“Terimakasih,” ucap Luna dengan nada lelah.
Lelaki itu mengangguk. Dia mengenakan almamater suatu kampus yang tampak asing bagi Luna. Kemudian almamaternya dibuka. Dia menutup tubuh Luna yang basah kuyup, “pakailah!”
Luna hanya diam menunduk. “Maaf merepotkan. Aku akan mencuci hingga bersih dan nampak baru.”
“Namaku Galang,” ucapnya. “Tanpa sengaja aku mendengar suara seseorang meminta tolong.”
“Sekali lagi terimakasih.” Luna menunduk malu.
“Ah..., itu teman-temanku!” Tunjuk Galang. “Aku harus kembali.”
“Tunggu!” Luna menarik kaus Galang. “Jaster almamaternya.”
Galang menggeleng. “Pakailah dulu! Kembalikan saat kamu masuk ke kampusku saja ya!” kemudian Galang berlari menyusul teman-temannya. Menyisakan Luna sendiri di sana.
Dia melihat logo jas almamaternya. Luna berjanji akan masuk ke kampus tersebut sekaligus pergi dari tempat ini sejauh mungkin.
***
“Luna!” panggil Dimas, ayah dari Luna. “kalau dipanggil orangtua segera menjawab.”
“Maaf!” jawab Luna.
Rhea, ibunda Luna memperhatikannya. “Kamu sakit? Wajahmu pucat sayang.”
Luna menggeleng. “Aku baik-baik saja mah.”
“Meskipun kampusmu di luar kota, papa janji akan sering menengok,” ucap Dimas. “Kamu akan tinggal di rumah kosan kenalan papa.”
Gadis itu tidak menjawab. Hanya tersenyum simpul. Bukan tidak mau menjawab hanya saja-.
“Hihihihihihi.”
Tengkuk Luna kembali menegang. Dia ingin segera pergi dari sana. Dua mahkluk buruk rupa di kanan dan kirinya sangatlah mengganggu.
“kamu bisa melihat kami kan?”
Ueekkkkkk....
Luna menutup mulutnya. Perutnya terasa sangat mual, namun dia mencoba menahan agar dirinya tidak muntah. Mahkluk tersebut mengeluarkan bau busuk. Seperti bangkai dan sampah yang dijadikan satu. Namun entah mengapa melihat Luna yang kesulitan dua mahkluk tadi terlihat semakin mengganggu. Bukannya hilang, mahkluk tersebut malah semakin mendekat ke wajah Luna.
Air mata Luna terbendung di matanya. Dia ingin menangis. Pasalnya mahkluk itu sangatlah buruk rupa. Penuh bolong dan luka serta beberapa kali terlihat darah menetes dari wajahnya. Tiba-tiba saja seekor kelabang keluar dari salah satu lubang luka di wajahnya. Luna tidak tahan lagi.
Ueeeeekkkkkkkk....
Sebuah cairan keluar dari kerongkongannya. Dimas dan Rhea terkejut melihat keadaan anaknya. Rhea langsung menghadap bangku belakang dan memberikan tissue. Serta membantu membersihkan cairan yang jatuh di lantai mobil.
“Sayang? Kamu mabuk?” tanya Rhea. “Pah kita istirahat dulu ya di rest area depan.”
Luna hanya bisa mengangguk. Dalam hati dia berkata, ‘Aku benci menjadi anak indigo. Aku benci melihat mereka.’
***
“Sudah enakan sayang?” Rhea mengelus rambut putrinya. “Syukurlah kamu sudah baikan setelah kita sampai di kosan barumu ini.”
Luna melihat sekitarnya. Di depan matanya terdapat sebuah rumah Belanda yang cukup besar. Rumah ini akan menjadi tempat tinggal Luna selama kuliah nanti. Syukurlah papanya menemukan kenalan yang bisa menampungnya selama di Bandung.
“Rumahnya bagus kan!” seru Dimas. “Katanya di belakang ada taman yang cukup luas loh.”
Mereka kemudian berjalan menuju pintu masuk. Rumah tersebut hampir keseluruhan di cat dengan warna putih. Semuanya terlihat sangat antik dari luar.
Deg... deg... deg...
Jantung Luna berdetak kencang. Intuisinya kuat. Dia tahu ada sosok yang memperhatikannya di rumah itu. Mata Luna langsung terpaku kepada sebuah jendela di lantai dua. Dengan jelas dia melihat sosok gadis kecil di sana. Gadis itu sangatlah cantik dengan rambutnya yang pirang.
‘Tunggu!’ batin Luna berteriak. Dia merasa janggal. Bukankah kebanyakan orang di Indonesia berambut hitam? Namun jelas yang dia lihat adalah anak kecil berwajah Eropa.
“Halo!”
Luna mengalihkan pandangan ke sumber suara. Di depannya berdiri seorang wanita tua berwajah ramah.
“Namamu Luna kan? Selamat datang di rumahku.” Wanita tersebut tersenyum lembut. “Panggil aku dengan sebutan Nanny. Semua penghuni kosan biasa memanggilku demikian. Mari masuk!”
Sebelum masuk Luna mengalihkan pandangan ke arah jendela tadi. Gadis itu sudah lenyap. Luna menggigit bibirnya berharap yang dia lihat benar-benar seorang manusia asli.
“Sini masuk sayang!” panggil Rhea.
Mereka langsung menuju ke lantai dua. Nanny bilang kamar anak kosan ada di lantai dua.
“Ada berapa penghuni di sini semuanya Nanny?” tanya Rhea.
“Bersama denganku dan Luna semuanya ada enam orang.” Jawab Nanny. “Namun semuanya berusia di atas Luna.
“Apa anda memiliki seorang cucu perempuan?” tanya Luna. Dia ingin memastikan sesuatu. Dia berharap apa yang ada di pikirannya salah.
“Aku punya cucu.” Jawabnya Nanny. Luna tersenyum senang mendengarnya. Syukurlah yang dilihat di jendela tadi adalah nyata. “Namun cucuku kini berada di Belanda. Hanya aku saja yang tinggal di sini.”
Deg...
Muka Luna langsung berubah menjadi pucat pasi. Jika semua cucu Nanny ada di Belanda. Siapa yang dia lihat di jendela tadi? Dengan gugup dia melanjutkan berjalan. Saking ketakutannya dia tidak sadar jika di depannya ada seseorang yang sedang berdiri.
Dug...
Muka Luna menabrak seseorang. “Awww!” pekiknya. Dia melihat ke depan. Matanya langsung membulat dia mengingat sosok di depannya. Sosok yang kala itu menolongnya keluar dari kamar mandi siswa saat dia dikurung oleh teman-teman satu sekolahnya. “Galang?”
Galang menyipitkan matanya. Mencari informasi siapa gadis yang memanggil namanya. “Ahhh! Kamu gadis SMA yang waktu itu terkunci.”
Luna mengangguk. “Sesuai janji aku berhasil masuk ke sini.”
“Hebat sekali!” ucapnya antusias. “Apa kamu akan tinggal di sini juga?”
“Iya, mulai hari ini aku akan tinggal di sini,” jawab Luna.
Rhea, Dimas dan Nanny memperhatikan mereka. “Kalian saling kenal?” tanya Nanny.
“Aku bertemu dengannya saat mempromosikan kampus di sekolahnya dahulu,” ucap Galang. “Dia benar-benar hebat bisa masuk ke kampus yang sama denganku.”
“Temanmu sayang? Siapa dia?” Rhea memotong pembicaraan mereka. Dia penasaran siapa lelaki yang mengenal putrinya, katena selama ini Luna tidak pernah menceritakan tentang teman-temannya sama sekali.
Tanpa basa-basi Galang mencium punggung tangan orangtua Luna. “Selamat siang. Namaku Galang. Dulu aku kakak kelas Luna, kemudian kami berkenalan suatu hari saat aku berkunjung ke sekolahnya ketika sudah masuk kuliah.”
Rhea tersenyum. “Aku bersyukur ada yang mengenal putriku di sini. Tadinya aku khawatir dia akan kesepian.”
“Kebetulan kita di depan kamar Luna,” Ucap Nanny. “Bagaimana jika kita mengobrol di dalam.
Luna mundur. Dia merasakan ada sesuatu di balik pintu kamarnya. Dia langsung mengingat lagi posisi rumah ini. Mata Luna langsung melebar, kamarnya adalah ruangan tempat dia melihat gadis kecil di jendela tadi.
Nanny membuka pintu kamar Luna perlahan. Benar saja. Di dalamnya sudah berdiri gadis kecil tadi. Seperti boneka hidup. Wajahnya sangatlah lucu dan cantik. Matanya berwarna biru. Dia menatap Luna dalam-dalam seakan tahu bahwa Luna bisa melihatnya.
Tiba-tiba saja sebuah bola menggelinding ke lantai. Muka Luna langsung berubah menjadi pucat pasi. Sosok gadis kecil di depannya adalah hantu tanpa kepala.
“Ahhhhhhh...!”
“Ahhhhhh....!”Semua orang melihat Luna. Wajah Rhea dan Dimas tampak bingung sekaligus malu. “Kamu apa-apaan sih na!”Melihat semua orang memperhatikannya, Luna teringat dengan kejadian saat SMA. Kejadian di mana dia menjadi bahan rundungan dan olok-olok karena kemampuannya. Mendadak mukanya pucat. Badannya bergetar. Semua memori menyedihkan itu terlintas di kepalanya.Hug...Nanny memeluk Luna, “Tidak apa-apa sayang. Tadi kamu melihat kecoa ya?”Pelukan Luna terasa hangat dan lembut. Baru kali ini Luna merasakan kasih sayang yang hangat dari orang asing. “Aku minta maaf sudah membuat semuanya kaget.”“Luna?” Rhea mendekat ke putrinya. Dilihat baik-baik wajah putrinya tersebut. “Kamu kenapa na?”Lidah Luna kelu. Selama ini dia tidak pernah memberitahu orangtuanya perihal kemampuannya. Dia tidak ingin kedua orangtuanya menganggapnya gila. “Seperti kata Nanny
“Umm, aku-.” Luna terlihat memutar bola matanya. Mencoba mencari alasan agar Galang tidak curiga. Dia tahu hari pertamanya tidak boleh gagal. Dia tidak boleh mengalami hal serupa dengan saat di SMA. “Aku sedang latihan untuk pentas ospek nanti.”Galang mengangkat alis matanya. “Begitu? Ah baiklah. Maaf jika aku mengganggu latihanmu.” Kemudian dia pergi berlalu.“Hufh!” Luna menghembuskan nafas panjang. Dia naik ke atas ranjang untuk mendinginkan suasana. Gadis itu sudah tidak ada untuk saat ini. Namun Luna tahu bahwa dia ada di sini. Bersembunyi.Luna kemudian melihat ke arah pintu. Sepintas dia melihat seseorang berbaju biru lewat. ‘penghuni kosan lain?’ pikirnya. Tanpa basa basi dia segera menuju keluar. Ibunya berpesan dia harus menjalin komunikasi yang baik dengan teman-temannya yang lain.“Halo!” sapa Luna.Pria berbaju biru tersebut langsung terdiam. Kemudian dia menoleh
“Apaan sih!” Danny mengomel. “Gausah nga-.”Danny berhenti berbicara saat melihat wajah Sarah yang pucat. Sorot matanya menggambarkan ketakutan. Tangan sarah bergetar. Danny langsung mengelus kepala Sarah mencoba menenangkannya.Galang menunduk sambil memungut hanphonenya. “Sarah kenapa?” kemudian duduk di sebelah Sarah.Sarah langsung memegang tangan Galang. Lelaki itu bisa merasakan tangan yang dingin membeku. Cengkraman Sarah sangat kuat, Galang saja merasakan kesakitan hanya karena dipegang oleh Sarah.“Huaaahhhhhhhhhhhh....!”Semua penghuni kosan terkejut. Sarah tiba-tiba saja menangis kencang. Tangan kanannya memegang Galang sementara tangan kirinya mencengkram kaos Danny. Danny beberapa kali berusaha melepaskan cengkraman Sarah.Sreeettttt....“Anjir..., kaos kesayangan aku sobek lah ditarik Sarah!” keluh Danny.Mata Luna melotot ngeri. Pasalnya dia melihat baya
“Nei!”Sebuah suara terdengar di kepala Luna. Gadis tersebut membuka matanya. Tinggal satu sentimeter lagi mata pisau menyentuh kulitnya. Luna melangkah mundur dilemparkan gagang cutter tersebut. Dia langsung duduk bersimpuh. “Apa yang aku pikirkan!”Setelah cukup tenang, Luna menengok ke arah samping kanannya. Hantu gadis kecil itu sudah berdiri di sana, dia memandang Luna dengan tatapan datar. Kemudian jari jemarinya menyentuh pipi Luna. Sebuah sentuhan dingin bagai es terasa di kulitnya. “Nei!” sekali lagi gadis itu mengatakan hal serupa.“Kamu tidak ingin aku mengakhiri hidup?” tanya Luna.Gadis itu tetap diam. Namun Luna bisa mengerti bahwa dia tak ingin Luna menyakiti dirinya sendiri. Sosok menyeramkan gadis itu perlahan menghilang. Mungkinkah hantu tidak semua jahat? Begitulah yang dipikirkan oleh Luna.Luna menatap dalam-dalam gadis di depannya. ‘Bagaimana bisa seorang
“Pergi sana dasar dukun!”Secarik kertas tersebut berhasil membuat mental Luna jatuh. Sejak kemarin dia sudah mencoba mempersiapkan diri jika ada orang yang tidak menyukainya. Namun ternyata tidak semudah itu.Luna teringat akan peristiwa di sekolahnya dahulu. Ketika itu Luna memasuki kelas di pagi hari. Tetapi atmosfir teman-teman sekelas serasa berbeda. Luna bisa merasakan beberapa siswa mencibir dan membicarakannya. Namun dia terus menerus menguatkan hatinya. Hingga ketika...“Pergi kau anak setan!”“Pembawa sial!”“Mati saja kau sana!”“Segeralah mati!”Mata Luna terbuka lebar. Tepat di atas mejanya berbagai macam vandalisme berisi kutukan dan hinaan terpampang di sana. Luna langsung menengok ke kanan dan kirinya. Dia memperhatikan sekeliling. Saat itulah Luna melihat sesuatu yan
“Chriestie!” teriak Nanny. Akhirnya Nanny berbicara. Wajahnya tetap tenang namun auranya terlihat menyeramkan. “Mari kita berbicara!” Gadis berkacamata itu hanya bisa menghembuskan nafas lelah. Jelas sekali dia tidak terima diperlakukan seperti itu. Namun caranya menatap Nanny menunjukan bentuk penghormatannya. Luna melihat hal tersebut dengan jelas. Batinnya pun berkata bukan Chriestie yang melakukannya, namun dari semua perkataan yang dilontarkannya kemarin tentu saja membuat dia menjadi tersangka utama. Setelah Nanny pergi membawa Chriestie, Galang mendekatinya. “Kenapa kamu ga bilang kamu dapet surat kaya gini?” Luna menunduk takut. “Aku tidak ingin kalian bertengkar seperti tadi.” “Justru kamu harus ngomong!” ucap Galang. “Kenapa?” tanya Luna. “Karena aku sudah berjanji akan menjagamu!” Galang berkata dengan tegas. Deg.... Jantung Luna berdebar kencang. Namun ini bukanlah perasaan takut, melainkan rasa senang. Perk
“Kamu penganut ilmu hitam bukan?”Kata-kata itu terus terngiang dalam benak Luna. Dia pun masih dalam posisi terkejut. Meskipun sebelumnya dia merasa tidak terima dengan perlakuan Chriestie selama ini, namun dia menolak untuk berdebat. Dia merasa percuma karena dia tahu Chriestie pasti tidak akan mempercayai apapun yang dikatakannya.“Akan kulaporkan kepada yang lain!” ucapnya. Tidak lama kemudian dia pergi dari tempat tersebut.Luna tidak mengubis perkataannya. Dia melanjutkan penyelidikannya. Baru kali ini dia melihat ayam hitam yang tercabik dengan darah masih mengucur. Luna menyimpulkan bahwa benda-benda tersebut belum lama diletakan.Serrrr...Punggung Luna merinding. Dia merasakan ada sosok yang menatapnya dari jauh. Tidak lama kemudian dia mencium sebuah bau yang tidak asing. Bau bunga yang sangat wangi sekali dicampur dengan pandan. Hawa dingin menusuk ke kulit Luna. Dia diam tidak bergerak.“
Glek...Luna menelan ludah. Hal yang dia khawatirkan ternyata terbukti. Chriestie benar-benar mengadu kepada Nanny. Luna sendiri heran, mengapa Chriestie seakan membencinya sangat. Padahal dia tidak pernah mengusiknya sama sekali.“Sebelum itu aku ingin kalian berdua duduk juga.” Perintah Nanny kepada Danny dan Galang.Mereka berdua menurut. Segera mereka mencari posisi yang nyaman untuk duduk. “Silahkan dimulai Nanny,” ucap Galang.“Baiklah,” prolog Nanny. “Chriestie bercerita bahwa dia menemukan hal yang aneh di pinggir rumah.”Semua penghuni kosan Belanda mendengarkan. Chriestie sendiri menyeringai puas. Dia berkali-kali mendongkak ketika melihat Luna. Membuat nyali Luna menciut sedikit.“Yang ditemukan oleh Chriestie adalah sesajen,” lanjut Nanny.Atmosfer semua orang mendadak berubah. Seakan mereka mengetahui apa yang terjadi. Ada raut muka khawatir dari semuanya. Membua