Ramudya sudah pasrah dengan keadaan, ia sudah tidak mampu lagi untuk melanjutkan pertarungannya dengan Bargowi.
'Ya, Dewata Agung! Jika aku harus mati hari ini. Aku ikhlas, yang penting Ramandika dan Rawinta selamat dari buruan orang-orang ini,' kata Ramudya dalam hati.
Ramudya menarik napas dalam-dalam, kemudian meluruskan pandangannya ke wajah Bargowi.
Bargowi kemudian melangkah mendekat ke arah Ramudya sambil mengayun-ayunkan goloknya yang tajam. Kemudian berkata, "Aku akan mengurungkan niatku untuk membinasakanmu. Tapi dengan satu syarat, kau harus mengatakan di mana Ramandika berada?"
"Bunuh saja aku! Jika itu yang kau inginkan, aku tidak akan pernah tunduk kepadamu!" tegas Ramudya bersikeras tidak mau mengatakan tentang keberadaan Ramandika.
"Kurang ajar kau!" bentak Bargowi.
Tanpa banyak bicara lagi, ia langsung mengayunkan goloknya dan langsung menebas leher Ramudya hingga hampir putus. Seketika itu, Ramudya pun langsung tewas dengan luka yang sangat lebar di lehernya.
Setelah membunuh Ramudya, Bargowi langsung memerintahkan anak buahnya untuk kembali ke markas mereka.
"Kita kembali ke markas, kita harus segera melapor kepada ki kuwu!"
Demikianlah, Bargowi dan anak buahnya langsung bergerak cepat meninggalkan tempat tersebut. Mereka meninggalkan jasad Ramudya yang tergeletak begitu saja.
Selang beberapa menit kemudian, Ramandika dan Rawinta sudah kembali ke rumah Ramudya. Mereka tampak kaget ketika melihat Ramudya tergeletak dengan bersimbah darah.
"Paman!" teriak Ramandika berlari ke arah jasad Ramudya yang tergeletak di halaman rumah tersebut.
Ia bersama Rawinta tampak terpukul ketika mengetahui bahwa Ramudya sudah tak bernyawa lagi.
"Siapa orang yang sudah tega membunuh Paman Ramudya?" tanya Ramandika meluruskan pandangannya ke arah Rawinta.
"Aku rasa, ini semua adalah perbuatan orang-orang yang sudah membunuh keluargamu," jawab Rawinta lirih.
"Maksudmu anak buah Kuwu Sangkan?"
"Benar, Ramandika. Aku yakin bahwa pelakunya adalah mereka!" tandas Rawinta tampak yakin dengan apa yang ada dalam pikirannya.
Ramandika menghela napas dalam-dalam, giginya menggeretak, tangan kanannya mengepal bulat.
"Bedebah! Mereka sangat kejam, aku tidak menyangka jika persoalan kecil ini bisa menjadi fatal bagi orang-orang yang dekat dengan keluargaku."
"Mohon maaf, Ramandika. Sebenarnya konflik apa yang sudah terjadi antara orang tuamu dengan Ki Kuwu Sangkan?" tanya Rawinta menatap wajah Ramandika.
"Persoalannya hanya sepele, ramaku pernah menolak lamaran Yasmaraka yang ingin menikahi Sintani,' jawab Ramandika.
"Kejam sekali Kuwu Sangkan, sebaiknya kau melaporkan kejadian ini kepada pihak kademangan, agar para prajurit yang bertugas di kademangan menyelidiki kasus ini!" saran Rawinta.
"Tidak ada bukti yang kuat, percuma saja. Aku akan membalas perbuatan mereka dengan caraku sendiri!" tegas Ramandika menanggapi perkataan sahabatnya itu.
Setelah itu, mereka langsung bersiap hendak membersihkan jasad Ramudya. Karena hari itu juga, jasad Rawinta akan dimakamkan.
Sore harinya ....
Ketika Ramandika dan Rawinta tengah duduk santai di beranda gubuk. Terdengar orang berteriak-teriak menyebut nama Ramandika.
"Ramandika! Ramandika ...!"
Ramandika dan Rawinta tampak kaget mendengar suara teriakan tersebut. Mereka bangkit dan segera berlari menghampiri seorang pria paruh baya yang sudah tergeletak di pinggir ladang.
"Ada apa, Ki Warma? Apa yang sudah terjadi denganmu?" tanya Ramandika sambil membantu pria paruh baya itu bangkit.
"Ki Sonda dan semua orang yang ada di rumahnya sudah tewas," jawab pria paruh baya itu terengah-engah.
"Apakah Ki Warma tahu orang yang sudah membantai Ki Sonda dan para pelayannya?" timpal Rawinta menatap tajam wajah pria paruh baya itu.
"Tidak Rawinta, semua orang yang ada di sekitar rumah Ki Sonda tidak mengetahui kejadian tersebut. Sehingga kami sebagai tetangga dekat Ki Sonda, sama sekali tidak mengetahui siapa pelakunya," jawab Ki Warma diam sejenak.
"Lantas, siapa yang mengetahui bahwa Ki Sonda dan semua yang ada di kediamannya telah meninggal dunia, Ki?" tanya Ramandika ikut angkat bicara.
"Narasoma," jawab Ki Warma lirih. "Dia mengetahuinya ketika dirinya mengantarkan makanan yang dipesan oleh istri Ki Sonda. Ketika Narasoma tiba di rumah Ki Sonda, dia menemukan Ki Sonda dan semua yang ada di rumah tersebut sudah dalam keadaan tewas," sambung pria paruh baya itu menuturkan.
"Ternyata desa kita sudah tidak aman lagi, kau harus waspada Ramandika," bisik Rawinta.
Demikianlah, maka Ramandika langsung mengajak Ki Warma berbincang-bincang di beranda gubuk. Ramandika dan Rawinta langsung menceritakan kejadian serupa yang menimpa Ramudya.
"Apakah mungkin itu semua perbuatan para gerombolan yang ada di hutan?" tanya Ki Warma menanggapi apa yang sudah dijelaskan oleh Ramandika dan Rawinta.
"Entahlah, kami tidak memiliki bukti yang kuat untuk menuduh siapa pelakunya," jawab Ramandika lirih.
Ki Warma menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata lagi mengarah kepada Ramandika, "Sebaiknya kau harus segera meninggalkan desa ini, Ramandika. Aku yakin, ini semua buntut dari kematian keluargamu."
Ramandika berpaling ke arah Rawinta, lalu berkata, "Apa yang dikatakan oleh Ki Warma memang benar, aku harus secepatnya meninggalkan desa ini."
"Benar, Ramandika. Demi keselamatanmu, kau memang harus segera meninggalkan desa ini, aku khawatir orang-orang itu akan memburumu," ujar Rawinta.
"Baiklah, esok pagi aku akan langsung berangkat ke gunung Kencana. Aku akan mengikuti saran Paman Ramudya untuk mencari Padepokan Lembah Naga," desis Ramandika.
Keesokan harinya ....
Sebelum matahari terbit, Ramandika sudah berangkat meninggalkan desa kelahirannya. Ia berangkat hanya seorang diri dengan berjalan kaki menuju ke arah selatan menyusuri jalan setapak.
Bukanlah perkara mudah bagi Ramandika dalam melakukan perjalanan tersebut. Karena dalam perjalanannya itu, ia diterpa berbagai aral dan rintangan.
Terlebih lagi ketika dirinya tiba di sebuah perbukitan yang ada di batas wilayah kerajaan Gurusetra. Tiba-tiba saja, Ramandika dihadang oleh dua orang pria tak dikenal. Sudah dapat dipastikan bahwa kedua orang tersebut merupakan bagian dari komplotan para perampok yang biasa beroperasi di wilayah itu.
"Siapa kalian? Kenapa kalian menghadang perjalananku?" tanya Ramandika mengarah kepada dua orang pria tersebut.
Beberapa hari kemudian ....Ramandika dan Senapati Sena langsung kembali ke istana bersama lima ratus prajurit yang baru saja selesai melaksanakan tugas mereka—menumpas kelompok pendekar sayap timur.Setibanya di istana, Ratu Rinjani dan Lasmina menyambut hangat kedatangan Ramandika dan pasukannya."Syukurlah, Kakang bersama para prajurit dalam kondisi baik-baik saja," kata Ratu Rinjani sambil tersenyum lebar.Begitu juga dengan Lasmina, meskipun kapasitas dirinya hanya sebagai istri kedua Ramandika. Namun, Lasmina tak kalah mesra dari sang ratu dalam menyambut kedatangan suaminya itu."Ada kabar baik untuk Kakang," kata Lasmina sambil tersenyum-senyum.Ramandika mengerutkan kening sambil memandangi wajah istri keduanya itu. "Kabar baik apa, Nyimas?" tanya Ramandika penasaran.Lasmina masih tersenyum-senyum, kemudian dia menoleh ke arah Ratu Rinjani. "Kanda Ratu saja yang menyampaikan kabar baik ini!" pinta Lasmina.Ratu Rinjani tersenyum lebar, dia mengatur napas sejenak sebelum meny
Mendengar pertanyaan pendekar itu, Panglima Dumaya tampak geram sekali. "Apakah kau ingin mati konyol? Silakan saja jika kau ingin tetap di sini! Aku dan yang lain akan segera meninggalkan tempat ini," pungkas Panglima Dumaya. Demikian juga dengan para pendekar lainnya, mereka sudah merubah haluan. Mereka sudah jera dan tidak mau lagi bertempur melawan pasukan kerajaan Gurusetra Jaya. Para pendekar itu sadar dengan kondisi kekurangan mereka. "Ayo, mundur!" teriak Panglima Dumaya. Dengan demikian, maka para pendekar itu langsung mundur meninggalkan arena pertempuran. Panglima Dumaya tidak ingin anak buahnya berguguran terlalu banyak, karena dia sadar dengan jumlah pasukannya yang semakin berkurang saja. "Kurang ajar!" geram Silaka, "kalian pengecut!" sambungnya berteriak keras. Namun, Panglima Dumaya dan para pendekar lainnya tidak mengindahkan teriakan Silaka. Demikianlah, maka Silaka langsung memerintahkan anak buahnya yang masih bertahan untuk beralih ke arah timur demi menghin
Panglima Birnaka dan para prajuritnya hanya mengangguk sambil menjura hormat kepada sang perdana menteri."Nanti aku dan Senapati Sena akan menyusul kalian," kata Ramandika, "aku sarankan, kalian jangan melakukan serangan hari ini. Lebih baik lakukan serangan besok saja, untuk hari ini kalian cukup memantau pergerakan mereka," sambungnya."Baik, Gusti," jawab Panglima Birnaka menjura kepada sang perdana menteri."Setelah kalian tiba di tengah hutan Jati, kalian harus mencari tempat yang aman untuk mendirikan perkemahan. Pastikan tempat tersebut aman dan jauh dari markas para pendekar dari kelompok sayap timur!" kata Ramandika."Hamba akan menyampaikan saran ini kepada semua prajurit." Panglima Birnaka berkata sambil menjura penuh rasa hormat kepada sang perdana menteri Setelah mendapatkan pencerahan dari Ramandika, Panglima Birnaka dan pasukannya langsung bergerak memasuki hutan Jati yang menjadi sarang para pendekar dari kelompok sayap timur.Pasukan yang dipimpin oleh Panglima Birn
Pagi harinya, di beberapa desa yang ada di wilayah kepatihan Putra Jaya, tampak geger dengan hilangnya beberapa orang tokoh masyarakat dan para pemuda.Orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarganya langsung mendatangi para prajurit yang bertugas di wilayah kademangan Jati Darma. Mereka melaporkan bahwa anggota keluarga mereka sudah hilang secara misterius.Tentu, kejadian tersebut kembali menghebohkan dan merubah suasana dan kondisi yang semula aman menjadi kembali genting. Para penduduk pun mulai takut keluar rumah pada malam hari, bahkan di siang hari pun aktivitas penduduk mulai surut, mereka tak lagi pergi ke ladang atau ke tempat-tempat lain yang jauh dari pemukiman, karena mereka takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada mereka.Senapati Sena tampak geram sekali dengan peristiwa tersebut, ia sudah menduga bahwa itu murni perbuatan kelompok pendekar sayap timur pimpinan Panglima Dumaya. Namun, semua harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu sebelum mengambil ke
Para penduduk itu terus berbincang-bincang sambil menikmati waktu, hingga pada akhirnya perbincangan mereka bergeser ke hal lain yang bersangkutan dengan kelompok pendekar sayap timur."Apakah kalian percaya jika Panglima Amerya dari kelompok pendekar sayap timur itu sudah tewas?" timpal seorang pria paruh baya bertanya kepada semua yang ada di tempat tersebut.Seorang pria yang mengenakan ikat kepala merah segera menjawab pertanyaan pria paruh baya itu, "Menurut kabar yang aku dengar dari ki kuwu, kabar kematian Panglima Amerya itu memang benar. Dia sudah tewas di tangan Panglima Gurma.""Baguslah kalau memang kabar itu benar, itu tandanya kita akan aman. Walau bagaimanapun, Panglima Amerya adalah otak di balik semua kekacauan di wilayah ini."Beberapa tanggapan telah muncul di antara para penduduk kadipaten Dembaga Pura dan juga dari pihak kelompok pendekar sayap timur. Ada yang percaya bahwa Panglima Gurma telah membunuh Panglima Amerya, adapula yang beranggapan bahwa Panglima Amer
Beberapa orang dari kelompok pendekar sayap timur, saat itu sudah berada di dalam hutan yang ada di pinggiran desa Sengkolo di wilayah kadipaten Dembaga Pura—kepatihan Putra Jaya.Para sandera yang beberapa hari terakhir mereka tawan, hari itu sudah mereka lepaskan. Namun, mereka masih menahan belasan orang yang merupakan para pejabat penting dari beberapa kademangan yang ada di wilayah kadipaten Dembaga Pura.Setibanya di kepatihan Putra Jaya, Perdana Menteri Ramandika bersama para prajuritnya langsung bergabung dengan pasukan yang sudah lebih dulu tiba di wilayah tersebut.Kehadiran sang perdana menteri tentu disambut hangat oleh rakyat yang ada di daerah tersebut, bahkan sang patih pun turut menyambut kedatangan Perdana Menteri Ramandika bersama pasukannya."Aku tidak melihat para pejabat kadipaten Dembaga Pura, di mana mereka?" tanya Ramandika kepada Patih Karmala."Mohon maaf, Gusti Perdana Menteri. Hamba belum mengetahui informasi lebih lanjut tentang keberadaan Adipati Tunaraka