Ash, dilihat dulu pintu sm jendela , Udah dikunci belum? nanti ada lagi yang ganggu lhoo
Seharusnya tidak baru. Ciuman, usapan, belaian, sentuhan—Mae sudah pernah melakukannya. Tidak ada yang mengejutkan seharusnya. Tapi Mae terlalu meremehkan. Ia tahu apa yang akan terjadi, tapi masih bisa terkejut dan tersentak hampir setiap detik. Semuanya tidak sama—bahkan lebih dari apa yang dilakukan Ash sebelumnya. Ash yang ini tidak tergesa, tidak terburu nafsu. Ia mengangkat tubuh Mae dengan halus, membaringkannya di atas ranjang tanpa guncangan. Setiap sentuhannya lembut, Mae sampai tidak menyadari kapan Ash membuka pakaiannya. Tiba-tiba saja seluruh kulitnya meremang karena bersinggungan langsung dengan udara. “Mary…” Bisikan memuja yang membuat Mae seperti terbenam dalam kepompong wol hangat, tapi dingin lidah Ash yang mengusap leher dan telinganya malah menghadirkan kontras yang membuat Mae merintih. Tubuhnya tidak terbiasa oleh nafsu, maka tidak terbiasa juga menerima kenikmatan melimpah yang terus dicurahkan oleh Ash. Tapi meski seperti itu, Ash masih bisa membelain
“Damn it! Mary, kau menakutiku!” Ash tanpa sengaja memaki, karena mendapati Mae berbaring diam dengan mata membuka lebar menatap langit-langit. Masalahnya Mae terlalu diam, sampai Ash mengira Mae masih tidur. Ash tadi berusaha bangun perlahan tanpa banyak menggerakkan ranjang agar Mae tidak terganggu. “Kau melamunkan apa?” tanya Ash, sambil kembali berbaring di samping Mae. Hari sudah terang, tapi Ash tidak perlu bersiap kemanapun. Selama perban masih menempel di lehernya, Parker tidak bisa memaksanya bekerja. “Semua,” gumam Mae. “Semua apa? Tubuhku?” Kalau benar, Ash berharap lamunan Mae berisi pujian, bentuk tubuhnya tidak ada yang buruk seharusnya. “Ya, tapi bukan itu intinya.” Mae bergeser, memiringkan tubuh dan memandang Ash, yang rupanya lebih dulu melakukannya. Tidak mungkin Ash melewatkan kesempatan memandang Mae dari jarak dekat. “Lalu…” “Aku kesal—” “Karena terlalu nikmat?” Ash tentu juga tidak melewatkan kesempatan untuk menggoda. Mae menarik pipi Ash sebagai hukum
“Saya kembali menawarkan kepada Anda untuk bekerja di Scotland Yard. Bukan tanpa resiko, tapi lebih kecil.” Stone menyapa sambil menyerahkan gelas kertas berisi teh. Penawaran itu datang karena Stone melihat luka di leher Ash yang memang cukup mencolok.Ia lalu duduk di samping Ash, karena memang hanya itu tempatnya. Mereka tidak bertemu di cafe, tapi di taman yang tidak jauh dari base. Taman keluarga yang banyak dikunjungi anak-anak. Mereka kini berlarian ribut di sekitar mereka.“Kenapa semua orang ingin menawarkan pekerjaan padaku?” Ash mendengus sambil berdiri.Ia yang memilih taman itu sebagai tempat bertemu hanya tidak menyangka akan seramai itu. Stone mengikuti. Meski tidak dikatakan, ia tahu Ash akan mencari tempat yang lebih sepi agar mereka bisa bicara.“Siapa lagi yang menawarkan pekerjaan pada Anda? Saya harap tidak akan kalah,” tanya Stone.Mata Ash menyipit. Stone terdengar sangat serius. “Tidak ada yang akan kalah, karena memang tidak ada yang menang juga. Aku tidak ak
“Tapi Mama Carol baik, dia tidak mungkin juga…” Ash menggeleng, tidak bisa menerima. Bukti dari Ella, lalu Stone mengarah kesana, tapi Ash selama ini hanya melihat kebaikannya. “Maaf, tapi uang bisa mengubah orang baik menjadi tidak baik dalam sekejap mata. Anda tidak bisa memakai alibi baik untuk membuat seseorang tidak bersalah.” Stone tersenyum pahit. Tentu sudah melihat banyak sekali kasus yang melibatkan uang dan Ash jatuh terduduk dengan mata kosong. Tidak mungkin mudah menerima kenyataan yang berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat itu. “Untuk lebih amannya saya akan menyebut ini kemungkinan. Ada banyak hal yang harus diperiksa untuk membuktikan kalau kesimpulan saya tadi benar. Saya bukan orang yang selalu pasti benar.” Stone sedikit mengurangi kejujurannya saat melihat Ash amat terpukul. “Tapi… Semua benar.” Memang ada kemungkinan salah, tapi Ash tidak bisa menampik benar juga, karena semua kecurigaannya terjawab. “Itu…” “Anda sampai di sini karena mengik
Mae meronta, tapi tangan itu kuat. Dengan mudahnya ia menyeret Mae masuk ke rumpun pepohonan yang memang membatasi tepi lapangan.“Ugh!”Rontaan Mae terhenti saat punggungnya terhempas. Pria yang menyeretnya itu dengan sengaja menghantamkan tubuhnya ke pohon. Mae langsung berkunang-kunang dan nafasnya sedikit sesak.Tapi ia masih mampu membuka mata dan mengenali siapa pria yang menyakitinya itu. Hoodie yang menutupi kepalanya sudah turun meski penampilannya jauh berbeda. Lebih lusuh dengan banyak cabang tumbuh cukup panjang. Mae tidak akan pernah lupa pada wajah Dex.“Dasar anak setan! Apa yang kau inginkan?!” Mae berseru sambil berusaha mencakar dan menendang Dex.Tapi pukulan datang ke pipi Mae, menghadirkan kilas cahaya ke mata, dan Mae langsung tersungkur jatuh. Dex tanpa ragu memukulnya—keras sampai Mae perlu mengumpulkan kesadaran sebelum bisa menyeret tubuhnya menjauh.Tentu belum cukup. Dex masih dengan mudah menyambar kakinya, dan mengangkat Mae dari tanah. Ia menyandang tubu
“Kau lihat ini?”Mae yang Ada dalam posisi berbaring menelungkup, mendengus karena tidak mungkin bisa melihat apapun selain jok mobil Dex mendecak—menyadari kesalahannya. Ia turun dan membuka pintu belakang, kemudian menarik kasar Mad agar duduk dengan tegap.“Kau lihat ini?” Dex menunjukkan pisau dengan mata lebih panjang dari telapak tangan dan bergerigi. Jelas bisa melukai dan mematikan saat terbenam dalam daging. Ancaman berbahaya.“Aku tidak akan segan menggunakannya untuk menusuk salah satu anggota tubuhmu kalau kau berani berteriak ataupun terlihat mencurigakan,” desis Dex sambil menatap mata Mae.“Kau mengerti atau tidak?!” bentaknya.Mae mengangguk. Ia mungkin ingin lari tapi tidak dengan menjadi bodoh. Pisau itu bisa dengan mudah membunuhnya.“Bagus. Aku akan melepaskan mulutmu, dan juga tali yang mengikat tanganmu. Tapi kalau kau mencoba untuk melakukan hal yang aneh, jangan salahkan aku kalau nantinya kau akan mati.”Dex diam lagi sampai Mae mengangguk. Baru setelah itu D
Mae jatuh tersungkur karena kejutan itu, tapi dengan cepat teralihkan saat memandang pergumulan antara Ash dan Dex.Bukan pergumulan seimbang, karena jelas Dex hanya menjadi samsak hidup untuk Ash, sampai beberapa bagian wajahnya sobek dan meneteskan darah.Tapi fokus Mae tidak pada semua luka itu. Ia sejak tadi hanya memandang Ash. Mae menemukan hal yang belum pernah dilihatnya. Ash yang marah—benar-benar marah. Wajah seram yang membuat bergidik–jauh dari hangat dan senyum yang membuat Mae salah tingkah.Mae melihat bagaimana bibir Ash mengatup erat dengan rahang mengunci geram. Juga alis yang biasa ramah kini menukik dengan kerutan di kening yang dalam.Tangannya yang lembut saat memeluknya, tidak lagi terlihat. Saat berayun menghantam perut Dex, atau saat menarik kakinya untuk menghantamkan tubuh Dex ke tembok, tidak tampak lembut. Seluruh ototnya bekerja keras.“Babi busuk!” Ash meludah tepat di wajah Dex yang berbaring telentang tanpa daya melawan, lalu mengusap pipinya dengan ji
“Kau melewati batas, Mary. Jangan mengeluh setelah ini,” bisik Ash, sambil menarik turun semua kain yang ada di tubuh Mae. “Pintu…” Mae berusaha mengatakan kalau mereka belum berpindah jauh, baru beberapa langkah dari pintu, tapi Ash tidak amat peduli. Tidak akan memilih tempatnya dimana juga, karena dimanapun bukan masalah. “Ash!” Mae melenguh, seharusnya memprotes, tapi mulai tidak terlalu peduli juga. Ia malah meremas rambut pirang yang kini ada di lehernya. Menyebarkan rasa hangat membakar seperti kemarin. Seperti permintaan Mae, lebih banyak warna merah. Ash juga sudah tahu ia tidak perlu hati-hati. “Jangan…” Usaha terakhir Mae untuk meminta Ash tidak melakukannya di depan pintu, gagal juga, karena malah beralih menjadi erangan rendah, saat tangan Ash meremas titik hangat yang memang sudah amat berharap mendapat sentuhan. Mae juga sudah lupa mereka ada dimana, dan menurut saja bersama jeritan saat kedua kakinya tidak lagi menapak di lantai saat menerima Ash. Dengan mudah A