Alexa mendesis geram karena Calvin sama sekali tidak ada inisiatif untuk membantunya merapihkan rumah. Pria rebel itu hanya sibuk dengan ponsel hologramnya. Entah apa yang dilakukan pria itu, Alexa tidak tertarik untuk mengetahui karena ia hanya ingin Calvin membantunya merapihkan rumah. Ia tahu rumah ini sudah rapih, tetapi menurutnya rumahnya sedikit berdebu. Jadi, ia memutuskan untuk merapihkan lagi rumah ini.
Alexa menepuk pundak Calvin dengan kesal.
Calvin mematikan ponsel hologramnya dan menoleh ke belakang. “Ada apa Nona?” Tanpa rasa bersalah.
Alexa mendecak. “Jangan panggil aku Nona. Kita sudah berkenalan. Jadi, panggil saja aku Lexa.”
Calvin mengangguk dan tersenyum usil. “Baiklah Lexa. Ada yang bisa Calvin bantu?” cibirnya.
Alexa mengernyit sewot. “Bantu aku bereskan rumah.”
Calvin bangkit dari sofanya dan mengacak puncuk rambut Alexa. “Harusnya kau katakan dari tadi. Aku tidak akan mengerti jika kau marah-marah saja dan tidak mengatakan apa pun,” jelas Calvin sambil merebut Vacum Cleaner dari tangan Alexa.
Alexa terdiam mendengar Calvin memperhatikan Calvin yang sedang mengerjakan tugasnya. Setelahnya, kedua kakinya melangkah ke dapur untuk memasak makan malam.
Sebenarnya Calvin sudah tahu jika Alexa ingin ia ikut merapihkan rumah, tetapi ia ingin mendengar Alexa mengatakannya. Ia tidak suka dengan orang yang hanya diam dan tiba-tiba saja bersungut tanpa alasan yang jelas. Jadi, ia memutuskan menunggu Alexa berbicara dan memintanya untuk membantu.
Calvin mencuri pandang ke arah Alexa yang sedang memasak di dapur sambil mengerjakan tugasnya. Ternyata jika dikenal lebih dekat, wanita adalah makhluk yang lucu. Jika wanita menginginkan sesuatu mereka hanya diam dan berharap pria, tetapi ketika pria tidak mengerti dan menanyakan apa yang wanita inginkan. Wanita akan gusar dan jengkel tanpa alasan yang jelas. Terkadang wanita memang berlika-liku dan sulit untuk dipahami.
Alexa meletakkan piring berisikan sup jagung dan garlic bread di atas meja. Awalnya ia ingin memasak sayuran, tetapi ia takut Calvin tidak menyukainya. Jadi, dia memutuskan untum membuat makanan khas Mars yang ia lihat resepnya di internet.
Calvin mendudukkan dirinya di kursi sambil menatap makanan di hadapannya dengan gerasak.
Alexa menilikkan maniknya tajam ke arah Calvin. “Jangan coba-coba menyentuh makanan ini. Cuci tangan dulu sana,” perintah Alexa mutlak.
Calvin sedikit menggerutu, tetapi ia tetap bangkit dan mencuci tangannya. Usai cuci tangan dengan cepat, Calvin langsung melesat kembali ke kursinya dan menatap makanannya dengan riang.
Alexa hanya dapat menggeleng tidak habis pikir karena dipasangkan dengan pria seperti Calvin. Bukan dalam konteks yang buruk, tetapi Calvin benar-benar mirip dengan anak kecil. Alexa merasa dirinya sedang merawat anak kecil dengan tubuh orang dewasa. Ia menuangkan sup buatannya ke mangkuk Calvin dan mempersilahkan Calvin untuk mulai menyantap masakannya.
“Bagaimana?” tanya Alexa dengan manik penasaran.
Calvin tersenyum senang. “Enak sekali,” pujinya dan kembali menyantap makanannya dengan lahap.
Alexa menyongsongkan torsonya seraya menatap senang Calvin yang sedang melahap makanan buatannya dengan lahap. “Padahal aku baru saja mencoba resep itu dari internet.”
Calvin menghabiskan sup buatan Alexa dalam sekejap. “Ini enak sekali. Aku tidak berbohong.”
“Baguslah jika kau suka.” Sambil tersenyum lembut melihat Calvin yang kembali menuangkan sup ke dalam mangkuknya.
Calvin membuka ke dua kelopak netranya dengan berat usai gendang telinganya bergetar mendengar suara isakan. Ia bangkit dari sofa dan maniknya lantas menemukan Alexa sedang menangis terisak di dalam tidurnya. Dengan buncah, Calvin menepuk lembut bahu Alexa agar Alexa kembali tenang di dalam lelapnya, tetapi caranya tak berhasil. Alexa sama sekali tidak tenang dan semakin terisak.
Alhasil Calvin memutuskan untuk membangunkan Alexa dengan mengguncang tubuh Alexa lembut. Dirinya sedikit terperanjat melihat Alexa yang terbangun dengan napas terangah-engah, manik redup panik, dan keringat yang meluncur turun di pelipis Alexa.
“Kau baik-baik saja?” tanya Calvin cemas sembari memegang kedua bahu Alexa yang menariknya untuk menghadap dirinya.
Alexa mengangguk pelan. Sorot maniknya masih memancarkan kegelisahan, tetapi napasnya berangsur kembali normal. Ia mematung mengingat mimpinya yang ia harap dapat terhapus dari ingatannya. Bunga tidur yang selalu menghinggapi setiap dirinya terlelap. Bunga tidur yang terasa mencekiknya sampai dirinya kehilangan cara untuk mengais napasnya.
Calvin menyadari jika wanita dihadapan masih berusaha mengontrol napasnya. Ia mengusap pundak Alexa untuk menenangkan lalu memberikan Alexa segelas minum.
“Bolehkan aku memelukmu?” tanya Alexa dengan napas yang masih sedikit terengah-engah.
Calvin melenggut kecil diikuti Gerakan tangannya yang segera menarik lembut Alexa ke dalam rengkuhan hangatnya. “Tenang saja. Ada aku di sini.”
Usai beberapa waktu saling berbagi kehangatan dan ketenangan. Alexa melepaskan dirinya dari rengkuhan Calvin dan sedikit memberikan jarak canggung. Mereka saling membisu dan melamun. Namun, lamunan mereka tidak berlangsung lama kala terdengar suara letupan tembakan senjata api yang berasal dari dalam hutan. Hanya terdengar sekali, tetapi membuat Alexa menatap Calvin dengan was-was.
Calvin membuka suaranya. “Aku akan memeriksanya sebentar.” Tatkala ia akan melangkah membuka pintu, sontak Alexa turun dari ranjangnya dan menahan pergelangan tangan Calvin.
“Aku ikut,” timpalnya tiba-tiba.
Calvin mendesah berat. Ia ingin melarang, tetapi wanita yang sekarang sedang mencekal lengannya terlihat keras kepala. Ia tidak ingin membuang banyak waktu, jadi ia hanya menganggut santai membiarkan Alexa ikut.
“Lepaskan tanganku dulu. Aku ingin mengambil sesuatu di koperku.”
Alexa lekas melepas genggamannya pada pergelangan tangan Calvin seraya berdeham untuk menimalisir rasa canggungnya.
Calvin meletakkan kopernya di atas Kasur lalu membukanya dan merogoh kantong yang terdapat di sisi dalam kopernya. Tempatnya benar-benar tersembunyi seperti tempat untuk menaruh barang rahasia. Sedangkan Alexa dengan lapang menunggu seraya menatap kegiatan yang sedang Calvin lakukan. Tidak sampai satu menit manik Alexa melebar terperanjat melihat benda yang Calvin keluarkan dengan susah payah dari sisi dalam kopernya. Pria itu mengeluarkan senjata api yang berjenis revolver keluaran baru.
Calvin mengenggam revolvernya erat dan menarik tangan Alexa untuk ia genggam lalu menariknya ke belakang torso Calvin yang lebar dan keras. “Tetap di belakangku dan jangan lepaskan genggaman tanganku,” perintahnya dengan laras tak terima bantahan.
Alexa tak berkutik. Ia hanya mengikuti semua perintah Calvin.
Mereka keluar dari rumah dan berjalan mendatangi gerbang belakang rumah. Alexa memandangi punggung lebar pria yang berada tepat di depannya lalu tatapannya turun ke tangannya dan tangan Calvin yang saling terjalin. Sekali lagi Calvin mematahkan kepercayaannya bahwa seorang pria adalah makhluk yang tak memiliki hati dan hanya memikirkan diri sendiri. Namun, sekarang ia melihatnya dengan jelas bahwa hal tersebut salah. Calvin bertumpu dengan kekar di depannya dan melindunginya.
Calvin mendorong gerbang belakang dengan kakinya lalu menilikkan pandangan tajamnya ke sekitar. “Lex nyalakan penerangan dengan ponselmu.”
Alexa menekan cincinya dan menghidupkan mode pencahayaan dari ponsel hologramnya. Setelahnya ia mengarahkan tangannya sedikit ke depan untuk memberikan jangkaun penerangan pada netra Calvin.
“Siapa disana?! Keluar! Atau aku akan melepaskan tembakan,” teriaknya dengan tegas dan dingin sembari menodongkan revolvernya ke hutan lebat di depannya.
Tidak ada jawaban yang berasal dari hutan.
“Sekali lagi aku tergaskan untuk keluar!”
Masih tidak ada jawaban,
Alexa memberi tarikan kecil pada tangannya yang masih digenggam erat oleh Calvin dan membuat pria di depannya menoleh kecil.
“Mungkin itu hanya tentara penjaga yang di tugaskan Bu Sandra tadi sore. Mereka mungkin tidak sengaja menembakkan peluru.” Alexa berusaha membujuk Calvin dengan selembut mungkin.
Calvin hela napasnya dengan keras lalu kembali menatap ke depan dengan netra tajamnya, tetapi netranya masih tidak menangkap adanya pergerakkan. “Baiklah ayo masuk ke rumah. Kau harus berjalan di depanku.” Seraya kembali menutup gerbang belakang rumah dan membalikkan tubuhnya.
Netra Alexa menangkap manik Calvin yang sudah melembut dan tak setajam tadi lalu ia menyimpul tipis belah bibirnya dan menganggut.
“Terkadang pria terlihat tidak peduli, tetapi sebenarnya ia juga memperhatikanmu dan menunggumu untuk meminta sesuatu karena mereka tidak akan mengerti jika kau tak mengatakannya. Pria bukanlah alat terjemahan yang dapat menerjemahkan diamnya Wanita.”
Sandra melangkahkan tungkai jenjangnya masuk ke dalam kediaman ibunya, Sherine. Sudah bertahun-tahun sejak ia terakhir kali menginjakkan kakinya di tempat dimana ia tumbuh dewasa. Tak ada yang banyak berubah, hanya beberapa teknologi baru yang ditambahkan ke dalam rumah. Ia membawa tungkainya kakinya untuk mengelilingi rumah masa kecil. Ia sudah menghubungi Sherine sebab ternyata Sherine sedang mengerjakan beberapa pekerjaan di luar sana. Mungkin akan tiba satu jam lagi. Sandra menabirkan pandangannya ke seluruh ruangan. Namun, ada satu ruangan yang menarik atensinya. Ruang yang tertutup rapat dengan pintu ruangan berwarna coklat berat dengan dua pot tanaman di ke dua sisi pintu tersebut. Ukirannya membuat Sandra tertarik untuk masuk ke dalam ruangan itu. Ia memutuskan untuk melangkah masuk ke dalam ruang yang membuatnya tertarik. Kala ia mencoba untuk membuka pintu ruangan tersebut, pintunya terkunci dengan kata sandi, tetapi ia tak menyerah karena ia benar-benar pena
Sandra dan Andrew bermukim di sebuah ruangan pemantau. Mereka berdiri di belakang kaca sembari memantau dan mendengar percakapan antara Benedict dan Marilyn dengan pelaku penembakan melalui audio. Mereka memandang ke luar kaca dimana Benedict dan Marilyn berusaha mengulik informasi sebisa mereka sebab pelaku tersebut terus bungkam dengan enggan untuk mengangkat wajahnya untuk menatap orang yang sedang mengajaknya berbicara.“Mario, katakan yang sejujurnya,” pinta Benedict dengan tegas.Marilyn menghembuskan napas keras. Ia bangkit dari duduknya. Segalanya terjadi begitu cepat sampai membuat Benedict, Andrew dan Sandra terperanjat. Marilyn menarik revolvernya keluar dari holsternya lalu menodongkan moncong revolvernya pada kepala belakang Mario.Mario yang awalnya terlihat tenang, mulai merasa gemetar. Ia memejamkan matanya kuat-kuat. Ia memang tidak takut dengan senjata api, tetapi ia takut mati dengan cara mengenaskan seperti ini. Apalagi dengan kep
Sebenarnya Sandra dan Andrew benar-benar tidak bisa membendung emosinya lantaran mereka tidak mendapati satu pun tentara yang harusnya ditugaskan untuk menjaga setiap halaman belakang rumah di komplek perumahan Bumi. Mereka berjalan dengan tegap bersama Benedict untuk menghampiri para tentara yang lalai dalam tugasnya dan menyebabkan pelaku penembakkan sampai masuk ke dalam rumah lalu mengancam salah satu penduduk Venus, bahkan sampai menodongkan senjata.Para tentara yang berasal dari Mars dan Venus sontak merasa takut dengan kehadiran Sandra dan Andrew yang menatap mereka dengan amarah. Di belakang Kedua presiden tersebut terdapat Benedict dan Marilyn yang hanya membisu dan memandang kecewa pasukan kebanggaan mereka.“Kenapa kalian tidak mengerjakan tugas dengan benar?” tanya Andrew dengan suara rendah bersamaan dengan nada tegas.Para tentara di hadapan mereka masih menunduk membisu.“JAWAB!” perintah Sandra dengan intonasi naik
Nora berdiri di samping Christ yang sedang tertidur di sofa. Ia tadi terbagun dari tidurnya dan mendapati Christ sedang tertidur di atas sofa dengan laptop di atas pangkuannya. Ia jadi merasa bersalah karena menyita waktu Christ untuk menemaninya menonton. Sejak seminggu yang lalu, Christ selalu menemaninya menghabiskan film yang Nora beli. Ia pikir Christ akan menolak, tetapi ternyata salah, Christ selalu menerima ajakannya tanpa berpikir panjang. Christ benar-benar menghargai keberadaannya. Sejak pernyataanya satu minggu yang lalu, ia tetapi tidak menjawab, tetapi Christ tetap menjadi Christ sebelumnya dan sedikit lebih perhatian sepertinya.Nora hela napa lembut seraya menutup laptop Christ dan menaruhnya di meja. Ia meraih selimut kecil miliknya, lantas melingkupi Christ dengan selimut di tangannya sampi leher Christ. Setelahnya, mata Nora tak sengaja menatap keluar jendela yang menghadap langsung pada rumah di sebelahnya, yaitu rumah Gerald dan Natasha. Ia memutuskan unt
Nora hanya dapat tertegun mendengar ucapan Christ yang tiba-tiba.Beberapa saat kemudian, sontak Nora memukul Christ dengan bantal sofa. “Jangan bercanda seperti itu atau aku akan memukulmu lebih kencang,” ancamnya.Christ berusaha menangkis pukulan Nora dengan kedua tangannya. “Aku hanya berbicara sesuai yang ada di film.”“Awas saja kau berbicara seperti itu lagi,” ancam Nora untuk kedua kalinya.“Oke. Dengarkan aku terlebih dahulu. Di film tadi dijelaskan jika kita menyukai orang, kita akan merasa senang dengan kehadirannya, Jantung akan berdegup lebih cepat dari biasanya lantaran perasaan antusias bertemu seseorang yang disukai, kita akan merasa nyaman dengan dengannya, dan yang paling penting, Kita merasa memiliki hidup yang lebih bahagia dengan kehadirannya. Semua itu aku rasakan saat bersama kau.”Nora menurunkan tangannya yang sedari tadi memegang bantal sofa untuk melayangkan pu
Andrew dan Sandra masih masing-masing bergeming di tempatnya untuk beberapa detik. Hanya ada kesunyian dan kebisuan di antara mereka, usai perkataan Sandra yang terlontar beberapa saat lalu. Sontak senyuman menenangkan terpatri di wajah Andrew. “Aku juga merindukanmu, walaupun kita terus bertemu dan bersama-sama.” Sandra awalnya merasa malu setelah sebuah kalimat yang tak ia sadari terlontar dari lisannya begitu saja dan berpikiran untuk meluruskan bahwa dirinya sedang kehilangan fokus, tetapi usai mendengar tuturan Andrew yang begitu tegas dan jelas, ia mengurungkan niatnya. “Kenapa kau merindukanku juga?” Sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Sepertinya kepercayaan diri Sandra yang hilang untuk beberapa saat sudah kembali. “Tidak ada alasan. Kalau kau kenapa merindukanku?” Andrew bertanya balik. Sandra mendelik kesal. “Ihhh. Memangnya aku juga perlu alasan?” tanyanya dengan kesal padahal ia yang menanyakan hal itu pertama kali.