“Fleesia, kau sudah mau jadi ibu tiliku?” tanya Lily di tengah sarapan mereka. Freesia sampai tersedak potongan sosis yang dimakannya. Bukan apa-apa, itu adalah pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya sejak mereka bertemu setelah mandi tadi. Pertama, ketika Lily menjemput Freesia ke kamarnya untuk sarapan. Kedua, ketika mereka baru saja duduk di ruang makan, dan gadis itu duduk sendiri di antara Freesia dan Allen. Dan yang ketiga, yang baru saja terjadi. “Apa kau telsedak kalena kau ingin bulu-bulu menjawab mau?” tanya Lily penuh semangat. Oh, betapa positifnya pikiran gadis kecil ini. Sangat jauh berbeda dengan ayahnya. “Lily, hentikan,” tegur Allen sembari mendekatkan gelas berisi air minum ke arah Freesia. “Jika dia mati karena tersedak, dia tidak akan menjadi ibu tirimu.” Lihat cara pria itu bicara. Seenaknya saja dia menyumpahi Freesia mati tersedak. “Fleesia, jangan mati,” Lily merengek. “Aku tidak akan mengajakmu bicala sampai kau selesai makan.” Freesia segera menegu
Freesia berusaha untuk tidak gugup ketika mereka bertiga ada di ruang keluarga, duduk berhadapan membentuk pola segitiga di karpet ruangan itu. Tentu saja Freesia harus berterima kasih pada dirinya sendiri untuk situasi ini. Karena dia sendirilah yang membawanya pada situasi ini. Memang, Freesia ingin tahu lebih banyak tentang Allen dan Lily, tapi bukan berarti dia ingin tahu karena dia ingin menikah dengan Allen dan menjadi ibu tiri Lily. Ketika Freesia memberikan alasan itu untuk menolak Lily tadi, ia hanya menyebutkan apa yang ada di kepalanya, tanpa memikirkan resikonya. Tentu saja ia tak memikirkan resiko bahwa Allen akan setuju dengan itu. Dan begitulah, mereka bertiga akhirnya berada di ruang keluarga untuk melakukan sesi wawancara untuk satu sama lain dalam proses untuk mengenal lebih banyak tentang satu sama lain. “Aku akan mulai lebih dulu,” cetus Lily dengan riang. “Namaku Lily Woodz. Aku belumul tiga tahun dan sebental lagi, aku akan naik umul.” “Naik umur?” tanya Free
Apa kata Allen barusan? Izin membunuh? “Ti-tidak. Maksudku bukan pekerjaan seperti itu,” jelas Freesia buru-buru. Allen mendengus pelan. “Lalu, izin seperti apa?” Astaga, apa yang Freesia pikirkan? Apa dia barusan menawarkan kerjasama dengan mafia? Neneknya pasti akan membunuhnya. “Ma-maksudku, izin seperti … menjual obat terlarang,” sebut Freesia. “Kau tahu, meski di negara ini dilarang, tapi ada negara-negara yang memperjual belikan beberapa obat terlarang itu dengan bebas. Perusahaanku punya banyak cabang di luar negeri, jadi perusahaanku pasti membantumu tentang itu.” Allen tampak berpikir. “Itu terdengar menarik.” Freesia diam-diam mengembuskan napas lega. “Lalu, penawaran apa lagi yang kau miliki?” tanya Allen. “Well, selain obat, ada juga senjata,” sebut Freesia. “Jika bisa bekerja sama dengan perusahaan keamanan atau pihak militer …” “Aku sudah punya izin untuk jual-beli senjata,” jawab Allen. “Oh …” “Lalu? Kau bisa mendapatkan izin untuk jual-beli anak?” tanya Alle
“Fleesia, apa kau beltengkal dengan Allen?” tanya Lily ketika mereka makan siang, siang menjelang sore itu. Karena tidur Lily tadi sangat lelap, Freesia tak ingin membangunkan Lily meski sudah tiba waktu makan siang. Allen sendiri sepertinya sedang sibuk dengan pekerjaannya. Jadi, siang itu mereka makan siang terlambat. “Kenapa kau berpikir seperti itu?” tanya Freesia dengan nada suara tenang. “Kalena Allen tidak ada ketika aku bangun dan dia tidak makan siang belsama kita,” jawab Lily. Freesia tersenyum kecil pada Lily. “Itu hanya perasaanmu saja. Allen sibuk dengan pekerjaannya. Ketika kita kemari tadi, kudengar dia ada di ruang kerjanya,” beber Freesia. Setidaknya, Freesia tidak berbohong tentang itu. “Oh …” Lily manggut-manggut. “Tapi, apa Allen sudah makan siang?” tanyanya. Freesia menggeleng. “Aku tidak tahu jika tentang itu,” jawabnya. Kali ini pun, Freesia tidak berbohong. Namun kemudian, menjawab pertanyaan Lily itu, sosok Allen muncul di ruang makan. “Allen!” seru Li
“Kau yakin tidak apa-apa kita bermain di sini?” tanya Freesia ketika Lily mengajak Freesia pergi ke arah hutan sambil mengendap-endap dari orang-orang Allen. Freesia tak tahu berapa kali Lily melakukan hal seperti ini, tapi dia begitu ahli mengalihkan perhatian orang-orang Allen ke tempat lain, dan kabur ke arah lain. Sungguh, anak ini sangat cerdas hingga rasanya mengurungnya di rumah ini benar-benar sangat disayangkan. Lily seperti burung yang terkurung di sangkar ketika dia seharusnya terbang bebas dan bisa pergi ke mana saja dan melakukan apa saja. Freesia mengernyit membayangkan masa depan Lily yang mungkin akan seperti hidup Freesia sekarang. Freesia lantas menahan tangan Lily ketika mereka masih tak jauh dari tepi hutan. Lily menoleh pada Freesia, lalu celingukan memeriksa sekitar. Gadis kecil itu lantas menarik tangan Freesia dan membawa Freesia bergeser ke balik pohon di sebelah mereka, seolah membawa Freesia bersembunyi di sana. “Kenapa?” tanya Lily. “Apa kau capek, Flee
“Fleesia,” panggil Lily. Freesia yang masih berjongkok di depan Lily menatap gadis itu. Gadis kecil itu menunjuk ke satu titik di depan sana. “Aku tahu, di sana tidak ada olang, jadi kita bisa belmain di sana. Bagaimana jika kita belmain petak umpet?” ajak Lily. Freesia tersenyum. “Baiklah. Tapi, kau yang jaga, ya?” pinta Freesia. “Kenapa aku?” protes Lily. Karena Freesia tak tahu apa yang ada di sana. Alasan tidak ada orang yang berjaga di sana, pasti ada, kan? Siapa yang tahu jika ada binatang buas di sana? Freesia tidak akan mengambil resiko dengan mengirim Lily ke sana tanpa mengecek keamanannya lebih dulu. “Karena aku benar-benar ingin bersembunyi lebih dulu,” balas Freesia. “Hm … baiklah,” Lily mengalah. “Kau boleh belsembunyi lebih dulu.” Freesia tersenyum. “Terima kasih.” “Baiklah. Ayo kita mendekat ke sana. Aku akan beljaga di dekat sana, lalu kau bisa belsembunyi di …” “Tidak,” tolak Freesia. “Kau berjaga di sini saja.” “Kenapa?” tanya Lily kecewa. Freesia tidak
Allen mendekat pada Freesia dan memeriksa tangan dan kaki gadis itu yang tidak tertutup pakaian. Tidak ada luka. Lehernya juga sepertinya tidak terluka. Namun, begitu Freesia tersadar dari shock-nya, dia langsung berteriak marah pada Allen,“Apa yang kau lakukan?! Tidakkah ini terlalu berlebihan?!”Allen menghela napas. Ia tahu ini akan merepotkan.“Aku yang seharusnya bertanya,” balas Allen. “Apa yang kau lakukan? Apa kau bahkan tahu betapa berbahayanya tempat ini?”“Aku sudah menduga, ada sesuatu di sini,” dengus Freesia kasar. “Apa yang kau sembunyikan di sini? Binatang buas?”Allen mendengus tak percaya. Apa yang harus ia lakukan dengan gadis ini? Dia terus saja menyulut emosi Allen, tapi Allen tak bisa membiarkannya mati dengan mudah.“Binatang buas?” sebut Allen. “Setidaknya kau punya kesempatan untuk melawan. Tapi, apa yang akan kau lakukan dengan ini?” Allen mengangkat tangannya yang terluka. Freesia terbelalak kaget ketika melihat luka gores yang cukup dalam di lengan Allen
Tidak salah Allen memasang strategi ini. Allen tahu, orang itu akan panik dan menggunakan segala cara untuk melindungi dirinya begitu dia terkepung. Karena itu, Allen tadi membawa Lily pergi dulu ke tempat aman sebelum kembali kemari, untuk mencegah orang itu menggunakan Lily. Dan tentu saja, untuk menjalankan perannya seperti yang sudah dia rencanakan. Allen memperhatikan bibir pria itu bergerak, menandakan jika dia berbicara pelan pada Freesia. Entah apa yang ia katakan pada gadis itu. Mungkin, rencananya untuk membawa Freesia pergi dari sana dengan Freesia menjadi sanderanya. Namun, rencana seperti itu tidak akan berhasil. Freesia mungkin adalah gadis polos yang mudah ditipu dan mudah percaya pada orang. Namun, gadis itu tidak akan percaya pada orang yang membahayakan nyawanya. Dan itulah alasan gadis itu memercayai Allen. Karena Allen tidak pernah mengancam nyawanya. Setidaknya, untuk saat ini. Gadis itu mungkin adalah kelinci. Namun, dia tidak takut berteman dengan serigala se