"Kamu kira nyari kerjaan itu mudah? Ya ..., untuk orang sekaya kamu, pastinya mudah. Itu bukan masalah, tapi beda sama aku," ucapku agak tersinggung.
Nicholas terdiam lagi, sepertinya sedang berpikir akan menyahut apa selanjutnya. Sedang masakanku sudah siap. Sembari aku menyajikan makanan, dia berkata lagi, "Kalau kamu mau, aku bisa carikan kamu kerja yang lebih layak dan bagus."
Apa maksudnya, sih? Apa yang ada di pikiran manusia ini? Tadi dia seolah ingin menyingkirkan aku dari kehidupan Theo, namun sekarang dia malah bersikap manis. Mungkin ini jebakan, pikirku. Kalau aku langsung setuju, barangkali dia akan langsung mengira aku memang sengaja ingin memanfaatkan Theo dan keluarganya.
"Kerja apa maksudnya? Maaf ya, aku tau aku ini bukan orang kaya, tapi aku bukan pengemis. Aku juga nggak mau ngerepotin keluarga Theo."
"Kenapa langsung ke arah sana ngomongnya? Aku kan nggak bilang kamu pengemis. Cuma ..., kalau kamu mau jadi bagian keluarga kami, seenggaknya kamu harus setara atau di bawah Theo sedikit. Jangan salah paham, sebetulnya aku mikirin nama baik keluargaku aja, kok," ralatnya.
Sial! Aku mengutuk dalam hati. Cowok yang satu ini memang lihai mempermainkan perasaan. Makin aku openi, dia malah makin membuatku terlihat bodoh.
"Terserah kalau gitu menurut kamu, gih makan! Nggak usah banyak omong lagi!" rutukku sebal.
Nicholas tertawa mengejek, lalu menyuap pasta yang kubuat ke dalam mulutnya.
Jantungku berdebar. Darah berdesir. Kuperhatikan betul bagaimana ekspresinya, apakah dia menikmati pasta yang kubuat. Nicholas menggumam sesaat, matanya terpejam dengan mulut terus mengunyah.
"Gimana?" tanyaku tak sabar.
Dia menggeleng pelan, seperti meminta waktu lebih untuk menilai. Aku bingung dibuatnya. Air muka dan caranya melahap masakanku seolah baru saja menyantap hidangan yang dibuat juru masak ternama, tapi hati kecilku yakin, kalau dia sedang bermain-main. Pasti nanti ujung-ujungnya menghina, dia cuma mau membuatku salah paham dengan ekspresinya.
"Rasanya enak," katanya cepat.
O, sepertinya dugaanku salah. Syukurlah.
"Tapi nggak seenak yang aku bayangkan," sambungnya.
Ck! Ingin sekali kulayangkan piring ke mukanya yang menyebalkan itu.
"Kamu bisa mengoperasikan komputer?" Tiba-tiba dia mengubah percakapan.
"Bi-Bisa ..., tapi kenapa?" tanyaku bingung.
"Besok datang ke kantor, aku punya kerjaan buat kamu." Dia keluarkan sebuah kartu nama dari dompetnya.
Alisku mengerut heran. Orang ini belum seminggu kukenal, tapi sudah bersikap seenaknya, dia bahkan tak peduli aku masih terikat pekerjaan atau tidak.
"Jangan seenaknya gitu, dong. Aku juga punya kerjaan, biarpun gajinya kecil. Itu nggak bisa dilepas begitu aja. Aku ada kontrak!" tolakku agak keras.
"Tadi aku udah bicara sama manajer kamu, aku udah bilang kamu ngundurin diri," ungkapnya santai, seolah sedang bicara sesuatu yang remeh temeh. "Dan, tenang aja, uang ganti rugi kontrak juga udah aku bayarkan," pungkasnya cuek.
Mulutku menganga. Ini manusia macam apa? Ini sih bukan tawaran kerja, tapi pemaksaan! Bukannya aku tidak suka keluar dari Toko Buku itu, bukannya aku nyaman bekerja dengan manajer gila itu, tapi ini .... Dia bahkan tidak cerita sama sekali tentang pengunduran diriku. Itu artinya ..., sekarang aku menganggur? Dia betul-betul membuatku tidak punya pilihan. Mataku seakan menyemburkan api, menatapnya tajam.
"Jangan salah paham, udah kubilang, kan? Aku lakuin ini demi keluargaku, bukan demi kamu. Jadi sebaiknya, kalau kamu masih mau terus bersama Theo, lakukan sesuai perintah."
Dia selesai makan. Piringnya kini bersih, dia santap semua pasta tanpa sisa.
Kalau sudah begini sih, namanya aku kalah sebelum berperang. Mana mungkin juga menang dari manusia sakit jiwa seperti ini!
"Jangan lupa, ya. Besok aku tunggu di kantor sesuai alamat kartu nama itu. Terima kasih makanannya."
Nicholas berdiri, tanpa babibu dan basa-basi, dia berlalu keluar dari indekos. Aku masih cengo. Diam memandang kartu nama di tangan, mulutku masih terbuka, mataku melotot,
Apa-apaan ini?!!!!!
Tapi tunggu sebentar, itu belum akhirnya, masih ada yang harus aku sampaikan perihal hubunganku dengan Nicholas.Setelah orang tua Nicholas menerima kondisi kami, termasuk janin yang ada di kandunganku, kami melangsungkan kembali acara resepsi pernikahan yang lebih megah dan besar, di mana seluruh keluarga, kerabat maupun rekan bisnis keluarga Nicholas datang dan mendoakan kami.Kadang hatiku masih kecut, sebab samar-samar aku masih bisa mendengar suara cibiran dari keluarga Nicholas yang belum sepenuhnya menerima kehadiranku. Meski demikian, sosok Theo cukup sebagai pencair suasana.“Kenapa, Bumil? Kok mukanya cemberut?” tanya Theo sambil berdiri manis di sampingku, sementara Nicholas sibuk meladeni rekan-rekan bisnisnya yang berdatangan silih berganti sejak tadi siang.Aku pura-pura tersenyum, menutupi hati yang gelisah dan agak kecewa. “Nggak kenapa-napa kok, Theo ... giman
Sedetik dunia di sekitarku serasa berhenti berputar. Mataku terarah hanya memandang batu cincin berlian yang dipegang Nicholas. "Kamu ..., yakin?" tanyaku lirih. "Yakin banget! Aku udah fiks mau ninggalin semuanya, demi kamu, demi anak kita, masa depan kita. Kamu mau kan?" Nicholas menatapku penuh harap. Mana mungkin bisa aku menolaknya bila sudah begini. Air mataku jatuh sampai ke dagu, langsung kuanggukkan kepalaku berulang kali. "Ya! Iya ..., aku mau! Aku mau!" isakku terharu. Dalam sedetik Nicholas langsung berdiri memelukku erat-erat, lalu dia pegang daguku kemudian bibir kami bertemu kuat. Selesai dia cium aku merilis segala perasaan, dia sematkan cincin itu di jari manisku. *** Kami kembali ke rumah Papa dan Mama dengan tangan bergandengan. Mama berlari ke arahku saat dia sadari jari manisku dilingkari sebuah cincin dengan batu nan indah. "Kamu ..." Suara Mama menggantung. Di depan kedua orang tuaku yang agak kebingungan, Nichol
Mungkin benar apa kata orang, cinta ibu itu sepanjang masa. Walau ayah dan ibuku kecewa atas kebodohan yang kuperbuat, mereka masih menerima kondisiku. Aku tak diusir atau bahkan dibuang seperti yang aku sangka.Malahan, dengan penuh perhatian, ibuku menyiapkan ramuan jamu untuk menguatkan janin di rahimku. Dia pun meminta agar aku tak berpikir untuk menggugurkan kandunganku, dia mengecam pikiran itu meski hanya sekilas terbersit. Aku pun berjanji, bahwasanya aku tak akan pernah membunuh anakku sendiri. Aku akan mempertahankannya dengan apa pun.Semua berjalan baik selama seminggu aku berada di rumah Mama dan Papa. Sampai satu sore, Papa menerima seorang tamu yang katanya mencariku. Aku yang saat itu sedang memasak di dapur beranjak ke ruang tamu untuk melihat sendiri siapa yang datang."Mayang!"Betapa kaget aku saat yang kujumpai sedang berdiri di depan pintu ternyata Nicholas. Wajahnya semringah sekaligus kaget. "Aku nyari kamu ke mana-mana!" serunya.
Dengan menumpang becak dari Bandara, aku sampai juga di rumah kecil milik orang tuaku. Hampir tak ada yang berubah. Di teras rumah kecil itu masih ada mesin jahit tua tempat ibuku biasanya menerima jasa menjahit.Dulu dia aktif membuatkan kebaya sampai gaun pengantin, tapi seiring dia menua, pesanan yang dia kerjakan hanya menjahit celana jins atau memperkecil baju saja. Lagipula, dia tak perlu pula bekerja terlalu keras sebab anaknya satu-satunya yaitu aku sudah bisa mandiri sendiri, dia cukup memikirkan masa tuanya saja.Kota tempat orang tuaku tinggal bukan kota metropolitan, cuma kota kecil. Dibilang desa atau kampung jelas bukan, tapi disebut kota besar juga bukan. Tidak banyak gedung tinggi, tapi mal ada, plaza ada. Kebanyakan adalah perumahan atau kawasan penduduk yang tak seberapa padat. Rumah mereka pun, sekalipun kecil dan sederhana, namun gampang diakses karena tepat berada di pinggir jalan besar. Di seberang rumah mereka, berdiri sebuah pabrik rokok yang su
Belum ada kepastian dari Nicholas selanjutnya kami harus bagaimana. Dokter hanya memberiku vitamin untuk memperkuat janin. Usai pemeriksaan, aku dipersilakan pulang. Theo tak berkata apa-apa, barangkali takut juga salah memberi komentar dan malah membuat Nicholas tambah berang.Tak ada basa-basi dari Nicholas, dia pun langsung pulang. Dia kembali lagi menjelang malam, aku tak tahu untuk apa. Sekelebat, aku kira dia akan melamarku, memintaku untuk menjadi istrinya, atau mungkin membicarakan rencana untuk pernikahan atau setidaknya ingin bertemu orang tuaku.Namun, aku salah. Dia justru berkata tanpa ragu, dengan mata begitu lurus dan tajam, "Sebaiknya kamu gugurkan aja kandungan itu. Jangan diteruskan."Mulutku terbuka setengah, kepalaku pening seketika seolah ada petir yang menyambar tepat di ubun-ubun. "Hah? Kamu nggak lagi mabuk kan, Nich?" tanyaku pelan, syok.Matanya agak memerah. "Aku belum siap untuk jadi ayah," jelasnya pendek.Singkat. Tapi
"Mayang! Aku mau ngomong bentar, May!"Satu bulan ini aku terus "diteror" oleh Theo. Aku menolak bicara, aku bahkan ogah walau sekadar bertemu. Wajar kalau aku marah besar, apa yang dia lakukan begitu egois sekalipun berdalih untuk melindungiku dari Nicholas.Sejak Om Baskoro mengumumkan pergantian ahli waris, Nicholas memang gundah gulana. Itu manusiawi, seumur hidupnya dia menjalani hidup sebagai calon penerus tahta lalu tiba-tiba saja mahkotanya akan direbut oleh adiknya sendiri. Dan semua itu hanya karena satu orang perempuan, yaitu aku. Menurutku dia gila kalau dia tidak panik saat ini.Untungnya Nicholas belum ada tanda-tanda meninggalkan aku meskipun dia tampak sangat cemas belakangan ini."Mayang,please!"Kepalaku mau meledak juga lama-lama, Theo seolah tak akan menyerah sekalipun petir menyambar kepalanya. Akhirnya aku keluar, kulihat dia sudah pucat, kelelahan, terlalu lama menunggu."Apaan sih?!" hardikku jengkel.