Langkahnya ia bawa menuju lift untuk karyawan, menekan tombol lantai satu bersama para karyawan lainnya yang hendak turun untuk makan siang. Semua yang ada di dalam lift sedikit menepi melihat istri bos mereka memasuki lift. Hilmi menebar senyum memberitahu bahwa ia baik-baik saja. Namun, bagi yang melihat kejadian barusan mereka tahu bahwa senyum itu hanya sebagai penutup luka lara yang ada di hatinya.
"Hati-hati, Bu," ucap salah seorang karyawan perempuan yang ada di samping Hilmi saat Hilmi sudah mulai melangkah keluar dari lift tersebut.
"Iya, terimakasih, saya permisi dulu." jawab Hilmi sambil memberikan senyum singkat.
"Maaf, Bu, bapak meminta saya untuk mengantar ibu," pak Kasim, supir perusahaan menghampiri Hilmi yang sudah berdiri di pintu lobi perusahaan.
"Nggak usah, saya sudah pesan taksi," jawab Hilmi menolak.
"Tapi, Bu, ini perintah bapak!"
"Maaf, taksi saya sudah datang, saya permisi."
Tanpa menghiraukan pak Kasim, Hilmi melangkah menuju taksi yang ada di depan gerbang kantor. Hilmi menghembuskan nafas kasar setelah ia mendudukkan tubuhnya di kursi penumpang. Perlahan air mata yang sedari tadi ia tahan tumpah begitu saja tanpa di tahan lagi.
"Sesuai alamat yang ibu sebutkan tadi kan?" tanya supir taksi sambil mengecek handphonenya.
"Ganti, Pak. Ke rumah sakit Bina Artha saja, Pak."
"Baik, Bu."
Sepanjang perjalanan, Hilmi menatap kosong ke arah luar jendela. Hati dan pikirannya berperang antara pergi atau bertahan. Jika ia pergi maka ia akan terbebas dari belenggu rumah tangga yang menyakitkan ini, tapi nyawa sang adik akan menjadi taruhannya. Namun, jika ia bertahan hatinya akan semakin sakit dan terluka. Kadang, terbesit di hatinya untuk menyalahkan nasibnya yang tak punya siapa-siapa selain sang adik yang kini terbaring koma di rumah sakit. Percuma ia punya suami, tapi tak bisa menjadi sandaran untuknya, justru menjadi racun dalam hatinya.
"Ayah, ibu, seandainya kalian masih ada, mungkin aku tak akan semenderita ini. Mungkin aku tak 'kan bernasib menjadi istri kedua. Mungkin aku tak akan mendapat hinaan pelakor dari tetangga suamiku. Mungkin ...."
"Ibu, ini sangat menyakitkan. Aku bukan tak bisa melawan, tapi aku takut jika aku melawan maka akan berdampak pada pengobatan adik, Bu. Aku lemah, Bu. Aku lelah. Hanya adik satu-satunya yang ku punya, tak mungkin aku mengedepankan egoku demi kebahagiaanku dengan mengorbankan hartaku satu-satunya."
"Ibu, apakah kau bisa melihat penderitaan kami disini?"
****
"Mas, aku langsung ke lokasi ya," pamit Fika setelah mereka selesai makan siang.
"Iya, sayang. Hati-hati ya,"
"Siap!"
"Pulangnya jam berapa?"
"Mungkin malam, Mas,"
"Oh, oke. Mas tunggu di rumah ya."
"
Arfan memasuki mobilnya, sedangkan Fika memasuki taksi yang sudah di pesannya.
Setibanya di kantor, Arfan gegas menemui Rey, skertarisnya dan menanyakan di mana bekal makanan yang tadi di bawakan Hilmi. Arfan akan memakan bekal yang di bawakan Hilmi untuknya, berharap Rey tidak memakan makanan tersebut.
"Ini, Pak." Rey menyerahkan kotak makanan yang sudah kosong kepada Arfan.
"Kok enteng? Kamu makan isinya?" tanya Arfan menatap tajam Rey yang kini sudah ketakutan.
"I-iya, Pak. Ibu memberikannya kepada saya dan beliau menyuruh saya berbagi kepada satu teman lagi,"
"Kenapa kau memakannya?" Arfan menarik kerah baju Rey.
"Ampun, Pak. Saya hanya menjalankan perintah ibu," kata Rey dengan wajah ketakutan
Arfan membuang napas kasar, ia melepaskan cengkeramannya pada Rey dan meraup wajahnya.
"Ya sudah," kata Arfan lirih sambil melangkah ke ruangannya dengan menenteng kotak makanan.
"Huft, susah bener punya istri dua!"
Arfan merasa begitu bersalah kepada Hilmi. Baru kemaren ia berjanji tak akan melukai wanita itu, berjanji akan bersikap adil, tapi nyatanya hari ini ia sudah kembali membuat Hilmi terluka. Hatinya tak bisa tenang karena merasa bersalah. Ia merogoh ponselnya dan menghubungi istri keduanya tersebut.
"Ada apa, Mas?" tanya Hilmi diseberang
"Kamu di mana?"
Bukannya menjawab, Arfan Malih balik bertanya.
"Di rumah sakit, Mas,"
"Owh, oke."
Setelahnya Arfan langsung mematikan sambungan teleponnya, membuat Hilmi yang ada di sana heran, tapi tak begitu di perdulikan oleh wanita itu karena menurutnya Arfan berhak bertindak sesuka hatinya kepada Hilmi.
Arfan merapikan meja kerjanya, setelahnya ia menghampiri sang sekertaris dan meminta agar Rey yang memimpin rapat siang ini. Ia akan pulang, lebih tepatnya ia akan menemui Hilmi di rumah sakit dan akan meminta maaf.
Setibanya di rumah sakit, Arfan langsung menuju ruang rawat Rian adik iparnya. Ia mengetuk pintu, Hilmi yang sedang duduk di sofa bangkit dan membuka pintu. Setelah pintu terbuka, seseorang langsung menubruk tubuhnya, memeluknya dengan erat membuat tubuh Hilmi menegang.
"Maaf,"
"Maafkan aku, Hil,"
"M-mas, kok ada disini?" Hilmi berusaha mengurai pelukan mereka, tapi Arfan memeluknya begitu erat.
Tanpa sepatah katapun, Arfan menarik tangan Hilmi untuk keluar dari ruang rawat tersebut. Ia ingin mengajak Hilmi ke suatu tempat yang sekiranya nyaman untuk berbincang tanpa ada gangguan dokter maupun perawat.
"Mau kemana, Mas?" tanya Hilmi heran karena Arfan tiba-tiba membawanya keluar tanpa dirinya sempat mengambil tas yang ada di sofa.
"Ikut saja sebentar, disini kurang nyaman!" kata yang terus melangkah sambil menggandeng tangan Hilmi.
Hilmi tak lagi berkata, ia kini berusaha mensejajarkan langkahnya dengan sang suami yang entah akan membawanya ke mana. Bahkan saat memasuki mobil, keduanya sama-sama terdiam. Mobil melaju membelah jalanan. Beberapa menit kemudian, mobil itu berhenti di sebuah restoran mewah.
Keduanya turun dan memasuki restoran, seorang waiters menghampiri keduanya.
"Selamat datang, Tuan, Nona," sambut sang waiters dengan ramah kepada keduanya.
"Ya, sediakan satu ruang VIP!"
"Baik, Tuan, Nona, mari ikut saya."
Mereka berdua mengikuti langkah sang waiters menuju lantai dua dan memasuki sebuah ruang yang di atasnya bertuliskan RUANG VIP.
Selesai memesan makanan, keduanya masih terdiam tanpa ada yang berniat untuk memulai pembicaraan.
"Mas, kenapa membawaku kemari?" tanya Hilmi yang merasa dirinya sudah terlalu lama berada di sini.
"Aku tahu kamu belum makan siang. Setelah selesa makan nanti, ada yang mau aku omongin,"
"Oh, oke,"
Satu jam berlalu, tapi Arfan masih saja bungkam padahal mereka sudah menghabiskan makanan sejak lima belas menit yang lalu.
"Aku minta maaf," ujar Arfan
"Untuk apa?"
"Maaf untuk kejadian tadi siang," kata Arfan penuh sesal dengan menatap lekat manik coklat milik Hilmi.
"Nggak apa-apa kok, Mas." jawab Hilmi santai.
"Kamu nggak marah?" tanya Arfan heran.
"Apa aku berhak untuk marah?" Hilmi balik bertanya dengan seulas senyum di bibirnya.
"Silahkan! Jika kau ingin marah, bahkan jika kau mau menamparku silahkan! Aku akan menerima karena itu adalah konsekuensi yang harus aku terima atas kesalahanku padamu."
"Ma, bagaimana kabar Naila?" Lagi, Hilmi mengulang pertanyaannya dengan tatapan penuh harap saat melihat mama Agni tak kunjung menjawab pertanyaannya.Sedangkan mama Agni tak tahu harus menjawab apa. Ia takut Hilmi akan sedih dan akan kembali bermasalah dengan mentalnya jika ia mengatakan yang sejujurnya.Menghela nafas dengan panjang, mama Agni menatap lekat wajah mantan menantu yang sudah memberikannya cucu ini."Mama gak tahu." ujarnya lirih yang hampir saja tak di dengar oleh Hilmi.Tentu ucapan itu memancing kernyitan di dahi Hilmi, "Maksud mama?"Hingga pada akhirnya, cerita itu mengalir dari mama Agni setelah sebelumnya di pastikan Hilmi akan baik-baik saja. Semua mama Agni ceritakan kepada Hilmi dengan tangis yang tak bisa lagi di bendung. Tentang kepergian Arfan dan keluarga kecilnya, tentang Arfan yang pergi tanpa pamit, bahkan meninggalkan perusahaan begitu saja, hingga membuat perusahaan mengalami kerugian besar akibat Arfan yang pergi begitu saja tanpa meninggalkan persia
Sikap diam Aina selama makan malam dianggap biasa saja oleh Ummu Zakia, karena mengira kalau Aina belum terbiasa bergabung bersama keluarganya. Padahal yang sesungguhnya, wanita itu tengah menahan sakit hatinya atas sikap suaminya sore tadi.Zidan bukannya memberi penjelasan entah jawaban iya atau sanggahan atas pertanyaan Aina, justru memilih menghindar ke kamar mandi dan setelahnya memilih menyibukkan diri dengan laptopnya dari pada berusaha menenangkan hati Aina yang gundah."Aina sudah selesai, dan Aina permisi ke kamar duluan, Ummi, Abi, Abang."Setelah Aina beranjak, barulah Ummi Zakia menyadari kalau ada sesuatu yang beda dari menantunya tersebut. Meskipun baru sehari ini mereka tinggal bersama, tapi dalam acara makan bersama seperti ini, Ummi Zakia sedikit banyak sudah hapal kebiasaan sang menantu yang tak akan beranjak sebelum yang lain juga selesai."Ada apa dengan istrimu, Zidan?""Gak apa-apa, Umi. Aina hanya kelelahan saja."Ummi Zakiah mengangguk, meskipun hatinya merasa
Tak ada yang terjadi di malam pertama bagi kedua pengantin itu. Keduanya masih sama-sama belum siap untuk melangkah ke hal yang lebih intim itu. Pacaran setelah menikah, mungkin itu yang terjadi di antara keduanya saat mereka berbincang-bincang berdua semalam. Sehabis sholat subuh pertama di rumah mertuanya, Aini memutuskan untuk pergi ke dapur dan membantu sang mertua untuk membuat sarapan. "Mau kemana, Dek?" tanya Zidan yang melihat Aini sudah memakai kembali hijabnya selepas sholat subuh."Mau ke dapur, Bang. Mau membantu Ummi masak buat sarapan." "Oh." jawab Zidan singkat diiringi anggukan kecil. Aini memaklumi jika suaminya masih bersikap kaku kepadanya. Maklum pernikahan ini di mulai dari ta'aruf dan perkenalan yang singkat, bukan sebab mengenal lama dan saling jatuh cinta. Meskipun Aini juga belum mencintai sang suami, tapi Aini akan berusaha mencintai suaminya dan akan berusaha menjadi istri yang baik buat Zidan. Aini memutuskan untuk keluar dari kamar mereka setelah di r
"Buat apa ibu datang ke sini?" Tanya Rian sinis."Rian, kenapa ngomong gitu? Tentu aku kesini untuk mengunjungi Hilmi. Hari ini biarkan aku yang menjaga Hilmi, kamu bisa pulang dan istirahat." ujar mama Agni.Pagi ini, selepas Rian membeli sarapan, ia mendapati mama Agni yang udah berdiri di depan pintu ruang rawat Hilmi."Tak perlu. Aku tak butuh orang lain untuk menjaga kakakku. Silahkan ibu pergi dari sini karena kehadiran ibu tidak diharapkan!" Sanggah Rian sarkas.Bukan bermaksud untuk tidak sopan kepada orang tua, tapi Rian sungguh benci melihat keluarga lelaki bajing*n itu berkeliaran di sekitarnya.Kenapa kamu ngomong begitu, aku bukan orang lain. Aku adalah ...""Ibu dari lelaki baji***n yang sudah membuat kakakku seperti ini hingga depresi! Bukan begitu nyonya Agni?" Sinisnya."Rian,ngomong apa kamu ini, kenapa semakin ngelantur gitu!""Sudahlah, Bu, lebih baik anda pulang saja! Gak usah berpura-pura baik lagi kepada kami, toh sekarang Naila ada bersama anak dan mantu ibu."
"Mas, bangun ih! Ini Naila kenapa gak berhenti nangis dari tadi?"Kepanikan tergambar jelas di wajah Fika ketika sedari tadi ia berusaha menenangkan Naila yang menangis, tapi tak kunjung reda juga.Arfan yang masih merasakan kesakitan pada sekujur tubuhnya tak dapat bergerak dengan leluasa. Lelaki itu bangun dengan perlahan sambil meringis menahan sakit. Tulang-tulangnya terasa mau patah setelah kemaren di hajar habis-habisan oleh Rian."Coba sini aku yang gendong." Pinta Arfan saat dirinya sudah berhasil berdiri dengan tegak.Fika pun gegas memberikan Naila kepada Arfan. Arfan berusaha menimang Naila sambil bersenandung kecil dengan menggoyang-goyangkan badan mungil Naila. Namun, sudah hampir satu jam, Naila tak kunjung berhenti jua menangis."Coba panggil di Mbok, siapa tahu dia bisa menenangkan Naila!" titah Arfan yang langsung disetujui oleh Fika.Wanita itu gegas keluar dari kamarnya dan menuju ruang belakang tempat si mbok beristirahat. Di panggilan ke tiga, barulah si mbok memb
Wanita itu berjalan mengendap dengan langkah yang diatur sedemikian rupa agar tak mengeluarkan suara. Ia tolehkan kepalanya ke kanan dan kiri guna memastikan bahwa tak ada yang melihatnya. Setelah merasa aman, barulah perempuan itu melanjutkan langkahnya dengan sangat pelan hingga ia keluar dari sebuah ruangan yang baru saja dihuninya.Tak ada yang tahu bahwa dia adalah pasien dari rumah sakit tersebut, karena ia sudah mengganti pakaian pasiennya dengan pakaian biasa yang ia ambil dari dalam lemari kecil di samping ranjangnya.Ya, wanita itu adalah Hilmi. Wanita yang kewarasannya sudah terganggu akibat ulah dari dua manusia yang tak punya hati. Tak ada lagi yang dipikirkan olehnya kecuali sang putri yang kini berada di tangan ayah kandungnya, yang di rebut paksa dari dirinya.Setelah melihat Rian yang sudah tertidur pulas, Hilmi bangun dan segera melepaskan selang infus di tangannya. Tak ia pedulikan rasa sakit di tangannya akibat jarum infus yang di buka secara kasar, kesakitan itu t