Di luar gedung, Feng Huang sudah menunggu bersama dua ekor kuda. Yun Hui menghampirinya, mengenakan jubah perjalanan dan membawa buntalan pakaian serta bekal di pundak."Kau sudah siap?" tanya Feng Huang begitu Yun Hui duduk di atas pelana.Yun Hui mengangguk, matanya menatap jauh ke arah matahari yang mulai terbenam. "Ya, sudah waktunya aku mencari keberadaan putraku."Mereka mulai memacu kuda masing-masing meninggalkan perguruan Hoa Mei. Di belakang mereka, Xiao Lin dan para murid membungkuk hormat, mengantar kepergian guru mereka dalam diam. Tak ada yang tahu bahwa pencarian ini akan membuka tabir rahasia yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan.Desir angin mengiringi derap langkah kuda yang semakin kencang, menyusuri jalan berliku dan menuruni perbukitan terjal. Biarawati Yun Hui memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan hati yang dipenuhi harap. Empat hari empat malam mereka berkuda tanpa henti, hanya berhenti sejenak untuk memberi minum kuda dan melepas lelah. Akhirn
Matahari telah kembali ke peraduan digantikan bulan purnama dan bintang-bintang yang berserakan di langit. Malam semakin pekat, menyelimuti sebuah kota kecil. Lentera-lentera berkelap-kelip menyinari jalan-jalan sempit, sementara penduduk mulai menutup pintu dan jendela rapat-rapat, bersiap menyambut istirahat malam mereka. Di antara bayang-bayang, dua sosok wanita terlihat mengendarai kuda dengan perlahan memasuki kota. Dua sosok tersebut tak lain dan tak bukan adalah Feng Huang dan Biarawati Yun Hui. Mereka berdua telah berkuda beberapa jam lamanya setelah meninggalkan Desa Jurang Hitam, kuda-kuda mereka mulai lelah."Hari sudah mulai larut, bagaimana kalau kita bermalam di sini?" kata Feng Huang, menunjuk sebuah penginapan sederhana yang masih tampak buka dan merupakan satu-satunya penginapan di kota kecil itu.Yun Hui mengangguk setuju tanpa banyak bicara, sejak dari Desa Jurang Hitam, ia lebih banyak diam dan melamun. Setelah menambatkan kuda mereka, keduanya berjalan memasuk
Feng Huang mengamati perubahan raut wajah mantan adik seperguruannya dengan sorot mata khawatir. Beberapa tahun bersama di perguruan memberinya kepekaan untuk membaca gejolak batin Yun Hui. Sebelum ia sempat membalas gertakan si Kepala Pengawal, gedebak-gedebuk keras terdengar dari lantai atas, disusul suara benda-benda pecah dan teriakan tertahan."Heh," pengawal kurus terkekeh, memamerkan gigi-giginya yang kekuningan. "Dengar itu? Tiga anak buahku sedang memberi pelajaran pada tamu-tamu keras kepala di atas. Kalau kalian tidak ingin bernasib sama, dipukuli sampai mati … lebih baik angkat kaki dari sini sekarang juga!"Sudut bibir Feng Huang terangkat membentuk senyuman sinis, tangannya sudah gatal ingin menghajar kepala pengawal arogan ini. Namun sebelum ia sempat melayangkan tangan tiba-tiba terdengar suara benturan keras di atas mereka."BRAKK!" Disusul tiga sosok tubuh terlempar dari lantai dua, berguling-guling di tangga sebelum mendarat dengan suara berdebum di lantai. Ketiga
"Yao Chen, awas!" Teriak Yao Pang panik. Untuk pertama kalinya, topeng ketenangan sang pendekar retak oleh ketakutan murni seorang ayah.Seringai kejam tersungging di wajah pucat Bian Fu. Dalam sekejap mata, tangannya yang terlatih menangkap tubuh mungil Yao Chen. Jemarinya yang panjang mencengkeram leher gadis kecil itu, membuat Yao Chen menjerit tertahan."Jangan mendekat, atau kepala anak ini akan terpisah dari tubuhnya!"Ancaman itu menggantung di udara bagai pedang yang siap menebas. Yao Pang membeku di tempatnya berdiri, seluruh otot tubuhnya menegang dipenuhi kemarahan dan juga kecemasan. Jin She dan Lian Xi secara naluriah mengambil posisi menyerang, namun tak berani bergerak lebih jauh."A … yah …," Yao Chen terisak, air mata mulai mengalir di pipinya yang kemerahan. Jemari Bian Fu semakin dalam mencengkeram leher mungilnya."Lepaskan putriku, Bian Fu!" suara Yao Pang berubah sedingin es, setiap kata yang ia ucapkan mengandung ancaman mematikan. "Atau kau akan merasakan kemati
Bian Fu berputar cepat, tertegun ketika berhadapan dengan Feng Huang dan Yun Hui yang entah bagaimana berhasil mengikuti jejaknya. Mata Yun Hui berkilat dingin, pedangnya terhunus lurus ke arah Bian Fu."Lepaskan mereka!" perintah Yun Hui, suaranya sedingin es.Tawa melengking Bian Fu memecah kesunyian hutan. "Lepaskan? Oh tidak, tidak ... gadis cantik ini," ia mengedikkan kepala ke arah gadis muda tawanannya, "akan menjadi hadiah istimewa untuk Pejabat Yuan. Setelah beliau bosan menjadikannya gundik, ia akan dibuang ke wisma bunga untuk menghasilkan uang dengan menjadi wanita penghibur.""Bedebah!" Yun Hui melesat maju, pedangnya menari dalam gerakan 'Sembilan Naga Mengejar Mutiara'. Ujung pedangnya berkilat-kilat membentuk lingkaran cahaya yang mematikan. Namun Bian Fu bukan petarung sembarangan, ia menghindar dengan gerakan meliuk seperti kelelawar, kunai di tangannya berdesing membelah udara."Trang! Trang!" Suara logam beradu memenuhi udara malam ketika pedang Yun Hui berhasil m
Lilin-lilin menyala redup di dalam kamar penginapan, Jin She membungkuk di sisi tempat tidur, memastikan selimut menutupi tubuh mungil Yao Chen yang terlelap. Jemarinya menyibakkan helaian rambut yang jatuh di wajah gadis kecil itu, sebelum menutup tirai tempat tidur.Matanya beralih pada sosok Yao Pang yang berdiri membisu di depan jendela, cahaya rembulan menyinari wajahnya yang dingin tanpa ekspresi. Atap-atap rumah penduduk tampak seperti lukisan tinta hitam di bawah langit malam."Nona kecil sudah tertidur pulas," lapor Jin She dengan hati-hati, ia tak ingin mengejutkan sang Ketua."Bagaimana dengan gadis itu?" Yao Pang bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari pemandangan malam di depannya.Jin She mengambil posisi beberapa langkah di belakang Yao Pang, "Gadis itu sudah sadar. Menurutnya, ia sedang menikmati festival di kotanya ketika seseorang berjubah hitam dengan wajah dicat putih seperti hantu menyerangnya. Setelah itu, semuanya gelap dan gadis malang itu tak ingat apa-ap
Jin She masih mengawasi kamar yang ditempati Yun Hui, ketua Sekte Hoa Mei, ketika Feng Huang melangkah keluar dari kamarnya. Wanita bergelar Iblis Gelang Besi itu bergegas menjauh dan menghilang dalam kegelapan. Mata Feng Huang yang tajam menangkap gerak-gerik Jin She, ia mulai mengkhawatirkan keadaan Yun Hui. Setelah memastikan Jin She pergi, ia melangkah ke pintu kamar mantan adik seperguruannya.Pintu kayu berderit pelan. Yun Hui berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat, matanya sembab dan berkaca-kaca. Tanpa kata-kata, ia membuka pintu lebih lebar, membiarkan Feng Huang masuk.Kedua wanita itu duduk berhadapan dalam keheningan yang menyesakkan. Feng Huang mengamati sahabatnya yang biasanya angkuh dan tegar kini tampak begitu rapuh."Sepertinya aku telah menemukan putraku yang hilang," Yun Hui akhirnya berbicara, suaranya nyaris berbisik."Benarkah?" Mata Feng Huang melebar.Yun Hui mengangguk lemah, jemarinya saling bertaut menunjukkan kegelisahan yang dalam. "Aku mendengarkan
"Du Fei! Ayo main!" Liu Heng berteriak dari luar pintu dengan nada manja anak kecil yang merengek.Du Fei menghela nafas, tetapi berusaha tetap fokus pada pelajarannya. Tabib Wang membuka gulungan lain, menampilkan diagram yang lebih detail."Meridian jantung memiliki sembilan titik utama," ia melanjutkan. "Yang terpenting adalah Shen Men di pergelangan tangan. Titik ini ...." BRAKK!Si Pendekar Sinting muncul di ambang pintu, wajahnya cemberut seperti anak kecil. "Du Fei, kau sudah berjanji akan mengajakku bermain pemburu dan babi hutan lagi hari ini!""Sebentar lagi," Du Fei menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari diagram. "Meridian limpa," ia menggumam, jarinya menelusuri garis di diagram. "Dimulai dari ibu jari kaki ...."Tabib Wang mengangguk puas, "Benar sekali. San Yin Jiao adalah persimpangan tiga meridian Yin kaki. Titik ini ....""DU FEI!" Liu Heng berguling-guling di lantai seperti anak kecil yang merajuk. "Aku bosan!"Du Fei tetap tak bergeming. Matanya menyipit mengama
Di singgasana, di kursi yang biasa ditempati raja Yu Ping, Qi Lung duduk dengan sikap angkuh. Mengenakan jubah kebesaran berwarna biru tua dengan sulaman naga emas, ia tampak seperti raja muda yang baru dinobatkan.Di hadapannya, beberapa menteri dan pejabat tinggi berlutut dalam barisan rapi, wajah-wajah mereka menunduk dengan campuran rasa takut dan bingung. Sudah tiga hari Raja Yu Ping tidak muncul di aula penghadapan, dan Qi Lung dengan mudah mengambil alih tanpa perlawanan berarti."Laporan dari perbatasan utara, Yang Mulia," Mentri Wei membacakan gulungan yang dibukanya. "Hasil panen tahun ini diperkirakan akan meningkat dua puluh persen dari tahun lalu. Gudang-gudang beras kita akan penuh hingga musim dingin."Qi Lung mengangguk puas. "Kabar baik. Pastikan pasokan beras didistribusikan dengan baik ke seluruh wilayah.""Dan mengenai perjanjian dagang dengan Kerajaan Ming di timur," lanjut Mentri Wei, membuka gulungan lain. "Mereka mengajukan proposal untuk menurunkan pajak perda
Di istana, Raja Yu Ping terbaring gelisah di pembaringannya. Mimpi-mimpi buruk terus menghantui tidurnya—bayangan wajah-wajah yang menderita, jeritan-jeritan yang tak terdengar, dan sosok naga hitam yang mengintai dari kegelapan."Zhen Yi…," sang Raja mengigau, keringat dingin membasahi dahi. "Di mana... kau?"Xiao Lan, yang duduk di samping tempat tidur, mengelap keringat raja dengan kain lembap. Ekspresinya kosong, matanya hampa seolah jiwanya tidak hadir di sana.Pintu kamar terbuka perlahan, dan Qi Lung melangkah masuk. Ia mengenakan jubah tidur mewah berwarna biru tua dengan sulaman emas, tapi wajahnya tampak segar seolah belum akan tidur dalam waktu dekat."Bagaimana kondisinya?" tanya Qi Lung lirih, mendekati tempat tidur ayahnya."Masih sama," jawab Xiao Lan datar. "Racunnya bekerja seperti yang direncanakan. Ia terus bermimpi buruk, membuatnya tidak bisa beristirahat dengan tenang."Qi Lung mengangguk puas, "Sempurna. Sekarang di mana Yun Hao? Aku tidak melihatnya sejak sore
Hujan rintik-rintik membasahi jalanan kotaraja saat Yun Hao memacu kudanya menyusuri lorong-lorong sempit yang menjauh dari istana. Matahari nyaris terbenam sepenuhnya, menyisakan semburat oranye keunguan di langit barat. Ia mengenakan jubah hitam sederhana dengan tudung menutupi kepalanya—bukan pakaian yang biasa dikenakan seorang pangeran, tetapi sempurna untuk seseorang yang ingin bergerak tanpa menarik perhatian.Di belakangnya, istana megah dengan atap-atap merahnya berdiri angkuh, semakin mengecil seiring jarak yang ia tempuh. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Yun Hao merasa istana bukan lagi rumahnya—bukan lagi tempat yang aman. Sejak Qi Lung mengambil alih kekuasaan, dinding-dinding istana seolah menyimpan mata-mata di setiap sudutnya.Yun Hao membimbing kudanya memasuki wilayah kota yang lebih tua, di mana bangunan-bangunan kayu berjejer rapat dan papan-papan nama toko bergoyang tertiup angin malam. Jalanan semakin sepi, hanya beberapa pedagang yang sedang membereskan dag
Matahari sudah mulai terbenam saat kereta tahanan berhenti di sebuah pos jaga di perbatasan antara wilayah hijau dan gurun pasir. Para pengawal menurunkan Zhen Yi, yang kakinya terasa kaku setelah seharian duduk di kereta yang sempit."Kita akan bermalam di sini," kata komandan pengawal. "Besok pagi-pagi sekali kita akan melanjutkan perjalanan ke Istana Pasir."Zhen Yi mengangguk. Ia tidak melihat gunanya melawan atau mencoba melarikan diri. Enam pengawal bersenjata lengkap mengawalnya, dan tidak ada tempat untuk bersembunyi di padang pasir yang terbentang luas di hadapannya.Komandan pengawal, seorang pria setengah baya, menatap Zhen Yi dengan ekspresi antara iba dan "Anda akan ditempatkan di kamar belakang, Pangeran," katanya, suaranya terdengar sedikit lebih lunak. "Tidak terlalu nyaman, tapi setidaknya lebih baik daripada sel tahanan.""Terima kasih," jawab Zhen Yi tulus. "Bolehkah tanganku dilepaskan? Sudah hampir sehari penuh terikat, dan aku tidak merasa nyaman."Komandan tamp
Kereta tahanan bergerak lambat meninggalkan gerbang kota, roda kayunya berderit membelah jalanan berbatu. Di dalam kereta, Zhen Yi duduk bersandar pada dinding kayu yang kasar, tangannya masih terikat di belakang punggung.Melalui celah kecil di jeruji jendela, ia melihat kotaraja yang semakin mengecil di kejauhan—istana megah dengan atap-atap merah dan dinding putih yang selama ini menjadi rumahnya. Semua kenangan, semua kehidupannya, kini hanya tinggal titik kecil di cakrawala. Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan pikirannya yang berkecamuk."Kenapa, Qi Lung?" bisiknya pada diri sendiri. "Apa salahku padamu?"Kereta berguncang keras saat melewati lubang di jalan, membuat Zhen Yi terlempar ke depan. Pengawal yang duduk di ujung kereta menatapnya tanpa ekspresi, seolah membawa seorang pangeran ke pembuangan adalah tugas biasa."Bisakah tanganku dilepaskan?" tanya Zhen Yi dengan suara tenang. "Aku tidak akan kabur."Pengawal itu mendengus. "Maaf, Pangeran. Perintah langsung dari Pa
Di antara para pejabat, beberapa mulai berbisik-bisik. Beberapa menunjukkan ekspresi ragu, sementara yang lain tampak terkejut dan kecewa."Siapa yang menjebakmu, Pangeran Zhen Yi?" tanya Menteri Wei dengan sikap hati-hati. "Dan untuk tujuan apa?"Sebelum Zhen Yi bisa menjawab, terdengar keributan di luar aula. Suara teriakan dan hentakan langkah kaki saling bersahutan."Aku ingin masuk! Lepaskan aku!" Suara Yun Hao terdengar dari balik pintu. "Aku berhak menghadiri pengadilan saudaraku!""Lanjutkan sidang!" perintah Qi Lung dengan tenang. "Pengawal, pastikan tidak ada gangguan dari luar!"Suara keributan terus berlanjut beberapa saat sebelum akhirnya mereda—tanda bahwa Yun Hao telah berhasil disingkirkan dari area tersebut."Kau tidak bisa melakukan ini, Qi Lung," kata Zhen Yi, matanya menatap lurus ke arah saudaranya. "Ayah akan mengetahui kebenaran. Semua orang juga akan tahu bahwa aku tidak bersalah."Qi Lung tersenyum tipis. "Ayahanda sedang sakit parah, Adikku. Dan sulit dipasti
Qi Lung berdiri di depan cermin besar yang terbuat dari perunggu mengkilap. Jari-jarinya yang panjang merapikan jubah kebesaran kaisar berwarna emas dengan bordiran naga hitam—jubah yang seharusnya hanya dikenakan oleh Raja Yu Ping. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati sensasi kain sutra berkualitas tertinggi yang menyentuh kulitnya, serta beban mahkota raja yang terasa pas di kepalanya."Apakah semuanya sudah siap?" tanya Qi Lung tanpa menoleh ke belakang, tatapannya masih terpaku pada refleksi dirinya di cermin.Kasim kepala membungkuk dalam-dalam. "Sudah, Yang Mulia. Aula Keadilan Langit telah disiapkan sesuai perintah. Para menteri dan pejabat tinggi telah dikumpulkan.""Dan tahanan kita?""Pangeran Zhen Yi sedang dibawa ke aula. Ia masih... belum sepenuhnya sadar, Yang Mulia."Senyum tipis tersungging di bibir Qi Lung. "Sempurna." Ia berbalik, merapikan sedikit lagi jubahnya. "Dan pastikan tidak ada yang menginterupsi sidang hari ini. Terutama Pangeran Yun Hao.""Hamba menger
Kabut tipis melayang di atas taman istana, menyelimuti paviliun-paviliun dan kolam teratai dalam kehampaan pagi yang sunyi. Tidak ada kicauan burung, tidak ada bisikan angin—seolah seluruh istana menahan napas, menunggu dalam kecemasan. Para dayang dan kasim berjalan hampir tanpa suara di sepanjang koridor yang mengarah ke paviliun tempat Raja Yu Ping terbaring sakit.Di dalam kamar utama yang luas, hawa dingin menyelinap melalui celah-celah jendela meskipun beberapa tungku pemanas telah dinyalakan. Tirai-tirai sutra merah keemasan menutupi jendela, membuat ruangan temaram meski matahari sudah merangkak naik di langit pagi. Di atas pembaringan megah berlapis sutra, Raja Yu Ping terbaring lemah. Wajahnya yang biasanya tegas dan berwibawa kini pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang tertutup. Napasnya berat dan tidak teratur, kadang tersengal seolah setiap tarikan udara membutuhkan usaha besar. Keringat dingin membasahi dahinya meskipun udara di ruangan terasa sejuk.Di sam
Paviliun Bulan Musim Gugur berdiri megah di sudut timur istana, dikelilingi oleh pohon-pohon maple yang daunnya mulai berubah kemerahan. Cahaya temaram dari lentera-lentera merah menyinari ruangan tengah paviliun dimana tiga sosok pangeran duduk mengelilingi meja bundar dari marmer."Sudah lama sekali kita tidak berkumpul seperti ini," ucap Qi Lung sambil menuangkan arak berwarna keemasan ke dalam tiga cawan porselen putih berukir naga. "Terakhir kali mungkin saat perayaan musim semi tahun lalu."Uap tipis mengepul dari cawan-cawan tersebut, membawa aroma manis arak berkualitas tinggi. Di atas meja tersaji berbagai hidangan mewah – daging angsa panggang dengan saus plum, ikan sungai dikukus dengan jahe, dan berbagai hidangan langka lainnya."Arak langka dari Wilayah Barat," Qi Lung mengangkat cawannya. "Hanya ada beberapa guci saja yang dikirim sebagai persembahan untuk Ayahanda."Zhen Yi menatap cairan di cawannya dengan ragu. Sebagai penghuni biara, ia sudah hampir tak pernah menyen