu dengan suara itu?” Tiba-tiba Dika bertanya, suara sungai hampir saja mengalahkan suara dari kejauhan. Sungai setelah hujan biasanya arusnya sangat deras, sehingga terdengar sampai kejauhan.“Suara apa?” samar-samar Jimat menjawab, sepertinya dia sudah mengantuk.Dika menarik selimut dan duduk. “Itu suara teriakan, sepertinya ada masalah!” Dika membuka jendela lebar-lebar, suara bertambah jelas.“Suara apa, sih, itu?” Jimat mengikuti langkah Dika.“Tidak tahu,” sahut Dika lebih melebarkan jendela, berharap mengetahui keributan apa yang tengah terjadi di luar sana.Dari luar p