Share

Kau Mencintainya?

Author: DSL
last update Last Updated: 2024-09-10 17:05:11

“Kak Fabian,” ucapnya lirih sedikit keheranan membuat Maura pun segera menoleh ke arah yang sama.

Fabian adalah kakak Maura. Janeetha mengenalnya sebagai pria yang selalu ramah dan penuh perhatian, tetapi Janeetha selalu merasa canggung di hadapannya.

Ada sesuatu pada Fabian yang selalu membuatnya merasa tak nyaman, seolah ada perasaan yang tersembunyi di balik tatapan hangatnya.

"Kak!" Maura menatap kakaknya dengan sedikit terkejut. "Apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak kerja?"

“Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini?” sahut Fabian mencebik membuat Maura membalas dengan hal yang sama.

Janeetha mengulum senyum melihat interaksi kakak adik yang selalu mampu menghiburnya sedari dulu.

Fabian menarik sudut bibirnya sekilas saat melihat teman adiknya itu mulai tersenyum, meski rasa khawatir masih tampak jelas di wajah pria itu.

Perlahan Fabian duduk di sebelah adiknya yang masih menuntut jawaban darinya. "Aku tadi mendengar kau ingin bertemu dengan Janeetha, dan aku... merasa perlu memastikan bahwa semuanya baik-baik saja."

Janeetha terkejut mendengar kata-kata Fabian, kemudian beralih pada Maura.

“Tadi kak Fabian menghubungiku dan ingin mengajakku bertemu perihal pekerjaan, tetapi aku bilang aku ingin bertemu denganmu. Jadi …” Maura tak meneruskan kalimatnya melihat raut wajah Janeetha berubah jengah.

Janeetha memang merasa tidak enak karena merepotkan kedua kakak-beradik itu. Ia bahkan tak pernah tahu bahwa Fabian begitu peduli padanya, sampai-sampai pria itu merasa perlu datang ke kafe ini hanya untuk memastikan keadaannya.

“Kau baik-baik saja?” tanya Fabian menatap lekat ke arah Janeetha.

Tak ingin membuat semua orang khawatir, wanita itu tersenyum samar dan mengangguk. "Ya, aku … baik-baik saja, Kak. Terima kasih sudah khawatir."

Percakapan ketiganya berlanjut dan seiring waktu, suasana menjadi lebih tenang. Maura dan Fabian berusaha membuat Janeetha merasa nyaman, berbicara tentang hal-hal ringan untuk mengalihkan pikirannya dari masalah yang sedang dihadapinya.

Kedua manik Fabian tak lepas dari Janeetha. Sungguh, sejak ia mengenal Janeetha, ia tak berusaha menyangkal jika ia memiliki perasaan pada adik temannya ini.

Saat berencana untuk mengungkapkannya, kabar Janeetha menikah membuat pria itu mengurungkan niatnya dan segera menguburnya dalam-dalam. Meski masih ada hingga detik ini.

Dan mendapati kenyataan Janeetha tak bahagia dengan pilihannya, membuat keinginan Fabian untuk memiliki wanita ini semakin membesar.

Tiba-tiba ponsel Maura bergetar. Ia pun segera mengambilnya dan memasang wajah tidak enak pada Janeetha. “Kepala manajer mencariku. Ia membutuhkan bantuan untuk menyusun proposal rencana untuk proyek berikutnya.”

Janeetha tersenyum sembari menggeleng pelan. “Tak apa. Dahulukan pekerjaanmu. Aku malah merasa telah menganggumu-”

“Hey!” Maura menekuk wajahnya lucu membuat Janeetha tertawa kecil. Ia sudah cukup terhibur dengan kehadiran dua kakak beradik ini. “Kalau ada apa-apa hubungi aku!”

Janeetha mengangguk lalu Maura memeluknya erat sebelum temannya itu pamit, meninggalkan dirinya dengan Fabian. Janeetha bahkan baru tersadar akan hal itu.

Janeetha menunduk, menyembunyikan kegelisahan yang terus merambat di dadanya.

Ruang yang tadinya penuh dengan percakapan ringan kini terasa sunyi, hanya diisi oleh detak jantungnya yang berdetak tak karuan.

Fabian masih menatapnya, dengan sorot mata yang membuatnya merasa semakin kecil. Bukan karena pria itu menghakiminya, melainkan karena perhatian yang diberikan terasa begitu aneh.

Seolah-olah Fabian peduli padanya lebih dari siapapun. Namun, Janeetha tahu, itu tidak mungkin. Pria itu peduli padanya karena ia adalah teman dari adiknya, bukan?

"Kakak tidak kembali ke kantor?" Janeetha mencoba mengalihkan pikirannya dari kecanggungan yang mulai menyelimuti.

Fabian tersenyum lembut, sebuah senyum yang tak pernah Janeetha lihat dari Dikara selama bertahun-tahun pernikahan mereka. "Tak apa, hari ini aku sudah izin untuk menemanimu."

Janeetha terkesiap, terkejut mendengar perhatian itu. "Kak..." gumamnya, namun suara itu terputus di tengah kalimat. Kebingungan dan rasa tidak percaya menyelinap di hatinya.

"Aku hanya ingin memastikan kau benar-benar baik-baik saja." Suara Fabian begitu lembut, seperti oase yang datang di tengah gurun tandus yang selama ini ia rasakan dalam pernikahannya.

Hati Janeetha kembali terasa teriris mengingat betapa dinginnya Dikara selama ini. Tak pernah sekalipun pria itu berbicara dengan kehangatan seperti ini.

Janeetha mencoba tersenyum, tapi air mata sudah terlanjur menggenang di pelupuk matanya. Ia tertawa kecil untuk menyembunyikan rasa sakit yang menghantamnya, sambil mengusap air matanya dengan cepat. "Maaf, aku hanya terbawa suasana."

Wajah Fabian berubah khawatir. "Kau tak perlu minta maaf," ujarnya, mencoba menenangkan.

Janeetha mengangguk sambil berusaha menahan tangisnya.

Fabian memahami jika suasana ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Ia segera kembali mengalihkan pembicaraan dengan topik-topik ringan.

Sepanjang percakapan, perhatian Fabian tak pernah lepas dari Janeetha, membuat wanita itu semakin jengah.

Di satu sisi, kehadiran Fabian membuatnya merasa diperhatikan, tetapi di sisi lain, ada sesuatu yang aneh dan tidak familiar dari perhatian yang ia terima.

Setelah beberapa saat hening, Fabian akhirnya menarik napas dalam-dalam, seolah mencari keberanian untuk berbicara.

"Janeetha, boleh aku tanya sesuatu yang sangat penting?" tanyanya, kali ini dengan nada serius yang membuat Janeetha merasakan ketegangan menggelayut di udara.

Janeetha mengangguk, meskipun rasa gugup tiba-tiba muncul. "Apa?"

Fabian terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. Lalu, dengan suara pelan namun tegas, ia bertanya, "Apakah kau... mencintai Dikara?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   148. Pergi!

    Ketika Ketika Janeetha membuka matanya, ruangan putih terang menyambutnya. Kelopak matanya terasa berat, tubuhnya lemah, dan ada rasa sakit luar biasa di perutnya.Dia berkedip beberapa kali, mencoba memahami di mana dirinya berada. Aroma khas rumah sakit menyengat hidungnya. Infus terpasang di tangannya, dan tubuhnya terasa begitu lemah, seolah hanya tersisa separuh jiwa dalam dirinya.Kemudian, ingatan itu kembali.Darah.Rasa sakit.Jeritan yang tidak terdengar.Tangannya perlahan bergerak ke perutnya yang datar.Tidak…Tidak mungkin…Matanya membelalak saat kepanikan merayapi tubuhnya. Nafasnya memburu, jantungnya berdegup kencang. Dia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya menolak. Air matanya mulai menggenang di sudut mata.“Bayi…” suaranya hampir tak terdengar. “Bayi ku…”Maria, yang sejak tadi duduk di sudut ruangan, segera menghampirinya dan menggenggam tangannya dengan erat. “Janeetha… aku di sini.”

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   147. Tidak Akan Pergi

    “Dasar bajingan! Pergi kau!”Dikara tersentak.Suara itu begitu familiar, mengandung kemarahan yang meledak-ledak. Sebelum ia bisa sepenuhnya mengangkat kepalanya, seseorang sudah menarik kerah bajunya dengan kasar, hampir membuatnya terjatuh dari kursi.Fabian.Pria itu berdiri di depannya dengan wajah merah padam, tatapan penuh kebencian terpancang kuat di matanya. Napasnya memburu, dadanya naik turun seolah menahan emosi yang hendak meledak.“Sudah cukup kau menghancurkan hidupnya! Apa kau belum puas?!” Fabian menggeram, suaranya bergetar oleh amarah. “Dia hampir mati, Dikara! Kau dengar itu? HAMPIR MATI karena kau!”Dikara hanya menatapnya, matanya kosong.Jika ini terjadi beberapa bulan lalu, ia mungkin sudah membalas Fabian dengan kepalan tangan. Ia mungkin sudah melayangkan tinju ke wajah pria itu tanpa pikir panjang.Tetapi malam ini… tidak ada amarah dalam dirinya. Hanya keham

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   146. Rapuh

    Setelah semalaman berjaga, Dikara berdiri dengan tubuh tegang di depan ruang ICU, menunggu dokter yang baru saja masuk untuk memeriksa Janeetha. Begitu juga Maria dan Sam.Pikiran pria itu berkecamuk, memutar kembali kejadian-kejadian yang telah terjadi. Keguguran. Trauma. Janeetha telah kehilangan bayinya. Anak mereka.Suatu kenyataan yang menghantamnya tanpa ampun.Pintu ICU terbuka, dan Dokter Arief melangkah keluar dengan ekspresi lebih tenang dari sebelumnya. “Kondisinya mulai stabil. Jika tidak ada komplikasi lain, kami akan memindahkannya ke ruang perawatan dalam beberapa jam.”Dikara mengangguk pelan, meskipun perasaannya masih berantakan.Maria, yang berdiri tak jauh darinya, bersedekap dengan tatapan tajam. “Bagus. Itu artinya kau tak perlu di sini lagi.”Dikara menoleh, menatap Maria dengan pandangan dingin. “Aku akan tetap di sini.”Sam, yang berdiri di samping Maria, mendengus sinis. &l

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   145. Kehilangan

    Maria menatapnya penuh kebencian. “Kau tidak bisa mengambilnya kembali begitu saja.”Dikara menatapnya sejenak, lalu perlahan berjalan mendekat.“Aku tidak mengambil apa pun.” Suaranya rendah, tetapi ada nada mengancam di dalamnya. “Aku hanya datang untuk menjemput istriku.”Maria mengepalkan tangannya, sementara Sam berdiri lebih dekat di sampingnya.Di balik pintu ruang operasi, Janeetha sedang berjuang antara hidup dan mati.Suara alat-alat medis yang berbunyi nyaring, berpadu dengan suara dokter dan perawat yang berusaha menyelamatkan dua nyawa sekaligus.Tubuh Janeetha terbaring tak berdaya di atas meja operasi, darah masih mengalir dari tubuhnya meskipun tim medis sudah berusaha menghentikannya.Dokter yang bertugas berdiri di dekat kepala Janeetha, menatap monitor dengan rahang mengatup rapat. “Tekanan darahnya turun drastis! Beri tambahan cairan!”Seorang perawat buru-buru

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   144. Di Ambang Bahaya

    Malam semakin larut, hujan turun perlahan di luar jendela klinik kecil itu. Di dalam ruangan yang remang, Janeetha terbaring dengan tubuh lemah, wajahnya pucat pasi. Napasnya pendek dan tersengal, sementara tangannya menggenggam erat sprei ranjang seakan mencoba menahan rasa sakit yang semakin menggigit perutnya.Maria duduk di sisi ranjang, memegang tangan Janeetha dengan erat. Sam mondar-mandir di ruangan dengan wajah tegang, sesekali menoleh ke arah dokter Arief yang sedang memeriksa tekanan darah Janeetha.Beberapa waktu lalu Janeetha kembali mengeluh kesakitan dan tampak lebih parah dari sebelumnya karena itu Sam segera memanggil dokter Arief.Tiba-tiba, tubuh Janeetha menegang. Napasnya memburu, dan bibirnya mengeluarkan erangan tertahan sebelum tubuhnya mulai bergetar hebat.“Maria… sakit…” Suaranya nyaris tidak terdengar.Maria langsung menegang, sementara Sam menghentikan langkahnya dan bergegas mendekat.&

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   143. Semakin Dekat

    Sam memapah Janeetha keluar dari rumah persembunyian mereka. Langkah Janeetha lemah, tubuhnya nyaris limbung jika saja Sam tidak menggenggamnya erat.Maria berjalan cepat di depan, sesekali menoleh dengan wajah tegang. Mereka tahu mereka tidak bisa sembarangan ke rumah sakit besar—terlalu berisiko.“Kita harus menemukan tempat yang aman untuk memeriksanya,” gumam Maria sambil melihat layar ponselnya. “Ada sebuah klinik kecil di pinggiran kota. Aku punya kenalan di sana. Dia bisa membantu tanpa terlalu banyak bertanya.”Sam mengangguk tanpa ragu. “Ayo.”Mereka menaiki mobil tua yang telah disiapkan Maria sebelumnya. Sam duduk di belakang bersama Janeetha, memastikan kepalanya bersandar nyaman di bahunya. Wanita itu tampak semakin pucat, bibirnya sedikit gemetar akibat kehilangan darah.“Bertahanlah,” bisik Sam pelan.Janeetha hanya mengangguk lemah, matanya mengerjap samar. Setiap detik ya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status