Share

Adi Terjebak

Sesudah turun dari kendaraan umum yang membawaku pulang, dengan tergesa setengah berlari aku menuju rumah. Sumi terlihat duduk di teras asik merapihkan barang belanjaan, sepertinya dia juga baru sampai. Terlihat pintu masih terkunci. Melihat aku sudah pulang Sumi menyambut, ada terbersit rasa heran di wajahnya.

"Bang, kok pulangnya, cepat? Memangnya tidak antar barang?" tanya Sumi lembut. Bukannya menjawab aku malah bertanya tentang uang yang di amplop. Sumi tertunduk menjawab pelan bahwa uangnya sudah terpakai untuk membeli perlengkapan bayi dan di pinjam Tini.

"Aduh ... sudah abang bilang di amplop jangan dipakai! Memang kurang uang yang di ATM, Sum?" Dengan suara keras aku bertanya pada Sumi, sedangkan Sumi menahan tangis menjawab, "Tadi aku suruh Tini terlebih dahulu ambil uang di ATM, tapi tidak ada saldonya bang. Aku pikir pakai uang di amplop saja nanti diganti dengan gaji abang."

"Akhhhh ... aku menjambak rambut, bingung harus bagaimana. Ucapan pak Steven selalu terngiang yang mengatakan jiwaku sudah terikat dengan junjungannya. Kini aku hanya bisa terduduk lemas di lantai tidak memperdulikan Sumi yang terus bertanya.

"Sekarang sisa uangnya di mana, Sum?" tanyaku setengah berteriak karena kegalauan hati dan pikiran.

"Sisa sepuluh juta bang. Masih ada di lemari." Sumi menjawab sambil menyeka air mata dengan ujung jilbabnya. Kekhawatiran menjadi saat mendengar nominal sisa uang tersebut, pikiran bertambah kalut  dapat uang dari mana untuk menggantinya. Padahal aku sudah bilang pada Pak Steven untuk mengembalikan uang tersebut sekarang. Segera kuraih kunci yang terletak di meja dan membuka pintu rumah, berniat mengambil sisa uang tersebut lalu mengembalikannya.

Ketika hendak melangkah masuk ke kamar, terdengar suara napas memburu seperti hewan, tetapi begitu berat juga diselingi ringkikkan kuda. Dengan perlahan aku membuka pintu kamar, tetapi tak tampak apapun. Lemari dan kasur yang hanya ada di dalam kamar. Lemari terbuka setengah, sepertinya tadi Sumi menutupnya tidak rapat. Amplop yang berisi sisa uang juga diletakkan begitu saja, segera aku raih amplop tersebut, tetapi keanehan kembali terjadi asap berwarna kehijauan menyelubungi. Amplop yang aku pegang terasa panas serta beraroma seperti kotoran manusia. Semua tak kuhiraukan, bergegas tanpa pamit ke Sumi aku berangkat menuju perusahaan, meninggalkan Sumi dengan pandangan heran bercampur sedih.

Rasa tak sabar mulai menggelayuti hati, setelah sekian lama menunggu angkutan umum belum lewat juga, hingga sebuah truk berwarna hijau berhenti. Pintu terbuka, seraut wajah yang kukenal muncul dan berteriak menyuruh segera naik, walau sebenarnya enggan akhirnya aku memutuskan menuruti perintahnya.

"Sembrono kamu, Di!" Suara khas Mas Gondo langsung menyambut saat duduk di dalam truk. Aku memandang Mas Gondo menunggu  melanjutkan perkataan nya karena wajahnya terlihat geram, tetapi malah sebaliknya dia terdiam menunggu jawabanku.

"Maksud Mas, bagaimana? Perusahaan apa itu sebenarnya, kenapa orangnya aneh-aneh. Aku mau berhenti dari tempat mengerikan itu!" ucapku dengan nada tinggi. Mas Gondo menarik napas panjang, menghentikan kendaraan dan berkata kini suaranya sedikit melembut, "Terlambat, kamu harus turuti semua aturan perusahaan atau jiwamu, jiwa istrimu, bahkan jiwa anakmu yang belum terlahir, terancam dengan kematian mengerikan."

Aku tersentak mendengar ucapan mas Gondo. Jujur aku merasa ragu mana mungkin orang-orang di perusahaan tersebut bisa membunuh keluargaku, tetapi ucapan Mas Gondo selanjutnya, membuat pikiran dan hati jadi tercekam.

"Kamu tahu, Di. Berapa usiaku? Pasti kamu mengira tiga puluh atau empat puluh tahunan. Tidak salah, tetapi itu usia saat pertama kali mengenal mereka yang tak terjamah," ucap Mas Gondo sambil matanya menatap kosong kedepan.

"Lalu, berapa usia Mas Gondo sebenarnya? Siapa yang di maksud tak terjamah?" tanyaku bingung. Mas Gondo menatap ke depan, pandangannya seakan mengawang, mengingat kejadian masa lampau. Rambutnya yang ikal dijambak dengan kedua tangan lalu menarik napas panjang menatapku dan berkata, "Masih ingat, Yudhis, Di? Dia adalah kakekku sekaligus yang membuat aku terlibat serta tak bisa lepas dari mereka, juga iblis junjungannya."

Aku terperangah mendengar ucapan Mas Gondo. Pantas wajah Yudhis dan Mas Gondo mirip yang membedakan jabatan mereka di perusahaan setan itu. Mendengar penjelasan dari Mas Gondo bagai seorang pendongeng menceritakan kisah horor dan misterius.

"Aku sudah lupa usiaku sebenarnya yang jelas waktu peristiwa pemberontakan sekelompok orang untuk mengganti landasan dasar negara ini, aku sudah beristri dan mempunyai dua orang anak balita yang lucu-lucu. Kamu tahu kan Di, sekarang tahun 2000 berarti sekitar 33 tahun lalu dan aku masih sehat muda seperti ini. Waktu itu aku tidak tahu kalau Yudhis adalah Bapak dari Ibuku karena tampak lebih muda dari usia sebenarnya. Dia menjebak dengan mengatakan jika ingin selamat dari ancaman pembunuhan orang-orang tersebut, harus ikut bergabung ke perkumpulan yang diikutinya. Sialnya aku menyetujuinya. Benar aman dari gerombolan pemberontak, tetapi kematian mengerikan dialami keluargaku. Awalnya anak yang sulung selalu berteriak saat melihat Yudhis datang. Dia bilang wajah Yudhis mengerikan, berlumuran darah. Aku dan istri menyangka hanya candaan semata. Hingga ke esokan hari ...." Mas Gondo terdiam sesaat air mata terlihat mengalir di pipi, tangannya pun mengepal seperti menahan amarah dan kesedihan.

Aku memegang bahu Mas Gondo berusaha menenangkan. Mas Gondo menatapku lalu kembali berkata, "Anak sulungku menghilang, baru beberapa hari kemudian ditemukan mengambang di sungai yang tidak jauh dari rumah. Tak pernah aku memikirkan hal-hal aneh.  Namun, suatu hari Yudhis mengatakan bahwa anak sulungku mati dibunuh karena dia mempunyai kekuatan melihat sesuatu yang ghaib yang akan menjadi penghalang untuk menjadikan aku bagian mereka. Aku tak bisa melawan karena aku sempat meminum cairan ajaib mereka serta telah memakai uang yang di berikan Yudhis, dan kamu tahu, Di. Selang seminggu kemudian Lasmi istriku juga mati, tergantung di pohon belakang rumah, sedangkan si Ragil anak bungsuku tubuh kecilnya di temukan tercabik-cabik di dapur. Itu semua karena aku menolak menjadi bagian dari mereka."

Jantung rasanya berdenyut lebih cepat mendengar penjelasan Mas Gondo. Bibir tak berhenti mengucapkan kalimah Allah. Sedangkan Mas Gondo beberapa kali mengusap mata serta menghembuskan napas yang rasanya seperti berat ditahan. Tiba- tiba Mas Gondo berteriak keras, menangis tersedu-sedu lalu tertawa terbahak-bahak. Begitu dalam sakit yang dirasa hingga dia seperti itu.

Aku merengkuh bahu Mas Gondo kembali. Namun, Mas Gondo malah menepis tanganku lalu mengeluarkan sebotol minuman keras dari dalam tasnya, meneguk dengan nikmat. Mulutnya terus meracau berteriak tidak jelas. Aku hanya bisa mengawasi segala tingkah laku Mas Gondo. Melihat keadaan Mas Gondo yang sudah tertidur karena efek minuman itu, maka aku memindahkan tubuhnya ke kursi penumpang dan menggantikannya menyetir.

Tujuanku adalah tempat yang biasa didatangi Mas Gondo karena memang tidak tahu di mana rumahnya. Mata Mbak Yuli menatap nyalang saat aku sampai dengan Mas Gondo yang tertidur. Setelah meletakkan pria bertubuh besar itu di bangku panjang, aku bergegas hendak pulang ke rumah membawa pergi Sumi. Entah kemana yang penting tidak di kota ini dan jauh dari perusahaan mengerikan itu.

"Mbak, titip Mas Gondo ya. Ini kunci truknya."

Bukannya menyahut Mbak Yuli malah mendekat, sebatang rokok menyala terselip di bibir yang dipoles gincu tebal. Membuka mulutnya seraya mengembuskan asap rokok ke wajahku. Rasa mual mendera, saat aroma asap terhisap. Aku terhuyung dan jatuh ke lantai.

Nginggggg ....

Suara dengungan di telinga membuat aku tersadar. Menemukan diri duduk terikat di sebuah kayu jati kuno. Samar-samar terlihat di hadapan  terdapat dinding kaca pembatas antara ruang satu dengan ruang lainnya. Hampir melompat dari kursi saat pandangan terpaku pada sosok Sumi yang terlihat bingung mondar-mandir sambil mengelus perut buncitnya.

"Sumi, pergi!"

Sumi terus saja dengan sikapnya, sepertinya dia tak mendengar suaraku. Panik aku terus berteriak juga berusaha melepas ikatan, tetapi sia-sia saja semua yang aku lakukan. Tiba-tiba ruangan di mana Sumi berada menjadi gelap. Kekhawatiran semakin melanda. Kini teriakan menjadi tangisan, kecemasan atas kondisi orang tercinta.

Terdengar pintu di belakangku terbuka aku menengok dan melihat tubuh tegap itu lagi. Senyum tipis menghias wajahnya.

"Benar-kan, kamu kembali lagi ke sini, Di," Suara Pak Steven, pemilik tubuh tegap memecah kesunyian.

"Bajingan, kau! Lepaskan istriku, dia tidak tahu- menahu masalah ini!" ucap ku seraya menatap nyalang ke arah pak Steven, tetapi dia hanya tersenyum tanpa menjawab. Setelah mengusap wajahku tiga kali, dia keluar. Meninggalkanku yang terus berteriak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status