Share

3. GADIS TANPA KEPALA

“Ahhhhhh....!”

Semua orang melihat Luna. Wajah Rhea dan Dimas tampak bingung sekaligus malu. “Kamu apa-apaan sih na!”

Melihat semua orang memperhatikannya, Luna teringat dengan kejadian saat SMA. Kejadian di mana dia menjadi bahan rundungan dan olok-olok karena kemampuannya. Mendadak mukanya pucat. Badannya bergetar. Semua memori menyedihkan itu terlintas di kepalanya.

Hug...

Nanny memeluk Luna, “Tidak apa-apa sayang. Tadi kamu melihat kecoa ya?”

Pelukan Luna terasa hangat dan lembut. Baru kali ini Luna merasakan kasih sayang yang hangat dari orang asing. “Aku minta maaf sudah membuat semuanya kaget.”

“Luna?” Rhea mendekat ke putrinya. Dilihat baik-baik wajah putrinya tersebut. “Kamu kenapa na?”

Lidah Luna kelu. Selama ini dia tidak pernah memberitahu orangtuanya perihal kemampuannya. Dia tidak ingin kedua orangtuanya menganggapnya gila. “Seperti kata Nanny aku melihat kecoa mah.”

Rhea mengangkat alisnya satu. “Sejak kapan kamu takut kecoa na?”

“Sudah-sudah mari masuk ke dalam!” ajak Nanny. “Luna kamu berani masuk kamar ini bukan?”

Alis Luna terangkat satu. Entah mengapa ada yang aneh dengan Nanny. Seakan dia tahu apa yang ada di dalam. Apakah jangan-jangan Nanny memiliki kemampuan seperti dirinya. “Aku berani.”

Dengan langkah pasti dia mencoba masuk ke dalam. Untungnya gadis kecil tidak berkepala tersebut sudah tidak ada. Rasanya sedikit lega.

“Ah maaf. Saya permisi tidak ikut ke dalam,” ucap Galang. Luna tersentak, dia lupa jika Galang bersamanya. “Ada yang harus saya kerjakan.”

“Terimakasih ya na Galang,” ucap Dimas.

Galang mengangguk. Dia kemudian melihat Luna sebelum pergi. Luna merasakan firasat yang berbeda. Entah mengapa dia merasa pandangan Galang kepadanya berbeda. Seakan Galang ingin memastikan sesuatu.

Hal tersebut membuat Luna gelisah. Dia tidak ingin mengalami hal serupa seperti ketika SMA dahulu. Luna harus bertahan dalam neraka pembulian selama ini. Untuk inilah dia kuliah di luar kota. Agar dia tidak lagi mengalami hal yang sama. Dia tidak boleh lari lagi.

Setelah memindahkan beberapa barang pindahan. Orangtua Luna pamit pulang. Rhea memeluk putrinya dengan erat. “Sering-sering pulang ya sayang!”

Luna mengangguk. “Aku bakal sering-sering jenguk mama dan papa.”

Rhea dan Dimas kemudian naik mobil dan melaju pergi. Luna masih berdiri di halaman ditemani oleh Nanny. Padahal baru sedetik kedua orangtuanya pergi. Namun Luna sudah merasa rindu.

“Kamu akan baik-baik saja di sini na!” ucap Nanny.

Luna tersenyum. Betul dia akan baik-baik saja. Ini berbeda dengan saat dia masih duduk di bangku SMA.

Deg...

Jantung Luna berdebar. Dia tahu jika jantungnya kalut maka ada sesuatu yang sedang memperhatikannya. Luna akhirnya kembali melihat ke jendela kamarnya. Gadis itu menampakan dirinya di sana.

Glek...

Luna menelan ludahnya. Dia sadar hari-harinya yang panjang akan dimulai. Mau tidak mau dia harus terbiasa berhadapan dengan gadis tanpa kepala tersebut. Jika memang dia ingin tinggal di sini dan tidak merepotkan orangtuanya.

“Melihat Jenny?” tanya Nanny.

Dengan segera Luna segera menengok ke arah Nanny. “Jenny?”

“Betul. Jenny,” ucap ulang Nanny. “Kamu melihat gadis kecil di jendela bukan?”

Tangan Luna reflek menutup mulutnya yang terbuka. Dia terkejut dengan perkataan Nanny. “Apakah?”

Nanny menggeleng. “Aku hanya bisa merasakannya.”

“Tapi kenapa anda bisa tahu?” tanya Luna.

“Aku pemilik rumah ini na,” ucap Nanny. “Dibandingkan kita bersitegang dengan mereka, bukankah sebaiknya kita menerima bahwa kita tinggal dengan mahkluk tak kasat mata?”

Luna terdiam. “Tapi, apakah Nanny tidak takut?”

“Tentu saja aku memiliki rasa takut,” ucap Nanny. “Tapi menjadi berani dan menerima lebih baik bukan?”

***

Hufh...

Luna menghembuskan nafas panjang. Dia masih berdiri di depan pintu kamarnya. Ada rasa ragu untuk masuk. Dia khawatir ketika membuka pintu akan ada benda melayang atau kepala yang menggelinding lagi. Dari sekian banyak kamar di rumah ini, kenapa harus kamar Luna tempat bersarangnya hantu tak berkepala tersebut?

Perlahan dia menggenggam pegangan pintu kamarnya. Jantungnya berpacu kencang. ‘Buka? Jangan? Buka? Jangan?’ batinnya terus-terusan bergejolak. Rasa takut mulai memenuhi dirinya. Namun sesuai perkataan Nanny dia harus berani. Akhrinya perlahan pintu dibuka.

Kreeekkkkk....

Suara pintu tua didorong perlahan. Rumah Nanny memang menarik. Semua barang di sini antik dari jaman Belanda. Luna pun baru mengetahui bahwa Nanny adalah warga keturunan Belanda yang tinggal di Indonesia.

Deg...

Gadis kecil itu sudah berdiri tepat di dalam kamar. Kepalanya masih tersambung dengan lehernya. Mereka berpandangan dalam waktu yang lumayan lama.

“Kamu bisa melihatku kan?”

Hening. Luna memilih tidak menjawab. Menurut artikel yang dia baca dari gaagle orang indigo harus mencoba mengabaikan mahkluk tersebut. Atau semua mahkluk akan terus mengganggunya.

Kaki Luna perlahan melangkah. Meskipun jantungnya berdetup kencang, dia mencoba memberanikan diri. Dia menundukan pandangannya dan mencoba melihat ke arah lain. Mencoba melewati gadis tanpa kepala tersebut.

Sampai di dekat ranjang, mata Luna membulat. Dia baru sadar ada lukisan di dinding. Lukisan seorang gadis Belanda. Parasnya sangat mirip dengan si hantu tanpa kepala. Refleks Luna langsung membalik badan. Mencoba menganalisis apakah benar mereka adalah perwujudan yang sama. Sayangnya hantu itu sudah menghilang.

‘Syukurlah,’ batin Luna berkata.

Ketika Luna membalikan badan ke arah lukisan tadi. Gadis itu sudah berada tepat di depan muka Luna. Sontak dia terjatuh ke lantai. Luna mengigit bibirnya. Dia merasakan aura yang tidak biasa. Gadis itu melihat Luna dengan tatapan dingin. Matanya yang biru seakan menjadi menyeramkan.

“kamu bisa melihatku kan?” sebuah suara terdengar di telinga Luna. “Tapi kenapa kamu mengabaikan aku?

Air mata membendung di pelupuk mata Luna. Dia melihat gadis itu menjadi menyeramkan. Tiba-tiba saja kepalanya jatuh ke lantai menggelinding menuju kaki Luna.

“Aaahhhhhhhhhhhhhhh-.”

Luna tidak dapat menahan dirinya lagi. Dia tidak tahan dan ingin lari. Namun entah mengapa kakinya terasa kelu. Tidak sampai di sana Gadis itu mendekat dan mengangkat kepalanya. Dia menjinjing kepalanya sendiri seperti sebuah tas yang lazim. Pemandangan tersebut membuat Luna ngeri.

“Tolong-, kumohon jangan sakiti aku,” pinta Luna.

Namun gadis itu hanya terdiam. Tanpa deru langkah, perlahan-lahan dia mendekat ke arah Luna. Untuk kesekian kalinya, Luna hanya bisa pasrah menerima apapun yang terjadi.

‘Ya tuhan tolong aku, aku ingin kemampuan ini segera pergi,” batin Luna.

“Luna?” tiba-tiba sebuah suara terdengar dari belakang Luna. Suara tersebut membuatnya memiliki kekuatan untuk menengok. Tepat di depan pintu berdiri Galang. Luna lupa menutup pintu kamarnya.

Deg.... deg... deg....

Jantung Luna berpacu kencang. Hal yang selama ini ingin ditutupinya dari oranglain akhirnya terbongkar sudah. Luna sadar hari-harinya yang penuh damai di Bandung akan segera berakhir.

“Kenapa kamu berbicara sendirian?” tanya Galang dengan nada bingung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status