Share

SARGIO. 4

Lebih banyak menampakan senyum palsu

Dari pada menjelaskan apa yang sebenarnya

Terjadi, karena tidak semuanya yang bertanya

Kenapa? itu dia peduli.

~Salsabila Aurelia Dierja~

Hari selasa, pagi yang sangat buruk bagi Kelas XI IPS 1. Karena harus mengumpulkan tugas pagi-pagi sekali sebelum jam pelajaran dimulai, 

Pak Agus sudah berpesan setiap kali ada tugas darinya mereka harus mengumpulkannya pagi-pagi sekali sebelum pelajaran berlangsung, tepatnya jam delapan sudah harus berada di mejanya, tekat satu detik pun nilainya akan terpotong seperti ini lah contoh guru yang pelit nilai.

Telihat suasana kelas pagi ini yang begitu kacau, bekas guntingan kertas di mana-mana. Audrey dan Tania yang saling berebut buku yang sudah dipinjamnya dari Salsa. "Buku gue woy! jangan ngerusak lo pada, itu gue nulisnya capek bangett ...." Salsa langsung merebut buku tersebut. 

"Sekretaris woy!!" panggil Salsa pada Lily, iya Lily adalah sekretaris di kelas ini.

"Apaan?" Jawabnya.

"Nih, mau nyontek kagak? tulis aja di papan tulis biar kalian gak usah berebut gitu," ucap Salsa dengan melempar buku besar itu pada meja Guru di hadapannya.

"Aaa ... makasih bep!" ucap Audrey Girang.

"Iya kalian seneng, lah tangan gue yang pegel," gerutu Lily melihat teman-temannya yang begitu girang karena mendapatkan contekan, memang dasar kelas ini sangatlah ajaib berangkat dari rumah penuh dengan rasa resah, gelisah dan galau karena PR yang belum selesai dan ketika sampai di sekolah mereka mendapatkan contekan dengan cuma-cuma.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu terdengar dari luar kelas diikuti teriakan seseorang. "Woy buka pintunya!!" teriak Galih dari luar dengan mendorong pintu tersebut. "Woy yang di dalem bukain dong, ngapain sih make dikunci segala!!" lanjutnya.

"Nggak ada yang ngunci Malih!!" teriak Salsa dari dalam kelas.

"Ini kenapa gak bisa dibuka woy!" kesal Galih dengan sedikit mendobrak pintu tersebut tetapi tetap saja tidak terbuka.

"Tarik bego! Bukan didorong tolol!" umpat Revan. 

"Anjirr lah gue kena prank sama pintu, bangs*t banget tuh pintu!" kesal Galih, membuat seisi kelas tertawa ngakak seketika. Mau taro di mana muka Galih, rasanya ingin cepat-cepat pergi menghilang dari muka bumi ini.

"Diem lo pada! Makanya besok-besok taro tulisan tuh di pintu Tarik/Dorong gitu biar gue kagak bingung," ucap Galih berusaha menutupi rasa malunya.

"Lo pikir ini Indomaret lo kasih tulisan kayak gitu depan pintu," komentar Salsa.

"Nih! Lo tempel udah gue tulis tuh, yang tarik buat di luar yang dorong buat di dalem," jelas Revan. Menyodorkan kertas tersebut pada Galih dan langsung dipasang pada pintu kelas.

"Gue cobain ya, nih." Galih keluar dari kelas lalu menutup pintunya, dan kembali membukanya.

Aneh memang tapi itulah Galih, tanpa Galih kelas ini berasa tidak hidup kelas akan sepi tanpa tingkah-tingkah aneh seorang Galih, dia adalah moodboster di kelas ini.

"Pagi Bund!" ucap Galih yang baru saja memasuki kelas.

"Pagi-pagi gini si kecil mulai aktif ya, Bund?" lanjut Revan.

"Apa materi ghibah hari ini Bund?" tanya Audrey ikut menimpali.

"Anjim!" umpat Revan.

"Astagfirullah kalian berdosah banget!!" ucap Galih mendramatis.

"Najis! Gak usah desah bego!" balas revan, seketika botol aqua kosong melayang mengenai kepala Galih.

"Anjim sakit bangsat!" Galih kembali melempar botol aqua tadi yang sayangnya tidak tepat sasaran.

"Wahh si bangsat ini banyak tingkah ya, Bund!" komentar Thania menatap Galih dan Revan bergantian.

"Materi ghibah dong Bund?" ucap Audrey yang sudah menyelesaikan acara menulisnya.

"Tungguin gue, jangan mulai dulu!!" jerit Lily yang sedang menulis di papan tulis.

"Boleh Bund, sebelum dimulai ada baiknya kita awali dengan membaca hamdalah!" ucap Galih asal sambil menengadah tangan memasang wajah serius.

"Ehh bener nggak sih?" tanya Galih bingung.

"Basmalah dulu Bambang!!" ucap Revan kesal, satu toyoran mendarat di kepala Galih.

Galih menatap Revan garang. Tarik nafas, tahan jangan di buang mubajir, batin Galih.

Saat sedang asik-asiknya membahas tentang Pak Bambang yang punya istri dua, tiba-tiba seseorang mengacaukan acara ghibah mereka. "Kalian ini kerjaannya ghibah truss!! Bayar uang kas dulu woy!!" gertak Zaskia, bendahara kelas, dengan memasang wajah garang layaknya preman.

"Dari pada lo kerjaannya malakin orang! mau jadi preman pasar lo?!" balas Revan, biar pun begitu Revan tetap merogoh kantongnya lalu mengeluarkan sejumlah uang 2000 lalu memberikannya kepada Zaskia.

"Iyadih dasar tukang malak! nggak dikasih uang jajan ya lo? Makanya minta-minta!" ledek Galih.

"Gue nanti ya istirahat, gada duit receh," ucap Galih beralasan. Zaskia hanya geleng-geleng kepala sambil berdecak kesal. Auto istigfar seratus kali sambil ngelus dada. Jangan sampe ngegas, gaboleh ngomong kasar, sabar. Untuk kali ini Zaskia maafkan Galih jika istirahat nanti tidak memberikan uang siap-siap saja dilaporkan kepada wali kelas.

"Oke guys! Alfatihah!" ucap Revan mengintrupsi setelah Zaskia meninggalkan mereka untuk meminta uang kas kepada yang lainnya.

"Belum waktunya masuk, ngapain Do'a?" tanya Lily heran.

"Kan kita mau ghibah, biar berkah," bukan, bukan Revan yang menjawab tapi Galih.

"Sejak kapan njirr ngeghibah dapet berkah!" ucap Revan, lagi-lagi tangannya tidak bisa diam dan menoyor kepala Galih. Sungguh miris jadi sahabat Revan karena tangannya yang tidak bisa diam, bahkan ketika tertawa pun dia akan melayangkan pukulan pada seseorang di sekitarnya atau benda di sekitarnya, Galih pikir itu tidak beda jauh seperti perempuan yang selalu melakukan hal tersebut.

"Sejak saat pertama melihat senyumannya!" Galih menjawab pertanyaan Revan dengan nyanyian dan di situlah seisi kelas mulai bernyanyi.

"Jantung berdebar-debar inikah pertanda," dilanjut dengan si Ropeah yang duduk di kursi bagian belakang.

"Anjayy suara gue bangus bangett!" ucap Ropeah bangga dengan menggebrak mejanya menghasilkan suara yang begitu bising. Sejujurnya ada yang lebih receh di kelas ini selain Galih, dia yang biasa dipanggil Ropeah sangat cocok jika bersanding dengan Galih.

"Heh Siti Ropeah berisik!!" gertak Galih yang sudah menutup kedua telinganya.

Kelas XI IPS 1 memang paling berisik, walaupun kelas ini paling bobrok dan receh tetapi kelas ini adalah kelas yang paling rajin dari kelas-kelas IPS yang lainnya, rajin ghibah misalnya. Tapi jangan salah masalah tugas sekolah mereka paling utama apa lagi solidaritas contek menyonteknya patut diacungkan jempol, sungguh kelas idaman tetapi tidak untuk si ambis.

"Eh Salsa mana? kok tiba-tiba ngilang sih tuh anak?" tanya Galih saat menyadari jika Salsa tidak ada di kelas.

"Tadi bilangnya ke toilet tuh," jawab Audrey. 

"Woy Salsa pingsan di koridor dekat kamar mandi!" Seseorang berteriak dari luar kelas membuat Audrey langsung berlari keluar, diikuti yang lainnya.

0_0

Gio baru saja menuruni tangga dari kelasnya yang berada di lantai tiga, sesampainya pada tangga terakhir tepatnya di lantai dua Gio mengurungkan niatnya untuk kembali turun.  Niatnya tadi menuju perpustakaan karena melihat seorang gadis yang baru saja keluar dari arah kamar mandi dengan mata yang bengkak, dan berjalan dengan berpegangan pada dinding tembok yang berada di dekatnya.

Karena itu Gio memilih menghampirinya dan melupakan tujuan awalnya, salah satu alasannya karena dia akan menghampiri Salsa.

Salsa, iya dia adalah Salsa, kepalanya kembali berdenyut nyeri setelah memikirkan ucapan Gio waktu itu. "Jingga, bermakna ketenangan, walaupun singkat namun indah." Kata-kata tersebut terus saja terngiang-ngiang di pikirannya. Itu adalah kata-kata yang pernah Mamahnya ucapkan dulu, kenapa bisa Gio mengucapkannya. Itu membuat Salsa kembali teringat Mamahnya, rasa rindu itu kembali mendatanginya. 

Tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas, kakinya seakan tidak dapat berjalan lagi, Salsa lelah jika harus terus seperti ini di saat mengingat kejadian yang sangat membuatnya hancur, dulu. 

Tiba-tiba saja tubuhnya hampir terjatuh, untung saja ada seseorang yang menahan tubuhnya. "Gue bantu," ucapnya, lalu Salsa tidak sadarkan diri dalam dekapannya.

Melihat wajah pucat Salsa, yang terbaring lemah di berankar UKS Membuat Gio sedikit khawatir, sedikit aja gausah banyak-banyak gue belum cinta.

"Shtt ...." desis Salsa, membuat Gio langsung menghampirinya.

"Mamah ... Mamah ... Mah ...." lirih Salsa dengan mata yang masih tertutup.

"Salsa.. Sal ... bangun," ucap Gio sambil menepuk-nepuk pipi Salsa pelan.

"Mah.. Mamah.. MAMAH!" jerit Salsa lalu tersadar, tanpa sadar air matanya keluar begitu saja.

"Lo gapapa? Nih minum dulu." Gio menyodorkan gelas yang berisi air putih yang berada di nakas. Dengan membantu Salsa untuk menyenderkan badannya agar lebih mudah untuk minum. Membuat posisi mereka begitu dekat dengan mata yang saling memandang. Tangan Gio bergerak membersihkan air mata yang mengalir itu, seakan tersadar dengan jantungnya yang seperti sedang marathon Salsa lebih dulu memalingkan wajahnya.

"Thanks," ucap Salsa yang diangguki oleh Gio.

Gedubrak! 

Pintu terbuka dengan tidak santainya, menampakkan Audrey dengan wajah paniknya, diikuti teman-teman yang lainnya dan langsung menyerbu Salsa dengan berbagai pertanyaa.

"Sal, lo gak kenapa-kenapa kan?" tanya Audrey menghampiri Salsa dengan wajah panik, begitupun dengan Thania dan juga Lily.

"Gue gak kenapa-kenapa Drey," jawab Salsa meyakinkan Audrey.

Gio tidak habis pikir dengan Salsa sepertinya dia benar-benar menyembunyikan masalahnya kepada para sahabatnya, dan semua itu berhasil ntah apa yang Salsa sembunyikan selain masalah penyakitnya tetapi Gio yakin Salsa memiliki masalah yang cukup rumit sampai-sampai dia sakit. Bagi Gio mengenal Salsa adalah suatu anugrah dia gadis yang mampu menginspirasi Gio dan ntah kenapa Gio merasakan hal yang aneh ketika bersama Salsa.

"Udah, kalian ke kelas aja nanti kalo ada Guru kan bahaya. Biar gue di sini yang jagain Salsa," perintah Galih pada teman-temannya.

"Bilang aja lo mau bolos!" ucap Thania.

"Iyatuh, bener banget Tani," ucap Lily menyetujui.

"Tani, Tani lo pikir gue Pak Tani apa?!" ucap Tania kesal. 

"Hehehe ... piss!" Lily mengangkat kedua jari yang membentuk huruf V ditambah dengan cengirannya.

"Yaudah kalo gitu kita ke kelas duluan ya Sal, nanti istirahat kita ke sini lagi, oke!" pamit Thania diikuti yang lainnya, kecuali Gio dan Galih yang masih berada di sana.

"Oh iya, jangan kasih tau Arkan ya, kalo gue pingsan. Gue gak mau kalo dia khawatir sama gue," pesan Salsa pada Gio dan Galih yang berada di sana.

"Ngak perlu, gue udah tau." Arkan memasuki ruangan tersebut, Salsa terdiam seketika, Arkan pasti akan sangat menghawatirkan dirinya.

"Lo kenapa sih, gue ini Adik lo Kak," ucap Arkan mendekati Salsa.

"Gue nggak mau lo khawatir sama gue." 

"Gimana gue nggak khawatir, lo kan Kakak gue!" Salsa diam mendengar ucapan Arkan yang sedikit membentaknya. Apa Salsa salah? Dia hanya tidak ingin melihat orang-orang di sekitarnya merasa khawatir.

Arkan merasa bersalah karena sudah berbicara seperti itu pada Kakaknya, tetapi Arkan juga berhak mengetahui segalanya bukan? Mereka saudara harusnya mereka saling terbuka satu sama lain, bukan malah menyembunyikan beban masing-masing. 

"Kalian balik aja sono, biar gue yang jagain dia. Kelas gue nggak ada Guru kok," ucap Gio memecahkan keheningan yang sempat tercipta.

"Terima kasih Bang, gue nitip Kak Salsa ya," ucap Arkan yang di angguki oleh Gio. Sebelum keluar dari UKS Arkan menyempatkan diri untuk mengusap kepala Salsa lalu pergi dari ruangan tersebut begitu pun dengan Galih.

Kini tersisa hanya Salsa, dan Gio yang berada di UKS. Dokter yang bertugas di sekolah ini sudah memeriksa Salsa tadi, Salsa tidak apa-apa hanya saja dia begitu banyak pikiran dan butuh sedikit istirahat.

Tok tok tok!

Suara ketukan pintu pada ruang UKS mengalihkan perhatian Salsa dan Gio yang sedari tadi saling berdiam diri, mereka menunggu seseorang tadi untuk masuk bahkan Salsa sudah membuka suaranya mempersilakan namun, seseorang tak kunjung masuk. Gio lantas langsung mengecek keluar dan saat membuka pintu di bawah sana Gio menemukan sebuket bunga yang tergeletak di lantai. "Dari siapa?" pikir Gio.

Gio melihat sekitar koridor UKS yang sepi, tidak ada siapa-siapa lantas dari siapa bunga tersebut? Gio memilih kembali masuk ke dalam dengan membawa bunga tersebut sepertinya ini untuk Salsa. 

"Ini," Gio menyodorkan sebuket bunga mawar tadi. Salsa menikan sebelah alisnya untuk apa Gio memberinya bunga? Salsa yang dibuat bertanya-tanya pun tetap mengambil bunga tersebut, lumayan untuk pajangan di ruang tamu.

Bunga mawar yang begitu indah dan segar, Salsa melihat jika terdapat secarik kertas yang terselip di dalam sebuket bunga itu, Salsa pun mengambilnya lalu membaca surat tersebut yang tertulis "Harta Yang Paling Berharga Dalam Hidup Seseorang." Orang yang sama? 

Bagiku harta yang paling berharga adalah Mamah. Batin Salsa.

Gio bangun dari duduknya, lalu menghampiri Salsa. "Lo makan dulu gih," ucap Gio mengambil bubur yang sudah disiapkan di atas nakas yang tadi dibeli oleh Galih. Lalu duduk di kursi yang berada di dekat berankar.

"Gue bisa makan sendiri!" ucap Salsa merebut mangkuk yang dipegang oleh Gio.

"Jangan macem-macem, lo masih sakit," tutur Gio kembali mengambil mangkuk tersebut Salsa hanya bisa pasrah ketika Gio menyodorkan sesuap bubur itu pada dirinya.

"Gak enak," ucap Salsa menyingkirkan pelan sendok yang Gio pegang padahal belum Salsa rasakan bubur tersebut tetapi Salsa benar-benar hilang selera melihat bubur itu.

"Belum juga lo makan," ucap Gio masih terus membujuk Salsa dengan sangat sabar.

"Udah pernah."

"Pernah apa?"

"Pernah nyoba lah!"

"Terus?"

"Ya gak mau dimakan nggak enak."

"Kan gue suapin biar enak," ucap Gio. "Buka mulut!" Suruh Gio, Salsa hanya menggeleng, menutup mulut dengan telapak tangan. 

"Buka mulut lo! cepetan!" Paksa Gio, Salsa tetap menutup mulutnya. 

"Buka mulut lo, atau mau gue kasih tau ke Arkan kalo kemaren lo juga pingsan?" Cara terakhir semoga berhasil, jika tidak seperti itu Salsa tidak ingin makan pastinya. 

"Oke, fine gue makan!" ucap Salsa kesal, membuat Gio tersenyum lalu mulai menyuapi Salsa dengan telaten. Baik juga ni orang, batin Salsa. 

Sebenarnya setelah pulang dari rumah Gio semalam Salsa mendapatkan kenyataan yang cukup buruk, ternyata Gio adalah tetangganya.

Salsa masih memikirkan semuanya, tentang kejadian di perpustakaan waktu itu Salsa pun tidak tahu. Sebenarnya siapa yang memberikannya kalung kemarin, dan sekarang sebuket bunga. 

Jika murid Erlangga rasanya tidak mungkin, karena Salsa sudah melarang mereka untuk memberikan berbagai hadiah yang membuat lokernya penuh. Dan sejak itupun tidak ada lagi yang memberinya hadiah, bunga dan sebagainya. Namun kali ini? ntahlah Salsa dibuat bingung akhir-akhir ini.

"Nggak usah dipikirin nanti lo stres tumbang lagi," ucap Gio membuyarkan lamunan Salsa.

Sepertinya Gio tahu dan sangat mengerti apa yang Salsa pikirkan sekarang.

"Gue mau minta maaf," lanjut Gio karena Salsa tak kunjung membalas ucapannya.

"Buat?" tanya Salsa bingung.

"Masalah kemaren."

"Gue masih kesel," ucap Salsa memalingkan wajahnya ke arah samping. Mengingat kejadian kemaren membuat Salsa teringat jika sedang bermusuhan dengan Gio, tetapi mengapa sekarang mereka terlihat baik-baik saja? Sepertinya Salsa belum benar-benar sadar dari pingsannya. Yang pasti Salsa masih kesal dengan kejadian waktu itu Gio benar-benar membuatnya kesal.

"Gue pengen jadi temen lo. Jadi lo harus maafin gue," ucap Gio tulus.

"Nggak!" tolak Salsa.

"Oke, gue pergi kalo gitu." Gio pergi begitu saja meninggalkan Salsa seorang diri, karena tidak tega Gio pun memilih tetap berada di luar UKS duduk pada salah satu kursi yang tersedia di depan sana. Rasanya Gio tidak bisa meninggalkan Salsa seorang diri, takut terjadi sesuatu ntah perasaan macam apa ini, mengapa  Gio begitu peduli kepada Salsa yang baru-baru ini dikenalnya dan memasuki kehidupannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status