“Apa, Bi? Kamu barusan ngomong apa? Mengantarku?” tegas Elsa.Kebersamaan yang dilakukan beberapa jam itu, ditambah main game bersama, Elsa tanpa sadar telah terbiasa memanggil Bian seperti seorang teman. Hal yang sama pun dilakukan oleh Bian.“Iya! Kita kan sudah sepakat. Lakukan perjanjian itu mulai sekarang bukan? Mungkin saja kamu membutuhkan bantuanku nanti.”Kedua alis Bian naik-turun. Senyum mengembang di bibirnya. Sengaja dilakukan, karena Bian memang pada dasarnya orang yang suka bercanda dan iseng.Entah mengapa, aku suka berlama-lama sama gadis ini. Dia membuatku merasa bersemangat. Di dalam hatiku merasakan sesuatu yang aneh. Aku juga bingung, kenapa perasaan aneh itu bisa muncul? Degupan jantungku pun terkadang tak bisa terkontrol gara-gara sikapnya.“Bukankah kamu juga harus pulang? Video itu sudah viral. Nggak mungkin kalau kamu malah mengantarku pulang.”“Udah viral kan? Ya udah. Malah membantu rencana kita kan? Pernikahan kita bisa dipercepat?” Bian mengerlingkan mata
“Bi—bian?” Seketika, Nani menoleh sambil tergagap melihat calon menantu untuk anak kandungnya itu.“Iya, Tante. Ini saya. Apakah Tante sangat terkejut? Lepaskan tangan Elsa, Tan. Tolong.”Bian berjalan mendekati Elsa. Secara sengaja pula, laki-laki berpangkat direktur muda itu memohon pada Nani untuk menuruti kemauannya.Sontak, wajah Nani berubah pias. Ada ketakutan sendiri karena kata-kata yang tadi lantang terdengar. Sudah pasti, Bian mendengarkan segalanya.Dengan terpaksa, Nani menuruti perintah Bian. Tangannya yang mencengkeram erat, bahkan tangan Elsa merasa panas, sudah dilepaskan.“Mas Bian, silakan masuk.” Nani berubah ramah.“Iya, silakan masuk. Kita bicarakan di dalam saja, biar enak.” Handi ikut saja sungkan gara-gara ucapan istrinya.Bagaimanapun, hotel yang sedang dikelola olehnya, sangat membutuhkan suntikan dana. Sudah dibantu dengan sumber dana dari hotel yang Elsa kelola, masih saja belum bisa membuatnya stabil.Sedangkan Elsa, sengaja menyimpan keuntungan yang lain
“Bukan begitu, Sayang. Kamu harus bersabar dulu. Nggak bisa bertindak gegabah, Sayang. Yang penting, untuk sekarang, kamu sudah kunikahi meski secara siri. Artinya, aku bertanggung jawab atas anak yang kamu kandung. Tinggal menunggu waktu yang tepat, aku akan meresmikan pernikahan kita, Sayang. Kamu harus bersabar, ya.” Handi berusaha menasihati istri sirinya itu.“Mau sampai kapan, Mas? Kamu saja takut sama Wulan, bagaimana bisa merealisasikan perkataanmu tadi? Apa susahnya menceraikan Wulan sih, Mas? Kamu mencintaiku kan?” Perkataan Nani diliputi rasa iri.“Aku mencintaimu, Sayang. Tapi, aku juga mencintai Wulan. Apalagi dia menantu yang paling Ayah sayang. Aku nggak mungkin menceraikannya sesuka hatiku, Sayang. Ayah dan semuanya pasti akan membuangku. Kamu nggak mau semua itu terjadi kan?”Perasaan Handi diliputi perasaan cemas. Dia pikir gampang mempunyai dua istri dalam waktu bersamaan. Ternyata, semua tak seindah bayangan. Akan ada rasa iri dan dengki yang selalu memancing sebua
“Wah, pagi-pagi, Mama sudah menggedor pintuku hanya untuk mengusik pendengaranku?” tanya Elsa sambil mengernyitkan kening.Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Elsa secara tiba-tiba.“Nggak sopan kamu ya! Sekarang sudah berani membantah perkataan Mama! Ingat Elsa! Kamu hanya anak pungut! Ayah terpaksa mengambilmu dari panti asuhan hanya untuk menemukan istrinya yang nggak tahu diri! Kamu itu bukan siapa-siapa di sini, Elsa!”Ada yang berdenyut di dada Elsa. Kini, Nani sengaja menjelekkan istri pertama Handi yang diketahui adalah ibu kandung Elsa.Apakah Nani memang sejak dulu sudah membenci Wulan? Hingga ia mengatakan kalau istri pertama Handi sebagai wanita yang tidak tahu diri?“Iya, Mbak. Lebih baik, kamu batalkan semua rencana pernikahanmu dengan Bian kalau hidupmu masih ingin tenang dan dianggap sebagai bagian keluarga ini.” Vela berucap menambah amarah di dalam hati.“Apakah Ayah akan setuju? Bukankah dia harus meminta persetujuan pada Kakek untuk bisa membuangku? Dan tentang t
Mobil yang dikendarai Bian memasuki halaman rumahnya. Laki-laki itu memutuskan untuk pulang dan siap menerima konsekuensinya. Dia juga akan meneruskan perjanjian yang sudah disepakati. Caranya tentu saja dengan memberitahukan niatnya untuk menikahi Elsa pada orang tuanya secara langsung.“Mudah-mudahan, udah pada tidur,” gumam Bian sembari turun dari mobil.Keadaan rumah sudah sepi. Orang-orang sudah beristirahat di kamarnya masing-masing. Untuk sementara, Bian selamat dari omelan orang tuanya.***“Bian! Jam berapa kamu pulang? Mama sampai pusing gara-gara tindakanmu!”Setelah sarapan, Bian menanti perkataan-perkataan yang akan menghujaninya. Pasti akan ada ucapan yang akan menghunus perasaannya. Terutama perkataan yang akan terlontar dari lisan Erwin. Membandingkan. Itu sudah menjadi hal biasa yang akan dilakukan.“Sampai rumah hampir sekitar tengah malam, Ma,” jawab Bian.Laras menghela napasnya. Pagi-pagi sudah harus memendam emosi dan berdebat dengan anaknya.“Sudah puas main-mai
Ponsel Bian tiba-tiba berbunyi. Ia harus menepiskan amarahnya dan mengangkat panggilan yang sedang terjadi.“Mona? Mau apa lagi dia?” gumam Bian setelah mengetahui siapa yang sedang meneleponnya.“Halo, Mon. Ada apa lagi?” tanya Bian tak mau basa-basi karena memang perasaannya sedang tidak baik.“Gimana? Viral bukan? Apa pun tentang dirimu memang laris terjual, Mas Bi. Aku bahagia loh,” jawab seorang wanita dari ujung sambungan. Ia tertawa kecil.“Oh, jadi kamu ya? Suka banget bikin huru-hara! Tahu nggak sih! Gara-gara jarimu yang nulis sembarangan, hidupku jadi nggak tenang. Memangnya kamu bisa mengganti kerugian yang sangat fatal itu?” Bian menyemburkan amarahnya. Tepat pada waktunya pula karena Bian memang sedang marah besar.Mona malah tertawa lepas saat mendengar omelan dari Bian.“Wanita nggak waras! Malah ketawa!” hardik Bian lagi.“Mas Bi, jangan marah-marah gitu dong. Tahu sendiri kan, kerjaanku apa? Deritamu adalah cuan bagiku tahu, Mas Bi. Jadi, ikhlaskan saja dong, Mas Bi.
“Permisi, Mbak, pasien atas nama Pak Wicaksono yang ada di ruang VVIP kenapa nggak ada? Apa sudah pulang?”Nani nekat mendatangi Wicaksono seorang diri hanya untuk menghasut agar mau membuang Elsa dari keluarganya.Namun, saat kakinya memasuki ruangan tempat Wicaksono dirawat, sudah tidak ada batang hidungnya lagi. Kamar itu sudah kosong, bahkan sudah rapi dan bersih, siap dipakai oleh penghuni baru.“Sebentar, Bu. Saya cari datanya terlebih dulu.”Nani hanya mengangguk. Ia sangat berharap akan mendapatkan informasi sesuai harapannya.“Pasien atas nama Pak Wicaksono, yang dirawat di ruangan VVIP sudah keluar dari rumah sakit ini tadi pagi sekitar pukul delapan, Bu.”“Sudah keluar? Maksudnya sudah pulang ke rumah, gitu, Mbak?” tegas Nani untuk memperjelas informasi yang membuatnya terkejut.“Keterangan yang tertulis di sini, beliau dipindahkan ke rumah sakit lain. Tapi, tidak ditulis nama rumah sakit tujuannya, Bu. Itu permintaan dari pihak keluarga. Kalau boleh tahu, apakah Ibu ini ke
Bian membuang napas setelah memutuskan rencananya secara sepihak dan mendadak pula. Keinginan untuk melihat serta menghabiskan waktu berdua tiba-tiba saja muncul. Belum lama mereka kenal, tetapi keadaan yang membuatnya menjalin sebuah hubungan. Bahkan menuju ke jenjang pernikahan yang sakral.“Nggak perlu dandan, aku sudah cantik.” Balasan dari Elsa membuat senyum Bian mengembang.“Iya, aku tahu. Pokoknya nanti malam harus terlihat lebih cantik dari sebelumnya. Tidak ada kata protes. Udah ya! Aku sibuk kerja untuk modal menikahimu dan menafkahi istriku.”Apa-apaan aku ini? Tapi, aku memang nyaman saat bersamanya dan merasa bahagia. Apa benar, aku susah jatuh cinta? Bian berkata dalam hati dan menanyakan pada dirinya sendiri tentang perasaannya saat ini.“Bian! Isengmu berlebihan!” balas Elsa mengomeli sikap Bian.Perbincangan dalam pesan itu diakhiri oleh Bian karena sengaja tidak membalasnya. Ia beralih ke kontak bernama Mona, lantas menghubunginya.“Halo, Mas Bi, ada apa? Kangen sam