Novel ini menceritakan tentang kisah seorang pemuda desa bernama Ramandika. Dia berasal dari keluarga tidak mampu, ayah dan ibunya hanya seorang petani biasa. Ramandika selalu mendapatkan perlakukan kasar dari kawan-kawan seusianya. Hal itu dikarenakan, Ramandika dan kedua orang tuanya merupakan keluarga yang paling miskin di desa tersebut. Meskipun demikian, ada keistimewaan yang tersimpan dalam diri Ramandika. Selain sabar, ia pun merupakan seorang pemuda yang cerdas dan rajin. Ramandika adalah seorang pemuda yang berbudi pekerti luhur dan ramah terhadap sesama. Jarang marah meskipun sering disakiti. Menginjak usia 20 tahun, dia memutuskan untuk meninggalkan desa tempat tinggalnya. Ramandika berangkat berniaga dengan Sondaka—seorang saudagar kaya yang ada di desa tempat tinggalnya. Sondaka mengajak Ramandika ikut berniaga dengannya, karena merasa iba melihat kondisi kehidupan keluarga Ramandika. Sondaka berharap, dengan ikutnya Ramandika berniaga, dia dapat meringankan beban kehidupan keluarganya. Setelah hampir berbulan-bulan berada di tempat perniagaan, Ramandika dan Sondaka pun kemudian kembali ke kampung halaman mereka. Setelah tiba di kampung halamannya, Ramandika mendapatkan kedukaan yang begitu menyayat hati. Kedua orang tuanya dan juga adiknya telah tewas dan jasad mereka sudah dimakamkan tiga hari sebelum dirinya tiba di kediamannya. Rumahnya pun hangus terbakar tinggal sisa puing-puing saja. Berkat keterangan Sintani—adik Ramandika yang ditemukan oleh salah seorang penduduk masih dalam keadaan hidup, maka ia memberitahu Ramandika bahwa pelakunya adalah orang-orang suruhan Kuwu Sangkan, karena Sintani sangat mengenali mereka. Akan tetapi, Sintani pun tidak bisa bertahan hidup, karena mengalami luka yang sangat parah. Dia mengembuskan napas terakhir setelah memberikan keterangan. Demikianlah, maka tumbuh rasa dendam dalam jiwa dan pikiran Ramandika. Ia bertekad ingin membalas dendam terhadap orang-orang yang sudah membinasakan keluarganya.
View More“Kenapa rumahku hancur terbakar? Di mana keluargaku?” desis seorang pemuda berdiri menatap sebuah rumah yang sudah hancur sisa terbakar.
Rumah tersebut tinggallah sebuah reruntuhan, atapnya yang terbuat dari ilalang sudah hancur menjadi debu. Sementara tiang-tiang penyangganya sudah rapuh menjadi arang.
Pemuda tersebut adalah Ramandika, ia baru saja pulang setelah berbulan-bulan meninggalkan kampung halamannya. Ramandika tidak mengetahui jika sudah terjadi peristiwa mengenaskan terhadap keluarganya.
Tiba-tiba saja, Ramandika melihat dua orang warga melintas tidak jauh dari darinya, ia bangkit dan langsung berlari kecil mengejar dua orang itu. Ramandika hendak meminta keterangan terkait keluarganya.
“Tunggu, Ki!” teriak Ramandika.
Mendengar teriakan Ramandika, dua orang tersebut langsung menghentikan langkah mereka, kemudian berpaling ke arah Ramandika.
"Ya Dewata agung! Ternyata Ramandika sudah pulang," desis salah seorang dari mereka. "Apa yang harus kita katakan kepada Ramandika, jika dia bertanya tentang keluarganya?"
"Sebaiknya kita diam saja! Aku khawatir dia akan menyalahkan kita," sahut kawannya pelan.
“Mohon maaf, Ki Sanak. Apakah kalian mengetahui di mana keberadaan keluargaku?” tanya Ramandika setelah berada di hadapan dua orang pria yang merupakan warga desa tersebut.
Mereka saling berpandangan, kedua pria itu hanya diam saja ketika Ramandika bertanya seperti itu. Mereka tidak mau mengatakan peristiwa yang sudah terjadi pada keluarga Ramandika, karena mereka takut disalahkan.
“Kenapa kalian diam? Apa yang terjadi dengan keluargaku?” tanya Ramandika lagi sedikit membentak.
Satu pun di antara mereka tidak ada yang berani menjawab pertanyaan tersebut. Mereka hanya bergeming, tertunduk di hadapan Ramandika.
Sikap mereka membuat Ramandika naik darah.
“Apakah kalian tuli?” Ramandika kembali membentak, "Katakan, di mana keluargaku? Apa yang terjadi dengan mereka?” desak Ramandika.
"Kami tidak tahu, Ramandika."
"Jangan bohong kalian! Katakan yang sejujurnya, tidak mungkin kalian tidak tahu apa-apa!"
Karena terus didesak, maka salah seorang dari mereka langsung menjawab pertanyaan Ramandika.
“Kedua orang tuamu dan juga adikmu sudah tewas, Ramandika. Mereka sudah dimakamkan tiga hari yang lalu."
"Mereka sudah tewas? Tidak mungkin!"
"Iya, Ramandika. Kami berkata dengan sejujurnya, kedua orang tua dan adikmu sudah tewas."
Mendengar kabar tersebut, Ramandika tampak sedih dan terpukul. Namun di sisi lain, ia pun merasa geram dan ingin mengetahui siapa pelaku yang sudah membinasakan kedua orang tuanya dan juga adiknya.
"Lantas, siapa orang yang sudah tega membinasakan keluargaku?" tanya Ramandika lagi penuh rasa penasaran.
Namun, kedua orang pria itu tidak menjawab pertanyaan tersebut. Mereka takut jika harus mengatakan hal yang sebenarnya terkait para pelaku yang sudah membinasakan keluarga Ramandika. Seakan-akan mereka tertekan dan tidak mau menjelaskan semuanya kepada Ramandika.
"Jawab pertanyaanku! Siapa pelakunya?"
Meskipun didesak, kedua pria itu tetap bungkam. Padahal mereka mengetahui semuanya.
Seketika itu, Ramandika tampak lemas sekali. Pandangannya mulai redup, kedua kakinya bergetar hebat.
Ramandika menjatuhkan diri, ia berlutut di atas tanah menghadap ke arah reruntuhan rumah yang sudah menjadi arang dan debu. Ramandika menangis sejadi-jadinya.
“Tidak ...!" jerit Ramandika penuh kepiluan, "Kalian tidak boleh meninggalkan aku ...!” teriaknya keras sambil menangis.
Melihat kondisi Ramandika seperti itu, dua orang pria tersebut hanya diam saja. Mereka berdiri terpaku di belakang Ramandika yang tengah larut dalam kesedihan. Sejatinya, mereka merasa iba melihat kondisi Ramandika, namun mereka tetap bungkam dan tidak mau memberitahu siapa pelakunya.
‘Jangan-jangan ada dalang di balik kematian keluargaku? Tidak mungkin ini terjadi tanpa ada tokoh utamanya,’ batin Ramandika menduga-duga.
Beberapa saat kemudian, Ramandika berpaling ke arah dua orang pria yang masih berdiri di belakangnya.
"Aku mohon, katakan yang sejujurnya. Siapa pelakunya?"
Tidak ada satu pun di antara mereka yang berani memberitahukan tentang pelaku pembunuhan tersebut. Seakan-akan mereka tidak ingin terlibat dalam persoalan itu.
“Katakanlah! Siapa orang yang sudah tega membinasakan kedua orang tuaku dan adikku?” desak Ramandika.
Beberapa hari kemudian ....Ramandika dan Senapati Sena langsung kembali ke istana bersama lima ratus prajurit yang baru saja selesai melaksanakan tugas mereka—menumpas kelompok pendekar sayap timur.Setibanya di istana, Ratu Rinjani dan Lasmina menyambut hangat kedatangan Ramandika dan pasukannya."Syukurlah, Kakang bersama para prajurit dalam kondisi baik-baik saja," kata Ratu Rinjani sambil tersenyum lebar.Begitu juga dengan Lasmina, meskipun kapasitas dirinya hanya sebagai istri kedua Ramandika. Namun, Lasmina tak kalah mesra dari sang ratu dalam menyambut kedatangan suaminya itu."Ada kabar baik untuk Kakang," kata Lasmina sambil tersenyum-senyum.Ramandika mengerutkan kening sambil memandangi wajah istri keduanya itu. "Kabar baik apa, Nyimas?" tanya Ramandika penasaran.Lasmina masih tersenyum-senyum, kemudian dia menoleh ke arah Ratu Rinjani. "Kanda Ratu saja yang menyampaikan kabar baik ini!" pinta Lasmina.Ratu Rinjani tersenyum lebar, dia mengatur napas sejenak sebelum meny
Mendengar pertanyaan pendekar itu, Panglima Dumaya tampak geram sekali. "Apakah kau ingin mati konyol? Silakan saja jika kau ingin tetap di sini! Aku dan yang lain akan segera meninggalkan tempat ini," pungkas Panglima Dumaya. Demikian juga dengan para pendekar lainnya, mereka sudah merubah haluan. Mereka sudah jera dan tidak mau lagi bertempur melawan pasukan kerajaan Gurusetra Jaya. Para pendekar itu sadar dengan kondisi kekurangan mereka. "Ayo, mundur!" teriak Panglima Dumaya. Dengan demikian, maka para pendekar itu langsung mundur meninggalkan arena pertempuran. Panglima Dumaya tidak ingin anak buahnya berguguran terlalu banyak, karena dia sadar dengan jumlah pasukannya yang semakin berkurang saja. "Kurang ajar!" geram Silaka, "kalian pengecut!" sambungnya berteriak keras. Namun, Panglima Dumaya dan para pendekar lainnya tidak mengindahkan teriakan Silaka. Demikianlah, maka Silaka langsung memerintahkan anak buahnya yang masih bertahan untuk beralih ke arah timur demi menghin
Panglima Birnaka dan para prajuritnya hanya mengangguk sambil menjura hormat kepada sang perdana menteri."Nanti aku dan Senapati Sena akan menyusul kalian," kata Ramandika, "aku sarankan, kalian jangan melakukan serangan hari ini. Lebih baik lakukan serangan besok saja, untuk hari ini kalian cukup memantau pergerakan mereka," sambungnya."Baik, Gusti," jawab Panglima Birnaka menjura kepada sang perdana menteri."Setelah kalian tiba di tengah hutan Jati, kalian harus mencari tempat yang aman untuk mendirikan perkemahan. Pastikan tempat tersebut aman dan jauh dari markas para pendekar dari kelompok sayap timur!" kata Ramandika."Hamba akan menyampaikan saran ini kepada semua prajurit." Panglima Birnaka berkata sambil menjura penuh rasa hormat kepada sang perdana menteri Setelah mendapatkan pencerahan dari Ramandika, Panglima Birnaka dan pasukannya langsung bergerak memasuki hutan Jati yang menjadi sarang para pendekar dari kelompok sayap timur.Pasukan yang dipimpin oleh Panglima Birn
Pagi harinya, di beberapa desa yang ada di wilayah kepatihan Putra Jaya, tampak geger dengan hilangnya beberapa orang tokoh masyarakat dan para pemuda.Orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarganya langsung mendatangi para prajurit yang bertugas di wilayah kademangan Jati Darma. Mereka melaporkan bahwa anggota keluarga mereka sudah hilang secara misterius.Tentu, kejadian tersebut kembali menghebohkan dan merubah suasana dan kondisi yang semula aman menjadi kembali genting. Para penduduk pun mulai takut keluar rumah pada malam hari, bahkan di siang hari pun aktivitas penduduk mulai surut, mereka tak lagi pergi ke ladang atau ke tempat-tempat lain yang jauh dari pemukiman, karena mereka takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada mereka.Senapati Sena tampak geram sekali dengan peristiwa tersebut, ia sudah menduga bahwa itu murni perbuatan kelompok pendekar sayap timur pimpinan Panglima Dumaya. Namun, semua harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu sebelum mengambil ke
Para penduduk itu terus berbincang-bincang sambil menikmati waktu, hingga pada akhirnya perbincangan mereka bergeser ke hal lain yang bersangkutan dengan kelompok pendekar sayap timur."Apakah kalian percaya jika Panglima Amerya dari kelompok pendekar sayap timur itu sudah tewas?" timpal seorang pria paruh baya bertanya kepada semua yang ada di tempat tersebut.Seorang pria yang mengenakan ikat kepala merah segera menjawab pertanyaan pria paruh baya itu, "Menurut kabar yang aku dengar dari ki kuwu, kabar kematian Panglima Amerya itu memang benar. Dia sudah tewas di tangan Panglima Gurma.""Baguslah kalau memang kabar itu benar, itu tandanya kita akan aman. Walau bagaimanapun, Panglima Amerya adalah otak di balik semua kekacauan di wilayah ini."Beberapa tanggapan telah muncul di antara para penduduk kadipaten Dembaga Pura dan juga dari pihak kelompok pendekar sayap timur. Ada yang percaya bahwa Panglima Gurma telah membunuh Panglima Amerya, adapula yang beranggapan bahwa Panglima Amer
Beberapa orang dari kelompok pendekar sayap timur, saat itu sudah berada di dalam hutan yang ada di pinggiran desa Sengkolo di wilayah kadipaten Dembaga Pura—kepatihan Putra Jaya.Para sandera yang beberapa hari terakhir mereka tawan, hari itu sudah mereka lepaskan. Namun, mereka masih menahan belasan orang yang merupakan para pejabat penting dari beberapa kademangan yang ada di wilayah kadipaten Dembaga Pura.Setibanya di kepatihan Putra Jaya, Perdana Menteri Ramandika bersama para prajuritnya langsung bergabung dengan pasukan yang sudah lebih dulu tiba di wilayah tersebut.Kehadiran sang perdana menteri tentu disambut hangat oleh rakyat yang ada di daerah tersebut, bahkan sang patih pun turut menyambut kedatangan Perdana Menteri Ramandika bersama pasukannya."Aku tidak melihat para pejabat kadipaten Dembaga Pura, di mana mereka?" tanya Ramandika kepada Patih Karmala."Mohon maaf, Gusti Perdana Menteri. Hamba belum mengetahui informasi lebih lanjut tentang keberadaan Adipati Tunaraka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments