Home / Romansa / SAY YES, PLEASE / SALING MENGENAL

Share

SALING MENGENAL

Author: Kumara
last update Last Updated: 2021-05-08 13:14:11

Dari ekor mataku, bisa kulihat ekspresi muka Nicholas sekarang. Bibirnya sedikit terangkat, sedang alisnya mengerut. Singkat kata, dia jijik melihat indekos tempat aku tinggal. Menurutku pribadi tidak buruk. Ada jendela kayu dengan warna favoritku, biru langit. Di halaman yang sempit, beberapa pot bunga mawar pemberian Ibu mekar. Memang kecil, berada tepat di tengah rumah bedeng, diapit dua indekos lainnya, tapi manis dan cantik. Sesuai seleraku.

"Ayo masuk." Kubuka pintu kayu yang juga dicat biru langit.

Nicholas masuk. Matanya langsung menyisir ke kiri dan kanan, dari dapur yang cuma ada satu kompor kecil dan kulkas satu pintu, ke pintu kamar mandi yang juga dicat biru langit, lemari pakaian, TV, lalu berakhir di tempat tidur berseprai putih. Sisanya, hanya lantai kosong di tengah ruangan untuk duduk atau makan.

"Nggak ada sofa untuk duduk?" tanya Nicholas.

"Kalau pun ada sofa mungkin cuma muat di atap," balasku sinis. "Duduk aja di lantai. Kamu mau makan, kan? Dijamu sebagai calon kakak ipar? Silakan. Tunggu sampai aku selesai masak," lanjutku menyindir.

Nicholas mendengkus tapi kemudian menurut, aku bisa melihat dia menyapu lantai dengan telapak tangannya lebih dulu sebelum duduk. Padahal aku bisa jamin, lantai kamarku bisa dijilat saking bersihnya! Tapi sudahlah, aku tidak mau buang waktu memusingkan kelakukan orang arogan seperti dia.

Kubuka kulkas, melihat apa yang bisa dimasak. Aku ingat masih punya sisa bahan untuk pasta olio aglio.

"Jadi, sejak kapan kamu mengenal Theo?" Nicholas bertanya lagi.

"Kami kenal di kampus. Terus satu komunitas drama musikal," jawabku sambil mengeluarkan bahan-bahan untuk memasak.

Baru aku ingat, setidaknya aku harus membuatkannya minuman lebih dulu. "Mau minuman dingin atau panas? Cuma ada kopi, teh, atau sirup jeruk. Mau apa?"

"Sirup aja," jawabnya singkat. "O ..., jadi kalian satu komunitas drama kampus? Berarti kita pasti ketemu, aku pernah nonton drama yang diperanin Theo. Tapi kok ..., aku lupa ya, rasanya kita nggak pernah ketemu." Dia lanjut membahas soal Theo.

"Ya wajar aja, aku kan bukan kelas kamu. Kamu pasti cuma ketemu sama anak-anak orang kaya juga," kataku sembari meletakkan segelas sirup di dekatnya.

Tak ada tampikan darinya, cuma mukanya saja yang sebal menatapku. "Jadi, udah lama pacaran sama Theo?" tanyanya lagi.

"Baru ..., setahun belakangan ini." Aku mengarang cepat.

"Apa yang kamu suka dari Theo?"

Nicholas beranjak, lantas mendekat, bersandar pada kulkas, memandangi aku yang tengah sibuk membersihkan udang di wastafel cuci. Entah mengapa, aku jadi gugup. Tidak pasti karena dia bertanya soal Theo, atau karena sekarang matanya sedang mengawasi tanganku.

"Kamu bisa duduk aja. Aku jadi ngeri sendiri diliatin masak sama orang lain."

"Kenapa? Santai aja. Aku udah lama nggak liat orang lain masak di dapur rumah," akunya.

"Bohong. Orang kayak kamu pasti sering liat chef masak di depan mata kamu, makanannya langsung disajikan di piring!"

"Beda. Aku bilang kan masak di dapur. Dulu, waktu kecil, aku sama Theo sering liat oma kami masak di dapur. Ini ..., jadi membangkitkan kenangan itu lagi. Sekarang, oma udah nggak kuat masak lagi."

Tiba-tiba sikap Nicholas berubah, air mukanya menjadi lebih hangat, sepertinya angan sedang membawa dia terbang ke masa silam. Seharusnya kami membicarakan tentang hubunganku dengan Theo, bukannya malah masa kecilnya. Namun, setidaknya sekarang aku tahu, kalau dia juga bisa bersikap melankolis, dia punya titik lembut.

"Sebagai penggantinya, kamu bisa meliat pembantu kamu yang masak, kan?" Aku sengaja mengejek.

Nicholas mendecakkan lidah, lantas kembali ke tempat duduknya semula. "Sampe di mana tadi cerita soal Theo? Ah! Soal ..., apa yang kamu suka dari dia?"

Kompor menyala. Air direjang di dalam panci. "Aku suka senyum dia, dia ganteng, baik, manis," jawabku terus terang. Memang hal-hal itu yang kusukai dari Theo.

"Murahan."

"Hah?! Kamu bilang apa?!" Nyaris keluar tandukku dari kepala.

"Bukan kamu. Tapi jawaban kamu," ralatnya. "Bisa-bisanya suka seseorang cuma karena cakep! Manis! Kayak ABG aja."

"Kamu sendiri? Suka sama cewek yang namanya Cherry kenapa? Hari gini nama Cherry, rambut pirang, makeup menor, bukannya itu lebih murahan?" Tidak tinggal diam, aku membalas Nicholas lagi.

"Aku nggak pernah bilang aku suka dia! Dia itu teman baik aku. Lagian, kenapa juga kamu bahas dia terus? Kamu nggak kenal siapa dia."

Benar juga. Aneh sekali aku menyinggung Cherry terus-terusan. Apa hubungan mereka juga bukan urusanku. Aku tak melanjutkan perdebatan kami, lebih baik aku lanjut dengan masakanku.

"Kamu lulus kuliah, tapi kenapa cuma kerja di toko buku?" Nicholas bersuara lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SAY YES, PLEASE   EXTRA CHAPTER

    Tapi tunggu sebentar, itu belum akhirnya, masih ada yang harus aku sampaikan perihal hubunganku dengan Nicholas.Setelah orang tua Nicholas menerima kondisi kami, termasuk janin yang ada di kandunganku, kami melangsungkan kembali acara resepsi pernikahan yang lebih megah dan besar, di mana seluruh keluarga, kerabat maupun rekan bisnis keluarga Nicholas datang dan mendoakan kami.Kadang hatiku masih kecut, sebab samar-samar aku masih bisa mendengar suara cibiran dari keluarga Nicholas yang belum sepenuhnya menerima kehadiranku. Meski demikian, sosok Theo cukup sebagai pencair suasana.“Kenapa, Bumil? Kok mukanya cemberut?” tanya Theo sambil berdiri manis di sampingku, sementara Nicholas sibuk meladeni rekan-rekan bisnisnya yang berdatangan silih berganti sejak tadi siang.Aku pura-pura tersenyum, menutupi hati yang gelisah dan agak kecewa. “Nggak kenapa-napa kok, Theo ... giman

  • SAY YES, PLEASE   REKONSILIASI

    Sedetik dunia di sekitarku serasa berhenti berputar. Mataku terarah hanya memandang batu cincin berlian yang dipegang Nicholas. "Kamu ..., yakin?" tanyaku lirih. "Yakin banget! Aku udah fiks mau ninggalin semuanya, demi kamu, demi anak kita, masa depan kita. Kamu mau kan?" Nicholas menatapku penuh harap. Mana mungkin bisa aku menolaknya bila sudah begini. Air mataku jatuh sampai ke dagu, langsung kuanggukkan kepalaku berulang kali. "Ya! Iya ..., aku mau! Aku mau!" isakku terharu. Dalam sedetik Nicholas langsung berdiri memelukku erat-erat, lalu dia pegang daguku kemudian bibir kami bertemu kuat. Selesai dia cium aku merilis segala perasaan, dia sematkan cincin itu di jari manisku. *** Kami kembali ke rumah Papa dan Mama dengan tangan bergandengan. Mama berlari ke arahku saat dia sadari jari manisku dilingkari sebuah cincin dengan batu nan indah. "Kamu ..." Suara Mama menggantung. Di depan kedua orang tuaku yang agak kebingungan, Nichol

  • SAY YES, PLEASE   DILAMAR

    Mungkin benar apa kata orang, cinta ibu itu sepanjang masa. Walau ayah dan ibuku kecewa atas kebodohan yang kuperbuat, mereka masih menerima kondisiku. Aku tak diusir atau bahkan dibuang seperti yang aku sangka.Malahan, dengan penuh perhatian, ibuku menyiapkan ramuan jamu untuk menguatkan janin di rahimku. Dia pun meminta agar aku tak berpikir untuk menggugurkan kandunganku, dia mengecam pikiran itu meski hanya sekilas terbersit. Aku pun berjanji, bahwasanya aku tak akan pernah membunuh anakku sendiri. Aku akan mempertahankannya dengan apa pun.Semua berjalan baik selama seminggu aku berada di rumah Mama dan Papa. Sampai satu sore, Papa menerima seorang tamu yang katanya mencariku. Aku yang saat itu sedang memasak di dapur beranjak ke ruang tamu untuk melihat sendiri siapa yang datang."Mayang!"Betapa kaget aku saat yang kujumpai sedang berdiri di depan pintu ternyata Nicholas. Wajahnya semringah sekaligus kaget. "Aku nyari kamu ke mana-mana!" serunya.

  • SAY YES, PLEASE   HURU HARA

    Dengan menumpang becak dari Bandara, aku sampai juga di rumah kecil milik orang tuaku. Hampir tak ada yang berubah. Di teras rumah kecil itu masih ada mesin jahit tua tempat ibuku biasanya menerima jasa menjahit.Dulu dia aktif membuatkan kebaya sampai gaun pengantin, tapi seiring dia menua, pesanan yang dia kerjakan hanya menjahit celana jins atau memperkecil baju saja. Lagipula, dia tak perlu pula bekerja terlalu keras sebab anaknya satu-satunya yaitu aku sudah bisa mandiri sendiri, dia cukup memikirkan masa tuanya saja.Kota tempat orang tuaku tinggal bukan kota metropolitan, cuma kota kecil. Dibilang desa atau kampung jelas bukan, tapi disebut kota besar juga bukan. Tidak banyak gedung tinggi, tapi mal ada, plaza ada. Kebanyakan adalah perumahan atau kawasan penduduk yang tak seberapa padat. Rumah mereka pun, sekalipun kecil dan sederhana, namun gampang diakses karena tepat berada di pinggir jalan besar. Di seberang rumah mereka, berdiri sebuah pabrik rokok yang su

  • SAY YES, PLEASE   RAHASIA KELAM

    Belum ada kepastian dari Nicholas selanjutnya kami harus bagaimana. Dokter hanya memberiku vitamin untuk memperkuat janin. Usai pemeriksaan, aku dipersilakan pulang. Theo tak berkata apa-apa, barangkali takut juga salah memberi komentar dan malah membuat Nicholas tambah berang.Tak ada basa-basi dari Nicholas, dia pun langsung pulang. Dia kembali lagi menjelang malam, aku tak tahu untuk apa. Sekelebat, aku kira dia akan melamarku, memintaku untuk menjadi istrinya, atau mungkin membicarakan rencana untuk pernikahan atau setidaknya ingin bertemu orang tuaku.Namun, aku salah. Dia justru berkata tanpa ragu, dengan mata begitu lurus dan tajam, "Sebaiknya kamu gugurkan aja kandungan itu. Jangan diteruskan."Mulutku terbuka setengah, kepalaku pening seketika seolah ada petir yang menyambar tepat di ubun-ubun. "Hah? Kamu nggak lagi mabuk kan, Nich?" tanyaku pelan, syok.Matanya agak memerah. "Aku belum siap untuk jadi ayah," jelasnya pendek.Singkat. Tapi

  • SAY YES, PLEASE   KARUNIA YANG TAK DIHARAPKAN

    "Mayang! Aku mau ngomong bentar, May!"Satu bulan ini aku terus "diteror" oleh Theo. Aku menolak bicara, aku bahkan ogah walau sekadar bertemu. Wajar kalau aku marah besar, apa yang dia lakukan begitu egois sekalipun berdalih untuk melindungiku dari Nicholas.Sejak Om Baskoro mengumumkan pergantian ahli waris, Nicholas memang gundah gulana. Itu manusiawi, seumur hidupnya dia menjalani hidup sebagai calon penerus tahta lalu tiba-tiba saja mahkotanya akan direbut oleh adiknya sendiri. Dan semua itu hanya karena satu orang perempuan, yaitu aku. Menurutku dia gila kalau dia tidak panik saat ini.Untungnya Nicholas belum ada tanda-tanda meninggalkan aku meskipun dia tampak sangat cemas belakangan ini."Mayang,please!"Kepalaku mau meledak juga lama-lama, Theo seolah tak akan menyerah sekalipun petir menyambar kepalanya. Akhirnya aku keluar, kulihat dia sudah pucat, kelelahan, terlalu lama menunggu."Apaan sih?!" hardikku jengkel.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status