"Han, boleh ummi bertanya?"
"Tentang apa, Mi?" "Kapan kamu akan mengunjungi ayahmu?" Aku yang awalnya antusias ingin mendengar pertanyaan ummi Evi, langsung lemas seketika. Bahuku meluruh dengan wajah menunduk. Senyum sinis tersungging di bibirku. Mendengar satu kata itu, membuat mood-ku semakin buruk. Goresan hati sebab perilaku suamiku belum juga sembuh, kini ditambah luka di masa lalu yang kembali menganga. "Jangan sebut orang itu, Ummi!" Aku meminta dengan suara lirih. Sekelebatan bayangan kala itu melintas dalam ingatan, membuatku tubuhku menegang. "Jangan sebut orang itu!" Suaraku semakin serak, buliran bening telah menganak sungai. Tak kuasa menampung beban, akhirnya keluar juga airmata yang sejak tadi kutahan. "Ia tetap ayahmu, Hana!" "Aku membencinya Ummi!" "Kamu harus mendengarkan penjelasannya, Nak! Apa yang terjadi tidak seperti yang terlihat mata." Aku menggeleng, tak setuju dengan pendapat orang yang menampungku di masa terpuruk saat itu. "Jangan bicarakan itu lagi, Ummi!" Bahuku semakin berguncang, kenangan itu belum bisa hilang dari ingatan. Aku kembali rapuh. Melihatku yang semakin terisak, perempuan yang hidup sendiri itu mendekatiku, kemudian memeluk dengan kasih. Memberikan raganya untuk menjadi tumpahan segala lara. Aku semakin tersedu, sesak rasanya jika mengingat peristiwa itu. "Mafkan Ummi, Sayang. Kita akan membicarakannya lagi jika kamu sudah siap!" Aku tak menjawab. Terus menangis dalam pelukan. Namun, hatiku memgelak, sampai kapanpun, aku tak akan siap jika membicarakan perihal orangtua itu. *** "Jalan-jalan terus! Kirain ga pulang lagi!" sindir Mbak Siska ketika aku baru sampai di teras rumah. Tampak ibu dan Bi Tirah yang tinggal di samping rumah, memandang kesal ke arahku. Entahlah, apa yang sebelumnya mereka bicarakan sampai kompak sekali memasamkan wajah di hadapanku. "Kalau pergi kemana mana itu, selesaikan kerjaan rumah dulu. Kasian, kan, ibu jadi kecapean!" cicit kakak iparku itu lagi. "Iya, loh, Han. Kasihan ibu mertuamu ini. Kerjain pekerjaan rumah, masak, beberes, nyuci baju, setrika. Kok, kamu ga ada pengertiannya, sih! timpal perempuan paruh baya yang merupakan adik ibu. Sementara mertuaku itu diam saja, hanya menampilkan wajah seperti orang yang tengah menderita. Baru ditinggal sehari saja, aku langsung dihakimi seperti ini. Aku membetulkan Sakha yang terlelap dalam gendonganku. Menepuk-nepuknya agar tidak terbangun. Tega sekali ketiga orang ini, bukannya menyuruhku masuk dulu untuk membaringkan anakku, tetapi malah dicerca ini dan itu. "Kamu juga tadi ga buat sarapan dulu, mana beli sarapan cuma buat bapak sama ibu. kasian, kan, anak anakku jadi kelaparan!" kesal Mbak Siska. Aku tersenyum tipis. Ajaib sekali perempuan di depanku ini. Perihal anaknya kelaparan masih juga menyalahkanku. Aku memang tadi sengaja memberi nasi uduk hanya dua bungkus. Sementara Restu dan Mas Prasetyo kubawakan lontong sayur. Agak unik memang Mbak Siska. Jika membeli makanan dari luar, ia hanya membawa untuk keluarganya saja. Jangankan aku yang dibelikan, bapak ibu pun hanya bisa melihat bekas bungkusnya saja. Namun, ia selalu menuntutku untuk membelikan semua orang jika aku membawa makanan dari luar. "Jangan gitulah, Han. Sebagai menantu kamu harus bisa meringankan pekerjaan mertuamu. Kalau sudah beres semua, baru, deh, kamu pergi," sahut Bi Tirah sok tahu. Seperti tak punya pekerjaan saja. Setiap hari perempuan yang ditinggal suaminya itu selalu mencampuri kehidupan orang lain. Mengomentari lni dan itu seolah paling tahu segalanya. Aku menghela napas. Berusaha mengurai amarah di dada. Aku tak boleh terpancing, tentu orang orang ini akan senang jika terjadi keributan. Kemudian memutarbalikkan fakta seolah menjadi yang tertindas. Selama ini aku selalu mengalah, diam saja jika diperlakukan semena mena. Tetapi, kali ini aku akan memulai melayani mereka. Siapa pun yang memulai memancing, akan kuhadapi dengan suka hati, terkecuali ibu. Bagaimanapun juga ia orangtua Mas Prasetyo yang masih harus kuhormati. "Sudah bicaranya?" Aku berbicara dengan penekanan suara. Terlihat mereka tersentak, lalu saling menengok karena heran. "Jika sudah, saya mau masuk dulu!" Dengan santai aku berbalik melangkah ke arah pintu. "Ga sopan banget kamu, Han! Diajak ngomong malah ngeloyor aja," kesal Mbak Siska membuatku menghentikan langkah, kemudian kembali berbalik. "Anak muda zaman sekarang kelakuannya!" ucap Bi Tirah menggeleng-geleng. Namun, aku tak peduli. Aku berjalan mendekati Mbak Siska yang duduk di kursi paling pinggir. "Apa yang Mbak harapkan dari aku?" Aku berkata dengan wajah mengintimmidasi. "Aku merengek, meminta maaf, atau menangis!" Kembali aku berucap dengan penuh penekanan. Dalam hati, aku tertawa melihat wajah mereka yang seperti tak mengira aku bisa melawan. "Jangan harap!" Aku berkata dengan tegas. Sebelum berbalik, aku kembali mengucapkan beberapa kata. "Oh, ya, menantu yang tinggal di rumah ini bukan aku saja! Apa gunanya Mbak siska jika ibu sampe kecapean mengurus rumah? Kasihan sekali ibu, punya menantu tak bisa meringankan pekerjaannya. Kalau kaya gitu, mungkin lebih baik dibuang ke laut aja." Kulihat kedua mata kakak iparku membelalak dengan wajah memerah. Sementara ibu dan Bi Tirah hanya diam saja. "Oh, ya satu lagi. Kalau belum siap jadi ibu, suruh ayahnya anak-anak mencari ibu baru. Daripada mereka sering kelaparan!" ucapku diiringi senyuman mengejek pada kakak iparku. Tentu saja hal itu membuatnya semakin meradang, dan langsung berdiri hendak menyerang. Satu tangannya sudah terayun menuju ke arahku. Namun, sebuah teriakan menghentikan gerakan kakak iparku itu"Hana, kamu telah menabuh peperangan denganku!" ucap seseorang di seberang sana dengan suara bariton yang tegas, penuh intimidasi.Aku tertegun."Siapa kamu?" tanyaku, mencoba tetap tenang meskipun jantungku berdegup kencang.Orang di seberang tertawa pelan. Suara dinginnya membuat bulu kudukku meremang, seakan ada hawa gelap yang menyelinap ke dalam pikiranku."Kamu tidak perlu tahu siapa aku, Hana. Kamu hanya perlu mempersiapkan diri untuk mendapatkan kejutan selanjutnya."Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam kegelisahan yang mulai merayapi pikiranku."Apa maksudmu?" Aku bertanya kembali, mencoba menggali lebih dalam."Nanti kamu akan tahu sendiri!"Nada suaranya penuh ancaman. Aku mengerutkan kening, firasat buruk semakin kuat menyelimutiku."Tunggu saja!" ucapnya sebelum sambungan tiba-tiba terputus.Aku menatap layar ponselku dengan perasaan tak menentu. Ada sesuatu ya
"Aku memang ingin menyingkirkan Hana!"Suara Mbak Ayu menggema di ruangan, dipenuhi kebencian yang begitu kentara.Aku menelan ludah, merasakan tubuhku menegang."Karena kamu telah menghancurkan semua rencanaku, Hana!" lanjutnya dengan suara bergetar penuh emosi.Matanya menatapku tajam, berkilat dengan kemarahan membara, seolah ingin menelanku hidup-hidup. Aku membalas tatapannya dingin. Aku tidak pernah memulai, tetapi ia yang mencoba mengambil kesempatan dari kelemahanku.Bahkan, baru kusadari jika ia memanipulasi perusahaan ibuku dengan mendekati Om Leo, membuat segalanya semakin runyam. Namun, kini ia berlagak seolah korban."Ayu, kenapa begini? Ibu tidak menyangka kamu bisa berpikir sejauh itu?" Suara Ibu terdengar lirih, tidak menyangka jika menantunya yang dulu dibanggakan memiliki pemikiran keji.Namun, Mbak Ayu menoleh padanya dengan wajah tanpa penyesalan sedikit pun."Karena Hana
"Kurang ajar anak itu!" maki bapak dengan wajah yang memerah."Dari dulu memang selalu membuat masalah," ucapnya lagi. Kali ini ada gurat kesedihan bercampur kekesalan.Tentu bapak sangat terpukul mengetahui fakta yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya.Aku hanya diam saja. Tak ada yang bisa kulakukan untuk menenangkan bapak. Perasaanku sendiri juga sedang dilanda kekacauan. Kenapa bisa? Lelaki yang merupakan kakak iparku itu melakukan hal itu.Aku tahu selama ini dialah yang paling tak terkendali dalam keluarga bapak, sifatnya yamg tempramental juga malas selalu membuat masalah dalam keluarga. Tapi aku tak pernah terpikirkan jika perbuatannya sampai sejauh ini.Kendaraan yang kami tumpaangi sudah berhenti di depan rumah bapak, dengan sigap lelaki yang sudah tidak muda lagi itu bergegas turun dan melangkah dengan tergesa memasuki rumah "ARGA!" Panggil Bapak dengan suara yang menggelegar."ANAK SIA_LAN! KELUAR
Duniaku seolah berhenti berputar saat mendengar penuturan Bapak. Aku menatap kalung di tanganku dengan gemetar. Kalung ini bukan sekadar barang biasa—ini adalah milik Mas Elang. “Bapak yakin milik teman Ari?” Aku bertanya pelan.Bapak mengangguk.“Bapak tidak mungkin salah ingat. Lelaki itu memakainya saat Bapak mengobati luka di kepalanya."Aku mengepalkan tangan yang menggenggam kalung itu. Dadaku sesak, berbagai pikiran berkecamuk di benakku. Jika itu benar milik Mas Elang, berarti dia masih hidup. Tapi mengapa dia tidak kembali? Kenapa dia tidak mencari keluarga kami?Oh, ya. Ari bilang temannya bertingkah seperti anak-anak. Itu artinya ..."Ya Allah, apa yang sebenarnya terjadi dengan Mas Elang?"Aku menoleh ke Bapak, yang menatapku dengan sorot penuh perhatian."Pak, kapan peristiwa Ari dan Mas Elang dikejar preman terjadi?""Sekitar setahun lalu, Nak!""Setahun." Aku memejamkan mata, me
Aku melangkah memasuki restoran mewah dengan perasaan campur aduk. Suasana elegan langsung menyambutku. Lampu gantung kristal berkilauam di langit-langit, meja-meja dengan taplak putih bersih, dan para pelayan yang bergerak dengan anggun. Namun, pikiranku sama sekali tidak tenang.Aku menarik napas panjang, berusaha menghilangkan rasa gelisah. Meeting ini sangat penting untuk kelangsungan proyekku. Aku tidak boleh terlihat gugup di depan klien. Aku hanya berharap, malam ini berjalan lancar—tanpa ada kejadian tak terduga yang merusak segalanya. Selama meeting aku mencoba fokus pada percakapan dengan klien penting di depanku. Restoran ini begitu elegan, suasanya mendukung untuk pertemuan bisnis. Akan tetapi, pikiranku terbagi memikirkan Sakha yang berada di meja lain, beberapa langkah di belakangku.Aku sengaja membawanya kali ini, karena rasa khawatir yang masih membayangi. Setelah insiden beberapa waktu lalu, aku tidak ingin jauh darinya terlalu lama.
Aku menghirup aroma teh hangat di tanganku, mencoba menenangkan pikiran. Matahari baru saja muncul, tetapi hatiku penuh dengan gelisah. Suara mobil berhenti di depan rumah mengalihkan perhatianku. Aku berjalan ke pintu, membuka, dan melihat Ummi Evi turun dengan langkah cepat.“Hana,” panggilnya lembut sambil meraih tanganku. Pelukannya hangat, tetapi aku tahu ada kekhawatiran di matanya.“Ummi, terima kasih sudah datang,” kataku pelan.“Bagaimana Sakha? Maaf, Ummi baru bisa menjenguk sekarang.”“Sakha baik-baik saja, Ummi,” jawabku sambil menghela napas. “Tapi keadaan di sini benar-benar buruk. Ada orang yang ingin mencelakai Sakha."Wajah Ummi Evi berubah. “Apa maksudmu, Hana? Ceritakan semuanya.”Aku membawa Ummi ke ruang tamu dan mulai menceritakan kejadian beberapa hari terakhir—dari penyusupan di malam itu hingga pengkhianatan Mina. Saat menyebutkan nama Ayu sebagai otak dari semua ini, wajah Ummi Evi se