Share

9. Embusan Kabar Miring

Happy Reading

*****

Suasana riuh pasar traditional membuat Sumaiyah bingung. Perempuan sepuh itu celingak-celinguk mencari sayur dan bumbu masakan lainnya. Memasuki bulan Rabiul Awal kalender hijriah, di daerah Banyuwangi memanglah sangat ramai. Bulan itu bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Di mana pada setiap harinya akan ada perayaan untuk hari kelahiran Nabi, puncaknya tepat pada tanggal 12 Rabiul Awal.

Banyak masyarakat berbelanja lebih untuk memeriahkan selamatan hari kelahiran Nabi. Demikian juga dengan Sumaiyah, setelah kemarin mendapat kiriman uang dari putrinya. Pagi ini, dia pergi ke pasar untuk berbelanja segala macam kebutuhan dapur termasuk bunga Maulud (penyebutan perayaan hari lahir Nabi Muhammad). Bunga yang terbuat dari kertas dan karton dengan tangkai dari batang bambu merupakan khas perayaan Maulud di daerah ujung timur pulau Jawa. Bunga kertas itu nantinya akan diisi oleh telur dan diarak keliling sepanjang jalan desa.

"Auw," jerit seorang perempuan.

Sumaiyah kaget. "Maaf, Mbak. Maaf, saya ndak sengaja."

Perempuan itu memandangi Sumaiyah intens. Seperti berusaha mengingat sesuatu tentang wanita sepuh di depannya. Matanya membola ketika sadar bahwa orang yang menabrak adalah Ibu Adilla.

"Ibu orang tuanya Mbak Rum, 'kan?" sapa Dewi. Ya, perempuan yang ditabrak Suamiyah adalah Dewi, istrinya Danang.

"Nggeh, leres (Iya bener). Njenengan sinten, nggeh (kamu siapa, ya)?"

Dewi menjulurkan tangan bersalaman. "Kulo garwane Mas Danang (saya istrinya Mas Danang) temennya Mbak Rum. Sebulan lalu saya ke rumah njenengan pas Mas Danang mau berangkat kerja. Njenengan supe (kamu lupa)?"

"Astagfirullah. Maklumin, ya, Nduk. Ibu wis sepuh, jadi sering lupa sama orang," kata Sumaiyah malu.

Dewi tertawa kecil. "Ibu mau belanja buat maulid, nggeh?"

"Iyo, Nduk. Kebetulan Rum udah ngirim buat kebutuhan dapur dan adik-adiknya. Oh, ya. Gimana kabare Danang? Apa dia betah kerja sama bose Rum?"

"Alhamdulillah. Harus betah, to, Bu. Buntutnya udah dua, daripada kerja di sini nggak dapat hasil. Oh, ya, Bu. Mbak Rum itu bagian apa sih di rumah Pak bosnya?" Mereka melanjutkan perjalanan berbelanja sambil ngobrol.

"Katanya di bagian rumah tangga. Lha, Rum ora punya ijazah tinggi. Jadi, bagian itu aja udah seneng bukan main." Suamiyah berhenti di salah satu bedak yang menjual telor dan kebutuhan pokok lainnya.

"Oalah. Yakin cuma pembantu, Bu? Soale Mas Danang kemarin cerita, Mbak Rum datang ke vila yang dijaganya sama lelaki. Pakaian Mbak Rum seksi sekali, lho. Ibu nggak curiga kalau dia nyari ceperen dari kerjaan utamanya. Dari ceritanya, saya mikir juga. Kalau cuma pembantu masak begitu deket sama Pak bos." Dewi mulai memilih bahan makanan yang mau dibeli.

Sumaiyah diam. Pikirannya berjalan ke mana-mana, membayangkan si sulung melakonkan pekerjaan melanggar norma adat dan agama. Astagfirullah. Anakku nggak mungkin melakukannya. Dia pernah merasakan sakit dikhianati suami.

"Aku disek'an yo, Nduk (aku duluan)," pamit orang tua tunggal Adilla.

"Lho. Kok buru-buru, padahal saya masih pengen ngobrol." Dewi menatap penuh harap.

"Maaf, Nduk. Ibu sudah selesai belanja. Kerjaan rumah juga masih banyak yang belum selesai." Setelah memberikan sejumlah uang pada penjual. Sumaiyah meninggalkan Dewi.

Punggung orang tua Adilla mulai tak terlihat oleh Dewi. Perempuan yang mengenakan celana jeans dan kaos oblong warna pink itu meneruskan belanjaannya. Namun, salah seorang yang sejak tadi berada di sampingnya menyapa.

"Mbak kenal sama Bu Sumaiyah?" tanya wanita paruh baya dengan gamis batik dan kerudung khimar.

"Kenal deket, sih, nggak. Cuma suami saya ikut anaknya kerja di bos yang sama," terang Dewi. Dia menyipitkan mata. "Kenapa emangnya, Bu?"

"Saya tetangga beliau. Saya denger Mbak ngomongin Erum tadi. Sebenarnya saya curiga sama kerjaan dia. Masak iya, cuma seorang pembantu bisa bangun rumah, beliin barang-barang mewah adik-adiknya. Kemarin pas pulang, Erum beliin motor baru buat Anwar. Ya, kalau belinya kredit wajar, itu cash, lho. Mana motornya yang mahal." Perempuan itu berkata sambil memainkan bibir dan mata. Kentara sekali dia tipe penggosip.

"Masak, Bu? Suami saya cerita kemarin, Mbak Erum datang ke vila yang dia jaga sama cowok. Terus pakaiannya itu lho, seksi banget. Sekilas, sih, suami saya curiga. Soalnya mereka kelihatan mesra, tapi kata Mbak Erum itu temen bosnya."

"Ya Allah," ucap perempuan itu, "dia kalau pulang nggak pernah pakai baju seksi atau kurang bahan. Anaknya selalu polos, cuma herannya, ya, itu. Gampang banget beli-beliin keluarga barang-barang mewah. Apa dia jadi simpenan orang kaya, ya?"

Dewi mengedikkan bahu. "Bu, jangan bilang-bilang, ya. Saya takut suami saya marah kalau sampai tahu saya cerita kayak gini."

"Iya, Mbak."

*****

Sesampainya di rumah, Sumaiyah langsung terduduk lesu. Perempuan itu menaruh barang belanjaan begitu saja. Matanya mulai mengembun, sekali ini dia mendengar perihal putrinya yang tak mengenakkan.

Lama sudah, dia menutup mata dan telinga mendengar ucapan-ucapan miring tentang Adilla. Sebagian tetangga memang sering membicarakan perihal pekerjaan sang putri. Dari mulai jadi simpenan om-om sampai berselingkuh dengan bosnya sendiri.

Semua terjadi karena perubahan ekonomi Sumaiyah. Dia yang dulu hidup serba kekurangan bahkan sering berhutang pada tetangga. Tiba-tiba dalam jangka waktu beberapa bulan saja sejak Adilla memutuskan merantau ke pulau seberang, ekonominya melonjak drastis.

Semua hutang dilunasi, merenovasi rumah. Menyekolahkan Anwar ke jenjang perguruan tinggi dan sederet kemewahan lainnya. Sumaiyah sadar, perubahan hidupnya terlalu mencolok bagi para tetangga. Oleh karena itu, dia sering mengajak anak-anaknya berhemat. Tidak terlalu menunjukkan barang serta kiriman uang dari Adilla.

Namun, hidup di desa itu tidak seperti di kota. Masyarakat desa akan lebih teliti dan terkadang nyinyir pada setiap perubahan yang terjadi. Jika kata orang Jawa, hidup di desa itu obah sak obah dadi omongane uwong (Setiap gerak-gerik kita akan jadi bahan gunjingan).

Wis ben, mene yen Erum pulang tak takoni tenan apo pekerjaan dia di sana (biarlah, jika nanti Erum pulang akan aku tanyakan pekerjaan yang sebenarnya)

Penat memikirkan omongan Dewi tadi, Sumaiyah memejamkan mata di depan ruang televisi. Segala perkerjaan rumah diabaikan. Suara salam si bungsu tak terdengar olehnya. Saat Nitami mencium kening dan pipi perempuan itu, barulah dia membuka mata.

"Ibu tumben bobok jam segini. Biasanya masih sibuk beres-beres rumah," kata si bungsu.

Sumaiyah tersenyum. "Ibu capek habis dari pasar," jawabnya.

"Kenapa ndak pesen di warung aja, Bu. Nanti pas Mas Anwar atau Mas Rian pulang bisa diambilkan."

"Wis ndak papa. Sekalian Ibu belanja buat kebutuhan Maulid."

"Bu, setelah ini Adik boleh main ke rumah Bila?" tanya Nitami.

"Kenapa ndak Bila aja yang main ke sini?"

"Adik udah janji sama Bila mau ke rumahnya. Dia pasti nunggu-nunggu." Wajah gadis kecil itu penuh harap sang Ibu mau mengabulkan permintaannya.

"Ya, sudah. Ganti baju sama maem dulu, ya."

Penuh kegembiraan, Nitami ke kamarnya. Setelah itu makan dan langsung keluar rumah membawa mainan yang dibelikan Adilla bulan lalu ketika perempuan itu pulang. Sumaiyah berdiri dari duduk, berniat membereskan barang belanjaannya tadi.

Baru beberapa menit saja dia membereskan belanjaan, terdengar teriakan Nitami. Gadis kecil itu terisak sambil mengucap salam. Perempuan sepuh itu menyipitkan mata.

"Kenapa Adik pulang sambil nangis?"

"Adik ndak boleh main sama Bila. Ibunya melarang. Katanya Adik dari keluarga ndak bener, Mbak Rum aja kerjaannya nggak jelas. Jangan-jangan Mbak Rum selingkuhan bosnya atau seorang l***e." Nitami terisak keras. "Adik ndak tahu apa itu l***e. Kenapa ibunya Bila jahat banget."

Bagai tersambar petir, Sumaiyah terhuyung ke belakang. Kakinya tak mampu menopang berat badan, dia terjatuh di lantai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status