Share

Sang Bangsawan
Sang Bangsawan
Penulis: Hermynee

Chapt 1 : Kerajaan Wealton

Suara rintihan kesakitan terdengar jelas di sebuah ruangan berdiameter panjang terisi penuh oleh sosok-sosok kaum bangsawan yang tengah menyaksikan sebuah pertunjukkan malam itu. Seorang pria yang dituduh sebagai penghianat kerajaan sedang merintih kesakitan sebab Ksatria melayangkan beberapa tusukan pedang pada tubuh pria itu. 

Seorang Duke—kaum bangsawan bergelar tinggi dalam kerjaan itu sedang duduk di sebuah tempat duduk khusus yang telah dipersiapkan untuknya dan juga untuk Duchess—istri seorang Duke. 

“Berani-beraninya mengkhianati Duke!” teriak seorang Baron—atau yang sering disebut ‘Orang bebas’ dalam kerjaan itu, berdiri menyaksikan pemandangan menyegarkan di depannya. 

“Usir saja dia dari Kerajaan! Kalau bisa, suruh dia tinggal dengan manusia kalangan bawah. Jangan sampai dia merusak reputasi Kerajaan Wealton!” imbuh seorang Baroness—pasangan dari beberapa Baron. 

Albert, sang Duke hanya terdiam lalu menyeruput sebuah minuman warna ungu sembari mendengar dan terus menyaksikan bagaimana seorang penghianat itu dihukum. Meskipun banyak sekali Duke di kerajaan itu, namun kedudukan  Albert paling tinggi diantara kaum bangsawan lainnya. Albert bahkan hampir memiliki gelar Lord, tapi ia masih belum semua kriteri, yakni memiliki kekuatan mengendalikan jiwa.

“A-ampun, Duke. Aku mengaku salah, tolong jangan siksa aku seperti ini. Kalau aku terus-terusan di tusuk seperti ini, kekuatan perlindunganku akan hilang perlahan-lahan,” ucap pria itu memohon. 

“Aku akan selalu hormat padamu, Duke. Asal jangan kirim aku ke dunia manusia,” lanjutnya.

Sringgg.... 

“Arrghh...”

Darah segar kembali keluar dari tubuh pria itu. Darah yang sangat banyak itu membuat lantai-lantai ruangan sedikit kotor karenanya.  “Aku serahkan keputusan pada Duke Edgar,” ucap Duke yang lalu menghilang seketika bersama dengan Duchess, sang Istri. 

Edgar Morfin, pria tangan kanan Albert yang semula hanya berdiri diam menyaksikan, kini mengambil alih apa yang telah ditugaskan pada dirinya. Hanya dalam satu tepukan tangan, pria itu sudah mengambil keputusan yang menurutnya tepat. 

Pria yang juga memiliki gelar sebagai seorang Duke itu melangkahkan kaki mendekati pria yang tengah sekarat dengan darah segarnya yang terus mengucur keluar. Ia mengangkat satu tangannya sebagai kode untuk para Ksatria agar berhenti membuat pria itu kesakitan. Pria itu masih bisa bernapas. Bahkan dia masih bisa mengenali wajah seseorang yang berdiri tepat di depannya. 

“My Duke...” lirihnya. 

“Yosefus, aku ada dua pilihan untuk dirimu. Kamu yang kukirim ke dunia manusia, atau kamu yang kubunuh saat ini juga?” 

Pria yang dipanggil Yosefus itu telah putus asa. Akhirnya ia menjawab, “Tolong bunuh aku dengan hormat, Duke.” 

Hanya dalam hitungan detik, tubuh Yosefus hancur menjadi kepulan abu hanya dengan satu tepukan tangan dari Edgar. Betapa kuatnya seorang Count itu. “Tak ada kata hormat untuk seorang penghianat,” ujar Edgar. 

Di lain tempat, seorang pria menatap kejadian itu dari jarak yang cukup jauh. Dia berdiri di belakang barisan para Ksatria lain yang juga ikut menyaksikan kegiatan penghukuman itu. Mata elang menusuknya itu mengarah pada sosok Edgar yang diberi tepuk tangan oleh beberapa kaum bangsawan lain sebab pemikirannya yang bijak dalam mengambil keputusan. 

“Aslan! Duchess memanggilmu! Dia memintamu untuk segera ke ruangannya.” 

Count, seseorang yang memiliki gelar dibawah Duke itu tiba-tiba datang dari belakang pria yang tak lain bernama Aslan. Tanpa banyak bertanya, Aslan langsung melesat pergi untuk menemui istri sang Duke itu. 

Aslan memasuki sebuah ruangan khusus yang tidak sembarang kaum bangsawan bisa masuk ke sana. Ruangan itu khusus Duke sediakan untuk sang Istri. Aslan bukanlah pria yang bertipe pemikir. Jadi, tanpa rasa penasaran maupun rasa cemas, ia langsung memasuki ruangan itu begitu saja. 

Ketika pintu terbuka, ia terkejut melihat Duchess yang berpakaian tidak seperti biasanya. Pakaian itu cukup terbuka menurut Aslan, bahkan sangat terbuka. Aslan hanya menundukkan kepalanya hormat. 

“Hormat, Duchess. Apa yang membuatmu memanggilku?” tanya Aslan dengan sopan santunnya. 

Duchess itu tersenyum lalu mendekati Aslan. Aslan masih tetap diam dengan tatapan datarnya. Tidak ada yang tahu apa yang dipikirkan oleh Aslan. 

“Aslan Forbidden, putra dari seorang Lord terdahulu yang telah lama meninggal karena tuduhan penghianatan dan hanya memberi peninggalan secuil tanah Kerajaan, kenapa kamu berani sekali masuk ke dalam ruang khususku?” tanyanya dengan tatapannya yang mulai aktif memperhatikan setiap lekukan wajah tampan Aslan. 

Aslan bahkan tidak menatap wajah Duchess itu sama sekali. Meskipun banyak sekali kaum bangsawan yang mengatakan bahwa Duchess itu sangat cantik, namun Aslan tetap tidak merasa tertarik. “Maaf, Duchess. Saya hanya mematuhi perintah yang telah disampaikan oleh Count,” jawab Aslan dengan tatapannya lurus ke depan. 

Duchess itu menempelkan jari telunjuknya tepat di bibir Aslan. Hal itu mau tak mau membuat pandangan Aslan beralih menatap wanita yang memiliki postur tubuh lebih pendek darinya. 

“Ssstt... Panggil saja aku Mariana. Kamu bebas melakukan apapun yang kamu inginkan jika di sini. Bahkan... “ Duchess itu menggantungkan ucapannya. Kakinya sedikit berjinjit agar bisa membisikkan sesuatu tepat di telinga kanan Aslan. “Bahkan... Kamu bisa menemaniku minum saat ini juga,” lanjutnya dengan nada bicara aneh. 

Aslan masih tetap saja datar. Ia memundurkan satu langkahnya lalu menunduk hormat kembali. “Hormat, Duchess Mariana. Maaf, saya tidak ingin menjadi penghianat. Jika tidak ada keperluan lainnya, saya akan pergi dari sini sekarang juga,” tutur Aslan tak mengurangi rasa hormatnya sama sekali. 

Duchess yang bernama Mariana itu menatap punggung tegap Aslan yang semakin menjauh dari penglihatannya. Wanita itu bergumam, “Aslan Forbidden, tak akan ada yang berubah padamu. Kamu tetap orang rendahan, dan selamanya akan jadi orang rendahan di sini.” 

***

Bruk... 

Aslan tidak sengaja menabrak seorang pria paruh baya yang memakai pakaian serba hitam dengan sebuah pedang yang terbungkus di tangan kirinya. Aslan menunduk hormat kembali dan meminta maaf atas perbuatannya. “Hormat, Duke. Maaf saya tidak sengaja.” 

Seorang Duke itu mengangguk sembari menunjukkan senyum lebarnya hingga menampilkan gigi putihnya yang berderet rapi. Ia menatap keadaan sekeliling, lalu ia mengernyitkan dahinya ketika mengetahui Aslan yang baru saja keluar dari ruangan khusus Duchess. 

“Apa yang kamu lakukan di kamar Duchess, Aslan?” tanya pria itu membuat Aslan terdiam sejenak. 

“Atas perintah Duchess, Duke.” Jawabnya singkat. 

Aslan sangat menghormati seorang Duke yang mengajaknya berbicara itu. Dia merupakan kaum bangsawan yang sedikit berbeda dari kaum bangsawan lainnya. Ya, mungkin perbedaan khusus dalam memperlakukan Aslan.

“Mau berlatih denganku, Aslan?” tawar pria itu. “Aku baru saja mengambil pedang Taejo-ku, dan belum pernah mencobanya. Maukah kamu menemaniku mencobanya?” tawarnya lagi. 

Raut wajah Aslan masih tetap datar. Kemudian ia mengangguk perlahan sebagai jawaban, “Dengan segala hormat, Paman Damian.”

Pria yang dipanggil Paman Damian oleh Aslan itu tersenyum singkat lalu menepuk pelan pundak kiri Aslan. “Cuma kamu yang berani sebut saya seperti itu. Mari, kita ke ruang percobaan.”

To be continue~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status