Home / Thriller / Sang Junjungan / Perusahaan Aneh

Share

Perusahaan Aneh

Author: Lara Croft
last update Huling Na-update: 2021-09-01 20:50:09

Setelah dinyatakan sehat, aku pun segera pulang diantar oleh salah satu warga. Sesampai di rumah aku bergidik ngeri saat pandangan terarah ke truk. Apalagi suhu udara malam, membuat semakin dingin dan mencekam. Tangan Sumi segera kuraih memasuki rumah.

"Tadi kamu kemana, Sayang? Sehabis dari masjid abang cari kamu kemana-mana enggak ada?" tanyaku kepada Sumi sesaat setelah mengganti pakaian.

"Emmm... anu Bang, besok pagi saja ceritanya ya, sekarang kita tidur," jawab Sumi dengan suara gemetar dan langsung menutupi tubuhnya dengan selimut.

Melihat Sumi yang sudah tertidur, aku pun mengikuti, meraih guling dan memeluknya.

****

"Bang, tolong jangan bawa pulang truk itu lagi, ya," ucap Sumi saat kami sarapan pagi.

"Emmm, iya Sayang. Oh iya, kok pertanyaan abang semalam, belum dijawab," ucapku seraya bertanya kembali.

Sumi langsung menggenggam tanganku dan berkata," Semalam saat abang pamit ke masjid, aku mendengar suara wanita menangis diselingi teriakan minta tolong. Ternyata suara tersebut dari arah truk itu dan aku segera pergi saat melihat ada sosok menakutkan hingga tak sempat mengunci pintu. Lah, abang sendiri kenapa pingsan di kolong truk?"

Aku tersentak mendengar perkataan Sumi, ternyata Sumi juga mengalami peristiwa yang sama denganku, bedanya aku pingsan sedangkan Sumi tidak. Untuk menutupi rasa malu aku berbohong kepada Sumi dengan mengatakan karena lelah aku tak sadarkan diri. Perkataanku meninggalkan rasa tak percaya di raut wajah Sumi.

Rasa deg-degan mengiringi perjalanan menuju warung Mbak Yuli, di mana aku akan menjemput Mas Gondo. Kekhawatiran muncul akan sosok menyeramkan yang semalam kutemui membuat aku sering melirik Kaca spion. Perasaan tenang terlihat sekali di wajahku saat melihat Mas Gondo sudah menanti di depan warung.

"Yohhhh, Di ... ceria banget wajahmu! Dapat jatah, ya, semalam dari istri?" Mas Gondo menggodaku saat melihat aku tertawa lega.

Aku pun hanya menjawab dengan senyuman.

Kali ini aku dan Mas Gondo akan mengambil kontainer di pelabuhan dan mengantarnya ke daerah di perbatasan kota.

Melihat Mas Gondo yang terlihat senang bernyanyi lagu dangdut dan sesekali di selingi siulan membuat aku beranikan diri bertanya tentang apa yang kulihat semalam di truk.

Awalnya Mas Gondo kaget mendengar pertanyaanku terlihat dari mimik wajahnya yang tiba-tiba berubah pucat, tetapi hanya sesaat, sesudahnya dia tertawa dan kembali bernyanyi setelah menjawab," Oalah, Di, Adi ... tak kira apa, wong cuma demit."

Aku akhirnya hanya diam berkonsentrasi di belakang kemudi menuju pelabuhan. Setelah selesai administrasinya dan kontainer sudah terpasang kami pun meneruskan pekerjaan mengantarnya ke salah satu pabrik pinggir kota. Kali ini Mas Gondolah yang membawa truk.

Entah mengapa hari ini perasaanku tak enak. Mungkin disebabkan peristiwa yang terjadi semalam. Sehingga aku memilih memejamkan mata berharap dapat sedikit tenang.

Brak! Buum!

Suara dentuman serta merta membangunkan aku yang sedang terlelap. Wajah Mas Gondo terlihat pucat begitu juga aku saat melihat sebuah sepeda motor terbelah dua berada di samping truk yang sudah menepi. Aku pun membuka pintu bergegas melihat keluar tanpa turun dari truk. Kepala seorang pria terlihat masuk di antara ban truk. Terdengar rintihan kesakitan dan meminta tolong.

Belum hilang rasa kaget tiba-tiba truk dimundurkan, sehingga melindas kepala dan tubuh pria tersebut.

Kres ... kletak!

Terdengar suara yang membuat hati berdesir. Seiring suara, darah merah kental membasahi tanah sekitar tubuh pria tersebut berada. Sebagian kepala truk yang berwarna putih juga terkena cipratan darahnya.

Aku terpekik melihat peristiwa mengerikan di depan mata. Saat aku hendak turun Mas Gondo menarik tanganku agar tetap berada di dalam truk.

"Astagfirullah, Mas! Itu ada orang di bawah truk. Kenapa malah kamu lindas?" tanyaku dengan suara gemetar menahan rasa ngeri.

Mas Gondo menatapku tajam seraya berkata,"Ssstt ... kamu diam saja. Kamu belum tau apa-apa!"

Perasaan bertambah kalut saat terlihat orang-orang mulai mengerumuni kami dan berteriak-teriak agar kami segera turun. Terlihat kemarahan di wajah orang-orang tersebut.

"Wis, kamu diam saja, Di.  Aku yang akan menanganinya," ujar Mas Gondo yang terus membuka pintu truk dan turun membiarkan aku yang masih duduk di dalam dengan pandangan kosong.

Aku tidak tahu apa yang dibicarakan Mas Gondo kepada orang-orang tersebut yang aku tahu orang- orang terlihat mulai tenang. Aparat kepolisian juga sudah ada yang datang.

Aku dan Mas Gondo dibawa ke kepolisian terdekat untuk dimintai keterangan, tetapi aku banyak terdiam karena saat kejadian sedang tertidur. Mas Gondo juga sudah mewanti-wanti agar diam saja jika ditanya. Sejujurnya aku ingin memberitahukan polisi bahwa saat korban masih hidup Mas Gondo malah menabraknya, tetapi ketika ingin mengatakan bibir rasanya terkunci.

Dari pembicaraan yang aku dengar menurut Mas Gondo korban mengendarai motor dengan kecepatan tinggi dan memotong jalan bukan di jalur seharusnya sehingga Mas Gondo terkejut tak sengaja menabraknya. Pihak kepolisian dengan cekatan mencatat semua keterangan yang diberikan Mas Gondo dan aku.

Tak lama datanglah seorang pria yang perawakannya mirip Mas Gondo, tetapi sedikit lebih rapih dengan memakai jas dan membawa tas koper di tangannya. Pria tersebut bernama Yudhis, dia adalah salah satu pengacara yang disewa perusahaan tempat kami bekerja. Yudhis dan Mas Gondo berbisik-bisik sesekali melirik ke arahku kemudian Yudhis berbincang dengan polisi  dan keluarga korban. Dua amplop coklat yang tebal disodorkan, satu untuk keluarga korban, sedangkan yang satunya lagi untuk Polisi yang menangani kasus kami.

Aku hanya tertegun saat kami dinyatakan tidak bersalah dan diperbolehkan pulang, setelah sebelumnya meminta maaf pada keluarga korban. Seorang perempuan muda seumuran Sumi yang menggendong balita. Walau air mata tak berhenti perempuan tersebut cukup kuat menerima kenyataan suaminya telah tiada.

Bukannya pulang Yudhis dengan mobil mewahnya membawa aku dan Mas Gondo ke perusahaan, sedangkan truk di bawa salah satu supir yang aku kenal untuk dibawa ke bengkel diperiksa jika ada yang rusak.

Di pabrik, Mas Gondo dan Yudhis langsung menuju ruangan di mana Big Boss yang memiliki perusahaan berada. Sedangkan aku disuruh menunggu di luar ruangan, keadaan sudah sepi karena hari mulai gelap sehingga karyawan sudah banyak yang pulang. Sejujurnya aku belum pernah bertemu yang disebut Big Boss, menurut beberapa teman dia adalah warga asing yang sudah berdiam lama di Indonesia.

Dikarenakan bosan menunggu aku pun berjalan keluar. Alangkah kagetnya saat melihat truk yang biasa aku bawa berada di samping bangunan perusahaan. Belum hilang kagetku, dari arah dalam dengan tergesa-gesa, tengok kanan kiri Mas Gondo terlihat mengelap cipratan darah korban yang berada kepala truk dengan kain hitam, sesudahnya menyiramkan air yang berada di botol kecil ke sekeliling badan truk terutama bagian ban dan aku menyaksikannya di balik tembok.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Sang Junjungan   Perempuan Tak Punya Hati

    "Mana Sumi? Aku ingin bertemu dia juga anakku!" Adi menerobos masuk ke dalam rumah diikuti si wanita yang tak lain adalah Tini."Dia tidak ada di sini, Di! Cepat keluar dari rumahku!" Tini menarik tangan Adi yang tak menghiraukan perintahnya.Merasa kesal dengan perlakuan Tini, Adi menepis tangan dan mendorong tubuh perempuan cantik tersebut hingga terjatuh ke lantai, lalu bergegas membuka pintu kamar satu persatu dengan harapan bertemu Sumi. Namun, alangkah terkejutnya pria tersebut saat mendapati kamar kedua yang dibukanya terdapat patung menyerupai Sang Junjungan lengkap dengan altarnya."Gil*! Ternyata kau juga salah satu pemuja setan keparat itu, Tin?! Kau sengaja mendekati Sumi agar bisa ditumbalkan?" Adi berbalik mendekati Tini dengan tatapan tajam, kemarahannya sudah di ubun-ubun."Bukan begitu, Di ... malah sebaliknya, aku ingin melindungi Sumi, dia ...." Belum selesai ucapan Tin

  • Sang Junjungan   Liciknya Retno

    Di tempat lain, Retno sedang bercakap-cakap dengan Adi. "Tidak salah lagi, Di. Kampung belakang komplek ini, Sumi berada. Aku bisa merasakan kehadirannya walau sosok istri dan anakmu tidak terlihat." "Jadi bagaimana, Bik?" Adi mendekatkan dirinya kepada Retno. "Menurutku, coba kau yang lihat ke sana. Aku yakin, perisai dibuat Gondo dan Yudhis hanya berlaku kepadaku." Retno menyakinkan Adi agar menuruti perintahnya, dia tidak mau tenaganya terus terkuras habis akibat menembus benteng yang dibuat rival-rivalnya itu. "Baiklah, Bik. Kebetulan besok aku libur, mudah-mudahan benar apa yang dikatakan Bibik." Meski ada rasa kecewa, Adi berusaha bertemu Sumi dan menyakinkan diri agar mereka bisa bersama lagi. **** Keesokan pagi dengan menyewa sepeda motor, Adi berangkat menuju kampung belakang komplek. Semilir angin sejuk menerpa wajah perseginya, membuat

  • Sang Junjungan   Dibunuh atau bunuh diri?

    Setelah dirasakan tenang, Dewi dan Armand pamit pulang dengan pikirannya masing-masing. Terutama Dewi yang berniat akan mengaku kepada Sumi tentang keadaan almarhum orang tuanya serta dirinya---para penyembah Sang Junjungan. Dia ingin bertaubat karena tak ingin kematian mengerikan menjemputnya. Namun, niat baiknya itu ternyata tak mampu terwujud. Keesokan hari, Dewi beserta suaminya mati ditemukan gantung diri di langit-langit ruang tamu."Ya Allah, bagaimana kejadiannya, Dek?" tanya Sumi setelah mendengar kematian Dewi dan Surya kepada Armand yang menangkupkan kedua tangan menutupi wajah lelahnya."Selepas salat Subuh di musala, saya mendengar suara tercekik dari dalam rumah, pintu keadaan setengah terbuka. Saya pikir tumben Teh Dewi dan Mas Surya sudah bangun. Ternyata yang saya temukan tubuh mereka tergantung, Mbak." Armand menahan tangis. Dalam hitungan hari, dia sudah kehilangan semua anggota keluarga, membuat hatinya bertanya-tan

  • Sang Junjungan   Penampakan Mengerikan

    "Mbak, saya juga mau pamit, ya." Setelah ikut merapikan ruangan, Armand beserta ibu-ibu lainnya pulang. Meninggalkan Sumi dan Rizky yang terbangun dari sebelum Magrib."Anak Ibu mau apa?" tanya Sumi kepada Rizky yang menatap ceria ke buah-buahan yang masih banyak tersaji. Rizky menunjuk ke arah jeruk Mandarin. Sumi dengan penuh kasih menyuapkan ke anaknya."Enak Sayang ...."Rizky membalas pertanyaan ibunya dengan tawa riang. Sumi gemas lalu menciuminya berulang kali.Siiir!Suara angin berdesir masuk kedalam jendela nako yang masih terbuka, Sumi lupa menutupnya. Aroma daging terbakar seketika menyeruak, pikir Sumi itu adalah bau asap dari penjual sate yang biasa mangkal di seberang jalan.Namun, terjadi keganjilan saat Sumi hendak menutup jendela. Tampak di depan rumahnya beberapa orang berdiri membelakangi. Dia melirik jam di dinding, ternyata sudah p

  • Sang Junjungan   Tahlilan

    Sebelum ke rumah Bu Wid, Dewi bertandang ke rumah Sumi untuk memberitahukan tidak perlu menyiapkan apa-apa karena semua kebutuhan tahlilan dia yang akan mempersiapkannya. Namun, Sumi tidak tinggal diam. Saat Rizky bermain dengan mainannya, dia pun membersihkan rumah, agar terasa nyaman jika para tamu datang."Assalamualaikum ...." Suara salam diiringi riuh terdengar dari depan. Beberapa ibu-ibu tampak membawa penganan serta minuman."Waalaikumsallam, masuk Bu." Sumi menyambut ramah.Mereka menata makanan yang dibawa dengan sesekali menggoda Sumi."Aduh, sebentar lagi Rizky punya Bapak baru, nih.""Cocok, tahu, Mbak dengan Armand. Satunya ganteng, satunya lagi cantik."Panas sebenarnya telinga Sumi mendengarkan celotehan ibu-ibu tersebut, tetapi ditahannya di hati. Dia hanya diam, tidak banyak bicara menimpalinya dengan senyuman karena tahu panjang urusan jika

  • Sang Junjungan   Akhir hidup para pengikut Sang Junjungan

    Tragis, mengerikan? Pasti. Siapa yang bersekutu dengan iblis dan akhir hidupnya belum bertaubat, ruhnya akan penasaran bahkan bisa terpenjara dalam lingkaran si iblis. **** Kampung tempat tinggal Pak Dodo dengan Bu Astuti heboh atas peristiwa terbakarnya rumah juragan kaya di wilayah tersebut. Bagaimana tidak, selain seluruh bangunan beserta harta benda lainnya terbakar habis. Para penghuninya pun tersisa jadi abu. Sepasang suami istri tersebut juga kedua anak serta mantunya juga dua pekerja rumah tewas terbakar, keluarga itu hanya tinggal Dewi serta suaminya dan Armand yang kebetulan berada di luar kota untuk keperluan pekerjaan. "Bapak! Ibu!" Teriakan histeris Dewi membahana, suaminya serta Armand berusaha menenangkan. "Sudah, Teh, tenang ... sekarang kita urus acara pemakaman mereka serta tahlilan." Armand berusaha agar Dewi tidak terus berteriak, benar saja Dewi terdiam. Namun, bukan kare

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status