Share

4. Sebuah Ide

Author: Mastuti Rheny
last update Last Updated: 2023-05-20 18:18:34

“Jadi Mas, apa sebaiknya kita memang harus merahasiakan kehamilanku dulu?”

                                                                  

Aku mulai bertanya dengan gamang.

Mas Mirza masih saja memandangku.

“Aku yakin ibu tak akan bisa merahasiakan hal itu karena kita memang sudah memberitahu beliau. Tak ada yang harus dirahasiakan juga Nia, lama-lama semua orang juga tahu dengan kehamilan kamu.”

Sekarang aku malah tak bisa menahan senyumku saat membayangkan reaksi orang-orang bila mereka mengetahui tentang kehamilanku, di saat sebelumnya semua orang sudah menganggap aku sebagai wanita yang mandul.

“Kenapa kamu malah tersenyum sendiri?” tanya Mas Mirza saat melihat senyumku yang terulas.

Aku langsung membalas tatapan suamiku.

“Mas, kira-kira apa ya yang akan orang-orang bilang saat mengetahui aku hamil.”

Mas Mirza malah menggelengkan kepala pelan.

“Bisa saja mereka ikut bahagia, atau bahkan kasihan, bisa juga tidak senang, akan ada banyak tanggapan nantinya, Nia.”

Aku masih mengulas senyumku.

“Kalau ada yang bilang, Pak Mirza makin tua makin perkasa, apa yang akan Mas bilang?”

Mas Mirza sontak tersipu. Wajah suamiku itu langsung memerah. Suamiku memang cenderung pemalu, dan aku yakin dia pasti lebih memilih melipir pergi bila ada orang yang menyinggung tentang hal itu.

“Nyatanya Mas bisa membuat aku hamil pas sudah setua ini.”

Sekarang Mas Mirza malah terkekeh ketika mendengar ucapanku.

“Kamu sendiri malah semakin menggoda di saat sudah tak lagi muda, buktinya kamu langsung bisa hamil saat sudah memasuki usia 50 tahun.”

Ganti aku yang tergelak.

Namun setelah itu aku langsung memandang lurus penuh arti pada suamiku tercinta, yang selama ini masih gigih untuk bersamaku tanpa mau menduakan aku dengan siapapun di tengah banyaknya desakan dari semua pihak agar dia menikah lagi demi mendapatkan keturunan.

“Sekarang aku malah tak sabar saat semua orang tahu tentang kehamilan kamu, Nia.”

“Yang jelas kita harus siapkan mental untuk menghadapi omongan dan tanggapan orang.”

Aku mulai menimpali.

Mas Mirza tersenyum menanggapiku.

Kami kemudian tersenyum beriringan merasa sangat bahagia meski sebenarnya masih banyak persoalan yang sedang kami hadapi saat ini.

***

“Apa Mas yakin akan membawa dagangan kita berkeliling ke desa-desa?” tanyaku ketika keadaan toko kami kian tak bisa diharapkan.

Bahkan untuk bulan ini saja, kami terpaksa menunggak pembayaran angsuran di bank. Dulu Mas Mirza membuka pinjaman untuk tambahan modal toko, di saat keadaan pasar masih sangat ramai. Tapi kini semakin lama semakin banyak pembeli yang meninggalkan toko kami, karena memang banyak model pakaian yang kami jual mulai ketinggalan jaman.

“Aku harus melakukannya, Nia, agar kita bisa mendapatkan pemasukan.”

Aku mendesah panjang, menjadi tak tega kalau harus melihat Mas Mirza berusaha dengan sangat keras, membawa barang dagangan yang berat dan harus berkeliling di saat usianya yang sudah tidak muda lagi.

“Mas, kenapa keadaan kita malah semakin buruk di saat seharusnya kita berbahagia karena kehamilanku ini?”

“Jangan sampai kamu terpengaruh dengan ucapan ibu yang menganggap anak kita sebagai anak pembawa sial. Anggap saja Allah sedang menguji kita, jadi aku harap kamu bisa berbesar hati.”

Aku mendesah panjang meski setelah itu mengangguk pelan.

“Jadi mulai kapan Mas akan berkeliling?”

Aku mulai menjadi ingin tahu.

“Besok, aku akan mulai berkeliling. Sepulang dari pasar, kalau siang kamu aku tinggal di pasar sendiri nggak apa-apa kan?”

Aku langsung mengangguk tanpa ragu.

“Iya Mas, aku bisa kok tutup toko sendiri.”

Tapi sejurus kemudian wajah Mas Mirza malah terlihat bimbang.

“Tapi nanti kamu pulangnya sama siapa karena motornya akan aku pakai keliling?”

Aku diam tak menjawab.

Sebetulnya kami masih memiliki satu motor yang lain yang sebelumnya sempat dipinjamkan Mas Mirza pada adik kedua Mas Mirza, untuk anaknya sekolah dulu.

Tapi sekarang anak itu sudah lulus dan bahkan sudah bekerja di sebuah toko besar, aku yakin motor itu sudah tak terlalu dibutuhkan.

Namun aku masih saja ragu untuk mengungkapkan pada Mas Mirza agar mengambil motor miliknya itu.

“Aku bisa jalan kaki kok Mas, rumah kita kan dekat pasar juga.”

Aku memilih mengalah tanpa mengungkit sedikitpun tentang motor kami yang dipinjam oleh anak adik Mas Mirza itu.

Mas Mirza terlihat keberatan dengan usulku.

“Tapi kamu sekarang sedang hamil, kamu seharusnya tidak boleh terlalu capek.”

Mas Mirza menarik panjang dan menghembuskannya dengan kasar.

“Kalau keadaan kita membaik, kamu tak seharusnya bersusah payah seperti ini justru di saat kamu hamil. Padahal dulu kita bisa pergi ke manapun dengan nyaman menaiki mobil yang bahkan sekarang saja belum bisa kita menebusnya.”

Ada rasa sesal yang terselip dalam kalimat suamiku.

Selalu aku tak sanggup melihat wajah murungnya, meski hatiku juga masih memar karena penipuan yang dilakukan teman suamiku hingga menggerus sebagian kekayaan kami itu.

Aku tetap berusaha untuk mengulas senyum demi membesarkan hati suamiku.

“Mas, Allah pasti memiliki rencana yang indah untuk kita berdua, aku yakin Allah akan mengganti segala yang hilang dengan rejeki yang lebih baik.”

Senyum Mas Mirza langsung terkembang kembali.

Hatiku langsung disusupi kelegaan.

“Iya kamu benar, buktinya sekarang kamu mengandung, itu adalah rejeki yang sangat luar biasa.”

Aku kembali mengelus perutku.

“Aku yakin Mas, anak ini pasti akan membawa rejeki sendiri juga.”

Suamiku kembali tersenyum.

“Kita memang tak boleh terlalu mencemaskan persoalan dunia, karena Allah sudah menjamin semuanya.”

Sejurus kemudian terdengar suara adzan berkumandang.

“Sudah adzan, Mas ke masjid dulu ya, setelah sholat kita tutup toko dan langsung pulang.”

Aku mengangguk mengiyakan, lalu mulai melepas langkah suamiku menuju masjid untuk menunaikan sholat berjamaah.

***

Sudah tiga hari ini tubuhku terasa kian lemas. Setiap pagi aku akan selalu memuntahkan semua isi perutku.

Mas Mirza dengan sabar selalu mendampingi, mengelus punggungku dan memijat tengkukku agar bisa sedikit merasa nyaman.

“Apa kita sebaiknya ke dokter lagi, sayang?”

Mas Mirza terlihat jelas mencemaskan aku.

Aku langsung menggeleng, menampik tawaran suamiku. Aku anggap mual dan muntah adalah gejala yang wajar untuk wanita hamil. Jadi mau tak mau aku harus menyiapkan diri untuk menghadapi hal ini.

Walau aku menjadi sangat kepayahan harus mengalami semua itu di saat usiaku tak lagi muda.

Tapi aku harus tetap menguatkan diri, agar aku bisa menjalani kodratku sebagai wanita tanpa keluh kesah apapun.

Lagipula bukankah aku sudah sangat menginginkan melewati fase seperti ini bahkan sejak awal pernikahan kami.

Fase di mana aku harus bersusah payah menjalani kehamilan hingga sampai pada tahap melahirkan, menyusui dan mendidik anak kami ini nantinya, yang seharusnya aku jalani dengan penuh rasa bahagia.

“Tapi Nia, Mas nggak tega melihat kamu seperti ini. Kamu terus saja muntah dan makan kamu juga sangat sedikit. Belum lagi kamu masih memaksakan diri untuk membantuku di toko.”

“Mas, ini tidak akan lama, kehamilanku masih memasuki trimester awal, jadi wajar kalau aku akan selalu muntah setiap pagi.”

Aku berusaha menenangkan suamiku yang masih saja tak berhenti untuk mengkhawatirkan aku.

“Kalau begitu aku buatkan teh hangat ya buat kamu, tanpa gula biar perut kamu menjadi lebih nyaman.”

Tanpa aku minta Mas Mirza langsung berjalan ke dapur untuk membuatkan aku secangkir teh yang aku yakini akan bisa meredakan rasa mual yang masih mengganjal perutku.

Setelah membersihkan mulut dan wastafel, aku ikut menghampiri ke dapur dan langsung duduk di kursi meja makan berdampingan dengan suamiku yang kemudian mulai menggeser teh buatannya di depanku.

“Minumlah dulu, nanti siang aku akan buatkan susu hamil buat kamu, supaya kamu dan anak kita terpenuhi gizinya.”

Aku mengangguk sembari tersenyum.

Setelah sempat kami kesulitan untuk mendapatkan uang hanya demi bisa membeli sekotak susu hamil, akhirnya setelah suamiku berusaha dengan menjajakan barang dagangan secara berkeliling, kami bisa mendapatkan uang itu.

“Kalau kamu masih lemas, sebaiknya kamu nggak usah ikut bantu di toko, kamu istirahat saja.”

Aku langsung menggeleng tegas.

Aku merasa masih cukup kuat dan selalu menjadi tak tega kalau suamiku harus berusaha sendiri.

“Tidak Mas, aku akan tetap ke toko, lagipula pas kemarin sore kita masih kedatangan pembeli, waktu Mas sudah pergi untuk berkeliling.”

Mas Mirza menarik nafas panjang.

Suamiku terlihat masih tampak keberatan.

“Nia, yang terpenting sekarang adalah kesehatan kamu, karena kamu sedang mengandung anak kita. Kamu harus banyak istirahat.”

Mas Mirza kembali mendesah lama, tatapannya kiat lekat memindaiku.

“Sepertinya aku memiliki ide, itu kalau kamu setuju.”

Segera aku membalas tatapan suamiku.

“Ide apa Mas?”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   109. Dalam Ketidakpastian

    Cukup lama aku bersimpuh di samping pusara Mas Mirza. Berusaha keras menegarkan diri meski air mataku tetap saja tak bisa aku tahan.Walau aku begitu kehilangan tapi aku enggan hanyut dalam kesedihan yang hanya akan membuat hatiku tidak bisa menerima takdir yang sudah digariskan.Aku tak mau terjebak dalam kekufuran yang hanya akan membuatku tidak bisa menerima kenyataan jika Mas Mirza tidak lagi bersamaku.Akbar yang sejak tadi mendampingi, berusaha menguatkan aku dengan sentuhannya yang selalu aku rasakan pada pundakku.Putraku mampu menempatkan dirinya dengan sangat baik hingga aku merasa tidak sendiri.“Ma, ini sudah digariskan oleh Allah, ikhlaskan Papa, Ma,” gumam Akbar bijak.Aku memandang luruh pada putraku meski sebelah tanganku masih berpegang pada nisan suamiku.Saat memandang Akbar aku merasa jika Mas Mirza seakan masih bersamaku. Wajah mereka terlalu mirip yang membuat hatiku malah menjadi lebih tegar.Aku berusaha menyunggingkan senyumku dan membalas genggaman tangan mun

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   108. Diambang Perpisahan

    “Bagaimana kamu mengenal dia?”Aku bertanya penuh rasa penasaran.Sebaliknya Yusuf malah terlihat ragu, bahkan dia kemudian mulai menarik nafas dalam.Sementara istrinya memberi tatapan penuh arti disertai sebuah anggukan ringan yang membuat Yusuf kembali mengarahkan tatapannya padaku.“Sebenarnya Mas Herlambang adalah kakak kandungku, kami bertemu setelah sekian lama terpisah karena keadaan.”“Kakak kamu?”“Tapi sebenarnya ada hal lain juga yang aku rasa Mbak Nia perlu ketahui.”“Tentang apa?” tanyaku sedikit mendesak.“Kalau sebenarnya Mas Herlambang menyimpan sebuah perasaan pada Mbak Nia sejak lama. Karena memang Mas Herlambang sudah begitu lama mengenal Mbak Nia.”“Kami sebelumnya sudah saling mengenal?” tanyaku tak bisa sepenuhnya percaya.“Iya, karena sebenarnya Mas Herlambang sendiri yang sudah membawaku untuk diletakkan di depan rumah ayah dan ibu, Mbak Nia dan ketika itu Mbak Nia sendiri yang menemukan aku terlebih dahulu. Kata Mas Herlambang yang memperhatikan Mbak Nia dari

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   107. Masuk Pesantren

    “Maksud Budhe apa ya?” Riska sekarang malah terlihat ragu.“Apa kamu memiliki perasaan yang sama dengan Danar?” Aku kembali mendesak.“Budhe, aku tidak bisa memastikan apapun. Untuk sementara aku tak memikirkan semua itu, aku hanya berpikir untuk memperbaiki diriku dulu, seperti yang sudah aku katakan aku ingin masuk pesantren dan belajar ilmu agama, meski sepertinya aku sudah sangat terlambat untuk memulainya Budhe.”“Tidak, jangan pernah berpikir seperti itu.”Aku mulai menggenggam tangan Riska.“Kalau kamu sudah membulatkan tekad kamu seperti itu, budhe akan membantumu. Budhe juga berencana akan memasukkan Akbar ke pesantren dan setelah budhe bisa membujuk Akbar, baru kita akan sama-sama ke sana. Karena kebetulan budhe memiliki adik angkat yang sekarang sudah memiliki sebuah pondok pesantren yang cukup besar.”Aku mulai mengulas senyumku di depan Riska yang masih menampakkan keresahannya itu.“Nanti kita akan sama-sama datang ke sana.”Aku berusaha meyakinkan Riska lagi.“Te

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   106. Perasaan Riska

    Sontak aku dan Mas Mirza menjawab salam itu bersamaan, sembari aku menggiring kursi roda yang diduduki Mas Mirza untuk bergerak ke ruang tamu.Aku dan Mas Mirza langsung mengunggah kekagetan saat mendapati sosok Arman sedang berdiri di ambang pintu memandang kami dengan ragu dengan keadaannya yang jauh berbeda, tak lagi seperti dulu yang selalu memakai pakaian rapi dan gayanya yang cenderung angkuh.Bahkan saat terakhir datang dulu adik suamiku itu masih menampakkan sikapnya yang suka memaksa saat meminta untuk bisa tinggal di rumah kami.Tapi kini pria itu terlihat sangat sederhana bahkan gestur tubuhnya terlihat canggung dan ragu saat kami mulai mempersilakan masuk.“Arman, masuklah,” ucapku ramah.Sementara Mas Mirza hanya diam dengan tatapan yang sejak tadi memindai pada diri adiknya yang pastinya membuat suamiku itu bertanya-tanya.“Lama kita tidak bertemu ya,” ungkapku memulai percakapan ketika pria yang sekarang terlihat kurus dan jauh lebih tua itu sudah duduk di hadapan kami.

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   105. Keinginan Suamiku

    Saat aku datang, aku melihat wajah sendu Mas Mirza. Tatapannya menjadi nanar ketika aku memandangnya.“Ada apa Mas?” tanyaku penasaran sembari aku duduk di dekatnya yang saat ini Mas Mirza sedang duduk termangu di kursi rodanya.“Tidak ....”Mas Mirza malah memandangku semakin lekat.“Apa ada yang ingin kamu sampaikan Mas?” tanyaku agak mendesak karena aku menjadi sangat penasaran.Mas Mirza kemudian malah menggeleng.“Tidak, tidak ada,” gumam Mas Mirza.Tapi ketika melihat ekspresi wajahnya yang penuh kegundahan aku tetap tak bisa menghalau rasa ingin tahuku.Aku masih tak yakin jika Mas Mirza jujur saat ini.“Katakanlah Mas, apa yang sedang Mas pikirkan saat ini?”Mas Mirza masih termangu sesaat meski kemudian ia mulai menarik nafas panjang.“Aku hanya merasa bosan,” gumam Mas Mirza kemudian sembari memandangi kedua kakinya yang sudah nyaris tiga tahun ini tak bisa digerakkan lagi.Tapi setelah itu Mas Mirza malah tersenyum lebar.“Sudahlah lupakan semua itu, bagaimana keadaan pabri

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   104. Sikap Ganjil Herlambang

    “Budhe Nia!”Sontak aku menoleh dan memandang dari kejauhan melihat sosok Danar mendekat ke arah kami.Sekarang perhatian kami tertuju pada Danar yang semakin memacu langkahnya.“Apa persoalan kamu di kampus sudah selesai?” tanyaku memastikan karena tadi Danar memang harus datang ke kampus untuk mengurus beberapa hal yang membuatnya tak bisa mengikuti jalannya persidangan yang sudah memasuki fase akhirnya.“Sudah Budhe, semuanya sudah selesai.”Danar mengatur sejenak nafasnya yang tampak tersengal.“Bagaimana sidangnya? Keputusan hakim bagaimana?” tanya Danar menjadi sangat penasaran.“Sudah, Roby kena 10 tahun dan Dina juga ikut dijadikan tersangka meski saat ini dia masih buron.”Sejak di pemakaman nyatanya Dina benar-benar mengikuti apa yang dikatakan oleh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status