Pertanyaan itu, yang seharusnya sederhana, menghantam Janeetha seperti badai. Ia terdiam, tak tahu harus berkata apa.
Cinta. Apakah perasaan itu masih ada?
Janeetha menunduk, memikirkan kembali hubungannya dengan Dikara. Semakin ia memikirkannya, semakin jelas bahwa cinta yang pernah ada sudah lama hilang. Kini, hanya ada kebencian dan rasa kecewa yang tersisa.
"Aku tak tahu," suara Janeetha terdengar serak, nyaris tak terdengar. Dia meremas jemarinya sendiri, mencoba mencari kekuatan yang entah sudah berapa lama hilang. "Aku tak tahu apa yang aku rasakan lagi."
Fabian terdiam, matanya tak lepas dari wajah Janeetha yang tampak rapuh.
"Janeetha," Fabian berusaha tenang, tetapi tak dapat menyembunyikan nada kesal yang terselip. "Mengapa kau mempertahankan pria yang sudah jelas-jelas menyakitimu?"
Janeetha tersentak. Kedua matanya langsung menatap Fabian penuh kebingungan. "Kakak... dari mana kakak tahu?"
Sejenak, Fabian tak menjawab. Hening menyelimuti mereka. Akhirnya, Fabian menghela napas panjang, seolah berusaha menemukan kata-kata yang tepat.
"Aku tak sengaja mendengar percakapanmu dengan Maura tadi. Soal pesan dari Ameera, soal dugaanmu tentang Dikara..." Suaranya melembut, tapi ketegangan yang Janeetha rasakan semakin kuat.
"Aku belum yakin, Kak. Itu baru dugaan." Janeetha seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri meskipun suaranya terdengar ragu.
Fabian menggeleng pelan, pandangannya semakin dalam menatap Janeetha. "Entah Dikara benar-benar berselingkuh atau tidak, itu tak mengubah satu hal yang pasti. Dia sudah memperlakukanmu dengan kasar!"
"Itu sudah lebih dari cukup untukmu pergi. Seorang suami yang baik tidak akan pernah memperlakukan istrinya seperti itu!" Suaranya mengeras, menahan emosi yang perlahan-lahan naik. "Dia tak pantas mendapatkanmu."
Kata-kata Fabian mengiris hati Janeetha lebih dalam dari yang dia bayangkan. Entah kenapa, ada sesuatu dalam kalimat-kalimat itu yang membuatnya merasa hancur sekaligus ... membuka pikirannya.
Mungkin karena selama ini tak ada seorang pun yang dengan tegas mengatakan bahwa dirinya layak mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Selama ini, hanya dirinya yang merasa terpuruk, berpikir bahwa semua kesalahan ada pada dirinya.
"Aku sudah hancur, Kak," jawab Janeetha dengan suara lemah pun bergetar. "Aku bukan siapa-siapa lagi. Tak ada yang pantas untukku, aku tak pantas mendapatkan siapapun."
Sungguh, ingin sekali Fabian merengkuh tubuh mungil nan rapuh yang ada di hadapannya sekarang. Ia menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan, seolah berusaha menghapus setiap kebohongan yang selama ini tertanam di benak Janeetha.
"Kau salah, Jani," bisik Fabian menggeleng lemah. Meremas kedua tangannya di atas meja, mencegah dirinya agar tidak meraih jemari gemetaran milik sahabat adiknya ini. "Kau pantas mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari Dikara. Kau layak untuk dicintai dengan tulus, tanpa rasa sakit."
Janeetha tak memberikan jawaban. Dia merasa terlalu lelah, terlalu terkuras emosinya untuk memikirkan apakah kata-kata Fabian benar.
"Aku harus pulang," Akhirnya Janeetha berkata, mencoba menyudahi pembicaraan yang semakin membuat pikirannya kacau. "Sudah terlalu lama aku di luar."
Meski begitu, perkataan Fabian mulai membangun kemantapan hati Janeetha jika dirinya memang patut untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Fabian tak berusaha menahan Janeetha untuk lebih lama. Pria itu juga paham, apa yang akan Janeetha hadapi jika tak berada di rumah saat Dikara pulang.
Senyum lembut terulas di wajah Fabian, meski sorot matanya tampak mengandung sesuatu yang tak terucap. "Ingat, kalau ada apa-apa, apapun itu, termasuk jika kau butuh bantuan untuk meninggalkan Dikara, aku ada di sini."
Janeetha mengangguk singkat, tanpa benar-benar menyerap arti dari kata-kata kakak Maura itu. Ia memilih untuk tak memikirkannya terlalu jauh.
Untuk saat ini, dia hanya ingin pulang, dan beristirahat dari semua kekacauan yang membelit hidupnya.
Saat sampai di apartemen, Janeetha cukup lega karena Dikara tidak ada di sana. Pria itu suka sekali pulang dan pergi tiba-tiba semaunya hanya sekedar untuk mengecek keberadaanya. Sepertinya hari ini suaminya sibuk, melihat bagaimana ia terburu-buru pergi tadi pagi.
Setelah meletakkan tas di tempatnya, Janeetha duduk di sofa dengan segala perkataan Fabian yang berputar dalam benaknya.
ingatannya melayang begitu saja pada masa-masa ketika ia masih bekerja di sebuah perusahaan kecil, di mana ia merasa hidupnya bermakna dan dihargai.
Di tempat itu, Janeetha adalah seorang profesional yang berdedikasi, seseorang yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup. Namun, setelah menikah dengan Dikara, hidupnya berubah drastis.
Meski kebutuhan materinya terpenuhi dengan berlimpah, ia merasa kehilangan dirinya sendiri. Dikara semakin membatasi ruang geraknya, memaksanya untuk melepaskan pekerjaannya dan fokus sepenuhnya pada peran sebagai istri.
Keadaan ini hanya memperparah perasaan terkungkung dan teraniaya yang ia rasakan setiap hari. Dikara, yang dulunya tampak penuh perhatian, kini berubah menjadi seseorang yang posesif dan kejam.
Setiap hari, Janeetha merasa semakin terperangkap, seolah-olah dinding-dinding di sekelilingnya semakin mendekat, mengurungnya tanpa jalan keluar. Banyak mimpi dan keinginan yang dulu ingin ia raih harus ia kubur dalam-dalam.
Di tengah kebingungannya, tiba-tiba sebuah panggilan datang dari ibunya. Janeetha merasa jantungnya berdebar ketika mendengar suara ibunya yang terdengar ceria di seberang telepon.
“Apa kabarmu, Sayangku?” tanya Gayatri, sang ibu membuat Janeetha menggigit bibirnya, menahan agar airmatanya tidak meluruh begitu saja.
Ingin rasanya Janeetha menceritakan segala sesuatu yang terjadi, tetapi dirinya tak memiliki keberanian membuat sang ibu dan Pradipa, ayahnya terlibat dalam konflik pun yang terutama adalah melihat hati mereka hancur berkeping jika tahu apa yang terjadi. Apalagi ayahnya yang baru saja sembuh dari stroke yang nyaris merenggut nyawa pria itu.
“Baik, Bu. Ibu menelpon kenapa?” Janeetha berusaha terdengar biasa saja.
“Memangnya Ibu harus punya alasan untuk menelponmu?” gerutu wanita paruh baya di seberang membuat Janeetha tertawa kecil.
Yah, ibunya memang cukup sering menanyakan kabar, begitu juga dengan ibu mertua yang selalu baik padanya.
Mereka pun mengobrol sebentar bertukar cerita hingga akhirnya Gayatri mengutarakan maksudnya. "Janeetha, Ibu ingin mengundang kamu dan suamimu untuk makan malam bersama. Sudah lama 'kan kita tidak berkumpul? Ibu merindukan kebersamaan kita. Ayahmu juga sangat ingin bertemu denganmu dan Dikara."
Janeetha menggigit bibirnya, merasakan gelombang ketidaknyamanan menyergapnya. Ia tahu bahwa makan malam bersama keluarga bukanlah ide yang baik. Mempertahankan kepura-puraan bahwa semuanya baik-baik saja antara dirinya dan Dikara adalah tugas yang semakin berat.
Namun, Janeetha juga tahu bahwa ia tidak bisa menolak. Menolak undangan itu hanya akan menimbulkan lebih banyak kecurigaan dan pertanyaan dari orang tuanya.
Dengan berat hati, Janeetha setuju. “Baik, Bu. Nanti Janeetha bicarakan dengan Mas Dika.”
Setelah berbincang sebentar, ibunya menutup telepon. Bersaman dengan itu, Janeetha berbalik dan terkejut menemukan Dikara telah berdiri di ambang pintu.
***
Ketika Ketika Janeetha membuka matanya, ruangan putih terang menyambutnya. Kelopak matanya terasa berat, tubuhnya lemah, dan ada rasa sakit luar biasa di perutnya.Dia berkedip beberapa kali, mencoba memahami di mana dirinya berada. Aroma khas rumah sakit menyengat hidungnya. Infus terpasang di tangannya, dan tubuhnya terasa begitu lemah, seolah hanya tersisa separuh jiwa dalam dirinya.Kemudian, ingatan itu kembali.Darah.Rasa sakit.Jeritan yang tidak terdengar.Tangannya perlahan bergerak ke perutnya yang datar.Tidak…Tidak mungkin…Matanya membelalak saat kepanikan merayapi tubuhnya. Nafasnya memburu, jantungnya berdegup kencang. Dia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya menolak. Air matanya mulai menggenang di sudut mata.“Bayi…” suaranya hampir tak terdengar. “Bayi ku…”Maria, yang sejak tadi duduk di sudut ruangan, segera menghampirinya dan menggenggam tangannya dengan erat. “Janeetha… aku di sini.”
“Dasar bajingan! Pergi kau!”Dikara tersentak.Suara itu begitu familiar, mengandung kemarahan yang meledak-ledak. Sebelum ia bisa sepenuhnya mengangkat kepalanya, seseorang sudah menarik kerah bajunya dengan kasar, hampir membuatnya terjatuh dari kursi.Fabian.Pria itu berdiri di depannya dengan wajah merah padam, tatapan penuh kebencian terpancang kuat di matanya. Napasnya memburu, dadanya naik turun seolah menahan emosi yang hendak meledak.“Sudah cukup kau menghancurkan hidupnya! Apa kau belum puas?!” Fabian menggeram, suaranya bergetar oleh amarah. “Dia hampir mati, Dikara! Kau dengar itu? HAMPIR MATI karena kau!”Dikara hanya menatapnya, matanya kosong.Jika ini terjadi beberapa bulan lalu, ia mungkin sudah membalas Fabian dengan kepalan tangan. Ia mungkin sudah melayangkan tinju ke wajah pria itu tanpa pikir panjang.Tetapi malam ini… tidak ada amarah dalam dirinya. Hanya keham
Setelah semalaman berjaga, Dikara berdiri dengan tubuh tegang di depan ruang ICU, menunggu dokter yang baru saja masuk untuk memeriksa Janeetha. Begitu juga Maria dan Sam.Pikiran pria itu berkecamuk, memutar kembali kejadian-kejadian yang telah terjadi. Keguguran. Trauma. Janeetha telah kehilangan bayinya. Anak mereka.Suatu kenyataan yang menghantamnya tanpa ampun.Pintu ICU terbuka, dan Dokter Arief melangkah keluar dengan ekspresi lebih tenang dari sebelumnya. “Kondisinya mulai stabil. Jika tidak ada komplikasi lain, kami akan memindahkannya ke ruang perawatan dalam beberapa jam.”Dikara mengangguk pelan, meskipun perasaannya masih berantakan.Maria, yang berdiri tak jauh darinya, bersedekap dengan tatapan tajam. “Bagus. Itu artinya kau tak perlu di sini lagi.”Dikara menoleh, menatap Maria dengan pandangan dingin. “Aku akan tetap di sini.”Sam, yang berdiri di samping Maria, mendengus sinis. &l
Maria menatapnya penuh kebencian. “Kau tidak bisa mengambilnya kembali begitu saja.”Dikara menatapnya sejenak, lalu perlahan berjalan mendekat.“Aku tidak mengambil apa pun.” Suaranya rendah, tetapi ada nada mengancam di dalamnya. “Aku hanya datang untuk menjemput istriku.”Maria mengepalkan tangannya, sementara Sam berdiri lebih dekat di sampingnya.Di balik pintu ruang operasi, Janeetha sedang berjuang antara hidup dan mati.Suara alat-alat medis yang berbunyi nyaring, berpadu dengan suara dokter dan perawat yang berusaha menyelamatkan dua nyawa sekaligus.Tubuh Janeetha terbaring tak berdaya di atas meja operasi, darah masih mengalir dari tubuhnya meskipun tim medis sudah berusaha menghentikannya.Dokter yang bertugas berdiri di dekat kepala Janeetha, menatap monitor dengan rahang mengatup rapat. “Tekanan darahnya turun drastis! Beri tambahan cairan!”Seorang perawat buru-buru
Malam semakin larut, hujan turun perlahan di luar jendela klinik kecil itu. Di dalam ruangan yang remang, Janeetha terbaring dengan tubuh lemah, wajahnya pucat pasi. Napasnya pendek dan tersengal, sementara tangannya menggenggam erat sprei ranjang seakan mencoba menahan rasa sakit yang semakin menggigit perutnya.Maria duduk di sisi ranjang, memegang tangan Janeetha dengan erat. Sam mondar-mandir di ruangan dengan wajah tegang, sesekali menoleh ke arah dokter Arief yang sedang memeriksa tekanan darah Janeetha.Beberapa waktu lalu Janeetha kembali mengeluh kesakitan dan tampak lebih parah dari sebelumnya karena itu Sam segera memanggil dokter Arief.Tiba-tiba, tubuh Janeetha menegang. Napasnya memburu, dan bibirnya mengeluarkan erangan tertahan sebelum tubuhnya mulai bergetar hebat.“Maria… sakit…” Suaranya nyaris tidak terdengar.Maria langsung menegang, sementara Sam menghentikan langkahnya dan bergegas mendekat.&
Sam memapah Janeetha keluar dari rumah persembunyian mereka. Langkah Janeetha lemah, tubuhnya nyaris limbung jika saja Sam tidak menggenggamnya erat.Maria berjalan cepat di depan, sesekali menoleh dengan wajah tegang. Mereka tahu mereka tidak bisa sembarangan ke rumah sakit besar—terlalu berisiko.“Kita harus menemukan tempat yang aman untuk memeriksanya,” gumam Maria sambil melihat layar ponselnya. “Ada sebuah klinik kecil di pinggiran kota. Aku punya kenalan di sana. Dia bisa membantu tanpa terlalu banyak bertanya.”Sam mengangguk tanpa ragu. “Ayo.”Mereka menaiki mobil tua yang telah disiapkan Maria sebelumnya. Sam duduk di belakang bersama Janeetha, memastikan kepalanya bersandar nyaman di bahunya. Wanita itu tampak semakin pucat, bibirnya sedikit gemetar akibat kehilangan darah.“Bertahanlah,” bisik Sam pelan.Janeetha hanya mengangguk lemah, matanya mengerjap samar. Setiap detik ya
"Ya Tuhan, Janeetha!" Maria buru-buru melangkah keluar, mendekat dengan wajah panik. Tatapannya langsung tertuju pada wanita itu yang hampir tidak bisa berdiri tanpa dukungan Sam. "Apa yang terjadi?"Sam menghela napas berat. "Dia terluka, tapi dia menolak untuk mendapatkan pertolongan medis."Maria mengumpat pelan sebelum meraih lengan Janeetha dengan lembut, mencoba menuntunnya masuk. "Kita tidak bisa membiarkanmu dalam keadaan seperti ini. Kau butuh dokter.""Tidak," gumam Janeetha lemah, meskipun tubuhnya sudah hampir tidak bisa menahan rasa sakit yang semakin tajam di perutnya. "Kita tidak bisa pergi ke rumah sakit. Dikara pasti akan menemukanku."Maria mengatupkan rahangnya dengan frustasi. "Dan kau pikir apa yang akan terjadi jika kau mati di sini?!" suaranya sedikit meninggi. "Ini bukan tentang Dikara lagi, Janeetha. Ini tentang kau. Tentang nyawamu!"Janeetha menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi yang bercampur dengan rasa sakit. Ia s
Sam membantu Janeetha memasuki sebuah mobil kecil yang mereka dapatkan dari seseorang yang bersedia mengantarkan mereka ke luar kota dengan imbalan cukup besar.Pria paruh baya yang mengemudikan mobil itu tidak banyak bicara—hanya sesekali melirik ke arah mereka melalui kaca spion dengan ekspresi waspada.Duduk di kursi belakang, Janeetha bersandar lemah pada jendela. Napasnya pendek-pendek, dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya meskipun udara di dalam mobil terasa dingin. Sam, yang duduk di sampingnya, tidak bisa lagi menyembunyikan kegelisahannya."Janeetha, kau harus bilang apa yang sebenarnya terjadi," ujar Sam pelan, tapi dengan tekanan yang jelas.Janeetha mengerjap, mencoba menegakkan tubuhnya, tapi rasa sakit yang menusuk perutnya semakin menjadi. "Aku baik-baik saja," gumamnya, meski suaranya hampir tak terdengar.Sam tidak lagi percaya. Tadi di terminal, dia melihatnya berdarah—dan itu bukan sesuatu yang bisa diabaika
Angin dingin menusuk kulit saat Janeetha turun dari bus dengan langkah goyah. Hujan gerimis masih turun, membuat jalanan becek dan licin.Sam berjalan di sampingnya, sesekali melirik dengan khawatir. Wajah Janeetha pucat, bibirnya tampak lebih kering dari biasanya, dan sorot matanya mengisyaratkan kelelahan yang amat sangat. Sekilas, ia tampak seperti seseorang yang bisa roboh kapan saja.Di sekitar mereka, terminal kecil itu masih cukup ramai meski hari sudah mulai menginjak petang. Orang-orang berlalu lalang dengan jaket atau payung seadanya, beberapa tampak bergegas menuju bus yang siap berangkat, sementara yang lain sibuk berbincang dengan pedagang kaki lima di sekitar area tunggu.Sam menoleh ke Janeetha, kemudian menarik lengannya pelan. “Kita harus cari tempat istirahat sebentar,” katanya, mencoba berbicara selembut mungkin agar Janeetha tidak langsung menolaknya.Seperti yang sudah diduga, Janeetha segera menggeleng cepat. “Tidak