Dengan cepat, Jayamanik dan semua yang ada di tempat tersebut langsung berhamburan menjauhi arena pertarungan itu. Mereka menuruti apa yang diminta oleh Ramandika. "Sepertinya mereka akan melakukan pertarungan ini dengan sangat sengit," desis Jayamanik setelah menjauh dari tempat bertarungnya Ramandika dengan Randu Pati. Sesaat kemudian, terdengar suara gemuruh yang sangat keras. Tampak asap putih keluar dari tanah tepat di hadapan Randu Pati, seiring dengan demikian bermunculan sosok-sosok makhluk mengerikan, mereka berdiri mengitari Ramandika yang masih dalam kondisi tenang. Kemudian, Randu Pati menyeru kepada makhluk-makhluk itu, "Serang dia!" Demikianlah, maka belasan makhluk menyeramkan itu langsung melakukan serangan terhadap Ramandika. Mereka patuh dan tunduk kepada Randu Pati yang tiada lain adalah majikan mereka. Ramandika sedikit kewalahan menghadapi makhluk-makhluk itu. Namun, karena keyakinan dan kekuatan yang ada pada dirinya, maka dirinya mampu mengalahkan makhluk-ma
Setibanya di padepokan, Ramandika, dan para murid senior langsung menemui Ki Ageng Penggir. Mereka membawa tiga orang anak buah Randu Pati untuk menghadap guru mereka. Mereka diterima dengan baik oleh Ki Ageng Penggir dan juga Bisama selaku ketua murid-murid Padepokan Lembah Naga. Tak ada rasa benci dalam diri Ki Ageng Penggir terhadap ketiga orang pendekar itu, meskipun mereka sudah melakukan tindakan jahat. "Siapa namamu dan juga kawan-kawanmu ini?" tanya Ki Ageng Penggir di sela perbincangannya dengan ketiga pendekar itu. "Namaku Ajisa, mereka Narida dan Sangawil," jawab pria bertubuh kekar itu sambil merangkapkan kedua telapak tangannya, memperkenalkan dirinya dan juga kedua kawannya. "Apa sebenarnya yang terbesit dalam pikiran kalian, sehingga kalian memusuhi kami?" tanya Ki Ageng Penggir meluruskan pandangannya ke arah Ajisa dan kedua kawannya. "Kami tidak memiliki misi apa-apa, Ki. Kami hanya mengikuti arahan dan perintah pimpinan kami saja," jawab Ajisa. "Itulah polosnya
Beberapa jam kemudian ....Ramandika, Sena, dan Jayamanik sudah tiba di perbatasan. Mereka beristirahat sejenak untuk melaksanakan makan siang, ketiga pemuda itu memakan bekal makanan yang mereka bawa dari padepokan.Setelah selesai makan, Jayamanik dan Sena langsung pamit kepada Ramandika untuk kembali ke Padepokan Lembah Naga.Sementara itu, Ramandika langsung melanjutkan perjalanannya menuju ke wilayah kerajaan Gurusetra."Di mana aku harus beristirahat? Sebentar lagi malam akan segera tiba," desis Ramandika.Saat itu, ia masih berada di hutan yang jaraknya masih lumayan jauh dari pemukiman penduduk. Meskipun demikian, Ramandika kembali melanjutkan perjalanannya."Walaupun aku tidak tiba di desa, setidaknya aku tidak berada di dalam hutan untuk malam ini," kata Ramandika sambil memacu derap langkah kudanya.Tidak terasa, hari pun sudah mulai gelap. Hujan rintik-rintik mulai turun mengiringi perjalanannya, kuda yang ditungganginya mulai bergerak lambat karena penglihatan kuda terseb
Meskipun demikian, Ramandika tetap berusaha membantah apa yang ada dalam pikirannya tersebut. "Tidak mungkin mereka takut kepadaku. Aku rasa, sikapku biasa-biasa saja."Ramandika membantah semuanya, karena di sekitar desa tersebut terdapat banyak orang asing berlalu-lalang dengan membawa pedang dan golok seperti dirinya. Tapi, respon penduduk biasa-biasa saja.Sambil melangkah, Ramandika terus memperhatikan sikap orang-orang yang ia jumpai di desa tersebut.Desa Singkur terkesan tidak bersahabat lagi bagi Ramandika. Karena saat itu, ia merasa tak ada rasa nyaman lagi saat menginjakkan kakinya di desa itu. Padahal, desa Singkur merupakan tempat dilahirkannya Ramandika, dan juga tempat dirinya dibesarkan.'Aneh sekali, mereka tidak seperti dulu. Setiap kali mereka melihatku sudah dapat dipastikan mereka pasti akan mencibir dan bersikap sinis kepadaku. Tapi, saat ini mereka tampak seperti ketakutan melihatku?' batin Ramandika."Aku rasa, semua ini pasti ada sebabnya," desis Ramandika sam
Ramandika pun langsung duduk, dan segera memesan makanan kepada sang pemilik warung makan itu."Aku pesan nasi tiwul sama ikan gurame bakar, Ki!" kata Ramandika lirih, "Minumnya air putih saja!" sambungnya."Baik, Den. Mohon ditunggu," jawab sang pemilik warung makan tersebut.Setelah menerima pesanan makanan, pria bertubuh tambun itu pun langsung berlalu dari hadapan Ramandika untuk segera menyiapkan makanan dan minuman yang dipesan tamunya itu.Kedatangan Ramandika ke warung makan itu, bukan sekadar untuk makan dan beristirahat saja. Namun setelah mendapat tempat duduk, Ramandika langsung mengamati gerak-gerik para pengunjung yang ada di dalam warung makan tersebut.'Ramai sekali warung makan ini,' kata Ramandika dalam hati.Di dalam warung makan itu, ternyata terdapat banyak orang. Mereka berasal dari berbagai golongan, tapi yang paling ialah seorang kakek yang mengenakan jubah putih, ia duduk saling berhadapan dengan seorang gadis cantik yang diperkirakan baru berusia belasan tahu
Usai ziarah, Ramandika langsung berjalan sambil menuntun kudanya menuju rumah kosong yang dulu merupakan tempat tinggal Mendiang Ramudya.Ramudya adalah seorang yang sangat menyayangi Ramandika, meskipun tak ada ikatan darah, namun Ramandika sudah menganggap Ramudya sebagai pamannya sendiri.Setibanya di tempat yang dituju, Ramandika hanya geleng-geleng kepala saja ketika melihat rumah tersebut sudah tak terurus lagi, halamannya dipenuhi rumput liar dan tanaman-tanaman berduri yang tumbuh subur. Sementara di dalamnya tampak berantakan sekali.Dengan demikian, Ramandika langsung merapikan rumah tersebut. Bagian dalam dan luar langsung ia bersihkan, karena rumah itu akan ia tempati selama berada di desa tersebut."Tiang penyangganya sudah rapuh, besok aku harus menggantinya," desis Ramandika sambil mengamati tiang penyangga rumah yang sudah rusak dimakan rayap.Rumput liar dan tanaman-tanaman kecil berduri yang tumbuh di halaman rumah itu langsung ia bersihkan, ruangan yang tadinya bera
Sama sekali, Ramandika tidak mengenali tiga pria tersebut. Padahal, mereka itu adalah para pendekar yang tadi siang berpapasan dengannya ketika ia baru keluar dari rumah Ki Durga.Ketika Ramandika sedang mengawasi ketiga pendekar itu, ternyata mereka hanya tersenyum-senyum saja memandang sinis ke arah Ramandika."Aku tanya, kalian ini siapa? Kenapa kalian tidak mau menjawab?!" bentak Ramandika kesal.Mereka tidak mengindahkan pertanyaan Ramandika, kemudian mereka melangkah maju, lalu mengepung Ramandika dari arah kiri dan kanan.Rasa gusar semakin menjadi-jadi dalam diri Ramandika, apalagi ketika mereka mulai bersikap agresif, seakan-akan siap melakukan serangan."Tentu kau belum mengenal kami, Anak muda," kata pria paruh baya yang memiliki bekas luka di bagian kiri wajahnya.Ramandika hanya diam saja, ia terus memperhatikan gerak-gerik ketiga pria paruh baya itu."Kami bertiga merupakan para pendekar dari kelompok Gua Baji, dan malam ini kami akan menjajal kemampuanmu. Tapi ada taruh
Kemudian, tangannya bergerak dengan sangat cepat. Pria paruh baya itu mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya meluncur hendak menyerang ke arah Ramandika.'Aku tidak boleh membunuhnya, namun aku akan memberikan sedikit pelajaran kepada orang ini,' kata Ramandika dalam hati.Ramandika sangatlah paham dengan jurus yang dikeluarkan oleh pria paruh baya itu. Jurus yang sangat berbahaya, sudah dapat dipastikan bahwa jurus tersebut sangat mengancam jiwanya.Namun, Ramandika tetap bersikap biasa-biasa saja. Dia hanya penasaran saja dan ingin meladeni kekuatan yang dimiliki lawannya itu."Maafkan aku, Ki Sanak. jika aku sedikit melukaimu," teriak Ramandika langsung memutar tubuhnya.Ia pun segera mengeluarkan kekuatan tenaga dalamnya untuk menyambut serangan dari pria paruh baya itu.Jurus tenaga dalam yang dikerahkan Ramandika berhasil menghadang laju kekuatan tenaga dalam lawannya, sehingga bentrok dan menimbulkan kegaduhan yang sangat luar biasa. Bunyi dentuman keras menggelegar di saat dua e