Home / Fantasi / Sang Bangsawan / Chapt 2 : Jangan Tatap Mata Merahku!

Share

Chapt 2 : Jangan Tatap Mata Merahku!

Author: Hermynee
last update Last Updated: 2021-11-12 21:38:15

Seorang pria dengan memakai sebuah baju putih dengan kerah yang terpasang sebuah pita warna senada itu berjalan seorang diri menyusuri wilayah kerajaan. Lebih tepatnya, saat ini pria itu tengah menatap para Ksatria sedang berlatih kekuatan pedang mereka.

Edgar, seorang Duke itu mengamati beberapa Ksatria dari pinggir ruangan dengan kedua tangan yang ia lipat di depan dada. Di tengah-tengah Ksatria itu, terdapat Aslan yang juga ikut berlatih dengan pedang kerajaan. Aslan memang tidak mempunyai pedang seperti halnya Ksatria lainnya. Ya, Aslan, entah apa posisi yang tepat untuk dirinya di kerjaan Wealton. 

“Bukankah putra Armor sangat hebat memainkan pedang itu, Edgar?” celetuk seorang pria yang tengah mensejajarkan diri di samping Edgar. Pria itu menatap Aslan yang sedang berlatih di tengah sana bersama dengan Ksatria lainnya. 

Edgar menolehkan kepalanya, menatap seseorang yang berdiri tepat di samping kanannya. Ia kemudian mendengus kecil, lalu kembali mengalihkan pandangannya menatap para Ksatria itu.  “Apa gunanya dia hebat? Kalau status sebagai anak pengkhianat masih berlaku baginya,” ujar Edgar tanpa menatap pria di sampingnya. 

“Kamu benar. Ah, baru-baru ini, aku mendengar kabar kalau kamu menugaskan beberapa Baron untuk membunuh musuh yang sedang sembunyi di dunia manusia. Apakah itu benar?” tanya Damian. 

Pria yang berdiri di samping Edgar adalah seorang Marquess yang bernama Damian. Tetapi, kedudukan Damian hampir setara dengan Edgar, meskipun jarak umur Damian lebih tua dibanding Edgar yang seumuran dengan Aslan. Damian belum sekuat Edgar. 

Edgar menjawab pertanyaan Damian, “Kau benar, Duke. Ada beberapa musuh yang mengawasi kerajaan ini dari dunia manusia. Bahkan aku khawatir ada penyusup di Kerajaan ini.”

“Kamu tidak berniat untuk mengirim Aslan, bukan?” 

Pertanyaan itu sontak membuat Edgar menatap Damian, “Kenapa aku harus mengirimnya? Memang sehebat apa dia? Ah, yang benar saja,” ujarnya sembari tertawa remeh. 

Damian memilih untuk tidak menjawab. Kemudian, pria itu malah menampilkan senyuman misteriusnya dan kembali menyaksikan seorang Aslan yang dengan tenang berlatih di tengah ruangan itu. 

Sriingg.... 

Suara pedang yang saling bersentuhan terdengar jelas di seluruh penjuru ruangan besar itu. Edgar dan Damian masih menyaksikan berlatihnya para Ksatria. Para Ksatria itu diwajibkan untuk tidak menggunakan kekuatan pedang mereka. Mereka hanya menggunakan murni dari kekuatan fisiknya. 

“Bravo, Robert! Aku memang tidak pernah menyesal karena sudah memilih kamu jadi pimpinan Ksatria,” ucap Edgar tiba-tiba seraya bertepuk tangan dan mendekat ke arah seseorang yang baru saja dipujinya. 

Semua Ksatria di sana menoleh-menatap ke arah Robert yang sedang membenarkan sedikit rambut mencuatnya, tak terkecuali Aslan. Alhasil, pelatihan pedang kali ini berakhir. Sementara Robert tengah merendahkan tubuhnya sebagai bentuk penghormatannya pada seorang Marquess yang baru saja memujinya. 

“Hormat, Duke. Aku tidak akan mengecewakanmu.”

“Bagus, Robert,” ucap Edgar yang lalu pandangannya beralih menatap Aslan. Edgar melihat wajah rupawan Aslan yang pelipisnya dipenuhi dengan keringat. “Kamu? Kenapa kamu ikut berlatih dengan Ksatria? Apa kedudukan kamu di sini?” tanyanya. 

Aslan hanya diam di sana. Para Kesatria lain pun menatap dirinya. 

“Maaf, Duke. Aku juga tidak tahu mengapa aku berada di Kerajaan ini,” ujar Aslan seadanya, dengan pancaran raut wajah dinginnya.

Edgar mendengus sedikit kesal. Ia bergumam sangat pelan, “Dasar tidak punya malu!” 

“Bersiap semua! Kerajaan Jovanka menyerang!”

Baik Edgar, Damian, maupun Aslan dan beberapa Ksatria di ruangan itu pun segera bergegas keluar dari ruangan setelah mendapatkan kabar dari seorang Baroness. Semua orang telah keluar, dan hanya menyisakan Aslan di sana. Entah apa yang dipikirkan pria itu, namun ia bisa mendengar suara teriakan-teriakan, suara darah yang memuncrat keluar, dan suara pedang maupun dahsyatnya perpaduan kekuatan. 

“Jika aku keluar sekarang, mungkin Kerajaan tidak akan aman. Mereka bukan ke sini tanpa maksud dan tujuan. Aku harus bergegas menuju ruang Cadris untuk berjaga-jaga,” ucap Aslan. 

Pria bertubuh tinggi tegap itu akhirnya berjalan menyusuri kerajaan dan segera menuju ke ruang yang dimaksudkannya. Ia berjalan sangat tergesa. 

Seperti dugaannya, tidak ada seorang pun di dalam Kerajaan. Mereka semua pasti menuju halaman dan melakukan pertarungan di sana. Aslan bisa mencium bau darah dari dalam Kerajaan dengan indra penciuman tajamnya. 

Ketika telah berada tak jauh dari tempat yang akan ditujunya, Aslan pun melihat tiga orang pria dengan memakai baju kebangsawanan mulai membuka pintu ruang Cadris. Aslan buru-buru sembunyi ketika salah seorang dari mereka menatap kiri dan kanan, mungkin dia memastikan supaya memang tak ada orang yang melihat. 

“Hah... Bau ini. Aku sudah lama tidak mencium bau pedang Lord. Aku ingin memilikinya,” ucap salah seorang pria dengan rambut putih yang diikat tinggi. 

“Jaga ucapanmu, Adheen. Ada seorang Duke di sini,” ucap pria lainnya. 

“Santai saja, Toei. Aku telah mempercayai kalian berdua sepenuhnya. Sekarang, ambilkan aku pedang itu, dan kita akan pergi dari sini setelah aku mendapatkannya.”

“Tapi, Duke. Apa aku tak boleh mengambil benda lain? Seperti, aku ingin menambah kekuatan pengendalian pikiranku dengan ramuan yang ada di atas meja sana.”

Seorang Duke itu tak segan-segan langsung memukul bagian belakang kepala pria yang bernama Adheen. 

“Untuk apa kamu minum ramuan tak berguna seperti itu? Apa kamu tidak tahu bahwa setetes ramuan bisa mempengaruhi jiwamu?” sinis Duke itu. 

“Sudah ku bilang Adheen, kamu tidak perlu menambah kekuatanmu. Hanya dengan kita berada di pihak Duke, kita sudah punya lebih dari kekuatan yang kita inginkan.” Sahut Toei. 

Seorang Duke itu merasa tersanjung dengan apa yang baru saja dikatakan oleh bawahannya. Ia berkata, “Kamu memang selalu pintar seperti biasanya, Toei. Sekarang, kalian berdua cepat ambil pedang itu!” 

Toei dan Adheen memajukan tubuhnya, melangkah di atas karpet merah, dan segera mungkin mereka akan meraih sebuah pedang yang menyala-nyala mengeluarkan cahaya hitam dan merah. 

Ketika Toei dan Adheen hendak memegang pedang itu, tiba-tiba tubuh mereka mendadak kaku tak bisa digerakkan. Toei dan Adheen terkejut, hanya bola mata dan mulut mereka yang masih berfungsi saat ini. 

“T-Toei, a-apa kau merasakan yang sama sepertiku?” tanya Adheen dengan manik matanya bergerak melirik Toei yang ada di samping kirinya. 

“K-kau benar, Dheen. S-siapa yang melakukan ini?” desisnya pelan. 

“Hei, kalian! Kenapa kalian ini? Ayolah cepat ambil pedang itu. Kenapa kalian lama sekali?” cicit seorang Duke yang masih berdiri dan menunggu bawahannya itu untuk segera mengambil benda incarannya. 

“Toei, a-aku merasa jiwaku dikendalikan. A-aku merasa tubuhku beku, otakku memanas, dan darahku seperti terbakar. A-apa yang terjadi denganku? A-aku tidak mau mati sekarang. Aku belum siap.” Panik Adheen. 

“Sudah ratusan pertarungan aku lalui, dan aku belum pernah merasakan tubuh sesakit ini. Bahkan tanpa disentuh oleh siapapun. Apakah Duke kita yang melakukan ini?”

“T-tentu tidak, Toei. Duke tidak akan pernah melakukan ini pada kita. Dia tidak mempunyai kekuatan sebesar ini.”

“Lalu.... Siapa yang punya kekuatan sebesar ini?”

Sriingg... 

Brakk... 

Arghh!!... 

Aslan memasuki ruangan itu dan langsung menggoreskan pedangnya ke arah lengan kiri seorang Duke yang berdiri membelakanginya. 

“S-siapa kamu?” Seorang Duke dari Kerajaan lain itu menatap Aslan dengan cemas. 

Aslan hanya menatap pria itu sekilas. Kemudian ia beralih pada kedua pria yang masih mematung di depan pedang Artois, pedang yang sengaja dijadikan pajangan di sana sebab itu merupakan pedang turun temurun yang hanya boleh digunakan bila ada suatu hal besar yang terjadi. 

“Jangan bergerak! Katakan siapa dirimu! Berani-beraninya kamu melukaiku!” teriak Duke itu seraya mencoba untuk melayangkan sihir pada Aslan yang berjalan membelakangi dirinya, sehingga Duke itu tidak bisa melihat wajahnya. 

Tanpa ada perlawanan apapun, sihir itu sama sekali tidak mengenai tubuh Aslan. Aslan masih tetap berjalan mendekati kedua pria itu. Ketika Aslan telah berada di depan mereka berdua, Aslan pun membuka suaranya. 

“Jangan alihkan pandangan kalian! Jangan tatap mataku!”

Kedua pria itu hanya menatap baju yang Aslan pakai. 

“A-apa maksudmu? M-mengapa aku tidak boleh menatap matamu?” tanya Adheen. 

“Jangan pernah tatap mata merah ku, atau kau akan binasa saat itu juga!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sang Bangsawan   Chapt 15 : Monster

    Aslan berada di barisan paling belakang. Ia melirik ke arah Peter yang membawa teropong untuk mengamati keadaan sekitar. Sedangkan Felco tetap tenang melakukan perjalanan. Lalu Johnny dan Shelly sibuk dengan peta, dan Angela malah berceloteh tak karuan seorang diri. "Kurang ajar si Albert. Berani-beraninya dia menyiksa aku dengan perjalanan memuakkan ini." Angela kesal dengan bebatuan licin yang bisa menjebak orang. "Aku juga tak terlalu paham, mengapa dia melakukan ini dengan kita? Tak cukupkah kita hanya langsung berperang dan pulang dengan kemenangan?" Felco menyahuti, punggung pria itu sedikit membungkuk karena sebuah ransel berisi barang berharga yang dibawanya. "Ini tidak semudah yang kita kira. Aku.... " "AWAS!" Peter berteriak karena mendapati sebuah sihir berwarna merah menyala hampir mengenai kepala Angela jika Johnny tak segera menariknya. Angela membulatkan mata, itu adalah sihir yang bisa merubah wujud bangsawan. "Sihir apa itu?" tanya Peter setelah sihir itu meng

  • Sang Bangsawan   Chapt 14 : Perjalanan Menuju Jovanka

    Semua bangsawan yang telah terpilih untuk melakukan perlawanan diam-diam ke kerajaan Jovanka pun berkumpul tepat di halaman depan kerajaan. Para bangsawan memakai pakaian berbeda-beda khas sesuai dengan kedudukannya. Aslan memakai baju serba hitam dilapisi beberapa tameng yang terbuat dari baja. Sebuah pedang perang tak luput dari genggaman tangannya. Diliriknya Shelly yang berdiri memimpin di depan dengan gagah ala dirinya. Tak terlihat sama sekali bahwa Shelly gadis yang menyebalkan. Mulai dari kelompok pertama hingga keempat telah mendapatkan kendaraan masing-masing untuk sampai ke sana. Ada yang mendapatkan beberapa kuda, ada juga yang mendapatkan kuda beserta kusirnya, bahkan ada yang mendapatkan karpet terbang. Cukup membuat Aslan terheran, sebab Aslan tak tahu apa yang direncanakan oleh Albert. Shelly memperhatikan Albert yang tengah mengarahkan sihir ke awan. Betapa terkejutnya Albert memberikan kelompok Aristokrat sebuah pintu rotan. Aslan pun sukses mengerutkan kening, "Pi

  • Sang Bangsawan   Chapt 13 : Arsitokrat

    Shelly menggelengkan kepalanya cepat. “Bukan. Akan ada kendaraan yang membawa kalian ke sana. Dan setiap kendaraan ditentukan dari nama kelompok yang kalian tetapkan. Aku juga tidak tahu mengapa Duke Albert membuat peraturan seperti itu. Bisa jadi itu meringankan kalian buat sampai ke sana, atau malah itu bisa jadi tantangan buat kalian sampai ke sana.”“Kenapa Duke Albert melakukan itu pada kita?” Angela terkejut mendengar penuturan Shelly. “Aku tidak terima kalau gara-gara kendaraan kita jadi kesusahan buat sampai ke sana.”“Sudahlah. Sebaiknya tetapkan dulu nama kelompok kita. Mungkin, nama kelompok memang bisa mempermudah kita saat melakukan misi nanti. Kita bisa bertelepati jika jarak kita sama-sama berjauhan,” ujar Johnny yang bisa diterima oleh akal sehat.Shelly melirik ke arah Aslan yang ternyata menampilkan mimik wajah serius. Mimik wajah itu baru pertama kali Shelly lihat. Shelly berpikir, apakah Aslan s

  • Sang Bangsawan   Chapt 12 : Lipstick

    Aslan tak begitu yakin dengan rencana yang Johnny buat. Tiga hari lagi menuju hari dimana pertempuran akan dimulai. Meskipun begitu, Aslan tetap harus menghargai apa yang direncanakan oleh Baron itu.Di saat bersamaan, muncullah beberapa Duke bersama dengan Albert dan Edgar. Semua yang berada di ruang khusus pun menoleh ke arah bangsawan berkedudukan tinggi itu. Aslan juga melihat adanya Shelly di sana."Perhatian! Lima Duke ini yang akan menjadi pengampu kalian di tiap kelompok. Saya serahkan pada setiap Duke untuk memilih kelompok yang diinginkan." Edgar memberi pengarahan pada lima orang Duke yang berdiri berdampingan.Shelly menyeringai, lantas secepat kilat ia milih kelompok lima untuk menjadi bawahannya. Gadis itu memposisikan dirinya duduk di samping Aslan yang sedari tadi hanya terdiam. Sebuah bisikan pun keluar dari mulut gadis itu, "Kau harus patuh padaku, Aslan!"Aslan me

  • Sang Bangsawan   Chapt 11 : Permulaan Strategi Perlawanan

    Angela sedari tadi menatap ke arah Johnny, seorang Baron yang sungguh tampan, melebihi ketampanan Albert. Sementara Felco hanya berekspresi datar, sama halnya dengan Peter yang sedari tadi mengatupkan bibir rapat. Sampai pada akhirnya Johnny pun memulai percakapan di kelompok lima itu."Aku yang akan memimpin." Tanpa rasa ragu, Johnny mengatakan kalimat tersebut dengan lantang.Peter menoleh, "Bukankah Baron Felco lebih pantas?"Angela pun menyahuti. Sembari menggelengkan kepala tak setuju, ia menolak tegas ucapan Peter, "No! Baron Felco itu sudah berumur, tak mungkin kekuatannya masih sama seperti kita.""Bukankah dia lebih berpengalaman dari pada kita?" Peter lagi-lagi membantah.Terlihat Johnny yang menghela napasnya, "Tak semua orang tua itu berpengalaman. Lihatlah Duke Edgar, dia masih muda tapi sudah menjadi tangan kanan Lord."Kini Peter tertawa remeh mendengar penuturan Johnny. "Cih, siapa yang kau panggil dengan se

  • Sang Bangsawan   Chapt 10 : Menjadi Bagian Kelompok

    "Aslan?!?" Semua pasang mata tertuju pada Aslan yang mematung di tempat. Pasalnya, ia sama sekali tak pernah melempar namanya ke bola magis itu. Namun, dengan anehnya bola itu memilih namanya. Dengan ragu Aslan melangkahkan kakinya perlahan. Bisik-bisik yang mereka katakan di samping kanan kirinya, dapat ia dengar dengan sangat jelas. Akan tetapi, bukan Aslan namanya kalau dirinya mengindahkan seluruh bisikan itu. Kini pria itu telah berdiri di samping Baron yang bernama Johnny. Tubuhnya hampir setara dengan Aslan. Yang membedakan ialah, warna kulit Johnny sedikit lebih cerahan dibanding Aslan yang pucat. Albert dan Edgar menatap penuh benci pada Aslan yang berdiri tak jauh dari mereka. Terutama Edgar, tangannya mengepal kuat, sorot kebencian pun tercetak jelas di kedua matanya. Sementara Aslan masih bersikap dingin dan mencoba untuk tetap tenang. Dari tempatnya berdiri, ia menangkap sosok Damian di tangga aula yang tengah tersenyum misterius ke arahnya. Aslan mengernyit, tak b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status