Bargowi berpaling ke arah Wikara, ia tersenyum lebar lalu menjawab pertanyaan anak buahnya itu, "Ya, aku tahu."
Dengan demikian, Bargowi langsung merancang siasat bersama anak buahnya. Dia memberikan tugas kepada Wikara dan kawan-kawannya untuk mendatangi kediaman Sondaka dan juga Ramudya, karena dirinya sangat yakin bahwa mereka mengetahui keberadaan Ramandika.
"Kita bergerak esok pagi, pastikan bahwa Ramandika tidak lepas dari buruan kita!" ujar Bargowi di sela perbincangannya dengan Wikara dan anak buahnya yang lain.
"Baik, Ki," jawab Wikara bersikap penuh rasa hormat terhadap pimpinannya itu.
Keesokan harinya ....
Menjelang matahari terbit, Ramandika sudah berada di beranda rumah bersama Ramudya. Pada saat itu, mereka sedang berbincang santai sembari menikmati minuman rempah-rempah khas desa tersebut.
"Kau sudah tidak aman lagi jika harus tetap berada di desa ini, sebaiknya esok hari kau harus segera meninggalkan desa ini," saran Ramudya di sela perbincangannya dengan Ramandika.
Ramudya sangat khawatir jika Bargowi dan anak buahnya akan memburu Ramandika yang sudah berani mendatangi markas mereka.
"Baik, Paman. Besok aku akan berangkat meninggalkan desa ini," kata Ramandika lirih. "Tapi ... aku bingung harus pergi ke mana, Paman?" sambungnya.
"Berangkatlah ke gunung Kencana, cari padepokan Lembah Naga! Kau harus ke sana untuk menimba ilmu kanuragan."
Ramandika mengerutkan keningnya, lalu bertanya lagi, "Maksud Paman, Gunung Kencang hutan Sancang?"
"Benar sekali, kau harus berangkat ke sana sesegera mungkin," jawab Ramudya.
"Iya, Paman. Aku akan mengikuti saran Paman, aku memang harus belajar silat dan ilmu kanuragan, agar aku dapat menjaga diri."
"Di sana kau pasti akan diterima menjadi murid Ki Ageng Penggir. Asalkan kau bersungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu kanuragan, niscaya kau akan menjadi seorang kesatria tangguh," ujar Ramudya.
"Baik, Paman. Aku akan mengikuti saran Paman, tapi—"
"Tapi kenapa, Ramandika?"
"Aku khawatir dengan keadaan Paman di sini."
Mendengar perkataan Ramandika, Ramudya tertawa kecil lalu mengangkat tangan kanannya seraya meletakkannya di atas pundak Ramandika.
"Kau jangan khawatirkan Paman! Paman akun baik-baik saja," kata Ramudya lirih.
Ramandika hanya mengangguk sambil tersenyum, meskipun dalam dirinya sangat khawatir dan tidak rela jika harus meninggalkan Ramudya sendiri, namun dirinya tidak mungkin bisa membantah apa yang sudah disarankan oleh pria paruh baya itu.
Ada banyak hal yang dibicarakan oleh Ramudya kepada Ramandika. Ia memberikan banyak wejangan yang sudah barang tentu sangat bermanfaat bagi Ramandika.
Pada saat itu, Bargowi dan anak buahnya tengah mengamuk di kediaman Sondaka. Mereka mengobrak-abrik rumah saudagar rempah-rempah itu. Bahkan, mereka pun sudah membinasakan Sondaka yang berusaha melawan. Bukan hanya Sondaka saja yang menjadi sasaran kekejaman Bargowi dan anak buahnya, semua orang yang ada di rumah itu dibantai dengan sangat kejam.
Kejadian naas itu tidak diketahui oleh penduduk yang ada di sekitar rumah tersebut, karena Bargowi dan anak buahnya melakukan tindakan keji tersebut di dalam rumah Sondaka yang sangat tertutup.
"Ayo, kita pergi dari rumah ini!" ajak Bargowi setelah anak buahnya selesai melakukan pembantaian terhadap Sondaka dan para pelayannya.
"Baik, Ki," sahut Wikara.
Bargowi dan anak buahnya langsung bergerak menuju ke arah perkebunan jagung milik Ramudya, yang jaraknya lumayan jauh dari kediaman Sondaka.
Mereka sangat yakin bahwa Ramandika masih berada di desa tersebut. Sehingga mereka pun akan terus melakukan penyisiran ke rumah orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan Ramandika, dan salah satunya adalah Ramudya yang menjadi target kedua setelah Sondaka.Di kediaman Ramudya, Ramandika tengah duduk santai di beranda gubuk sambil menikmati pemandangan di sekitar gubuk tersebut. Ia tidak memiliki firasat apa pun pada saat itu.
Ramudya yang baru saja selesai membersihkan rumput di sekitar kebun jagung miliknya langsung melangkah menghampiri Ramandika.
"Ke mana Rawinta? Perasaan tadi dia sedang berbincang denganmu?" tanya Ramudya lirih.
"Rawinta sedang melihat kolam ikan miliknya. Sebentar lagi dia akan kembali ke sini, Paman," jawab Ramandika sedikit bergeser.
"Oh ... Paman kira dia pulang," desis Ramudya duduk di samping Ramandika. "Apakah kau sudah makan, Ramandika?" sambungnya menatap wajah Ramandika.
"Belum, Paman. Aku sengaja menunggu Paman," jawab Ramandika.
"Ya, sudah. Kita makan bersama saja! Tapi kita tunggu dulu Rawinta."
"Iya, Paman. Aku mau menyiapkan makanannya dulu," kata Ramandika bangkit dan langsung masuk ke dalam gubuk.
Setelah selesai menyiapkan makanan, Ramandika pun kembali menghampiri Ramudya yang tengah duduk di bebalean yang ada di beranda gubuk tersebut.
"Makanannya sudah siap, Paman."
"Iya, Ramandika."
Ramandika kemudian duduk di samping Ramudya. "Kenapa Rawinta belum kembali juga? Katanya dia hanya sebentar saja," desis Ramandika.
"Jika kau tidak keberatan sebaiknya kau susul saja dia. Takutnya ada apa-apa dengan kawanmu itu."
"Baik, Paman. Aku akan menyusul Rawinta sekarang."
"Ya, sudah berangkatlah! Paman khawatir terjadi sesuatu pada Rawinta."
Dengan demikian, Ramandika pun langsung melaksanakan tugas pria paruh baya itu. Ia segera melangkah berlalu dari hadapan Ramudya, hendak menyusul Rawinta yang berada di kolam ikan yang jaraknya lumayan jauh dari kediaman Ramudya.
Namun, ketika Ramandika pergi ke tempat Rawinta. Bargowi dan anak buahnya datang ke gubuk Ramudya, mereka mendesak Ramudya agar memberitahukan keberadaan Ramandika.
"Katakan! Di mana kau sembunyikan Ramandika?" tanya Bargowi dengan nada tinggi.
Ramudya tersenyum lebar mendengar pertanyaan Bargowi. Sikapnya tampak tenang meskipun menghadapi orang yang selama ini terkenal sangat kejam dalam bertindak.
"Kau sudah salah tempat, Bargowi. Aku di sini hanya tinggal sendirian, dan aku tidak tahu tentang keberadaan Ramandika."
"Jangan bohong Ramudya!" bentak Bargowi tidak percaya dengan perkataan Ramudya. "Kau adalah orang satu-satunya yang paling dekat dengan Ramandika," sambungnya bernada tinggi.
"Jika kau tidak percaya, geledah saja gubukku ini!"
"Aku tidak perlu menggeledah gubuk reotmu ini, karena aku tidak percaya dengan perkataanmu!" bentak Bargowi. "Lebih baik, kau bertarung saja denganku! Jika kau bisa mengalahkan aku, maka kau akan bebas dari tuduhan ini," tantang Bargowi.
'Ya, Sanghyang Widhi! Semoga saja Ramandika dan Rawinta tidak segera kembali ke sini,' kata Ramudya dalam hati.
"Jika kau ingin bertarung denganku, apa boleh buat. Aku siap meladenimu," kata Ramudya dengan sikap tenang.
Mendengar perkataan Ramudya, Bargowi dan anak buahnya tertawa lepas, "Hahaha ...!"
"Ternyata nyalimu besar juga, Ramudya." Setelah berkata demikian, Bargowi langsung melakukan serangan terhadap Ramudya yang saat itu sudah tampak siap dalam menghadapinya.
Dengan demikian, mereka pun langsung terlibat pertarungan yang sangat sengit.Beberapa orang yang ada di tempat tersebut, bersorak-sorai memberikan dukungan kepada Bargowi yang tengah mengadu kekuatan dengan Ramudya.
Mereka saling serang dengan mengerahkan jurus-jurus andalan mereka. Namun, dalam pertarungan tersebut, Bargowi memang lebih unggul segalanya. Hanya dalam waktu singkat saja, dia sudah berhasil memukul telak kepala Ramudya, sehingga Ramudya menjadi hilang keseimbangan.
"Hahaha ...!" Bargowi tertawa lepas setelah berhasil memukul jatuh lawannya.
Ramudya sudah tidak bisa bangkit lagi, ia sudah mengalami luka dalam yang sangat parah. Dari mulut dan hidungnya terus mengeluarkan darah segar berwarna merah kehitam-hitaman.
"Kau akan kubunuh sekarang juga, Ramudya!" bentak Bargowi langsung menghunus goloknya.
Beberapa hari kemudian ....Ramandika dan Senapati Sena langsung kembali ke istana bersama lima ratus prajurit yang baru saja selesai melaksanakan tugas mereka—menumpas kelompok pendekar sayap timur.Setibanya di istana, Ratu Rinjani dan Lasmina menyambut hangat kedatangan Ramandika dan pasukannya."Syukurlah, Kakang bersama para prajurit dalam kondisi baik-baik saja," kata Ratu Rinjani sambil tersenyum lebar.Begitu juga dengan Lasmina, meskipun kapasitas dirinya hanya sebagai istri kedua Ramandika. Namun, Lasmina tak kalah mesra dari sang ratu dalam menyambut kedatangan suaminya itu."Ada kabar baik untuk Kakang," kata Lasmina sambil tersenyum-senyum.Ramandika mengerutkan kening sambil memandangi wajah istri keduanya itu. "Kabar baik apa, Nyimas?" tanya Ramandika penasaran.Lasmina masih tersenyum-senyum, kemudian dia menoleh ke arah Ratu Rinjani. "Kanda Ratu saja yang menyampaikan kabar baik ini!" pinta Lasmina.Ratu Rinjani tersenyum lebar, dia mengatur napas sejenak sebelum meny
Mendengar pertanyaan pendekar itu, Panglima Dumaya tampak geram sekali. "Apakah kau ingin mati konyol? Silakan saja jika kau ingin tetap di sini! Aku dan yang lain akan segera meninggalkan tempat ini," pungkas Panglima Dumaya. Demikian juga dengan para pendekar lainnya, mereka sudah merubah haluan. Mereka sudah jera dan tidak mau lagi bertempur melawan pasukan kerajaan Gurusetra Jaya. Para pendekar itu sadar dengan kondisi kekurangan mereka. "Ayo, mundur!" teriak Panglima Dumaya. Dengan demikian, maka para pendekar itu langsung mundur meninggalkan arena pertempuran. Panglima Dumaya tidak ingin anak buahnya berguguran terlalu banyak, karena dia sadar dengan jumlah pasukannya yang semakin berkurang saja. "Kurang ajar!" geram Silaka, "kalian pengecut!" sambungnya berteriak keras. Namun, Panglima Dumaya dan para pendekar lainnya tidak mengindahkan teriakan Silaka. Demikianlah, maka Silaka langsung memerintahkan anak buahnya yang masih bertahan untuk beralih ke arah timur demi menghin
Panglima Birnaka dan para prajuritnya hanya mengangguk sambil menjura hormat kepada sang perdana menteri."Nanti aku dan Senapati Sena akan menyusul kalian," kata Ramandika, "aku sarankan, kalian jangan melakukan serangan hari ini. Lebih baik lakukan serangan besok saja, untuk hari ini kalian cukup memantau pergerakan mereka," sambungnya."Baik, Gusti," jawab Panglima Birnaka menjura kepada sang perdana menteri."Setelah kalian tiba di tengah hutan Jati, kalian harus mencari tempat yang aman untuk mendirikan perkemahan. Pastikan tempat tersebut aman dan jauh dari markas para pendekar dari kelompok sayap timur!" kata Ramandika."Hamba akan menyampaikan saran ini kepada semua prajurit." Panglima Birnaka berkata sambil menjura penuh rasa hormat kepada sang perdana menteri Setelah mendapatkan pencerahan dari Ramandika, Panglima Birnaka dan pasukannya langsung bergerak memasuki hutan Jati yang menjadi sarang para pendekar dari kelompok sayap timur.Pasukan yang dipimpin oleh Panglima Birn
Pagi harinya, di beberapa desa yang ada di wilayah kepatihan Putra Jaya, tampak geger dengan hilangnya beberapa orang tokoh masyarakat dan para pemuda.Orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarganya langsung mendatangi para prajurit yang bertugas di wilayah kademangan Jati Darma. Mereka melaporkan bahwa anggota keluarga mereka sudah hilang secara misterius.Tentu, kejadian tersebut kembali menghebohkan dan merubah suasana dan kondisi yang semula aman menjadi kembali genting. Para penduduk pun mulai takut keluar rumah pada malam hari, bahkan di siang hari pun aktivitas penduduk mulai surut, mereka tak lagi pergi ke ladang atau ke tempat-tempat lain yang jauh dari pemukiman, karena mereka takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada mereka.Senapati Sena tampak geram sekali dengan peristiwa tersebut, ia sudah menduga bahwa itu murni perbuatan kelompok pendekar sayap timur pimpinan Panglima Dumaya. Namun, semua harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu sebelum mengambil ke
Para penduduk itu terus berbincang-bincang sambil menikmati waktu, hingga pada akhirnya perbincangan mereka bergeser ke hal lain yang bersangkutan dengan kelompok pendekar sayap timur."Apakah kalian percaya jika Panglima Amerya dari kelompok pendekar sayap timur itu sudah tewas?" timpal seorang pria paruh baya bertanya kepada semua yang ada di tempat tersebut.Seorang pria yang mengenakan ikat kepala merah segera menjawab pertanyaan pria paruh baya itu, "Menurut kabar yang aku dengar dari ki kuwu, kabar kematian Panglima Amerya itu memang benar. Dia sudah tewas di tangan Panglima Gurma.""Baguslah kalau memang kabar itu benar, itu tandanya kita akan aman. Walau bagaimanapun, Panglima Amerya adalah otak di balik semua kekacauan di wilayah ini."Beberapa tanggapan telah muncul di antara para penduduk kadipaten Dembaga Pura dan juga dari pihak kelompok pendekar sayap timur. Ada yang percaya bahwa Panglima Gurma telah membunuh Panglima Amerya, adapula yang beranggapan bahwa Panglima Amer
Beberapa orang dari kelompok pendekar sayap timur, saat itu sudah berada di dalam hutan yang ada di pinggiran desa Sengkolo di wilayah kadipaten Dembaga Pura—kepatihan Putra Jaya.Para sandera yang beberapa hari terakhir mereka tawan, hari itu sudah mereka lepaskan. Namun, mereka masih menahan belasan orang yang merupakan para pejabat penting dari beberapa kademangan yang ada di wilayah kadipaten Dembaga Pura.Setibanya di kepatihan Putra Jaya, Perdana Menteri Ramandika bersama para prajuritnya langsung bergabung dengan pasukan yang sudah lebih dulu tiba di wilayah tersebut.Kehadiran sang perdana menteri tentu disambut hangat oleh rakyat yang ada di daerah tersebut, bahkan sang patih pun turut menyambut kedatangan Perdana Menteri Ramandika bersama pasukannya."Aku tidak melihat para pejabat kadipaten Dembaga Pura, di mana mereka?" tanya Ramandika kepada Patih Karmala."Mohon maaf, Gusti Perdana Menteri. Hamba belum mengetahui informasi lebih lanjut tentang keberadaan Adipati Tunaraka