Keempat orang itu pun terus berjalan mencari tempat bagus untuk mendirikan tenda, tapi sejak tadi tidak juga menemukan tempat yang tepat, hingga Reno melihat cahaya di depan.
"Eh, lo pada lihat, nggak? Itu ada kaya cahaya lampu?" tunjuk Reno ke depan yang memang terlihat mulai gelap dan turun kabut, suhu dingin juga mulai terasa menusuk tulang mereka."Bener, Ren. Mungkin di depan juga ada pendaki lain, ayo buruan kita gabung," timpal Alan.Semua orang mengangguk, Reno dengan hati-hati terus memandu jalan agar orang yang di belakangnya tidak salah langkah, hingga keempatnya sampai di tempat yang datar, ternyata bukanlah cahaya lampu dari pendaki lain, melainkan itu adalah cahaya lampu minyak yang ada di rumah-rumah warga."Ada desa di sini?" tanya Reno merasa heran saat melihat rumah-rumah bambu yang tidak hanya satu, tapi sekitar ada belasan rumah di situ. Ketiga orang lainnya pun merasa bingung dengan kebenaran penglihatan mereka saat ini, di tengah kebingungan mereka dikejutkan dengan suara seseorang dari arah belakang."Kalian mau beristirahat?""Wey!" kejut Rafi dan Alan yang langsung loncat berbalik badan lantas melihat sosok laki-laki berbaju batik dengan kopeah hitam di kepala dan tak lupa sarung diikat di pinggangnya.Reno dan Rasti pun ikut berbalik badan melihat siapa orangnya yang mengagetkan mereka. "Kalian ini pendaki? Tersesat sampai sini?" tanya bapak paruh baya itu."Iya, tapi ... apa benar di sini ini desa?" tanya Reno ragu, seraya menunjuk bangunan-bangunan sederhana di belakang mereka."Ya seperti yang kalian lihat, kami penduduk yang sengaja pindah dan tinggal di sini untuk mencari ketenangan jiwa," sahut si Bapak tua itu.Mendengar kalimat laki-laki tua itu, membuat Reno dan yang lain saling pandang. "Tapi, kalian manusia, kan?" tanya Alan dengan polosnya."Haha, ya tentu saja kami semua manusia, memang kalian kira saya ini yang ada di depan kalian ini apa, Demit?" tanya si Bapak seraya tertawa.Alan menggaruk tengkuknya seraya terkekeh. "Ya kali, abis si Bapak tiba-tiba muncul, bikin kaget.""Haha, dasar kalian ini." Si bapak menggeleng. "Ini, loh. Saya dari cari kayu bakar buat istri memasak." Reno dan yang lainnya pun melihat kayu bakar yang ada di atas tanah dekat kaki bapak tua itu, lalu mereka mengangguk serempak."Hari sudah mau gelap, sudah gerimis juga, apa kalian mau istirahat? Kebetulan ada rumah yang kosong di sini, memang khusus untuk para pendaki yang tersesat. Warga sini suka mengantarkan mereka kembali turun besok harinya," tawar si bapak tua."Gimana nih, Gais? Hari emang mau gelap, udah turun nih gerimis," tanya Reno meminta pendapat."Istirahat aja deh, Sayang. Aku udah kedinginan banget," sahut Rasti seraya mengeratkan jaket yang membalut tubuh sintalnya."Gimana, Raf, Lan?" tanya Reno meminta persetujuan kedua temannya juga."Ya, ya udah deh, kita istrirahat, percuma juga, kan? Meski kita jalan terus juga yang ada ngebahayain," sahut Rafi."Gimana, kita pergi? Hujannya mulai besar," ajak si Bapak."Ya udah ayo, Pak!" Reno ingin segera berteduh karena hujan mulai turun deras.Mereka semua berlarian menuju satu rumah bambu yang katanya kosong. "Silahkan masuklah, ada dua kamar. Kalian bisa istirahat di sana," ucap si Bapak seraya menunjuk pintu-pintu ruangan yang tertutup."Oya, Pak terima kasih. Bapak namanya siapa, dari tadi kita bicara tapi kita tidak saling kenalan," kata Reno."Saya Wayan," jawabnya."Oh, kenalkan saya, Reno. Dan ini, Rafi, Alan dan ini Rasti," ucap Reno memperkenalkan semuanya."Ya sudah, saya pulang dulu, kasihan istri saya sendirian di rumah. Saya pamit dulu ya, permisi.""Ya, Pak. Terima kasih," sahut Reno dan Wayan pun tampak berlari menembus hujan yang lebat.Reno menutup pintu kayu rumah itu, dan menaruh barangnya di ruang tamu. "Ya udah sana kalian masuk kamar, biar gue di sini aja," titah Reno yang langsung rebahan di atas dipan santai.Rasti tampak masuk ke dalam kamar depan dan kedua temannya masuk ke dalam kamar lainnya.Hujan yang deras dan malam semakin larut, hawa dingin begitu menusuk tulang. Reno masih terjaga seraya memainkan game offline di ponselnya yang kini tak bersinyal.Tak lama terdengar suara pintu terbuka dan Rasti tampak berjalan menghampiri Reno yang tengah bersandar di kursi santai. Melihat Rasti keluar, Reno pun duduk tegak. "Kamu belum tidur, Ras. Ada apa?" tanya Reno.Rasti dengan nakalnya duduk di atas pangkuan Reno. "Di sini dingin, Ren. Aku tidak bisa tidur," jawabnya seraya jari-jari lentiknya menggoda sisi wajah dan rahang tegas kekasihnya.Reno tersenyum, memiringkan kepala dan keduanya berciuman panas, tanpa mereka sadari Rafi mengintip dari celah pintu bilik yang berlubang. Sementara Alan sudah tertidur pulas dibuai mimpi.Rafi menelan salivanya, dan merasakan sesuatu menegang di bawah sana. "Sial!" umpatnya merasa kesal karena sesuatu di dalam dirinya turut bergejolak saat melihat adegan panas di hadapannya.Rasti dan Reno hanya berciuman, dan keduanya usai begitu saja. Rasti kembali ke kamarnya, dan terlihat Reno berjalan ke belakang. Rafi menoleh ke arah Alan yang sudah tak sadarkan diri, Rafi pun keluar kamar dan berjalan mengendap-endap seperti maling, ia menoleh ke belakang takut Reno sudah kembali dari kamar kecil yang ada di rumah itu.Segera Rafi menyelinap masuk ke dalam kamar Rasti dan menutup pintunya dengan cepat. "Rafi, kamu sedang apa di sini?" tanya Rasti sedikit terkejut saat Alan tiba-tiba masuk."Sshhh!" Rafi membungkam mulut Rasti agar tidak berisik. "Ras, gue tahu lo butuh kehangatan, kan? Tapi, Reno kayaknya lagi males. Gue butuh Elo, Ras. Please!" mohon Rafi agar Rasti jangan marah padanya dan mengadu pada sahabatnya.Rasti membuka bekapan tangan Rafi dari mulutnya dengan paksa. "Ya elah, Raf. Gitu aja ribet, kamu mau? Ya udah, ayo!" Rasti tersenyum menatap sahabat dari kekasihnya itu yang terlihat tertegun.Rafi melongo, tak menyangka Rasti mau dan tidak masalah jika dia dan dirinya melakukan itu di belakang Reno. Dengan senyum nakal Rafi pun mulai melepas dan menanggalkan seluruh pakaiannya. Rasti juga merasa langsung turn on saat melihat bentuk tubuh Rafi yang tak kalah seksi dengan kekasihnya.Mereka bisik-bisik dan menyuruh Rafi untuk mengintip Reno di ruang tamu, Rafi mengintip ternyata Reno belum kembali dari kamar kecil. "Gimana?" lirih Rasti."Aman," jawab Rafi lirih juga seraya mengangkat jempolnya, senyum girang.Rasti tersenyum, dan Rafi dengan sangat tergesa-gesa membantu Rasti membuka seluruh pakaian yang membalut tubuh indah gadis itu. Setelahnya mereka saling menyentuh, dan mencumbu.Keduanya pun melakukan perbuatan terlarang itu di tempat yang tidak seharusnya, dan di belakang Reno yang kini masih di kamar kecil.Raniah mengusap bawah matanya yang basah oleh air mata lalu menatap Galuh dengan tatapan tegar. "Jika aku sudah memberi keputusan berarti aku sudah siap dengan segala konsekwensinya. Kamu pikir aku tidak bisa untuk menolak tuduhanmu itu? Bisa saja kan kamu hanya memfitnah Kak Setya. Aku tahu siapa ibumu, tidak menutup kemungkinan kamu pun sama--""Raniah!" Galuh mengangkat tangan kanannya hendak menampar Raniah yang terlihat sama sekali tidak takut. "Jangan pernah kamu bawa-bawa nama ibuku, atau--""Atau apa? Apa yang mau kamu lakukan padaku, Galuh? Dengarkan aku, meski kamu menikah dengan Kak Setya, kamu tidak akan mendapatkan apa-apa." Raniah lalu melangkah masuk rumah dan meninggalkan Galuh begitu saja.Galuh tak menyangka kalau Raniah bisa mengeluarkan kata-kata ancaman seperti itu. "Kurang ajar kamu, Raniah. Kamu tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa, kamu akan tahu akibatnya nanti," ucap Galuh dengan senyum jahatnya.***Raniah berjalan menuju anak tangga, dia juga tak meny
Bayangan-bayangan menjijikan di benaknya membuat Galuh semakin geram menatap wajah lelaki yang saat ini sedang pulas menikmati tidurnya. Dengan gerakan perlahan tangan wanita itu meraih bantal yang tidak ditiduri lantas ia letakan di atas wajah Andre.Dengan tekanan kuat membuat Andre yang tertidur tampak kaget ketika wajahnya ada benda yang menindih. Meski laki-laki itu berusaha berontak lantas memegangi kedua pergelangan tangan Galuh, wanita itu ternyata tak menyerah."Kamu harus mati, Ndre!" batin Galuh seraya terus menekan wajah Andre sekuat tenaga.Andre yang secara belum siap dengan serangan ini perlahan melemah, hingga tubuhnya tak bergerak lagi. Merasa kakak tirinya tidak memberontak, Galuh perlahan membuka bantal yang menutupi wajah Andre, dan benar saja Andre kini sudah tak sadarkan diri.Galuh mengecek nadi di leher dan juga napas lelaki itu, seketika ia tersenyum saat Andre benar-benar tak bernyawa lagi. "Akhirnya kamu mati juga, Ndre. Kamu terlalu menyusahkan aku, hingga
Keadaan tempat tidur yang berantakan, menyisakan seorang wanita yang tergolek lemah berbalut selimut. Galuh mencengkram sprei dengan perasaan marah, dia pikir Andre akan berhenti mengganggunya ketika dia sudah menikah dengan Setya. Namun, pada kenyataannya Kakak tirinya itu benar-benar iblis!"Aku tidak bisa membiarkan seperti ini terus, Andre tidak bisa bersikap seenaknya padaku seperti ini. Aku bukan budak nafsu bejadnya, aku menyesal karena terbujuk olehnya. Bagaimana kalau Kak Setya tahu dan semua anggota keluarga ini tahu hubunganku dengan Andre bagaimana?Aku yakin bayi dalam kandunganku ini juga anak Andre, jika skandal ini terbongkar akan jadi berbahaya untuk posisiku dan anak di rahimku ini, meski aku sejujurnya tidak peduli dengan bayi ini. Akan tetapi, bayi inilah yang akan membawaku agar tetap berada di posisi sebagai Nyonya Rumah ini.Aku tidak bisa tinggal diam, aku harus melakukan sesuatu untuk menghentikan si Brengsek Andre!" gumam Galuh dengan penuh kebencian dan den
Sekeras apa pun Setya menolak karena merasa tidak bersalah, laki-laki itu hanya dijebak. Tapi fitnah keji sudah terarah padanya dan tidak bisa Setya mengelaknya.Hari ini adalah hari pernikahannya dengan wanita yang tidak pernah dia harapkan."Apakah sudah siap, Nak Setya?" tanya sang penghulu pada Setya yang tampak hanya diam saja.Raniah justru terlihat tegar dibanding Setya yang tampak ingin menangis. Wanita itu duduk di samping Danu Adji, dan Andre sebagai keluarga satu-satunya Galuh kini siap menjadi walinya.Pernikahan digelar dengan sangat sederhana, hanya ada keluarga inti dan kedua saksi. "Nak Setya, apakah sudah siap?" Penghulu mengulang bertanya.Setya masih diam, sampai kapan pun dia tidak akan pernah siap. Danu Adji menepuk pundak putranya . "Setya, ayo, Nak. Jangan terlalu lama," ucap Danu Adji, berusaha menenangkan putranya."Tapi, Ayah--""Kak!" Raniah memanggil suaminya dengan lirih.Pandangan Setya begitu sendu memandang istrinya, tapi Raniah mengangguk memberi isyar
Acara 4 bulanannya bayi Raniah tengah berlangsung, suasana khidmat sangat terasa. Lantunan tahlil dan tahmid berkumandang serentak, ayat suci al-qur'an terdengar syahdu di telinga Raniah.Setya Adji membacakannya dengan penuh perasaan kasih, tanpa terasa tetes bening meluncur dari sudut mata Raniah yang merasakan haru sangat dalam."Setya Adji!" seruan dengan nada sarkas mengejutkan semua orang dan serentak menoleh ke arah ambang pintu yang terbuka lebar.Andre tampak menggenggam pergelangan tangan Galuh dan menatap Setya tajam. "Setya, kamu harus bertanggung jawab atas adikku, dia hamil!" Andre menunjuk ke arah Setya."Astagfirullahaladzim!" ucap Setya, Raniah, juga Danu Adji yang terkejut, tak luput juga orang-orang yang hadir dalam acara tersebut.Raniah berdiri seraya memegangi perutnya yang mulai membesar, segera Setya juga berdiri dan berada di samping istrinya yang tampak shock."Raniah," lirih Setya di samping istrinya seraya memegang kedua bahu Raniah untuk saling kuat dan me
Hari-hari berlalu, begitu cepat usia kandungan Raniah sudah jalan 4 bulan. Wanita itu menikmati masa-masa kehamilannya dengan bahagia.Setya terus memberi perhatian padanya, dan Galuh juga tidak lagi datang mengganggu kehidupan mereka. "Kak, coba sini." Raniah melambaikan tangan pada Setya yang baru saja keluar dari kamar mandi."Ada apa, Ran?" tanya Setya yang kini masih mengenakan handuk melilit piggangnya."Sini deh, tadi aku merasakan ada gerakan di sini." Raniah memegangi perutnya yang sedikit membuncit."Oya, coba kakak pegang." Setya segera berjalan mendekat, duduk di hadapan Raniah dan menempelkan telapak tangannya di permukaan perut sang Istri.Dengan sabar Setya menunggu gerakan kecil dari perut Raniah, hingga ia juga merasakannya. "Dia bergerak, Ran." Setya tampak sangat senang."Iya, Kak," sahut wanita itu girang."Kakak akan bicarakan dengan ayah untuk acara empat bulanannya kamu, Sayang." Setya kemudian berdiri dan melangkahkan kakinya menuju lemari baju.Laki-laki itu s