Dari ekor mataku, bisa kulihat ekspresi muka Nicholas sekarang. Bibirnya sedikit terangkat, sedang alisnya mengerut. Singkat kata, dia jijik melihat indekos tempat aku tinggal. Menurutku pribadi tidak buruk. Ada jendela kayu dengan warna favoritku, biru langit. Di halaman yang sempit, beberapa pot bunga mawar pemberian Ibu mekar. Memang kecil, berada tepat di tengah rumah bedeng, diapit dua indekos lainnya, tapi manis dan cantik. Sesuai seleraku.
"Ayo masuk." Kubuka pintu kayu yang juga dicat biru langit.
Nicholas masuk. Matanya langsung menyisir ke kiri dan kanan, dari dapur yang cuma ada satu kompor kecil dan kulkas satu pintu, ke pintu kamar mandi yang juga dicat biru langit, lemari pakaian, TV, lalu berakhir di tempat tidur berseprai putih. Sisanya, hanya lantai kosong di tengah ruangan untuk duduk atau makan.
"Nggak ada sofa untuk duduk?" tanya Nicholas.
"Kalau pun ada sofa mungkin cuma muat di atap," balasku sinis. "Duduk aja di lantai. Kamu mau makan, kan? Dijamu sebagai calon kakak ipar? Silakan. Tunggu sampai aku selesai masak," lanjutku menyindir.
Nicholas mendengkus tapi kemudian menurut, aku bisa melihat dia menyapu lantai dengan telapak tangannya lebih dulu sebelum duduk. Padahal aku bisa jamin, lantai kamarku bisa dijilat saking bersihnya! Tapi sudahlah, aku tidak mau buang waktu memusingkan kelakukan orang arogan seperti dia.
Kubuka kulkas, melihat apa yang bisa dimasak. Aku ingat masih punya sisa bahan untuk pasta olio aglio.
"Jadi, sejak kapan kamu mengenal Theo?" Nicholas bertanya lagi.
"Kami kenal di kampus. Terus satu komunitas drama musikal," jawabku sambil mengeluarkan bahan-bahan untuk memasak.
Baru aku ingat, setidaknya aku harus membuatkannya minuman lebih dulu. "Mau minuman dingin atau panas? Cuma ada kopi, teh, atau sirup jeruk. Mau apa?"
"Sirup aja," jawabnya singkat. "O ..., jadi kalian satu komunitas drama kampus? Berarti kita pasti ketemu, aku pernah nonton drama yang diperanin Theo. Tapi kok ..., aku lupa ya, rasanya kita nggak pernah ketemu." Dia lanjut membahas soal Theo.
"Ya wajar aja, aku kan bukan kelas kamu. Kamu pasti cuma ketemu sama anak-anak orang kaya juga," kataku sembari meletakkan segelas sirup di dekatnya.
Tak ada tampikan darinya, cuma mukanya saja yang sebal menatapku. "Jadi, udah lama pacaran sama Theo?" tanyanya lagi.
"Baru ..., setahun belakangan ini." Aku mengarang cepat.
"Apa yang kamu suka dari Theo?"
Nicholas beranjak, lantas mendekat, bersandar pada kulkas, memandangi aku yang tengah sibuk membersihkan udang di wastafel cuci. Entah mengapa, aku jadi gugup. Tidak pasti karena dia bertanya soal Theo, atau karena sekarang matanya sedang mengawasi tanganku.
"Kamu bisa duduk aja. Aku jadi ngeri sendiri diliatin masak sama orang lain."
"Kenapa? Santai aja. Aku udah lama nggak liat orang lain masak di dapur rumah," akunya.
"Bohong. Orang kayak kamu pasti sering liat chef masak di depan mata kamu, makanannya langsung disajikan di piring!"
"Beda. Aku bilang kan masak di dapur. Dulu, waktu kecil, aku sama Theo sering liat oma kami masak di dapur. Ini ..., jadi membangkitkan kenangan itu lagi. Sekarang, oma udah nggak kuat masak lagi."
Tiba-tiba sikap Nicholas berubah, air mukanya menjadi lebih hangat, sepertinya angan sedang membawa dia terbang ke masa silam. Seharusnya kami membicarakan tentang hubunganku dengan Theo, bukannya malah masa kecilnya. Namun, setidaknya sekarang aku tahu, kalau dia juga bisa bersikap melankolis, dia punya titik lembut.
"Sebagai penggantinya, kamu bisa meliat pembantu kamu yang masak, kan?" Aku sengaja mengejek.
Nicholas mendecakkan lidah, lantas kembali ke tempat duduknya semula. "Sampe di mana tadi cerita soal Theo? Ah! Soal ..., apa yang kamu suka dari dia?"
Kompor menyala. Air direjang di dalam panci. "Aku suka senyum dia, dia ganteng, baik, manis," jawabku terus terang. Memang hal-hal itu yang kusukai dari Theo.
"Murahan."
"Hah?! Kamu bilang apa?!" Nyaris keluar tandukku dari kepala.
"Bukan kamu. Tapi jawaban kamu," ralatnya. "Bisa-bisanya suka seseorang cuma karena cakep! Manis! Kayak ABG aja."
"Kamu sendiri? Suka sama cewek yang namanya Cherry kenapa? Hari gini nama Cherry, rambut pirang, makeup menor, bukannya itu lebih murahan?" Tidak tinggal diam, aku membalas Nicholas lagi.
"Aku nggak pernah bilang aku suka dia! Dia itu teman baik aku. Lagian, kenapa juga kamu bahas dia terus? Kamu nggak kenal siapa dia."
Benar juga. Aneh sekali aku menyinggung Cherry terus-terusan. Apa hubungan mereka juga bukan urusanku. Aku tak melanjutkan perdebatan kami, lebih baik aku lanjut dengan masakanku.
"Kamu lulus kuliah, tapi kenapa cuma kerja di toko buku?" Nicholas bersuara lagi.
"Kamu kira nyari kerjaan itu mudah? Ya ..., untuk orang sekaya kamu, pastinya mudah. Itu bukan masalah, tapi beda sama aku," ucapku agak tersinggung.Nicholas terdiam lagi, sepertinya sedang berpikir akan menyahut apa selanjutnya. Sedang masakanku sudah siap. Sembari aku menyajikan makanan, dia berkata lagi, "Kalau kamu mau, aku bisa carikan kamu kerja yang lebih layak dan bagus."Apa maksudnya, sih? Apa yang ada di pikiran manusia ini? Tadi dia seolah ingin menyingkirkan aku dari kehidupan Theo, namun sekarang dia malah bersikap manis. Mungkin ini jebakan, pikirku. Kalau aku langsung setuju, barangkali dia akan langsung mengira aku memang sengaja ingin memanfaatkan Theo dan keluarganya."Kerja apa maksudnya? Maaf ya, aku tau aku ini bukan orang kaya, tapi aku bukan pengemis. Aku juga nggak mau ngerepotin keluarga Theo.""Kenapa langsung ke arah sana ngomongnya? Aku kan nggak bilang kamu pengemis. Cuma ..., kalau kamu mau jadi bagian keluarga kami, seengg
Sebetulnya, semalam setelah aku mengadu soal Nicholas kepada Theo, dia melarangku untuk pergi ke kantor Nicholas hari ini. Namun, ego yang menumpuk di dada rasanya memaksaku untuk tetap pergi sebagai tanda bahwa aku siap untuk perang yang sebenarnya. Aku akan membuktikan kalau aku bukan cewek payah seperti yang Nicholas kira.Aku menerima tantangannya.Maka di sinilah aku sekarang, di kantor tempat Nicholas bekerja. Lengkap dengan kemeja putih dan rok hitam di bawah lutut. Rambut diikat rapi, muka dipoles riasan ringan dan lembut."Tunggu di sini aja, Mbak. Pak Nicholas belum datang," kata resepsionis yang mengantarku ke depan ruangan direktur.Perusahaan ini milik ayahnya, ruangan ayahnya berada di lantai paling atas, sewajarnya seorang CEO. Setahuku Theo bekerja di anak perusahaan yang lain. Mengingat kalau aku akan bekerja di tempat yang sama dengan Nicholas dan Om Baskoro, mendadak jantungku berdebar kencang.Mayang tolol! Sekarang lebih baik a
Satu ciri kalau tubuhku sudah terlalu lelah adalah aku baru bisa bangun dengan bantuan Alarm. Dan sejak bekerja dengan Nicholas, aku memang membutuhkan alarm untuk terjaga. Kalau lupa menyetel alarm, bisa-bisa aku baru terjaga pukul 10 pagi.Selama seminggu pertama, tiap hari aku harus mengisi asupan energi dengan kopi, padahal sebelumnya aku bukan tipe peminum kopi. Beberapa kali aku tertidur di atas meja kerja. Mau bagaimana lagi, tubuhku tidak bisa kompromi.Seperti siang ini pun, saat Nicholas sedang rapat mendadak, aku mencuri waktu untuk tidur siang sebentar di atas meja.Aku terjaga sekitar dua puluh menit kemudian. Anehnya, tubuhku kini diselimuti dengan jas hitam. Aku terperangah bukan main."Jas siapa nih?!" teriakku parno.Kucium aroma jas hitam itu, jelas ini bau aroma parfum mahal Nicholas. Ini jasnya! Aku memekik dalam hati. Ini pertama kali Nicholas menyelimuti aku saat tertidur di atas meja, dengan jasnya sendiri!Kutarik nap
Butuh waktu sekitar 5 jam untuk sampai ke peternakan milik keluarga Theo. Pantatku terasa panas akibat begitu lama duduk di kursi mobil milik Theo. Tak peduli mobilnya mewah dan jok-nya empuk, lima jam duduk di atasnya tetap saja bikin pantat super panas dan kebas.Selama menuju ke sana, tiga kali kami harus istirahat di warung kelontong pinggir jalan. Sekadar untuk melepas dahaga dan juga membeli camilan. Theo bilang, keluarganya sudah lebih dulu berangkat dengan naik bis keluarga. Entah apa itu maksudnya, aku tidak peduli, yang penting aku ingin secepatnya bisa lepas dari jalanan yang yang panjang ini.Makin dekat dengan area peternakan, jalan kian sepi, kami sudah meninggalkan kawasan pemukiman, yang tersisa hanya hutan di kanan dan kiri, untung saja jalannya tidak sejelek yang aku duga. Kami sampai saat aku sudah tertidur selama sepuluh menit akibat kantuk yang tak bisa dilawan.Terasa pipiku ditepuk-tepuk oleh Theo dibarengi suara sapaannya yang lembut, "Ma
Kuda hitam yang dikendalikan Nicholas masih terus bergerak. Dan aku masih berada di hadapannya, duduk dengan perasaan gugup campur takut. Ada ribuan kata di dalam kepalaku, mulai dari permohonan sampai makian, tapi tak satu pun yang terucap keluar. Semuanya tertahan di tenggorokan. Sementara kuda Nicholas masih terus berjalan ke area yang lebih luas, mulutnya juga tak mengucap sepatah kata pun. Suasana jadi makin tak nyaman.Ngomong, dong, Nicholas! Ngomong apa, kek!gerutuku dalam hati.Sebab dia tak juga memulai percakapan, akhirnya aku yang lebih dulu membuka mulut. "Aku mau turun! Aku takut! Kita mau sampe kapan kayak gini?!" kataku sambil berusaha menjauhkan diriku dari lengannya yang berada di bawah ketiakku, mengapit tubuhku agar tak jatuh."Nanggung. Tunggu kita nyampe!" tolaknya tak acuh.Ini orang emang, ya! Udah tadi aku hampir mati gara-gara dia, malah dengan seenaknya aja terus jalan!Aku bersungut-sungut dalam hat
Apa yang terjadi tadi siang di lapangan berumput masih terus menghantui pikiranku. Kesal, marah, jengkel, merasa jijik, dihinakan, semua bercampur dalam dada dan otak. Gara-gara Nicholas si brengsek, aku terpaksa kembali jalan kaki. Belum lagi, sikap kasar dan dinginnya tadi pun masih terpatri di kepala. Dan, meski aku jengkel setengah mati, rasanya di hati masih ada sedikit ruang tersisa untuk perasaan bersalah. Entah mengapa.Kalau bukan karena ada Theo dan orang tuanya, aku ingin sekali langsung pulang saat ini. Tak mau lagi berada di sini, harus berhadapan lagi dengan Nicholas. Apa lagi kalau harus pulang, aku harus menempuh perjalanan lima jam lagi, huh!Saat kembali ke peternakan, Theo bertanya kenapa mukaku berlipat-lipat, aku tak mau jujur terbuka kepadanya, lebih baik untuk saat ini dirahasiakan. Akan sangat aneh kalau Theo tahu tadi Nicholas sudah menciumku. Tanpa alasan.***Malam tiba, api unggun dinyalakan. Kompor untuk memanggang daging pun
"Hah?! Nggak, kok. Aku udah mau tidur, nih.Bye!"Dengan kikuk, aku berdiri cepat-cepat. Baru selangkah berbalik, pergelangan tanganku ditangkap dan tiba-tiba Nicholas menarikku. Tak cukup menarik tanganku saja, sekarang dia pun membuatku terduduk di atas pangkuannya. Mataku terbelalak lebar."Ih! Apaan, sih?!" pekikku geram sambil berusaha bangkit berdiri, tapi kedua tangan Nicholas menahan perutku."Santai dikit. Kayak mau dibunuh aja," katanya cuek."Ya kamu ngapain! Lepasin aku!""Heh, jangan teriak-teriak. Nanti yang lain bangun."Tangan kiri Nicholas membekap mulutku. Seketika tubuhku mematung lagi. Jarak di antara kami hanya beberapa senti. Berkat cahaya kobaran api unggun, aku bisa melihat sorot matanya yang tajam memandang aku begitu dalam. Pipiku pasti sudah memerah lagi. Saat wajah Nicholas mendekat, aku disergap kepanikan, langsung kubuang mukaku menghadap api unggun.Aku tak mau kejadian gila siang tadi teru
Sepanjang perjalanan pulang, Theo terus bertanya ada apa denganku. Mulutku terkatup. Malas bicara, sedang mataku masih bengkak bekas menangis semalaman.Pagi-pagi sekali, sebelum Om dan Tante Baskoro bangun dari tidur, aku langsung meminta Theo untuk pulang. Kalau dia tidak mau mengantar, maka aku akan pulang sendiri. Tak ada pilihan, Theo terpaksa mengantarku meski yang lain masih terlelap dalam dunia mimpi, termasuk Nicholas."Kamu yakin nggak apa-apa, May?" Theo bertanya terakhir kali saat aku baru akan masuk ke dalam indekost.Tanganku terkepal di kedua sisi. "Kamu pulang aja sekarang. Aku masih ngantuk. Mau lanjut tidur lagi," kataku dingin, tanpa berbalik menghadap dirinya.Aku tahu, kadang-kadang, aku terlalu jahat kepada Theo. Padahal dia tak bersalah sama sekali. Tapi apa lagi yang bisa aku perbuat? Melihatnya sekarang hanya mengingatkanku kepada Nicholas.***Surat pengunduran diri kupegang erat di tangan sembari berjalan menuju ru