Share

2. Kemewahan Itu Bernama Dunia

Happy Reading

*****

Suara ayam jantan yang berkokok saling bersahutan membuat tidur Adilla terganggu. Ciuman bertubi-tubi pada pipi membuatnya membuka mata. Gadis mungil itu tersenyum manis.

"Mbak, pulang ndak ngasih tahu. Aku marah," rajuknya.

"Hmm." Adilla mengeluarkan lenguhan. "Mbak, lupa Sayang. Kamu juga dah tidur semalam." Dia meregangkan otot tangannya.

"Mbak capek, ya? Adik tinggal aja wis kalau gitu." Gadis kecil itu berbalik arah hendak pergi, tetapi tangan kiri Adilla sudah lebih dulu menariknya dalam pelukan.

"Kok ngambek? Mbak baru dateng jam dua pagi, jadi sekarang masih ngantuk. Tuh oleh-olehnya!" Adilla menunjuk sebuah tas plastik besar berwarna biru. Mata sang Adik menatap takjub.

"Mbak, itu ...."

"Iya semua buat kamu, Sayang. Ambil, gih!" perintah Adilla.

Gadis kecil itu segera berlari memeluk boneka yang dibelikan mbaknya. Sudah lama dia memimpikan memiliki boneka itu. Tiap kali sahabatnya main dengan boneka mereka, si kecil selalu menatap iri dan berpikir kapan dirinya akan memiliki mainan seperti itu.

Farissa Nitami, gadis kecil berumur sembilan tahun dan masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Dia adalah putri bungsu Sumaiyah, adik bungsu Adilla. Lahir saat Ayah mereka telah meninggal dan si sulung masih berstatus istri seseorang.

Adilla menatap langit-langit kamar agar air matanya tak jatuh. Setiap kali mengingat tahun-tahun kelam dalam hidupnya, entah mengapa hati itu masih teriris-iris, pilu. Sebagai anak pertama, dia merasa gagal menolong keluarga dari keterpurukan ekonomi.

"Mbak'e ngopo sedih? Makasih nggeh udah beliin Adik boneka ini." Nita memeluk erat boneka itu.

"Nggeh sami-sami, Sayang. Mbak mau iyam dulu. Nanti kita main, nggeh." Sekali lagi, Adilla mencium si bungsu. Apa pun akan dilakukan demi melihat keluarganya tersenyum.

Nitami keluar dari kamar Adilla, berteriak-teriak kegirangan memanggil Suamiyah dan juga kedua saudara yang lain. Semudah itu memberikan kebahagiaan pada seorang anak kecil. Dua saudaranya juga ingin mendapat hadiah seperti Nitami. Sayang, gadis kecil itu mencegah.

"Mbak'e sek mandi lho, Mas. Mengko wae (nanti aja), Adik wis lihat tadi banyak hadiah yang dibawa. Sabar sek, yo." Lidahnya menjulur keluar, mengejek kedua masnya.

"Adik curang! Ndisik'i kerso (mendahului kehendak)." Saudara tertua dari mereka bertiga menepuk pundak adiknya.

"Wis tho lah ndak usah rebutan (Sudah tidak perlu berebut) Mbakmu mesti ngasih hadiah buat kalian semua, sabar dulu," ungkap Sumaiyah.

"Nggeh, Bu," jawab mereka serempak.

Tiap kali pulang ke rumah, Adilla selalu merasa hatinya tersayat-sayat. Dinding kamarnya memang sudah tampak sangat mewah dibandingkan dulu. Tempat tidur pun sudah memakai kasur pegas, semua telah berubah dan itu membuatnya meneteskan air mata.

Perjuangan masihlah panjang, ada ketiga adik-adik yang harus dia tuntaskan pendidikannya. Adilla melihat luka di bagian paha, goresan itu sangat kecil jika dibandingkan sayatan yang telah ditorehkan sang mantan suami. Perempuan itu meringis getir.

Ketukan pintu membuat Adilla menyeka air mata dengan cepat. Dia menampilkan senyum paling membahagiakan demi seseorang yang berdiri di depannya kini. "Kenapa, Dik?" tanya Adilla pada Adik laki-lakinya.

"Mbak kapan datang? Kenapa ndak telepon aku?" Wajahnya menampakkan kekecewaan yang besar. Sebagai lelaki tertua di keluarga, dia merasa wajib melindungi semua keluarga termasuk Adilla.

Muhammad Anwar sebuah nama yang diberikan almarhum bapaknya untuk anak kedua. Adik Adilla yang masih kuliah semester tiga di salah satu perguruan tinggi di kota kelahirannya. Semangatnya untuk belajar dan merubah nasib keluarga, itulah salah satu alasan yang membuat Adilla mengambil resiko melakonkan pekerjaannya saat ini.

"Sini, Dik!" Adilla menepuk bagian kosong kursi yang dia duduki. "Mbak, nggak mau ngerepoti. Palingan kamu juga dah tidur jam segitu. Gimana kuliahmu?" Walau tak mengerti apa yang adiknya pelajari di kampus, tetapi Adilla selalu suka saat Anwar bercerita tentang dunia pendidikan.

"Kebiasaan," ucap Anwar, lalu mengambil tangan kanan Adilla dan menciumnya. "Mbak ndak sayang nyawa. Malam-malam pergi sendirian."

"Wah, udah gede adiknya Mbak sekarang. Dah pinter ngomong lagi." Adilla menangkupkan kedua tangannya pada pipi Anwar, gemas.

"Mbak, ih. Opo seh?" Seketika pipi Anwar merah, selalu saja Adilla bisa merubah kecemasan hatinya.

"Mau oleh-oleh, nggak?" Adilla berdiri dan mengambil salah satu tas plastik berwarna biru. "Adik itu udah dewasa. Bajunya jangan lusuh gitu, dong. Mengko nggak ono cewek yang ngelirik, lho," godanya.

"Aku ndak nyari cewek, Mbak. Penting kui bisa lulus kuliah terus gantiin Mbak'e nyari uang buat keluarga." Anwar menerima pemberian Adilla. Ketika dibuka, ada sepatu, celana jeans dan juga kemeja. "Kok okeh men iki (kok banyak banget ini)? Mbak lagi dapat bonus dari bosnya, yo?"

Adilla meringis, semua yang dia belikan untuk keluarganya bukanlah bonus dari si bos. Namun, hadiah dari setiap kesakitan yang ditorehkan oleh para pelanggan. Luka itu harus diterima demi sebuah kebahagiaan dan kemewahan yang Adilla inginkan.

"Iyo. Mbak 'kan wis kerja suwe sama beliau, jadi pas pamitan cuti dikasih bonus." Terpaksa Adilla berbohong. Selama ini anggota keluarganya tidak ada satu pun yang tahu apa pekerjaannya.

Pintu yang tidak tertutup membuat Adilla dapat melihat kedua adiknya yang lain berlarian menghampiri. "Eh, kok lari-lari gitu. Kalau jatuh gimana?" Adilla memperingati.

"Mas Rian kie lho, Mbak, nakal," Adu Nitami.

"Kok aku, Dik? Kamu yang ngajak cepet-cepetan ke kamar Mbak Rum." Cowok yang dipanggil Rian itu cemberut, tidak mau disalahkan oleh si bungsu.

"Sudah ... sudah. Kalian dah mandi belum?" tanya Adilla pada semua adik-adiknya.

Serempak mereka menjawab, "Sudah."

"Cie ... cie. Kompak bener jawabannya. Kalau Mbak ajak kalian belanja ke tempat itu mau nggak?" Sengaja Adilla tak menyebutkan nama mal yang biasa mereka kunjungi jika mbaknya itu pulang.

Nitami berteriak paling keras mengatakan mau. Dia yang paling suka ke tempat itu untuk menjajal semua permainan yang ada di sana. Namun, raut muka Rian berubah murung dan Adilla menyadari hal itu.

"Kamu kenapa, Dik? Kelihatannya gak suka gitu?" tanya Adilla.

"Kalau kita ke sana bareng-bareng, motornya Mas Anwar mana muat, Mbak. Dulu, kita masih kecil-kecik enak." Anwar menyenggol lengan adiknya. Dia tidak mau membebani Adilla lagi untuk urusan kendaraan.

Selama ini jika Nitami dan Rian sekolah, mereka membawa motor Anwar. Sebagai lelaki tertua di keluarganya, Anwar rela mengalah. Dia lebih banyak menggunakan sepeda gayung miliknya yang sudah usang untuk menuntut ilmu.

"Mas bawa sepeda itu aja, Dik. Kamu, Mbak sama Adik naik motor," terang Anwar.

Adilla mengamati wajah adiknya satu per satu. "Kenapa nggak mau minta motor lagi sama Mbak? Kalau kalian memang butuh." Seakan tahu apa yang tersirat dari kata-kata Rian. Adilla bertanya.

"Ndak popo, Mbak. Aku masih bisa pake sepeda gayung yang lama." Anwar berusaha menutupi.

Adilla mencari-cari ponselnya, ketika sudah ditemukan. Dia segera menelepon. Saat panggilan terhubung, Adilla meninggalkan ketiga adiknya.

Beberapa menit kemudian, dia sudah kembali. "Beres. Pergi ke sana besok aja, ya, kalau motor barunya dah sampai," terang Adilla selanjutnya.

Sontak kedua adiknya itu berhamburan memeluk. Namun, tidak dengan Anwar. Dia malah berpikir apa sebenarnya pekerjaan Adilla sehingga begitu mudah membeli barang-barang yang harganya mahal termasuk motor baru.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status