Langit sore mulai merona jingga saat Elkan melangkah keluar dari halte bis tua. Ia masih mengenakan seragam kerjanya sebagai kurir barang. Di tangannya tergenggam sebuah kardus kecil berisi kue tart rasa cokelat seharga lima puluh ribu rupiah—hadiah sederhana untuk merayakan ulang tahun pernikahannya yang kedua dengan Anya, perempuan cantik dari keluarga Hartawan yang terpandang berbeda dengan dirinya yang kini hanya bekerja sebagai kurir, tiap hari berpanas-panasan demi gaji yang tak seberapa.
Ya, Elkan menikahi seorang putri dari kalangan terpandang. Sebuah kontras mencolok dengan latar belakangnya yang sederhana dan sering dipandang rendah.
Elkan adalah lelaki tampan, dengan senyum tipis. Meski penampilannya lusuh malam itusangat kontras dengan rumah megah yang sore itu ia masuki. peluh menetes dari pelipisnya, ia tetap terlihat menarik. Di dalam hatinya menyala semangat. Ia membayangkan Anya menyambutnya di depan pintu, mengenakan daster merah muda, dan berkata dengan manja, “Makasih, Sayang. Kamu ingat, ya, hari ini ulang tahun pernikahan kita?”
Namun, semua itu hanya angan. Yang menyambutnya di rumah mewah milik keluarga istrinya bukan pelukan hangat, melainkan tatapan sinis dari ibu mertuanya, Bu Mirna.
"Masih miskin dan bau keringat juga sudah berani masuk rumah ini. Coba bercermin, Elkan. Kamu itu bukan level kita," sindir Bu Mirna sembari menyesap teh dari cangkir porselen seharga gaji tiga bulan Elkan.
Elkan hanya menunduk. Ia tahu posisinya—di mata keluarga Hartawan, dia hanyalah pria miskin yang beruntung bisa menikahi sang putri. Bagai noda di atas karpet mahal, ia dianggap tak seharusnya ada.
Yang paling sering melontarkan komentar pedas adalah Citra, adik iparnya yang manja dan gemar berpakaian seksi. Sore itu pun ia muncul dengan celana pendek ketat dan tank top, menyipitkan mata ke arah kue di tangan Elkan.
"Mana Anya istriku? aku mau kasih Kue ulang tahun buat dia,"tanya Elkan kepada Citra yang tiba-tiba muncul.
"Astaga, kue supermarket? Ini ulang tahun pernikahan, bukan ulang tahun anak TK!Anya belum pulang kerja, atau mungkin sedang bersenang-senang dengan prialain yang jauh lebih kaya darimu yang hanya bekerja sebagai kurir" katanya sembari tertawa kecil.
Tak ada satu pun dari mereka tahu, pria yang mereka anggap rendahan itu sebenarnyamenyimpan rahasia besar bahw Elkan sebenarnya adalah Elkan Putra Mahendra, satu-satunya ahli waris Mahendra Group—konglomerat terbesar di negeri ini sekaligus masuk dalam jajaran 5 orang terkaya di Asia.. Ayahnya, Mahendra Santoso, adalah sosok misterius yang sengaja menyembunyikan Elkan sejak kecil demi menjauhkan sang putra dari intrik politik dan bisnis yang mengelilingi keluarga mereka.
Namun kini, di rumah itu, Elkan hanya dianggap sebagai pelayan, bahkan oleh istrinya sendiri.
Setelah rencana kejutannya yang berantakan, Elkan mengurung diri di kamar kecil di ujung lorong lantai dua. Ia membuka ponsel, mencari pengalih perhatian dalam galeri foto kenangan bersama Anya.
Tiba-tiba, sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Ia membukanya, dan nyaris menjatuhkan ponsel saat melihat isinya.
Sebuah foto. Seorang perempuan dengan pakaian tidur tipis, berpose di ranjang mewah—wajahnya sangat mirip Anya.
Tangan Elkan gemetar. Di pundak perempuan itu tampak tanda lahir, persis seperti milik istrinya.
“Kalau kau pikir dia hanya milikmu, kau bodoh,” bunyi pesan di bawah foto.
Elkan tertegun. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia mencoba menyangkal, tapi bayangan-bayangan mencurigakan kembali menghantui: Anya sering pulang larut malam, telepon yang tiba-tiba dimatikan, dan tatapan dingin yang kini menjadi kebiasaan.
Apakah ini alasan Anya tak mau pindah dari rumah mertuanya? Apakah ini alasan ia selalu menolak disentuh hingga dua tahun menikah, Elkan masih perjaka? Apakah semua ini hanya sandiwara?
Esoknya, saat sarapan, Elkan memandangi Anya yang duduk berjauhan di meja makan,dalam diam. Wajah istrinya tenang, cantik seperti biasa, seolah tak terjadi apa-apa.seolah-olah hari ulang tahun pernikahan itu tak penting baginya.
"Ada yang mau kamu omongin?" tanya Anya datar setelah melihat Elkan yang terus memandanginya, pertanyaan itu dilontarkan dengan dingin sambil iamenyuap croissant.
Elkanberpikir sekejap dan nyaris menanyakan tentang foto semalam, tapi ia menahan diri. karena Ia belum punya bukti kuat. Untuk sementara, ia memilih mengamati.
tak lama kemudianCitra tiba-tibadatang dan lewat hingga menyenggol bahunya. “Kok bengong aja, Kak El? Galau ya? Jangan baper deh, nanti cepat tua. Lain kali kalau mau rayain ulang tahun pernikahan, bawalah kue yang layak, bukan kue murahan anak TK!”
Semuanya tertawa. Menertawakan Elkan termasuk Anya -istrinya .
Di dalam hati, Elkan bersumpah, suatu saat dunia akan berbalik. Orang-orang yang kini merendahkannya akan terdiam saat tahu siapa dia sebenarnya.
Malam harinya, hujan deras mengguyur. Elkan termenung di teras belakang rumah, mencoba menenangkan pikirannya. Kue ulang tahun yang ia beli masih utuh di kulkas, tak tersentuh. Anya bahkan masuk kamar tanpa sepatah kata, seolah tanggal itu tak berarti apa-apa.
Tak lama, ponseln Elkan kembali bergetar.
Nomor tak dikenal.
Elkan hampir mengabaikannya, tapi rasa penasaran membuat jarinya menekan tombol hijau.
“Halo?”
Suara berat dan tua menjawab. “Elkan... Ini Paman Tirta. Dari Yayasan Mahendra.”
Darah Elkan langsung naik ke kepala. Sudah bertahun-tahun nama itu hilang dari hidupnya. Yayasan Mahendra adalah bagian dari jaringan perusahaan ayahnya, Mahendra Santoso—sosok yang selama ini hanya hadir dalam bisikan dan dokumen rahasia.
“Ayahmu... sedang sakit keras,” lanjut suara itu. “Dia ingin bertemu. Katanya, waktunya sudah dekat. Kamu harus ambil alih semua perusahaan!”
Rumah tampak lebih sunyi dari biasanya, namun udara tetap tebal oleh ketegangan dan hasrat yang tak tersampaikan. Elkan berdiri di ruang tengah, menatap Anya yang duduk di sofa dengan ekspresi campuran antara penasaran, bangga, dan sedikit cemburu. Matanya tak lepas dari setiap gerak tubuhnya, dari rambut yang tergerai sampai lekuk gaun yang jatuh anggun mengikuti bentuk tubuhnya. Langkah-langkah halus terdengar dari arah tangga. Tiara dan Citra, dua sosok yang sebelumnya menghilang, muncul perlahan. Mereka menatap Elkan dengan senyum tipis penuh misteri. Hadirnya mereka membuat aura rumah berubah—lebih panas, lebih menantang. "Elkan," bisik Citra sambil melangkah lebih dekat, aroma parfumnya memikat. "Kamu tampak berbeda malam ini… lebih… percaya diri." Elkan menatap tajam, mencoba tetap tenang. "Aku tetap sama," jawabnya, walau hatinya merasakan godaan yang semakin kuat. Tiara duduk di kursi dekatnya, menyingkirkan jarak. "Sungguh? Aku rasa banyak yang berbeda dari dirimu," kata
Pagi datang dengan cahaya keemasan yang menembus tirai tipis ruang keluarga Hartawan. Aroma teh dan kue sarapan berputar di udara, namun apa yang terjadi di meja pagi itu bukan lagi sekadar makan bersama—melainkan pengadilan keluarga, dengan Elkan sebagai terdakwa sekaligus hakimnya sendiri. Semua anggota keluarga besar telah berkumpul. Bu Mirna dengan blus mewahnya, Paman Arif, Bibi Rina, sepupu-sepupu seperti Linda dan Claudia, hingga para menantu lain yang selalu memandang Elkan setengah mata. Anya duduk tenang di samping suaminya, sementara Elkan mengambil posisi di kursi paling ujung—tempat yang memberi pandangan penuh ke seluruh ruangan. "Elkan," buka Bu Mirna, menyilangkan tangan, "karena semalam kau membuat pernyataan besar di pesta keluarga Mendoza, hari ini kau harus menjelaskan semuanya. Kalau kau memang pewaris besar seperti yang digembar-gemborkan… tunjukkan buktinya." Elkan mendongak perlahan, sorot matanya tenang namun tajam. Ia menatap satu per satu wajah di sekelil
rtawan belum beranjak dari ruang tamu megah yang kini ditelan hawa panas tak kasat mata. Kristal pada lampu gantung berkilauan, memantulkan tatapan penuh penasaran setiap mata yang menatap Elkan bagai menatap teka-teki terbesar dalam hidup mereka. Setiap kalimat manis dibalut racun, setiap senyum menyimpan niat tersembunyi.Elkan duduk tenang di sofa tengah, bercangkir teh hangat yang tak pernah ia teguk. Di satu sisi, Anya duduk mendekat, menyentuhkan lututnya ke paha Elkan, sebagai isyarat kepemilikan. Claudia bersender di kursi seberang, menatap mereka bagai pemangsa. Katya—masih dengan tatapan khilaf sensualnya—menyilang kaki tanpa malu, sekali-sekali memperlihatkan paha porselen untuk menguji fokus Elkan yang tetap dingin.Bu Mirna berjalan pelan membawa nampan buah, mencoba terlihat keibuan padahal matanya begitu tajam memperhitungkan posisi. "Elkan, kau membuat kejutan semalam. Kau bilang akan selamatkan keluarga Mendoza. Sekarang seluruh dunia sedang membicarakanmu. Kau pikir
Elkan menutup pintu apartemennya dengan lembut, namun napasnya masih berat karena sisa adrenalin dari pesta malam sebelumnya. Cahaya lampu kota menembus jendela besar, memantulkan kilauan malam yang elegan. Di sisinya, Anya berdiri dengan memakai gaun malam yang lembut, rambutnya yang basah diguyur hujan sore tadi masih menetes perlahan di bahunya. Tatapan mereka bertaut lama, penuh kata yang tak terucap, ketegangan yang bercampur antara cinta, keingintahuan, dan godaan. “Aku… tak menyangka kau bisa melakukan itu,” bisik Anya, suaranya lirih namun tegas. “Mengambil alih kendali begitu saja, di hadapan semua orang. Kau… menakutkan sekaligus memikat.” Elkan tersenyum tipis, tangannya meraih jemari Anya. “Kalau ingin dijaga… kau harus tahu siapa yang benar-benar memegang kendali. Tidak ada kompromi, tidak ada kebohongan.” Anya menghela napas. Tubuhnya bergetar, namun matanya tetap menatap tajam. “Dan kalau aku jatuh di hadapanmu lagi? Bagaimana kalau aku tak bisa menahan… hasrat ini?
Elkan menutup pintu apartemennya dengan lembut, namun napasnya masih berat, sisa adrenalin dari pesta malam sebelumnya. Cahaya lampu kota menembus jendela besar, memantulkan kilauan malam yang elegan. Di sisinya, Anya berdiri dalam gaun rumah yang lembut, rambutnya yang basah diguyur hujan sore tadi masih menetes perlahan di bahunya. Tatapan mereka bertaut lama, penuh kata tak terucap, ketegangan yang bercampur antara cinta, keingintahuan, dan godaan.“Aku… tak menyangka kau bisa melakukan itu,” bisik Anya, suaranya lirih namun tegas. “Mengambil alih kendali begitu saja, di hadapan semua orang. Kau… menakutkan sekaligus memikat.”Elkan tersenyum tipis, tangannya meraih jemari Anya. “Kalau ingin dijaga… kau harus tahu siapa yang benar-benar memegang kendali. Tidak ada kompromi, tidak ada kebohongan.”Anya menghela napas. Tubuhnya bergetar, namun matanya tetap menatap tajam. “Dan kalau aku jatuh di hadapanmu lagi? Bagaimana kalau aku tak bisa menahan… hasrat ini?”Elkan memandangnya dal
Anya di sisinya, gaunnya jatuh anggun mengikuti lekuk tubuhnya. Ada sesuatu di tatapan mata Anya malam itu—campuran bangga, khawatir, dan rasa percaya yang dalam. Ia tahu Elkan bukan sekadar pria yang berdiri pasif di pesta ini. Bisikan-bisikan mulai terdengar."Siapa pria itu?" "Kenapa bersama Nyonya Anya?" "Kurir? Bodyguard? Atau sekadar tamu bayangan?"Elkan menahan senyum tipis. Ia sudah terbiasa diremehkan.Malam semakin larut saat alunan musik berubah menjadi jazzy sensual, menggoda siapa pun yang mendengarnya. Sebuah tepukan di bahu menyadarkan Elkan dari lamunannya. Saat ia menoleh, Claudia berdiri sambil menyeringai, segelas martini di tangan."Tebakan mereka makin liar, Elkan," bisik Claudia genit. "Ada yang bilang kamu itu gigolo pribadi yang disewa Anya. Menarik sekali, bukan?"Elkan hanya tertawa kecil, menyambar gelas sampanye miliknya. "Gigolo yang bisa beli gedung pesta ini kalau mau, ya? Biarkan mereka berkhayal, Claudia."Claudia mendekat, aromanya provokatif. "Tapi