Roland masih linglung. Pikirannya masih dilema. Memalukan sekali menjadi tidak bisa diandalkan saat bersama orang yang disukai. "Jelak sekali mukamu.""Kalau tidak sanggup lebih baik kau kembali saja.""Aku bisa pergi bersama dengan Bryan saja," Maureen berujar. Roland yang sejak peristiwa panah tadi, masih merasa malu. Dia diam seribu bahasa. Sampai - sampai Maureen merasa kesal sendiri.Dia seperti bersama dengan orang bisu. "Kau sudah selesai istirahat?" Maureen mencoba bertanya. Dia tidak ingin menggoda Roland lagi. "Aku sudah selesai, jika kau juga sudah selesai, ayo kita lanjutkan perjalanan lagi."Tanpa menatap Maureen, Roland berdiri dan bersiap. Maureen, "!?"Akhirnya dia bangkit dan bersiap juga. Sepertinya pilihan yang salah dia pergi bersama Roland. Ternyata Roland adalah orang yang gampang sakit hati, tidak bisa digoda. Keduanya naik ke kuda masing - m
"Kakak...." Seorang gadis berusia 17 tahun muncul dari balik pohon. Bryan membelalakkan matanya tak percaya. Bagaimana gadis itu bisa ada di sini. "Kau...!!!" "Apa yang kau lakukan di sini?" "Dan kenapa kau bisa ada di tempat seperti ini?" Gadis itu tersenyum, menunjukkan giginya yang putih dan rapi. Dia berjalan mendekati Bryan yang terjatuh. Dia ingin memegang kaki Bryan yang terluka dan mengobatinya. Tetapi Bryan menghentikan tangan gadis itu dengan tangannya sendiri. "Tidak usah menyentuhku!" "Aku bisa mengobatinya sendiri." Bryan berkata pada gadis itu dengan dingin. Raut wajah gadis itu yang semula riang menjadi sendu. "Tidak usah menangis, kau bisa kembali ke keperluanmu dan tidak usah mengurusiku." "Aku sedang sibuk sekarang, jadi kau jangan menggangguku Maira!"
Tidak ada jawaban pasti yang diterima oleh Maira. Bahkan ayahnya seperti menyembunyikan sesuatu. Rasa cinta yang dia rasakan selama 5 tahun ini seperti sia - sia. Bahkan kak Bryan juga tidak menemuinya. Bukankah seharusnya kak Bryan menyapanya dan sekedar menanyakan kabarnya. Tapi sama sekali dia tidak perduli. "Ayah....," Maira dengan terisak - isak memanggil ayahnya. Tuan Mahesa Huang, ayah Maira hanya bisa diam saja. "Jangan seperti anak kecil Maira, kau sudah dewasa, maka bersikaplah seperti orang dewasa," ayahnya berkata. Mendapat jawaban yang tidak memuaskan dari ayahnya, Maira menjadi lebih sakit hati. Dia seperti dipermainkan. "Silahkan kalian istirahat di kamar tamu, aku sudah menyiapkannya, " Jimmy Shilan berkata. "Maaf sudah merepotkan anda tuan Shilan," ayah Maira tidak enak dengan kebaikan tuan Shilan.
Dengan nafas yang tersenggal - senggal, seorang pria dengan baju basah kuyup masuk kedalam sebuah penginapan. Para pelayan melihatnya dengan terkejut. Tampangnya mengenaskan, dengan banyak noda lumpur yang menempel di wajahnya. Dia bergegas masuk dan bertanya ke meja penjaga. "Apakah sekitar kemarin ada dua orang laki - laki yang menginap disini?" Kemudian pria itu mengatakan ciri - ciri mereka. Penjaga penginapan itu mengingat - ingat, dan tersadar. "Ah...ada..., kemarin ada dua orang pria yang memesan dua kamar tidur." "Mereka bilang sedang menunggu teman mereka." Penjaga penginapan menelisik wajah yang ada dihadapannya. "Apakah kau salah satu dari mereka?" "Kau yang mereka tunggu...?" tanyanya dengan ragu - ragu.
Di tempat lain. Maira merasakan nyeri di belakang kepalanya. Pandangannya gelap karena matanya ditutup menggunakan kain hitam. Tangannya diikat di belakang tubuhnya. Sedangkan tubuhnya diikat di tiang. Samar - samar, Maira masih bisa mendengar suara seseorang sedang menyesap minumannya. Bau arak bercampur sesuatu ramuan tercium jelas di hidungnya. "Siapa kau!!" teriaknya. Untung saja mulut Meira tidak disekap, jadi dia bisa berteriak melampiaskan kekesalannya. Tidak mendapat jawaban Maira menggeliat berusaha melepaskan ikatan di tubuhnya. Tapi usahanya sia - sia. "Sialan..!!!" umpatnya. "Diamlah gadis kecil, sekeras apapun kau berteriak dan berusaha melepaskan talinya, itu sudah tidak berguna." "Jadi diamlah dan simpan tenagamu." Suara itu... Itu suara laki - laki. Maira terdiam, meski tidak terlalu pandai bela diri, dia bisa menebak jika orang yang menyekapnya bukan orang sembarangan. Yang perlu dia lakukan sekarang adalah diam mengamat
Di depan sebuah gubuk kecil. Seorang berpakaian hitam berdiri sambil bersandar di dahan pohon. Wajahnya tampan dengan mata tegas dan aura dingin menyelimutinya. Dia sedang mengawasi sekitarnya, matanya yang tajam bagaikan mata elang, memandang ke depan seolah akan menguliti mangsanya. "Tuan...," seseorang yang berpakaian hitam juga muncul dari dalam gubuk dan menyapanya. Dia menoleh dengan acuh tak acuh. "Ada apa?" tanyanya. "Gadis itu sangat berisik, apa sebaiknya kita sumpal saja mulutnya?" tanya seorang berpakaian hitam yang baru saja keluar. "Biarkan saja." "Nanti kalau dia capek, dia akan berhenti sendiri," katanya sambil menatap tajam di kejauhan. Menyadari tuannya sedang menatap sesuatu, anak buahnya merasa cemas.
Keakraban yang membuat Roland cemburu. Tanpa memperdulikan Maureen dan Bryan, dengan cekatan Roland menancapkan pegangan pada dinding - dinding tebing. Meskipun susah bagi Roland untuk masuk di pembicaraan Maureen dan juga Bryan, dia mengalihkan perhatiannya pada alat - alat yang dia pasang. Dengan cekatan dia hampir menyelesaikan semuanya. Maureen dan Bryan bahkan tidak percaya jika Roland mampu menyelesaikannya. "Bagaimana kau bisa melakukan semuanya?" Maureen berjalan mendekati Roland dan bertanya. Raut wajah ingin tau tergambar jelas di wajahnya. "Aku hanya melakukan apa yang aku bisa." "Setidaknya ini akan cukup berguna nantinya." Ketiganya memasang tali dan mengaitkannya dengan pegangan itu agar tubuh mereka tidak terjatuh. Sampai ditengah ketinggian, pemandangan yang menakjubkan tersajikan untuk mereka bertiga. Unt
Morgan segera beranjak dari duduknya. Dia keluar dan memanjat pohon. Dia duduk di atas pohon dan memandang hamparan langit malam yang berhiaskan kerlap kerlip bintang. "Setidaknya langit tidak pernah meninggalkanku." "Dia selalu mengirimkan bintang yang indah untukku." Tenggelam dalam keheningan dan kedamaian yang dia ciptakan sendiri. Morgan seolah tidak mau kembali ke kenyataan tentang siapa dirinya dan apa yang sedang dia lakukan. Bayang - bayang tentang masa lalunya yang buruk ingin sekali dilupakannya, tapi sedikit demi sedikit muncul kembali. "Kenapa harus aku?" "Ada begitu banyak manusia tapi kenapa harus aku?" Setetes air mata kembali jatuh. Morgan sebenarnya memiliki hati yang lembut. Kalau saja bukan karena ibunya, dia tidak akan bertindak sejauh ini.
Kali mereka pergi secara bersama, menelusuri goa. Terlebih dulu Maureen mengambil tanaman Teratai Hijau. Mereka sepakat akan mengambil batu hijau saat kembali nanti. Perjalanan yang dilalui tidaklah terlalu sulit. Jalannya hanya dipenuhi oleh batu hijau, tetapi semakin ke dalam, batu hijau itu makin berkurang. Bahkan tidak ada cahaya yang masuk. Roland memutuskan untuk menyalakan obor yang dibawanya untuk penerangan. Sedikit bau amis tercium saat semakin masuk ke dalam goa. "Amis sekali," Bryan tak tahan untuk berkata. Maureen menyerahkan sapu tangannya untuk menutup hidung Bryan. "Semakin gelap, apakah akan kita lanjutkan?" tanya Roland. "Kita akan coba masuk sampai obor ini habis.""Bagaimana menurut kalian?" Maureen meminta pendapat. "Aku setuju, sudah sampai disini, sebaiknya lanjutkan saja," Bryan berpendapat. "Sebaiknya kita kembali dulu dan membuat persiapan yang lebih baik," Roland memberi saran. "Tidak bisa, terlalu lama dan memakan waktu.""Kita sudah kehabisan
Ketiga terpana, terlebih Maureen merasa bangga. Pasalnya tanaman Teratai Hijau muncul hanya seratus tahun sekali. Dan lagi, ini bisa menjadi bahan untuk menguatkan tubuh Mattew jika sudah sembuh dari racun Kupu Kupu Cahaya. "Kalian coba batu - batu berwarna hijau ini." Maureen menyodorkan beberapa batu kepada Roland dan Bryan. Keduanya mengambil dengan was - was. Maureen melihat reaksi mereka tak bisa untuk tidak tertawa. "Ha.. ha... ha... " "Kalian tenang saja, batu ini coba kalian sesap, rasanya manis dan itu mengandung cairan untuk memulihkan energi." "Aku tadi sudah menyesap beberapa." "Batu ini?" tanya Roland tidak percaya. Reaksi Bryan lebih parah. Dia mengendus, menjilat lalu menyesapnya. "Rasanya seperti memakan manisan mint." "Lumayan untuk dijadikan kudapan." "Apa kubilang..., enak kan?"
Bab 28"Benar - benar seperti manisan, enak sekali," Maureen berkata lirih. Tanpa sengaja matanya menangkap sesuatu yang terang di arah dalam goa. Dia segera memakai pakaiannya yang hampir kering. Kemudian segera menuju ke arah dalam goa dan memeriksa cahaya terang itu. Cahaya warna hijau tua terang yang berada di tengan sebuah batu. Maureen terkejut!! "Itu kan.....""Aku benar - benar beruntung," Maureen berteriak gembira. Itu adalah tanaman Teratai Hijau. Teratai Hijau adalah tanaman yang bisa disebut seperti tanaman mitos. Sangat berguna untuk mengembalikan stamina dan bahkan bisa membuat orang yang sudah renta menjadi sangat kuat. Kabarnya dalam seribu tahun sekali tanaman itu muncul. Dan tempat munculnya pun tidak menentu. Tergantung dari benih yang terbawa oleh angin. Maureen pernah melihat gambar Teratai Hijau dalam lukisan. Dan sekarang, dia benar - benar melihatn
Morgan segera beranjak dari duduknya. Dia keluar dan memanjat pohon. Dia duduk di atas pohon dan memandang hamparan langit malam yang berhiaskan kerlap kerlip bintang. "Setidaknya langit tidak pernah meninggalkanku." "Dia selalu mengirimkan bintang yang indah untukku." Tenggelam dalam keheningan dan kedamaian yang dia ciptakan sendiri. Morgan seolah tidak mau kembali ke kenyataan tentang siapa dirinya dan apa yang sedang dia lakukan. Bayang - bayang tentang masa lalunya yang buruk ingin sekali dilupakannya, tapi sedikit demi sedikit muncul kembali. "Kenapa harus aku?" "Ada begitu banyak manusia tapi kenapa harus aku?" Setetes air mata kembali jatuh. Morgan sebenarnya memiliki hati yang lembut. Kalau saja bukan karena ibunya, dia tidak akan bertindak sejauh ini.
Keakraban yang membuat Roland cemburu. Tanpa memperdulikan Maureen dan Bryan, dengan cekatan Roland menancapkan pegangan pada dinding - dinding tebing. Meskipun susah bagi Roland untuk masuk di pembicaraan Maureen dan juga Bryan, dia mengalihkan perhatiannya pada alat - alat yang dia pasang. Dengan cekatan dia hampir menyelesaikan semuanya. Maureen dan Bryan bahkan tidak percaya jika Roland mampu menyelesaikannya. "Bagaimana kau bisa melakukan semuanya?" Maureen berjalan mendekati Roland dan bertanya. Raut wajah ingin tau tergambar jelas di wajahnya. "Aku hanya melakukan apa yang aku bisa." "Setidaknya ini akan cukup berguna nantinya." Ketiganya memasang tali dan mengaitkannya dengan pegangan itu agar tubuh mereka tidak terjatuh. Sampai ditengah ketinggian, pemandangan yang menakjubkan tersajikan untuk mereka bertiga. Unt
Di depan sebuah gubuk kecil. Seorang berpakaian hitam berdiri sambil bersandar di dahan pohon. Wajahnya tampan dengan mata tegas dan aura dingin menyelimutinya. Dia sedang mengawasi sekitarnya, matanya yang tajam bagaikan mata elang, memandang ke depan seolah akan menguliti mangsanya. "Tuan...," seseorang yang berpakaian hitam juga muncul dari dalam gubuk dan menyapanya. Dia menoleh dengan acuh tak acuh. "Ada apa?" tanyanya. "Gadis itu sangat berisik, apa sebaiknya kita sumpal saja mulutnya?" tanya seorang berpakaian hitam yang baru saja keluar. "Biarkan saja." "Nanti kalau dia capek, dia akan berhenti sendiri," katanya sambil menatap tajam di kejauhan. Menyadari tuannya sedang menatap sesuatu, anak buahnya merasa cemas.
Di tempat lain. Maira merasakan nyeri di belakang kepalanya. Pandangannya gelap karena matanya ditutup menggunakan kain hitam. Tangannya diikat di belakang tubuhnya. Sedangkan tubuhnya diikat di tiang. Samar - samar, Maira masih bisa mendengar suara seseorang sedang menyesap minumannya. Bau arak bercampur sesuatu ramuan tercium jelas di hidungnya. "Siapa kau!!" teriaknya. Untung saja mulut Meira tidak disekap, jadi dia bisa berteriak melampiaskan kekesalannya. Tidak mendapat jawaban Maira menggeliat berusaha melepaskan ikatan di tubuhnya. Tapi usahanya sia - sia. "Sialan..!!!" umpatnya. "Diamlah gadis kecil, sekeras apapun kau berteriak dan berusaha melepaskan talinya, itu sudah tidak berguna." "Jadi diamlah dan simpan tenagamu." Suara itu... Itu suara laki - laki. Maira terdiam, meski tidak terlalu pandai bela diri, dia bisa menebak jika orang yang menyekapnya bukan orang sembarangan. Yang perlu dia lakukan sekarang adalah diam mengamat
Dengan nafas yang tersenggal - senggal, seorang pria dengan baju basah kuyup masuk kedalam sebuah penginapan. Para pelayan melihatnya dengan terkejut. Tampangnya mengenaskan, dengan banyak noda lumpur yang menempel di wajahnya. Dia bergegas masuk dan bertanya ke meja penjaga. "Apakah sekitar kemarin ada dua orang laki - laki yang menginap disini?" Kemudian pria itu mengatakan ciri - ciri mereka. Penjaga penginapan itu mengingat - ingat, dan tersadar. "Ah...ada..., kemarin ada dua orang pria yang memesan dua kamar tidur." "Mereka bilang sedang menunggu teman mereka." Penjaga penginapan menelisik wajah yang ada dihadapannya. "Apakah kau salah satu dari mereka?" "Kau yang mereka tunggu...?" tanyanya dengan ragu - ragu.
Tidak ada jawaban pasti yang diterima oleh Maira. Bahkan ayahnya seperti menyembunyikan sesuatu. Rasa cinta yang dia rasakan selama 5 tahun ini seperti sia - sia. Bahkan kak Bryan juga tidak menemuinya. Bukankah seharusnya kak Bryan menyapanya dan sekedar menanyakan kabarnya. Tapi sama sekali dia tidak perduli. "Ayah....," Maira dengan terisak - isak memanggil ayahnya. Tuan Mahesa Huang, ayah Maira hanya bisa diam saja. "Jangan seperti anak kecil Maira, kau sudah dewasa, maka bersikaplah seperti orang dewasa," ayahnya berkata. Mendapat jawaban yang tidak memuaskan dari ayahnya, Maira menjadi lebih sakit hati. Dia seperti dipermainkan. "Silahkan kalian istirahat di kamar tamu, aku sudah menyiapkannya, " Jimmy Shilan berkata. "Maaf sudah merepotkan anda tuan Shilan," ayah Maira tidak enak dengan kebaikan tuan Shilan.