Tak sabar rasanya menyampaikan berita ini, ke Sumi-istriku. Pasti dia akan bahagia mengetahui besok aku langsung bekerja di salah satu perusahaan jasa angkutan. Aku terburu-buru melangkahkan kaki, menyusuri jalan menuju rumah sedangkan tangan tergenggam kantong plastik berisi martabak telur sebagai tanda perayaan kecil- kecilan.
Keadaan sekitar rumah sudah terlihat sepi walau jam di pergelangan tangan baru menunjukkan pukul delapan malam. Maklumlah rumah peninggalan orang tuaku terletak di pinggiran kota. Lampu teras terlihat berkedip- kedip pertanda sudah tak layak pakai, dinding sudah banyak yang ambrol di mana-mana. Hmm ... mudah- mudahan aku bisa menabung untuk memperbaiki rumah dan menyenangkan Sumi.
Tok ... tok ... tok!
Suara pintu depan yang diketuk terdengar bergema di keheningan malam. Seraut wajah ayu penuh kesabaran muncul dari balik pintu menyambut dengan senyumnya yang tulus.
"Assamualaikum, Sayang. Maafkan abang, ya, pulangnya malam." Aku mengusap rambut Sumi dan mengecup keningnya setelah mengucapkan salam.
Sumi membalas mencium tanganku dan menjawab,"Waalaykumsallam. Belum begitu malam, kok, bang. Lagi pula aku juga baru menyelesaikan jahitannya Mpok Lela, lumayan ongkos jahitnya buat tambah-tambah biaya persalinan anak kita, bang."
Mendengar perkataan Sumi, aku langsung meraih tubuhnya, merangkul dengan mesra. "Besok abang sudah kerja. Alhamdulillah gajinya cukup besar jadi enggak usah terima jahitan lagi, ya, Sayang. Kasihan dede kalau ibunya terlalu lelah," ucapku seraya mengusap perut Sumi yang sudah mulai membesar di usia kandungan enam bulan. Tampak wajah Sumi bersinar mendengar perkataanku dan mengucap syukur.
Setelah aku membersihkan diri, aku dan Sumi menyantap dengan lahap martabak telur yang kubawa, setelahnya kami tertidur lelap saling berpelukan.
Keesokan Subuh setelah salat aku pun berpamitan untuk memulai pekerjaanku yang baru.
Sebuah truk besar berwarna putih ditunjukkan oleh Pak Wirya---supervisor tempatku bekerja. Truk tersebut yang akan aku kendarai untuk mengantarkan barang-barang customer yang jumlahnya sangat banyak dan untuk sementara selama satu bulan akan diawasi oleh salah satu supir yang sudah berpengalaman untuk menemani perjalanan.
Sosok tinggi besar berkulit legam, berkumis tebal, bernama Mas Gondo di perkenalkan oleh Pak Wirya sebagai rekan kerjaku. Ternyata di balik penampilannya yang sangar Mas Gondo orangnya baik dan ramah. Baru saja kenal, dia sudah mentraktir makan dan membelikan sebungkus rokok filter yang terkenal mahal untuk sekelasku. Mengisap rokok mahal terasa begitu nikmat, sudah lama aku tak merasakan sensasi ini. Kepulan asap memenuhi kepala truk dimana aku kini duduk menunggu Mas Gondo yang sedang menggoda wanita penjaga warung.
"Ayo, Di ... kita lanjut." Tiba-tiba Mas Gondo datang mengagetkan dengan suara beratnya. Wajahnya terlihat ceria. Yah, bagaimana tidak, dia baru bertemu bunga warung yang terkenal dengan keseksian tubuh dan sikapnya yang genit.
Mulai bersiap memegang kemudi truk sempat aku lihat Mas Gondo melambaikan tangan pada Mbak Yuli---si bunga warung.
***
Tak terasa sudah hampir sebulan aku bekerja. Tujuan mengantar atau mengambil barang, bukan hanya dalam kota terkadang sampai ke luar daerah, walau tidak sampai menyebrang pulau. Selama ini, aku dan Mas Gondo bergantian memegang kemudi truk, tetapi lebih sering Mas Gondo yang mengendarainya. Dia bilang serasa menjadi raja jalanan jika sedang di belakang kemudi.
"Di, selesai mengantar barang, truk dibawa pulang kamu saja! Samping rumahmu, kan, luas tuh. Masih ada tanah kosongnya daripada besok kita bolak-balik ke pabrik menghabiskan waktu," ucap Mas Gondo sambil mengisap rokoknya.
"Oh, ya sudah kalau begitu, Mas. Berarti nanti aku turunkan di gang dekat rumahmu, ya Mas," ucapku sambil memainkan gawai mengirim pesan ke Sumi, bahwa aku pulan membawa truk ke rumah.
"Wahaha ... ndak loh, aku turun warungnya si Yuli. Malam ini, aku mau temani dia tidur," ucap Mas Gondo seraya tertawa. Aku hanya tersenyum sambil mengelus dada.
Mas Gondo telah aku antarkan ke tempat tujuan, segera kulajukan kemudi menuju arah pulang. Kebetulan waktu masih sore aku sempatkan mampir ke warung soto Mpok Dyah, membelikan makanan kesukaan Sumi.
Sesampainya di rumah, seperti biasa Sumi menyambut dengan suka cita. Sungguh bersyukur sekali diriku mempunyai istri sebaik dia. Setelah bercakap-cakap dan membersihkan diri, aku bersiap menuju masjid dekat rumah. Sudah lama rasanya tidak sholat berjamaah, di lantai masjid aku bersujud, bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan Sang Pencipta.
****
Malam semakin larut, aku memutuskan pulang setelah sekalian menunaikan sholat Isya dan membaca Al-Quran. Terlihat dari kejauhan rumahku yang jauh dari tetangga terlihat sepi senyap.Truk masih terparkir aman di samping rumah. Pintu rumah terbuka lebar. Tak seperti biasanya Sumi berlaku seperti ini. Sumi takkan membiarkan pintu terbuka saat aku tak ada di rumah. Sekian lama memanggil dan mencari Sumi, tak terlihat keberadaanya. Hanya terdengar suara isak tangisan wanita. Aku berpikir Sumilah yang menangis, segera aku mencari sumber suara tersebut.Ternyata asal suara tersebut dari arah luar rumah. Sesosok wanita berambut panjang tampak duduk jongkok membelakangiku, tanggannya terlihat memeluk roda truk bagian belakang.
"Sumi, Sayang, Ngapain kamu di situ?" Aku bergerak mendekati sosok yang terlihat seperti Sumi, tetapi alangkah terkejutnya aku, saat sosok tersebut membalikkan badannya.
Sosok wanita tersebut terlihat sangat mengerikan, dengan kepala pecah, sehingga otak yang berlumuran darah menghiasi wajahnya yang remuk tak berbentuk lagi. Aromanya anyir berbau busuk.
Aku tersentak mundur ke belakang. Seumur-umur melihat makhluk halus, ya, baru kali ini. Biasanya hanya di film-film horor saja dan ternyata aslinya lebih mengerikan. Kaki terasa gemetar, sebisa mungkin aku membaca ayat-ayat suci karena terasa lidah kelu dan mulut susah terbuka.
Sosok hantu perempuan itu bergerak merangkak mendekati, sedangkan di belakangnya ternyata terdapat makhluk- makhluk yang tidak kalah menyeramkan. Salah satunya berbentuk anak kecil dengan tubuh separuh menunjukkan usus yang terburai keluar.
Rasa mual dan pusing mulai datang saat aroma busuk bercampur amis kembali menyeruak dari makhluk-makhluk tersebut. Aku akhirnya tak sadarkan diri ketika sosok hantu perempuan itu mendekat lalu membuka mulutnya yang dipenuhi belatung berlumuran darah.
Aku tersadar saat cuping hidung terasa panas, serta tercium bau minyak angin. Sayup- sayup ku dengar suara Sumi memanggil. "Bang ... Bang Adi, sadar Bang. Hiks, huhuhuhu."
Pelan-pelan kelopak mataku terbuka, tampaklah wajah Sumi yang berlinangan air mata. Sedangkan di samping Sumi beberapa warga terlihat mengucap syukur melihat aku yang sudah tersadar dari pingsan.
"Apa yang terjadi? Aku dimana?" tanyaku kepada Sumi dan warga.
"Aku beserta warga menemukan abang pingsan di kolong truk. Wajah abang pucat sekali makanya aku segera membawa abang ke klinik," jawab Sumi menatap dengan mata berkaca-kaca. Terlihat sedih.
Setelah dinyatakan sehat, aku pun segera pulang diantar oleh salah satu warga. Sesampai di rumah aku bergidik ngeri saat pandangan terarah ke truk. Apalagi suhu udara malam, membuat semakin dingin dan mencekam. Tangan Sumi segera kuraih memasuki rumah."Tadi kamu kemana, Sayang? Sehabis dari masjid abang cari kamu kemana-mana enggak ada?" tanyaku kepada Sumi sesaat setelah mengganti pakaian."Emmm... anu Bang, besok pagi saja ceritanya ya, sekarang kita tidur," jawab Sumi dengan suara gemetar dan langsung menutupi tubuhnya dengan selimut.Melihat Sumi yang sudah tertidur, aku pun mengikuti, meraih guling dan memeluknya.****"Bang, tolong jangan bawa pulang truk itu lagi, ya," ucap Sumi saat kami sarapan pagi."Emmm, iya Sayang. Oh iya, kok pertanyaan abang semalam, belum dijawab," ucapku seraya bertanya kembali.Sumi langsung menggenggam tanganku dan berkata," Semalam saat abang pamit ke masjid, aku mendengar suara wanita menangis di
Setelah Mas Gondo kembali ke dalam kantor, perlahan aku mendekati truk. Tercium aroma parfum yang begitu menyengat, sepertinya tadi Mas Gondo menyiramkan sejenis minyak yang biasa dijual tukang bunga dekat pemakaman. Saat hendak beranjak terdengar suara rintihan dari kolong truk, walau ada perasaan takut aku memaksakan melongok ke bawah dan aku hanya terpaku saat melihat pria dengan kepala hancur merintih-rintih di sela-sela ban dan kepala truk. Aroma parfum yang tadinya tercium di sekitar truk kini berubah menjadi bau bangkai.Tubuh semakin gemetar tak sanggup berdiri lagi aku tersungkur ke tanah, kala darah tiba-tiba menetes deras dari truk, lalu membanjiri tempatku berada. Kesadaranku hilang."Di, Adi, bangun!" Suara Mas Gondo dan tepukan di pipi menyadarkanku dan langsung memeluk Mas Gondo."Yohh, ngopo koe, Di?" tanya Mas Gondo, seraya melepas pelukanku.Pandanganku menatap sekeliling ternyata aku berada di dalam pos keamanan. Terlihat hari sudah gel
."Mas ... mas kenapa kamu?" Suara seorang pria menyentak lamunan. Pria tersebut menegur karena melihat aku seperti orang ketakutan. Aku menjawab tidak apa-apa. Sehingga membuat pria tersebut tak bertanya lagi, walau mungkin dia tak percaya apa yang aku katakan, setelah sampai tujuan aku bergegas membayar ongkos.Pintu gerbang perusahaan yang terbuat dari kayu jati tebal bercat hitam, menyambut. Dulu pertama kali menjejakkan kaki di tempat ini, sempat berpikir betapa anehnya bangunan di sini, tembok besar mengelilingi sebuah lahan luas yang hanya terdapat bangunan-bangunan kecil berbentuk unik, seperti rumah bergaya tempo dulu di dalamnya. Padahal setahu aku, pabrik ini merupakan perusahaan besar bonafid di penjuru negri, seharusnya bangunan megah dan mewah, tetapi rasa senang karena di terima bekerja membuat aku tak memikirkannya hingga kejadian aneh terus mengikuti.Tiba di pos keamanan aku memberitahukan tujuanku datang, Pak Dino salah satu petugas yang berja
Sesudah turun dari kendaraan umum yang membawaku pulang, dengan tergesa setengah berlari aku menuju rumah. Sumi terlihat duduk di teras asik merapihkan barang belanjaan, sepertinya dia juga baru sampai. Terlihat pintu masih terkunci. Melihat aku sudah pulang Sumi menyambut, ada terbersit rasa heran di wajahnya."Bang, kok pulangnya, cepat? Memangnya tidak antar barang?" tanya Sumi lembut. Bukannya menjawab aku malah bertanya tentang uang yang di amplop. Sumi tertunduk menjawab pelan bahwa uangnya sudah terpakai untuk membeli perlengkapan bayi dan di pinjam Tini."Aduh ... sudah abang bilang di amplop jangan dipakai! Memang kurang uang yang di ATM, Sum?" Dengan suara keras aku bertanya pada Sumi, sedangkan Sumi menahan tangis menjawab, "Tadi aku suruh Tini terlebih dahulu ambil uang di ATM, tapi tidak ada saldonya bang. Aku pikir pakai uang di amplop saja nanti diganti dengan gaji abang.""Akhhhh ... aku menjambak rambut, bingung harus bagaimana. Ucapan pak Steve
Teriakan terhenti saat pandangan menjadi kabur, ruangan penuh asap tipis. Bergulung-gulung membentuk sesuatu di depanku. Memicingkan mata cara terbaik untuk bisa melihat dengan jelas. Ternyata asap tersebut menampilkan peristiwa pembantaian, proses kelahiran, kecelakaan hingga upacara pengorbanan. Aku memandang dengan tubuh gemetar. Tampaknya Pak Steven tadi mengusap wajahku bermaksud memberitahu hal apa saja terjadi pada perkumpulan mereka dan terakhir yang kuingat sebelum pingsan kembali adalah penampakan makhluk mirip patung besar yang pernah aku lihat namun lebih mengerikan. Makhluk tersebut memakan tubuh dan jiwa-jiwa manusia yang dikorbankan.Kepala terasa sakit dan tubuh bagaikan ditusuk ribuan jarum saat tersadar kembali. Masih di tempat yang sama dalam keadaan terikat pula yang jelas aku tidak mengetahui saat ini pagi, siang atau malam. Dirasakan aneh, aku tak merasa lapar atau haus sedikit pun, saat memikirkan hal-hal yang terjadi pintu terbuka. Lima orang pria berp
Terdapat sebuah bak mandi besar terbuat dari bebatuan indah, berisikan air yang sudah di campur berbagai bunga. Setelah melepas seluruh pakaian, aku segera berendam. Tubuh terasa segar, seperti ada yang memijat. Aku menikmati sensasi tersebut sambil memejamkan mata. Diantara sadar atau tidak, sesosok wanita cantik tiba-tiba muncul dihadapanku. Tubuh polos tanpa sehelai benang, memasuki tempatku berendam. Dia mendekatkan bibirnya ke wajahku, mencumbu dengan ganasnya. Hampir aku terlarut dalam permainannya. Namun tersadar hal ini tidak benar. Aku mendorong tubuh wanita tersebut, terlihat rasa kecewa dan marah di raut wajahnya. Kembali dia memaksa memeluk serta mencium, tetapi kali ini aku tidak bisa bergerak, seperti ada kekuatan yang menahan tubuh agar tidak menolak semua perbuatan wanita cantik itu. Kini aku hanya bisa pasrah, menikmati semua sentuhan, belaian. Bahkan saat dia mulai melakukan lebih jauh aku berteriak, rasanya begitu nikmat. Lelah aku pun tertidur. Ciuman basah membu
"Tolong ... tolong ...." Sayup- sayup aku mendengar suara, tetapi jangankan untuk bergerak, membuka mata saja sulit rasanya. Terasa ada yang menetes di dahi, membuatku terpaksa perlahan membuka mata karena tetesan itu kini membentuk genangan di sekitar wajah. Merah serta bertekstur kental saat dilihat olehku cairan yang menetes tersebut. Bergegas aku duduk di atas ranjang, pandangan mencari- cari ke segala arah, tetapi tidak menemukan apapun kecuali keringat membasahi sekujur tubuh. Rupanya aku tertidur dan bermimpi buruk. Ketika hendak melanjutkan tidur kembali terdengar suara minta tolong lagi. Namun, kali ini suara yang dikenali olehku yakni suara Sumi."Bang Adi, tolong ....!"Sontak aku melompat dan berlari ke arah asal suara walau mata rasanya masih sangat mengantuk dan terasa berat."Sumi!" teriakku saat melihat Sumi duduk di lantai dapur dengan memegang perut. Wajahnya meringis menahan sakit, sungguh kondisi yang menyedihkan."Bang, bawa aku ke Bi
"Ya, Sum ... abang lelah banget. Ya, sudah abang mandi dulu,"Aku segera bergegas ke kamar mandi, bayangan wanita berkepala kuda terus menghantui."Sum, abang berangkat ... ucapku setelah mandi dan sarapan. Sumi tidak menjawab hanya mengangguk dan menatap dengan pandangan aneh.Setibanya di perusahaan aku hanya memandang gerbangnya. Baru di sadari ternyata di depannya terdapat juga simbol-simbol yang sama. Aku memandang gelang yang melingkar di pergelangan tangan seraya berpikir bagaimana lepas dari semua ini.Suara klakson. mengagetkanku, terlihat Mas Gondo mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil."Hoi, Di ... ngapain? Buruan masuk!" teriak Mas Gondo.Mobil bergerak maju meninggalkanku yang masih termanggu hingga beberapa karyawan menyapa dan mengajakku masuk.Setelah mendapat pengarahan Pak Steven aku menuju parkiran di mana truk-truk berjejer rapih. Truk putih sudah menungguku sebagai pengemudinya.Semilir angin bera