Sesampainya di rumah, Lay dan Julia langsung sibuk dengan kesibukannya masing-masing. Julia yang sibuk mengurus penelitiannya dan Lay yang sibuk mengerjakan tugasnya sebagai asisten Presiden. Mereka beberapa kali bercakap, tetapi sesaat kemudian mereka kembali fokus dengan pekerjaan masing-masing. Tidak seperti pasangan yang lainnya, mereka benar-benar tidak mengatakan hal yang lain selain berbasa-basi.
Julia merapihkan bajunya dan memasukkannya ke dalam lemari dengan teratur. Sedangkan, Lay sibuk menggantungkan bajunya karena ia tidak terlalu puas jika bajunya dilipat.
Julia menyelesaikan kegiatannya dan menoleh ke arah Lay yang masih sibuk berkutat dengan baju-bajunya. “Aku akan memasakkan makan malam.” Lalu Julia melangkah keluar tanpa mengucapkan hal lain.
Lay tetap fokus dengan pekerjaannya sampai ketika ia mendengar suara dentuman dari arah tangga lalu diikuti dengan suara memekik kesakitan. Lay langsung menghentikan kegiatannya dan berlari tergesa-gesa keluar kamar. Manik Lay membulat risau melihat Julia yang sedang meringis di salah satu anak tangga. Lay menghampiri Julia dengan wajah alis berkerut cemas.
“Kenapa bisa terjatuh?” tanya Lay gelisah.
Julia memegang kakinya kanannya. “Aku tadi melamun saat menuruni tangga,” jelasnya sambil menahan rasa nyeri di kakinya.
Lay mendengus kesal. Ia kesal karena wanita ini bisa-bisanya menuruni anak tangga sambil melamun. Dirinya benar-benar tak habis pikir. Ia menunduk, sebelah tangannya merangkul bahu Julia dan tangan lainnya diselipkan di bawah lutut Julia, setelahnya Julia sudah terangkat dari lantai dan berada dalam pelukan Lay.
“Aku akan membawamu ke kamar dan menelpon Bu Sandra.” Suara Lay terdengar dingin dan datar, tetapi terdapat nada kekesalan di dalamnya.
Julia hanya mengangguk patuh. Sejujurnya Lay benar-benar menyeramkan. Ia mendongak dan menatap garis wajah Lay yang terlihat jelas. Ia juga tidak meninggalkan sebuah fakta penting bahwa pria yang sedang membopongkan terlihat sedang menahan emosi. Hal itu terlihat jelas pada urat-urat di wajahnya yang mengeras.
Lay membawa sebuah wadah berisikan air hangat dan handuk. Ia menghampiri Julia yang sedang terduduk di kasur dengan kaki memar membiru. Sepertinya pemikiran Lay selama ini benar, wanita benar-benar menyusahkan. Buktinya terlihat jelas di depan matanya.
“Kau seharusnya berhenti melihat jurnal. Istirahatlah sebentar,” pintanya sembari menduduk dirinya di tepi ranjang. Suara Lay memang selalu datar dan dingin, tetapi kali ini benar-benar terdengar menyeramkan.
Julia menuruti perkataan Lay dan meletakkan jurnalnya di atas meja kecil di samping ranjang. “Kau mau apa?” tanya Julia ketika melihat Lay menaruh handuk hangat ke kakinya.
“Agar bengkaknya berkurang. Jadi, diam saja. Aku tidak akan menyakitimu.” Laras Lay terdengar jengkel karena Julia terlalu banyak bertanya.
Julia kembali membisu, tetapi beberapa menit kemudian, ia kembali membuka mulutnya. “Apakah kau senang bergabung mengikuti penelitian ini?”
Lay menghentikan kegiatannya lalu menatap Julia dengan datar dan dingin. “Menurutmu?” tanyanya balik.
“Kau terlihat tidak senang,” gumamnya kecil yang lebih terdengar seperti berbisik.
Lay mendesah pelan. “Aku memang tidak senang karena jujur saja aku tidak begitu menyukai wanita karena menurutku wanita terlalu naif, perasa dan kadang tidak memakai otaknya untuk berpikir,” jelasnya tanpa memikirkan perasaan seseorang di hadapannya.
Julia yang mendengar kalimat kasar yang dilontarkan Lay, hanya diam dan mencoba mengatur emosinya. Ia tidak ingin menyiram api dengan minyak. Suasana sudah cukup panas dan ia tidak ada niatan untuk membuatnya semakin panas. Harus ada yang mengalah, Julia hanya tersenyum masam. “Sepertinya kau adalah orang suka berasumsi. Kau saja tidak pernah bertemu wanita, kenapa bisa mengasumsikan hal seperti itu?” Julia berusaha bertanya dengan laras selembut mungkin agar pria menyebalkan di hadapannya tidak mengamuk.
Lay masih menatap lawan bicarannya dengan dingin. “Jika umat kalian tidak seperti yang aku ucapkan tadi, terus mengapa ibuku membunuh dirinya sendiri? Bukankah hal itu bodoh? Seharusnya dia bisa mengontrol emosinya agar tidak mengambil alih dirinya. Apa dia tidak berpikir kalau aku tidak akan pernah bisa datang pemakamannya karena kebijakan negara. Benar-benar menyusahkan.” Lay mengakhiri kalimatnya dengan penekanan.
Alis Julis berkerut tak suka. Lay benar-benar tidak bisa mengontrol mulut kasanya. Pandangan lembut Julia seketika berubah menjadi dingin menusuk dan Lay menyadari itu “Memang kau tahu apa saja yang telah beliau lewati? Kau tahu rasanya jadi beliau? Apa kau tahu masalah apa yang telah beliau lewati? Apakah kau tahu berapa kali beliau berusaha bertahan melawan pikirannya yang terus menerus memintanya untuk selesai? Apa kau tahu sakit apa yang beliau rasakan?,” tanya Julia dengan bertubi-tubi, tetapi tenang.
Lay hanya menatap Julia dengan salah satu alisnya yang terangkat. Ia terpaku tak berkuti menatap raut wajah Julia yang sedang mati-matian menahan emosi.
Julia tersenyum sinis melihat Lay yang tak kunjung membalas ucapannya. “Kau tidak tahu apa-apa, bahkan kalian berada di planet berbeda. Berhenti mengatakan hal kasar tentang ibumu. Mulutmu sama sekali tidak pantas mengatakannya.” Suara Julian semakin terdengar tajam. Kesabaran sudah habis. Pria di depannya benar-benar butuh tamparan.
Urat-urat di wajah Lay terlihat jelas dan itu menandakan bahwa dirinya sedang emosi. Ia menatap jengkel Julia yang berhasil membuat dirinya merasa bersalah setelah enam tahun berlalu. Ia memutuskan untuk keluar dari kamar dan pergi ke ruang tamu. Ia tidak ingin meluapkan amarahnya yang justru akan membuat ke dua belah pihak saling menyakiti dengan lisan. Sementara, Julia menatap kepergian Lay dengan tatapan lirih.
Lay berdiri di teras rumah dengan tangan mengepal. Dadanya terasa sakit. Sakit yang tak bisa dijelaskan secara lisan. Setelah enam tahun lamanya ia membenci ibunya, untuk pertama kalinya ia merindukan ibunya. Ia ingin merengkuh wanita yang telah melahirkannya. Tanpa sadar bulir-bulir air jatuh dari sudut maniknya, tetapi dengan cepat ia mengusap kasar air mata itu.
Lay memang tidak menyukai wanita. Ia tidak membenci, hanya tidak menyukai. Wanita adalah makhluk naif dan terlalu perasa. Wanita juga pembohong menurutnya. Lay selalu percaya dengan segala perkataan manis ibunya dan ia berakhir dihianati. Kalimat manis itu berubah menjadi luka membekas yang menghantui Lay setiap saat. Ibunya berkata akan tetap menyayanginya, walaupun mereka berbeda planet. Namun, pada realitanya ibunya pergi meninggalkannya. Lay hanya tak ingin termakan perkataan lembut dan manis wanita karena ia tidak ingin terjatuh ke dalam lubang gelap itu lagi.
Dokter yang Sandra kirim sudah tiba untuk memeriksa keadaan Julia.
Lay memperhatikan dokter yang sedang memegang kaki Julia yang membiru.
“Ini tidak terlalu parah, tetapi baru akan sembuh seminggu lagi. Tidak ada yang bergeser, tetapi karna terjatuh terlalu keras membuat kakinya menjadi bengkak dan memar. Saya akan berikan obat penghilang nyeri. Selama seminggu kakinya harus sering dikompres dengan air hangat. Sebenarnya bisa saja langsung sembuh, tetapi di bumi tidak ada alatnya.”
Lay hanya mengangguk mengerti mendengar penjelasan dokter. Lalu, ia mengantar dokter sampai keluar rumah. Setelahnya ia berjalan ke dapur untuk membuatkan Julia makan malam. Ia tahu kalau penduduk Venus selalu memakan makanan sehat. Jadi, ia membuat salad dan memotongkan beberapa buah untuk Julia. Sebenarnya ia sedikit merasa bersalah karena sempat mengatakan hal kasar kepada Julia. Ia hanya lepas kendali karena mengingat masa lalunya. Ia tidak bermaksud menghina wanita seperti itu. Rasa sakit yang ia pupuk terlalu lama akhirnya melebur keluar karena melihat sosok wanita berada jelas di hadapannya. Itu membuatnya mengatakan segala yang ada di pikirannya tanpa menyaringnya.
Lay membawakan makanan yang ia persiapkan sebagai tanda penyeselannya untuk Julia yang berada di kamar.
Julia masih menahan wajah dinginnya ketika netranya menemukan Lay membawakannya makanan. Ia tahu kalau Lay pasti merasa bersalah karena mengatakan hal kasar dan buruk seperti tadi sampai dirinya ikut terbawa emosi. Ia bukannya terlalu percaya diri, tetapi ia tahu Lay tidak maksud mengatakan semua hal itu. Julia sadar saat ia menatap manik Lay lekat-lekat tatkala pria itu marah, Lay sedang tersakiti akan sesuatu dari masa lalunya. Ia memang bukan lulusan psikologi, tetapi ia merasa tatapan Lay sangat muram, letih dan tak ada rasa ingin bertahan hidup. Namun, bodohnya ia sempat tersulut emosi karena merasa Lay melampiaskan emosi masa lalunya kepada dirinya. Padahal jika ia lebih menggunakan otaknya, ia tidak akan marah dan memilih berbicara dengan lebih lembut sampai akhir.
Lay mengambil sebuah meja lipat dan meletakkannya di atas paha Julia. Kemudian menaruh makanan buatannya di atas meja tersebut. “Makanlah. Aku akan makan di bawah.”
Sebelum Langkah Lay menjauh. Julia menahan tangan Lay. “Makan saja bersamaku.”
Lay mengangkat salah satu alisnya buncah dan menatap Julia, tetapi beberapa saat kemudian, ia mendengus dan mengangguk. “Baiklah.”
Julian menarik tipis sudutnya ranumnya mendengar Lay menuruti permintaannya.
Julia memandang Lay yang sedang merapihkan berkas-berkas yang berpencar di atas sofa panjang yang bermukim di dalam kamar. Sebenarnya ia ingin sekali mandi, tetapi dirinya tidak bisa berjalan dengan keadaan kaki seperti ini. Julia berniat meminta tolong kepada Lay, tetapi satu sisi di dalam hati nya merasa masih segan. Ia kembali melirik Lay dengan raut wajah sedih bercampur kesal karena tidak bisa berjalan.
Lay menyadari jika Julia terus-menerus mencuri pandang ke arahnya. Ia hanya sangsi saja kenapa Julia tidak berbicara jika membutuhkan sesuatu. Memangnya ia bisa membaca tatapan orang.
“Katakan saja ingin apa?” Sambil fokus dengan berkasnya.
“Kamar mandi.” jawab Julia dengan nada canggung.
Lay lagi-lagi menghela napas untuk entah keberapa kalinya, ia tak menghitung. Lay bangkit dan berjalan menuju Julia. “Mau aku angkat atau ingin berjalan sendiri?”
Julia sedikit terkesiap mendengarkan pilihan yang dilontarkan Lay. “Bantu aku berjalan saja,” jawab Julia pada akhirnya.
Lay merangkul bahu Julia untuk membantunya bangkit lalu menurunkan perlahan kaki Julian. Ia memapah wanita di sampingnya berjalan mencapai kamar mandi. Ia mendudukkan Julia di closet, setelahnya ia berjalan pergi dari kamar mandi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Namun, Lay kembali lagi membawakan handuk, piyama dan pakaian dalam Julia yang ia asal pilih dari lemari. Setidaknya Julia bisa mengganti pakaiannya.
Manik Julia langsung melebar sempurna ketika melihat Lay dengan tenangnya memegang pakaian dalamnya. “Kenapa kau memegang pakaian dalamku?” tanyanya terkejut.
Lay tetap setia mengatupkan bilah bibirnya dan memberikan semua barang di tangannya kepada Julia lalu keluar seraya menutup pintu kamar mandi.
Julia setengah mendengus, setengah tertawa masam. Ia benar-benar sudah kehabisan kata dengtan perangai Lay yang selalu membuatnya ingin terbang kembali ke Venus. Bisa-bisanya Lay yang notabennya seorang pria, tanpa rasa malu memegang celana dalam wanita. Julia tahu Lay bermaksud baik, tetapi kali ia merasa kehilangan harga diri hanya karena sebuah celana dalam.
Lay memang pria yang baik, tetapi kadang menyebalkan dan terkesan kasar.
“Wanita selalu saja gengsi dan hanya menatap tanpa mengatakan apa pun. Cobalah untuk berbicara dan mengatakan sesuatu karena pria bukanlah paranormal yang dapat membaca tatapan yang kau berikan. Pria membutuhkan lisan dan bukan tatapan”
Sandra melangkahkan tungkai jenjangnya masuk ke dalam kediaman ibunya, Sherine. Sudah bertahun-tahun sejak ia terakhir kali menginjakkan kakinya di tempat dimana ia tumbuh dewasa. Tak ada yang banyak berubah, hanya beberapa teknologi baru yang ditambahkan ke dalam rumah. Ia membawa tungkainya kakinya untuk mengelilingi rumah masa kecil. Ia sudah menghubungi Sherine sebab ternyata Sherine sedang mengerjakan beberapa pekerjaan di luar sana. Mungkin akan tiba satu jam lagi. Sandra menabirkan pandangannya ke seluruh ruangan. Namun, ada satu ruangan yang menarik atensinya. Ruang yang tertutup rapat dengan pintu ruangan berwarna coklat berat dengan dua pot tanaman di ke dua sisi pintu tersebut. Ukirannya membuat Sandra tertarik untuk masuk ke dalam ruangan itu. Ia memutuskan untuk melangkah masuk ke dalam ruang yang membuatnya tertarik. Kala ia mencoba untuk membuka pintu ruangan tersebut, pintunya terkunci dengan kata sandi, tetapi ia tak menyerah karena ia benar-benar pena
Sandra dan Andrew bermukim di sebuah ruangan pemantau. Mereka berdiri di belakang kaca sembari memantau dan mendengar percakapan antara Benedict dan Marilyn dengan pelaku penembakan melalui audio. Mereka memandang ke luar kaca dimana Benedict dan Marilyn berusaha mengulik informasi sebisa mereka sebab pelaku tersebut terus bungkam dengan enggan untuk mengangkat wajahnya untuk menatap orang yang sedang mengajaknya berbicara.“Mario, katakan yang sejujurnya,” pinta Benedict dengan tegas.Marilyn menghembuskan napas keras. Ia bangkit dari duduknya. Segalanya terjadi begitu cepat sampai membuat Benedict, Andrew dan Sandra terperanjat. Marilyn menarik revolvernya keluar dari holsternya lalu menodongkan moncong revolvernya pada kepala belakang Mario.Mario yang awalnya terlihat tenang, mulai merasa gemetar. Ia memejamkan matanya kuat-kuat. Ia memang tidak takut dengan senjata api, tetapi ia takut mati dengan cara mengenaskan seperti ini. Apalagi dengan kep
Sebenarnya Sandra dan Andrew benar-benar tidak bisa membendung emosinya lantaran mereka tidak mendapati satu pun tentara yang harusnya ditugaskan untuk menjaga setiap halaman belakang rumah di komplek perumahan Bumi. Mereka berjalan dengan tegap bersama Benedict untuk menghampiri para tentara yang lalai dalam tugasnya dan menyebabkan pelaku penembakkan sampai masuk ke dalam rumah lalu mengancam salah satu penduduk Venus, bahkan sampai menodongkan senjata.Para tentara yang berasal dari Mars dan Venus sontak merasa takut dengan kehadiran Sandra dan Andrew yang menatap mereka dengan amarah. Di belakang Kedua presiden tersebut terdapat Benedict dan Marilyn yang hanya membisu dan memandang kecewa pasukan kebanggaan mereka.“Kenapa kalian tidak mengerjakan tugas dengan benar?” tanya Andrew dengan suara rendah bersamaan dengan nada tegas.Para tentara di hadapan mereka masih menunduk membisu.“JAWAB!” perintah Sandra dengan intonasi naik
Nora berdiri di samping Christ yang sedang tertidur di sofa. Ia tadi terbagun dari tidurnya dan mendapati Christ sedang tertidur di atas sofa dengan laptop di atas pangkuannya. Ia jadi merasa bersalah karena menyita waktu Christ untuk menemaninya menonton. Sejak seminggu yang lalu, Christ selalu menemaninya menghabiskan film yang Nora beli. Ia pikir Christ akan menolak, tetapi ternyata salah, Christ selalu menerima ajakannya tanpa berpikir panjang. Christ benar-benar menghargai keberadaannya. Sejak pernyataanya satu minggu yang lalu, ia tetapi tidak menjawab, tetapi Christ tetap menjadi Christ sebelumnya dan sedikit lebih perhatian sepertinya.Nora hela napa lembut seraya menutup laptop Christ dan menaruhnya di meja. Ia meraih selimut kecil miliknya, lantas melingkupi Christ dengan selimut di tangannya sampi leher Christ. Setelahnya, mata Nora tak sengaja menatap keluar jendela yang menghadap langsung pada rumah di sebelahnya, yaitu rumah Gerald dan Natasha. Ia memutuskan unt
Nora hanya dapat tertegun mendengar ucapan Christ yang tiba-tiba.Beberapa saat kemudian, sontak Nora memukul Christ dengan bantal sofa. “Jangan bercanda seperti itu atau aku akan memukulmu lebih kencang,” ancamnya.Christ berusaha menangkis pukulan Nora dengan kedua tangannya. “Aku hanya berbicara sesuai yang ada di film.”“Awas saja kau berbicara seperti itu lagi,” ancam Nora untuk kedua kalinya.“Oke. Dengarkan aku terlebih dahulu. Di film tadi dijelaskan jika kita menyukai orang, kita akan merasa senang dengan kehadirannya, Jantung akan berdegup lebih cepat dari biasanya lantaran perasaan antusias bertemu seseorang yang disukai, kita akan merasa nyaman dengan dengannya, dan yang paling penting, Kita merasa memiliki hidup yang lebih bahagia dengan kehadirannya. Semua itu aku rasakan saat bersama kau.”Nora menurunkan tangannya yang sedari tadi memegang bantal sofa untuk melayangkan pu
Andrew dan Sandra masih masing-masing bergeming di tempatnya untuk beberapa detik. Hanya ada kesunyian dan kebisuan di antara mereka, usai perkataan Sandra yang terlontar beberapa saat lalu. Sontak senyuman menenangkan terpatri di wajah Andrew. “Aku juga merindukanmu, walaupun kita terus bertemu dan bersama-sama.” Sandra awalnya merasa malu setelah sebuah kalimat yang tak ia sadari terlontar dari lisannya begitu saja dan berpikiran untuk meluruskan bahwa dirinya sedang kehilangan fokus, tetapi usai mendengar tuturan Andrew yang begitu tegas dan jelas, ia mengurungkan niatnya. “Kenapa kau merindukanku juga?” Sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Sepertinya kepercayaan diri Sandra yang hilang untuk beberapa saat sudah kembali. “Tidak ada alasan. Kalau kau kenapa merindukanku?” Andrew bertanya balik. Sandra mendelik kesal. “Ihhh. Memangnya aku juga perlu alasan?” tanyanya dengan kesal padahal ia yang menanyakan hal itu pertama kali.