“Ayahmu... sedang sakit keras,” suara di ujung telepon itu melanjutkan. “Dia ingin bertemu. Waktunya sudah dekat. Kamu harus mengambil alih semua perusahaan!”
Elkan terdiam. Lidahnya kelu. Jantungnya berdebar keras, seperti genderang perang yang ditabuh tanpa aba-aba.
“Kenapa sekarang?” tanyanya pelan.
“Karena kamu harus bersiap. Kamu akan mewarisi segalanya, Nak. Tapi sebelum itu... kau harus tahu siapa teman dan siapa musuhmu.”
Klik.
Sambungan telepon terputus. Suara detaknya menggema di kepala Elkan lebih lama dari yang ia perkirakan.
Di luar, petir menyambar langit Jakarta. Hujan mulai turun, pelan-pelan, seperti air mata yang menetes dari langit. Di dalam rumah mewah keluarga Hartawan, tawa nyaring perempuan-perempuan di ruang tengah masih terdengar—ibu mertua dan dua adik iparnya sedang menonton sinetron tentang perselingkuhan dan warisan. Sambil mengomentari betapa tampannya pemeran utama, mereka menyisipkan cemoohan tentang Elkan, yang duduk di dapur, merapikan kardus bekas tempat kue ulang tahun yang tak pernah tersentuh.
“Ih, Elkan itu ya... kalau gak jadi kurir, cocok deh jadi OB,” suara Laras, adik ipar bungsu, terdengar jelas.
“OB? OB juga masih punya harga diri, Ra. Kalau si Elkan, jadi suami aja kayak beban negara,” timpal sang ibu mertua. “Pokoknya, ibu mau kamu menceraikan dia secepatnya! Banyak lelaki kaya yang suka sama kamu, kan?” lanjut Ibu Mirna dengan tatapan penuh intimidasi kepada Anya.
Ironis. Mereka tak tahu, pria yang mereka rendahkan malam ini akan segera menjadi pemilik jaringan perusahaan terbesar di Asia Tenggara. Tapi Elkan memilih diam. Ia menunduk, menghapus sisa krim cokelat di ujung jari—bekas kue yang gagal menjadi simbol cinta.
Esok paginya, suasana rumah yang biasanya riuh oleh gelak tawa dan aroma kopi Arabika yang baru diseduh kini berbeda. Elkan sudah bangun lebih awal. Ia tahu diri. Baju-bajunya tidak pernah disentuh oleh para asisten rumah tangga. Bahkan untuk sekadar menaruh di keranjang cucian, para pembantu itu selalu mendapat perintah untuk mengabaikan milik Elkan.
Seperti biasanya, ia mencuci pakaiannya sendiri. Sekalian ia angkat baju kotor milik penghuni rumah lain—tanpa diminta, tanpa dihargai. Ia juga mengepel lantai marmer, mencuci piring dari sisa makan malam yang berceceran, dan mengelap jendela besar di lorong utama.
Semua dilakukan dalam diam. Dengan sabar. Seperti budak yang tak boleh bersuara. Namun, pagi ini tubuhnya letih. Kepalanya masih berat karena semalaman sulit tidur—pikirannya berputar antara warisan, ayah kandung yang lama menghilang, dan masa depan yang masih buram.
Dengan kaus tipis yang sudah mulai luntur dan celana pendek yang sedikit longgar, Elkan berjalan menyusuri lorong menuju kamar mandi di ujung. Ia pikir kamar mandi itu kosong karena pintunya setengah terbuka dan tidak ada suara dari dalam.
Ia mengetuk pelan.
“Permisi, mau numpang…” Belum sempat kalimatnya selesai, tiba-tiba—
BRAK!
Sesuatu—atau seseorang—tergelincir dari dalam dan menabraknya dengan kecepatan yang tak bisa dihindari!
BRUK!
Mereka jatuh bersamaan. Tubuh Elkan menubruk lantai marmer, sementara sosok perempuan yang hanya tertutup handuk tipis terjerembap tepat di atas tubuhnya. Handuk itu nyaris terlepas, hanya diselamatkan oleh lengannya yang sigap memeluk dada.
Saat Elkan membuka mata, napasnya tercekat.
Kak Tiara.
Kakak kandung Anya. Janda seksi yang selalu tampak seperti baru keluar dari majalah mode. Tubuhnya harum—campuran sabun bayi, vanila, dan aroma kulit lembut yang baru saja tersiram air hangat. Rambutnya basah, menempel di leher dan bahu. Dan dada itu... hampir menempel ke wajah Elkan.
“ELKAN! Astaga, kamu kenapa nyelonong masuk!?” seru Tiara panik, matanya membelalak.
“Aku—aku kira kosong! Tadi aku ketuk, gak ada jawaban!” jawab Elkan tergagap, berusaha bangkit, tapi tangan Tiara mendorongnya kembali. Ia panik, dan sialnya, terpeleset lagi—lalu jatuh tepat di atas perut Elkan, seolah duduk di pelukan seseorang… hanya saja, kali ini lebih intim dari sekadar duduk.
“Oh my God, ini bukan bagian dari yoga, kan!?” katanya setengah geli, setengah histeris.
Elkan tak bisa bergerak. Selain karena malu, tubuhnya juga mulai… bereaksi. Hal yang tak bisa dihindari. Otaknya memerintahkan untuk tenang, tapi tubuhnya berkata lain.
Tiara menoleh, lalu membeku.
“ASTAGA! Itu... itu bukan dompet, kan?” serunya, suaranya nyaris bergetar.
Elkan menutup wajah dengan telapak tangan. “Kak Tiara... itu cuma reaksi tubuh. Bukan maksudku…”
Namun, Tiara tak bergeming. Wajahnya memerah—entah karena marah, malu, atau… penasaran. Ia menggoyang-goyangkan pinggulnya perlahan, dan Elkan bisa merasakan tekanan itu semakin membara.
“Ya ampun, Elkan… ternyata punyamu besar juga, ya…” Tiara berbisik, seolah menemukan harta karun yang lama hilang.
“Tapi aku... bukan... maksudku... kamu ini kakak iparku,” gumam Elkan, nyaris tak terdengar.
Tiara menunduk, bibirnya nyaris menyentuh telinga Elkan. “Aku sudah empat tahun jadi janda, Elkan… empat tahun gak ngerasain sosis, apalagi sosis yang sebesar begini. Sekali aja, ya? Satu celup aja, ya... Pleaaase!”
Suara deru mesin mobil sport memecah pagi yang biasanya sepi di kompleks elite Taman Nirwana. Getarannya menggema, menggelegar seperti singa lapar yang sedang memamerkan kekuasaan.Sebuah mobil Lamborghini Urus hitam doff berhenti tepat di depan garasi rumah keluarga AHartawan. Plat nomornya polos, hanya satu huruf dan tiga angka. Satu tanda: ini bukan mobil sembarangan.Dari dalam rumah, semua penghuni menoleh hampir bersamaan.Mirna—ibu mertua Elkan—menyibak tirai dengan cemas. “Siapa yang parkir segila itu di halaman kita?! Mau flexing di pagi hari? Gak tahu tata krama!”Tiara—kakak ipar Elkan yang baru datang dari Australia—melongok sambil memegang cangkir kopi. “Bisa jadi itu tetangga baru… atau tamu Daddy?”Tiba-tiba, supir berpakaian formal turun dari mobil. Mengenakan jas hitam dengan emblem emas di dada kiri bertuliskan:“Mahendra Group | VVIP Division.”Pria itu berjalan menuju pintu rumah dengan langkah pasti. Rapi. Elegan. Dominan. Seperti sedang menuju pentas, bukan pekara
“CEO...?”Thomas nyaris terbatuk kata-kata itu, seperti menelan serpihan ego sendiri. Wajahnya yang semula penuh percaya diri kini pias, matanya melirik kiri-kanan, mencari semacam pelarian—apa pun, bahkan kebohongan—untuk menutupi kenyataan.Tapi sayang, dunia nyata tidak menyediakan tombol rewind.Elkan menyandarkan punggung ke sofa, menyilangkan kaki dengan tenang.“Lucu ya, Thomas. Dulu kamu bilang aku cuma cowok kere yang nggak pantas dapat Anya. Sekarang, kamu kerja di bawah aku. Secara harfiah.”Thomas membuka mulut, tapi tidak ada suara yang keluar. Bahkan Bu Mirna pun terdiam. Baru kali ini dia melihat menantunya—yang dulu dicibir sebagai ‘pengangguran ganteng’—berubah menjadi pria dengan kekuatan mutlak di genggamannya.Anya sendiri seperti kehilangan napas. Jemarinya mencengkeram sisi sofa. Matanya terpaku pada nama “Elkan Mahendra Putra” yang tertera tebal di layar ponsel. Itu bukan deepfake. Bukan editan. Itu nyata.“Mas...” ucap Anya pelan. “Kenapa kamu nggak pernah bila
Sunyi menyelimuti ruang tamu. Hanya denting halus sendok mengenai cangkir yang terdengar, ketika Elkan duduk di kursi favorit Bu Mirna—yang kini entah mengapa terasa lebih nyaman dari sebelumnya.Di hadapannya, seluruh penghuni rumah berkumpul seperti menghadiri pemakaman diam-diam.Bukan kematian seseorang, melainkan kematian ilusi kekuasaan. Ilusi yang selama ini mereka banggakan, kini perlahan dikuliti satu-satu oleh lelaki yang selama dua tahun mereka anggap tak berguna.Elkan menyilangkan kaki.“Mulai hari ini, kalian boleh tetap tinggal di sini,” katanya, kalem. “Tapi jangan lupa... kalian tinggal di rumah saya.”Anya tampak menahan napas. Citra mengatupkan rahang, sementara Bu Mirna seperti kehilangan kemampuan bicara.Hanya Tiara yang duduk dengan pandangan penuh rasa ingin tahu. Seperti sedang menyaksikan thriller nyata dalam rumah sendiri.“Apa kamu pikir ini lelucon, Elkan?” ujar Bu Mirna akhirnya. “Apa kamu sengaja mau balas dendam, hah?”Elkan menatapnya sebentar. Senyum
Elkan menoleh perlahan. Ia mengamati perempuan yang dua tahun lalu ia nikahi, perempuan yang dulu ia cintai sepenuh hati… tapi sekarang terasa seperti mimpi buruk dalam balutan parfum mahal, yang selalu tak mau ia sentuh. Kini, ia datang menawarkan diri. Anya pasti sedang mabuk saat ini, pikir Elkan, keheranan dengan sikap Anya.“Aku enggak bisa tidur,” lanjut Anya sambil memeluk dirinya sendiri. “Boleh aku tidur bersamamu malam ini?”Elkan menghela napas.“Kenapa bukan Thomas? Bukannya dia yang biasa kamu telepon diam-diam tengah malam?”Anya menunduk. “Dia jahat, Elkan. Aku… aku salah. Dia cuma manfaatin aku. Setelah dia tahu aku enggak punya kontrol atas harta keluarga, dia menjauh, setelah dia tahu ekonomi keluargaku sedang tidak baik-baik saja.”Elkan berdiri, perlahan.“Baru tahu rasanya ditolak karena miskin?” tanyanya, datar, sedikit menyindir. “Aku sudah dua tahun merasakannya. Setiap hari. Di rumah ini.”Anya menangis. “Aku minta maaf…”Elkan menatapnya. Lama. Dalam.Kemudian
Sore itu, rumah keluarga Hartawan tampak lebih ramai dari biasanya. Beberapa kerabat jauh dan teman-teman bisnis Bu Mirna datang berkunjung, kabarnya ingin membahas proyek kerja sama properti. Elkan hanya duduk di ujung ruang makan, seperti biasa—tak dianggap.“Eh, Mas Elkan, kamu jangan duduk di kursi situ, ya. Itu buat tamu penting,” tegur Anya pelan, tapi tajam. “Kamu biasa duduk di bangku dekat dapur, kan?”“Sudah biasa didudukkan, bukan diposisikan,” jawab Elkan datar sambil berdiri. Ia membawa gelas air ke dapur, kembali memposisikan dirinya sebagai pelengkap suasana.Namun diam-diam, Elkan memperhatikan.Salah satu pria paruh baya yang duduk berdampingan dengan Bu Mirna... wajahnya tak asing.Pak Herman Wijaya. Komisaris utama dari PT Citra Jaya Properti.Elkan menahan senyum. Jadi ini proyek yang akan mereka garap?Ia menarik napas panjang.Menarik. Mereka belum tahu siapa yang mereka ajak bicara.Setelah acara selesai, Elkan diam-diam kembali ke kamarnya. Ia membuka laptopnya,
“Sosisku mungkin besar, tapi bukan untuk dicicipi sembarang orang, apalagi sama kakak ipar sendiri!” tegas Elkan, suaranya sedikit bergetar.Susah payah Elkan menolak ajakan Tiara.Hujan semalam belum benar-benar berhenti. Kini udara pagi di rumah Hartawan terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya perasaan Elkan yang masih membawa sisa resah dari malam sebelumnya—mulai dari telepon mengejutkan Paman Tirta, suara lirih Anya di balik pintu, hingga kedatangan Tiara yang nyaris membakar imannya.Setelah cuci muka di wastafel belakang, Elkan berjalan menuju dapur. Ia ingin membuat kopi sendiri karena tahu persis tak ada satu pun wanita di rumah ini yang sudi membuatkan minuman hangat untuknya, bahkan sekadar air putih.Namun, pagi ini berbeda.“Mas El, kamu mau kopi, ya?” suara Citra muncul tiba-tiba dari balik kulkas, mengejutkan Elkan.Dengan tank top ketat dan celana pendek yang terlalu pendek untuk cuaca mendung, Citra tersenyum sok manis. Aroma parfumnya lebih kuat dari