“Kita sudah menikah bukan? Apa lagi yang kau tunggu? Buka pakaianmu, dan cium aku.” *** Mae (25) sudah menikah tiga kali, dan menjadi simpanan dua sugar daddy. Tapi Ashton, pria yang menawarkan pernikahan Mae saat pemakaman suami ketiganya, tidak sesuai dengan kategori pria pilihan yang sebelumnya---terutama karena usia yang kurang tua. Mae ingin menolak, tapi setelah Asthon mengatakan dirinya sudah hampir mati karena sakit, dan akan mewariskan seluruh hartanya pada Mae ketika dirinya meninggal nanti, Mae menerima. Apalagi ia sedang dalam posisi terjepit akibat warisan suami ketiganya bermasalah. Mae menikah dengan Ashton, tapi tidak selancar dugaannya. Banyak hal disembunyikan Ashton, belum lagi reputasi Mae yang terkenal sebagai wanita murahan banyak mendapat cacian dari lingkungan, membuat Mae berat melanjutkan pernikahan itu. Apakah Mae akan bertahan sampai Asthon meninggal seperti perjanjian? Dan hal apa yang sebenarnya disimpan oleh Ashton?
View More“Bergeraklah!”
Pria berkulit keriput dan berambut jarang itu menggeram marah pada wanita yang berbaring telanjang di bawah tubuhnya. Pinggulnya bergerak mendesak, tapi reaksi yang diterimanya tidak memuaskan.
“Bergerak bagaimana, Barnet?” Mae mencoba bergeser agar posisinya lebih nyaman, tapi bukan itu yang diinginkan suaminya.
“Setidaknya, tampaklah seperti menginginkanku! Sialan!”
Lumatan di bibir diikuti remasan kuat datang. Usaha putus asa untuk membuat Mae mendesah—atau melenguh agar terlihat menikmati kegiatan itu.
Namun, alih-alih desahan, Mae mengernyit kesakitan. Barnet bergerak lebih cepat, ingin memuaskan hasrat, diiringi sentuhan dan aneka ragam belaian, tapi Mae hanya menanggapi seadanya.
Ia membalas ciuman basah yang beraroma sherry dan keju itu, bibirnya bergerak, terlihat menikmati. Hanya terlihat saja tapi. Ciuman itu terasa tidak jauh berbeda seperti saat Mae menempelkan ikan basah di bibirnya.
Mae juga mencoba memeluk pinggang kurus dengan kedua tangan—mencoba terlihat hangat, tapi semua itu tetap tidak memuaskan.
“Kau kering!” bentak Barnet, mulai marah, dan menggerakkan tubuhnya dengan semakin brutal. Memaksakan agar Mae merasakan sesuatu, sudah putus asa melihat tanggapan dingin itu.
Mae tidak menanggapi bentakan itu—hanya bergerak sesuai ayunan tubuhnya. Mae tidak akan mengeluh, rasa sakit itu biasa, karena memang selalu seperti itu.
Amarah saat diatas ranjang bukan hal baru dalam pernikahan mereka, maupun pernikahan Mae yang sebelumnya.
“Kau seharusnya memuaskanku! Apa ini?!” Barnet semakin marah dan mempercepat gerakan pinggangnya—semakin menyakiti, tapi Mae hanya menggigit bibir, menahan keluhan.
Suara yang terdengar di kamar itu kini tinggal tarikan napas Barnet yang berusaha memuaskan diri. Terengah, dan dalam. Untuk ukuran ukuran pria berusia tujuh puluh lebih, Barnet memiliki libido yang lumayan. Paling tidak dua kali seminggu mereka melakukannya.
“Aku mencintaimu, Mae. Aku mohon.” Setelah marah, Barnet memohon. Ingin Mae menerimanya dengan rela, ingin Mae menikmatinya juga.
“Aku juga, Barnet,” bisik Mae tanpa rasa, sambil kembali memeluk pinggang Barnet. Ia memejamkan mata, berharap pedih diantara kedua pahanya akan berkurang. Permohonan Barnet tidak mengubah keadaan, Mae tidak menikmati apa pun.
“Mae… Mae…”
Barnet membisikkan nama Mae, dan terus bergerak, tapi menjadi pelan. Napasnya semakin keras, tapi gerakannya semakin pelan.
Mae membuka mata, karena pedihnya berkurang—padahal seharusnya belum. Barnet biasanya bisa bertahan paling tidak lima menit. Terasa sudah sangat lama, tapi Mae tahu belum ada tiga menit sejak dirinya berbaring di ranjang itu.
“Barnet?” Mae menepuk punggung Barnet perlahan, dan masih terdengar napas yang sulit.
“Barnet!” Mae mulai panik, saat merasakan beban tubuh Barnet menimpanya. Tangan Barnet tidak lagi menahan beban tubuhnya sendiri.
“BARNET!” Mae memekik saat tubuh Barnet terguling ke samping. Pria itu tidak lagi sadar. Ia berbaring meringkuk di antara selimut dengan wajah berwarna merah.
Mae menepuk punggungnya beberapa kali, memanggil namanya, lalu melompat untuk mengambil ponsel—memanggil ambulans. Ia tidak menemukan napas Barnet.
Kematian Barnet mungkin sudah diharapkannya, tapi bukan dengan cara mengejutkan seperti ini, dan pria itu masih sehat seharusnya.
***
“Keluarga Barnet Jones?”
Mae maju—akan menghampiri dokter yang baru saja memanggilnya itu, tapi langkahnya terhenti saat ada suara menyahut dari belakangnya.
“Kami! Kami keluarganya!”
Mae tidak perlu berpaling, ia tahu siapa yang menyahut. Kedua anak Barnet. Mereka tidak melirik ke arah Mae, dan Mae tidak memanggil juga, tapi mengikuti dalam diam.
“Anda siapa?” tanya dokter itu.
“Anaknya! Aku putri Barnet Jones!”
Wanita paling depan memekik keras, sambil maju. Rambutnya keriting dan pirang gelap, berusia sekitar empat puluh—jauh lebih tua dari Mae yang baru menginjak dua puluh empat bulan lalu.
“Saya dokter yang menangani pasien, dan dengan sangat menyesal, saya harus menginformasikan kalau Mr. Jones dinyatakan meninggal dunia.”
Dokter itu menyampaikan dengan lembut dan wajah penuh duka cita. Bukan sesuatu yang mengejutkan untuk Mae. Ia semakin yakin Barnet tidak akan melihat hari esok saat mendampinginya dalam ambulans tadi.
Tapi mengejutkan bagi kedua anaknya tentu. Suara mereka berdua seolah mati mendadak—bahkan tidak terdengar napas—sebelum akhirnya pecah oleh tangis.
Beberapa detik jeda sebelum jeritan pedih itu sepertinya tidak berarti, tapi membuat Mae mendengus. Hidungnya mengendus aroma tajam sandiwara, dan dimainkan dengan indah.
“Evelyn, tenang dulu.” Pria yang ada di samping wanita yang meratap itu, ikut berjongkok untuk membantu kakaknya. Terlihat menenangkan, sempurna sekali.
“Daddy!” Evelyn menjerit dalam tangisannya. Meyakinkan semua orang akan duka yang diderita—kecuali Mae. Ia tahu Evelyn tidak sungguh-sungguh berduka.
“Tapi kenapa? Daddy seharusnya baik-baik saja. Dia masih berjalan normal tadi pagi!” Evelyn merintih di hadapan dokter itu sekarang.
“Kami memiliki dugaan kalau kematiannya disebabkan serangan jantung. Saya belum membaca dengan lengkap catatan medis Mr. Jones, tapi mengingat usia, ini yang paling mungkin. Apalagi kegiatan yang dilakukan beliau sebelumnya cukup memacu jantung.” Dokter itu kembali menjelaskan.
“Kegiatan apa? Apa maksudmu?” Evelyn tidak paham, sementara Mae langsung merasa kalau badai akan datang.
Dokter itu tampak canggung. Tidak mengira Evelyn belum tahu. Ia tidak mungkin menghindar tapi.
“Mmm… Mr. Jones dibawa ke sini dalam keadaan telanjang. Jadi… itu…”
Leher Evelyn bergerak dengan sangat cepat, berpaling memandang Mae. Akhirnya mengakui keberadaanya, tapi bukan hal yang bagus.
“DASAR JALANG BRENGSEK! KAU MEMBUNUHNYA!” pekik Evelyn, sambil melompat menerjang Mae.
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments