"Aku pulang ya, Nya. Aku mau nungguin Bram di rumah. Mau nyiapin semua perlengkapan dia untuk ke Bali."
"Iya. Hati-hati di jalan, Sissy. Besok nginap di sini?" tanya Zanna.
"Liat besok. Kalo Bram ngasi izin. Aku masih harus gelar konferensi pers tentang brand ambassador. Harusnya sebelum hari Jumat, masalah ini udah kelar."
"Udah beli tiket untuk Jumat sore?"
"Harusnya sekretaris Bram udah nyiapin, sih."
"Apa kamu yakin melepas Bram pergi bersama sekretaris itu?"
"Mereka perginya gak berdua doang, kok. Ada beberapa tim lagi dari kantor. Cuma senin nanti memang kami pulangnya barengan."
"Take care, Sissy. Kabari aku kalau butuh bantuan."
Sebenarnya ingin tertawa mendengarnya. Biasanya juga aku yang selalu ada untuk Zanna. Hanya tidak ingin melukai hati kembaran tersayang itu.
Aku mengelus permukaan mobil hadia
"Maaf, Bu, ditunggu Pak Arkana di dalam."Langkahku spontan terhenti. Baru saja melepas Bram pergi, hati masih disiksa rindu, kenapa harus memasang topeng dengan hadirnya lelaki yang tak diinginkan?"Ok, Vira. Apa acara konferensi pers sudah kamu cek ulang semua persiapannya?""Sudah, Bu. Jam dua siang di ruangan meeting kita.""Good. Makasih."Aku lupa memberi pesan kepada Vira, resepsionis sekaligus sekretaris pribadi, untuk melarang Arkana langsung masuk ke ruangan.Rasanya high heels yang kupakai mendadak seperti terbenam dalam lantai. Berat sekali melangkah masuk ke ruangan milikku sendiri. Aku mematung di depan pintu.Mendadak justru pintu itu terbuka dan menampilkan wajah Arkana yang sama terkejutnya denganku."Sayang, aku baru mau nungguin kamu di parkiran," sapa Arkana lemb
Konferensi pers berjalan lancar. Brand ambassador pengganti juga sudah memperkenalkan diri. Namanya Olivia Lareisya, gadis keturunan Batak Sunda. Perpaduan kecantikan dua suku itu berbaur sempurna di wajah dan tubuhnya."Senang berbisnis dengan Anda, Miss," ucap Olivia sopan."Kami merasa beruntung menemukan kamu, Oliv. But, promise me, jangan kebablasan dengan laki-laki, oke?" pintaku sungguh-sungguh."Siap, Miss. Saya masih ingin mengejar karir. Mimpi saya baru saja dimulai. Cinta itu nomor sekianlah," pungkas Olivia."Good girl. Ah, sepertinya aku menaruh harapan besar pada kamu. Kamu cantik sekali, Oliv. Karir kamu pasti panjang bersama kami." Aku berkata jujur."Terima kasih, Miss. Saya sudah lama kagum pada Miss. Siapa sangka, bisa mengenal Anda lebih dekat."Aku tersenyum hangat. Olivia pamit dan berlalu. Rasa lega memenuhi relu
“Pagi, Sayang. Syukurlah aku datang tepat waktu,” sapa Arkana saat aku hendak masuk mobil.“Hai, sepagi ini mampir. Ada yang penting?” tanyaku ramah.“Laporan yang kamu butuh, sudah aku email balik, ya. Jadi, hari ini kamu punya banyak waktu luang, kan?” Arkana bertanya balik.“Oh ya? Serius sudah selesai? Keren banget sih kamu. Makasih banyak ya, Kan.”“Hari ini ikut aku, yuk? Aku pengen beliin apa aja yang kamu suka. Seharian ini kita belanja untuk keperluan isi rumah. Mau?” Arkana memamerkan senyum semringah.“Gimana ya, Kan, aku masih ada urusan di kantor, sih,” elakku.“Please, Sayang. Rumah itu hadiah aku untuk kamu. Aku mau isinya ya kamu yang milih,” pinta Arkana dengan mimik wajah lucu.Ah, boleh juga. Anggap saja aku membantu Zanna memilih semua hal yang ia suka.Satu hal yang baru aku tahu, ternyata Arkana ini bisa berubah menjadi sangat banyak bicara. Padahal menurut Zanna, lelaki ini tergolong p
"Sissy, aku pasti kangen banget sama kamu," ucap Zanna di antara isak tangis."Dih, lebay deh. Aku cuma pergi tiga hari doang, Nya. Senin sore juga udah bobo di rumah lagi. Jangan cengeng gini, ah." Aku menepuk lembut punggung Zanna."Sebenarnya, aku ... takut, gimana kalo terjadi kesalahan saat pura-pura jadi kamu."Selalu tidak percaya diri. Aku menghela napas. Bagaimana meyakinkan saudari kembarku ini kalau sebenarnya tidak banyak perbedaan mencolok di antara kami? Tidak akan ada yang curiga jika kami bertukar tempat."Listen, My Twin! Look at this mirror. See? Tak ada beda di antara kita. Berperanlah menjadi Zeline untuk mengejar cinta sejati kamu. Please, Bram sudah menunggu kedatangan istri tercintanya di sana." Aku menaik-turunkan alis mata untuk menggodanya.Zanna menghapus air mata yang masih mengalir. "Ayo, aku anterin ke bandara.""Nah, gitu dong. Yuk, s
"Hon, gak kangen sama aku?" tanyaku manja.Anehnya, wajah tampan yang sangat aku rindukan itu tidak berubah sedikit pun.Bram bersedekap, menatapku lekat, jauh dari kesan ramah. Aku mendekat, mencoba memangkas jarak, sengaja menyusup dalam pelukan Bram."Hon, aku kangen," bisikku di telinga Bram.Tidak seperti biasa, Bram hanya diam. Aku melepaskan pelukan dan memasang wajah bingung."Honey, apa ada masalah di kantor? Kok kamu jadi dingin gini sama aku? Atau aku ada buat salah ke kamu?" tanyaku beruntun.Bram mendengkus. "Kamu tidak merasa bersalah sedikit pun?""Honey, please ... Kalau aku datang lebih awal dan membuat kamu harus bayar dua kali tiket pesawat, maaf. Aku kangen, gak bisa ditahan lagi.""Berhenti bersandiwara, Zeline! Aku paling gak suka dibohongi!" Bram membentak.Aku tersentak. Air mataku merebak. Tak percaya Bram t
"Kamu pindah ke Bali aja ya, Babe?""Iya, aku bakalan pindah ke Bali setelah pesta pernikahan Zanna terwujud," jawabku seraya menghapus sisa make up.Bram mendekat dan mengecup lembut pucuk kepalaku. "Aku gak bisa fokus kerja, Sayang. Setiap saat terlintas pikiran buruk dan cemburu. Ayolah, aku punya hak penuh sebagai suami!"Aku meletakkan make up remover ke meja cermin, berbalik badan untuk menatapnya. "Suamiku yang paling tampan sedunia, kita sudah berulang kali membahas masalah ini selalu berakhir dengan debat melelahkan. Boleh kita ganti topik pembicaraan lain?"Sengaja aku berucap dengan nada dan tatapan selembut mungkin. Bram ini kadang kekanak-kanakan, egonya tinggi. Terbiasa memenangkan semua hal yang ia targetkan, membentuk mentalnya tidak ingin dibantah. Namun, air mataku adalah kelemahan terbesar yang ia punya.
Bali, belanja dan cinta. Sayang, kebersamaan ini akan berakhir. Enggan beranjak dari kehangatan dan suasana penuh warna. Namun, realita kehidupan memaksaku untuk segera berbenah. Demi sebuah janji yang harus dituntaskan.Selain itu, perasaanku tak tenang. Zanna mendadak tak bisa dihubungi. Entah apa yang terjadi dengan kencannya kemarin. Tidak biasanya ia seperti ini.Kuurungkan niat untuk membahasnya dengan Bram, tidak ingin merusak suasana romantis. Membahas mengenai Zanna berarti menyangkut Arkana dan Bram benci itu. Sama seperti aku yang sengaja membentang dinding pemisah antara lelaki kesayangan ini dengan sekretaris itu.Jika ditanya, aku akan mengatakan ingin menempel pada Bram seperti lintah. Tidak ingin membaginya dengan siapa pun. Namun, tindakan itu terdengar kekanakan sekali, kan? Seperti bukan Zeline Zakeysha yang terbiasa menundukkan lelaki saja.Tanganku masih menggenggam ponsel yang
Aku menahan detakan yang meningkat dalam dada saat mengintip dari jendela, Bi Ani sedang menyambut kedatangan Arkana. Gegas, aku memastikan Zanna masih dalam kondisi tertidur. Setelah semua aman dan rapi, aku menyelinap ke kamar dan mengintip lewat connecting door yang dibiarkan sedikit terbuka."Bibi tinggal ya, Den. Kalau ada apa-apa, panggil aja," ucap Bi Ani."Ya, Bi. Terima kasih," jawab Arkana sopan.Setelah Bi Ani beranjak, Arkana mendekat ke arah ranjang. Tatapan matanya terlihat sedih. Ah, sedalam itukah lelaki yang dicintai Zanna ini menaruh rasa terhadapku?"Sayang, aku datang. Maaf, aku abai dengan kondisi kamu. Aku sibuk merampungkan pekerjaan agar kita bisa bulan madu dengan tenang." Arkana mengecup lembut punggung tangan Zanna.Untungnya, Zanna tipe kebo, yang sekali menyentuh bantal akan tidur pulas seperti orang pingsan. Jadi gerakan spontan dari Arkana tak akan mengusik ketenangan