Tak ada yang menyahut ucapan Agusta sama sekali. Mereka semua terdiam. Sebagian karena takut, sebagian lagi karena tak tahu harus bersikap bagaimana.
"Kalian semua masih punya mata kan? Bisa melihat dengan jelas kan kalau ada orang lain yang terjatuh di sini? Bisa kan? Tapi kalian malah mengejeknya. Di mana rasa peduli kalian pada sesama rekan kerja kalian?" tanya Agusta tajam.
Diana dan Levi saling lirik namun tentu saja mereka tak menjawab sindiran Agusta. Mereka tak mau dipecat hanya gara-gara masalah ini.
"Kenapa kalian diam saja?" teriak Agusta kesal karena tak ada satupun dari mereka yang menjawabnya.
Valentino memberi isyarat pada Agusta agar tak memperpanjang masalah tersebut.
"Kalau kalian tahu dia siapa, kalian pasti tak akan berani menganggunya seperti sekarang," ucap Agusta.
Diana mendongak.
"Maksud Bapak? Memangnya dia siapa, Pak? Dia cuman karyawan baru bagian produksi yang kerjanya aja lelet," ucap Diana.
Agusta menatap tajam Diana.
Agusta berjalan mendekati Diana dan kemudian membungkuk agak rendah. Agusta yang memiliki tinggi sekitar seratus delapan puluh lima sentimeter itu menyipitkan matanya.
Agusta membuat Diana terkesiap saat tiba-tiba saja dia mendekatkan kepalanya di sebelah telinga Diana.
"Kau mungkin tak ingin tahu dia siapa, Diana," bisik Agusta pelan.
Valentino menahan napasnya saat Agusta mendekati Diana. Dia takut karena emosinya sedang meluap, bisa-bisa Agusta membuka penyamaran dirinya.
"Dia pasti bukan orang penting. Kalau dia orang penting, Bapak nggak mungkin menutupi seperti ini," ucap Diana yakin. Namun ada raut takut di wajahnya yang membuat Agusta tersenyum puas.
"Begini saja. Yang jelas, saya dan dia memiliki hubungan khusus. Dan dia sangat penting bagi saya. Begitu juga sebaliknya. Saya sangat penting untuknya," bisik Agusta santai.
Diana langsung menatap ke arah Agusta dengan kaget.
Agusta menyeringai dan berjalan kembali menuju ke tempat Valentino berdiri.
"Aditya, ikut ke ruangan saya sekarang juga!" perintah Agusta.
Valentino pun mengekor Agusta beranjak dari sana.
Diana masih tak sanggup berkata-kata.
Dia hanya menatap nanar Agusta dan Valentino yang sekarang masuk ke dalam lift.Agusta bahkan mengedipkan matanya ke arah Diana dan menyeringai seperti binatang buas.
"Diana, apa yang terjadi? Apa yang dikatakan oleh Pak Agusta? Kenapa tiba-tiba muka kamu jadi pucat begitu?" tanya Levi cemas.
Diana masih terdiam. Dia belum bisa merespon apa yang dikatakan Levi.
"Hei, jangan bikin aku penasaran dong! Apa yang sudah terjadi? Kenapa kamu jadi terlihat seperti idiot begini?" ucap Levi khawatir.
Diana yang kembali mendapatkan kesadarannya, menoleh ke arah Levi.
"Tolong ambilkan aku air minum!" pinta Diana.
"Cindy, minta air minum dong!" pinta Levi.
Cindy yang memang sedang membawa sebotol air mineral pun langsung memberikan botol yang belum dibuka itu.
Levi segera menyerahkan botol air mineral itu pada Diana.
"Minum dulu nih!" ucap Levi.
Diana segera meminumnya sampai setengah botol.
"Levi, itu nggak mungkin kan kalau Pak Agusta sama si culun itu... "
Diana menelan salivanya. Dia tak sanggup meneruskan kata-katanya.
"Kenapa sama mereka?" tanya Levi heran.
"Itu, Levi. Tadi Pak Agusta tuh bilang sama aku kalau dia dan si culun itu punya hubungan khusus. Kata dia, si culun itu orang yang penting untuk Pak Agusta begitu juga sebaliknya. Lev, Ini otakku udah traveling ke mana-mana loh sekarang," ucap Diana.
Giliran Levi yang syok.
"Diana, Pak Agusta benar ngomong kaya gitu?" tanya Levi dengan suara sedikit serak. Dia masih mencoba meraba-raba arti dari kalimat itu.
"Iya, benar kok. Aku nggak mungkin salah dengar. Dia juga tadi sempat tersenyum eh bukan. Tapi menyeringai," ujar Diana.
Levi dan Diana kemudian saling berpandangan.
"Itu artinya mereka. Mereka..." Kata-kata Levi terputus.
"Mereka pacaran," ucap Levi dan Diana berbarengan.
Levi menggelengkan kepalanya.
"Ini nggak mungkin. Masa Pak Agusta belok sih? Kayanya nggak mungkin. Nggak. Aku nggak percaya. Dia itu mainly banget. Masa iya dia suka sama laki-laki juga? Astaga," ucap Diana.
"Sialan, aku merinding. Tapi kalaupun benar apa yang kita pikirkan ini, pasti yang ngebuat pak Agusta jadi belok ya si culun sialan itu. Duh, aku nggak rela. Pria seganteng dan sekeren pak Agusta jadi belok," ucap Levi dengan nada terdengar kecewa.
"Kalian ini ngomong apa sih dari tadi?" ucap Cindy bingung.
Gadis itu sejak tadi masih berada di sana, namun dia diabaikan oleh Diana dan Levi.
Diana meringis menatap Cindy.
"Eh, maaf Cindy. Aku jadi lupa kalau kamu masih ada di sini. Nggak, ini tuh tadi lagi tebak aja kalau pak Agusta dan si Culun itu... Anu... Mereka itu pasangan kekasih," ucap Levi pelan takut jika ada yang mendengar apa yang dia katakan.
Cindy terdiam sebentar namun kemudian dia tertawa kencang sampai membungkuk.
Diana dan Levi merasa jengkel karena sudah ditertawakan seperti itu.
"Kalian itu dapat pikiran dari mana sih? Bisa-bisanya mikir kalau Pak Agusta itu gay? Gila, kalian," ucap Cindy di sela-sela tawanya.
Diana cemberut langsung.
"Tadi jelas-jelas dia bilang dia dan si culun itu punya hubungan khusus. Terus sama-sama menganggap penting satu sama lain. Kalau mereka bukan sepasang kekasih lalu apa dong?" ucap Diana kesal.
Cindy menghentikan tawanya dan kemudian menatap kedua rekan kerjanya itu secara bergantian.
"Oke, maaf. Tapi sumpah ini lucu banget. Jadi gini, Pak Agusta itu nggak mungkin gay. Dia itu normal senormalnya. Aku aja kemarin baru aja nggak sengaja ketemu dia yang lagi hangout bareng pacarnya. Pacarnya cantik banget lagi. Kaya artis. Ya nggak mungkinlah dia pacaran sama Aditya.
Aneh-aneh aja kalian. Ya udah ah, aku mau balik ke ruang aku dulu," ucap Cindy.Gadis itu sesekali masih cekikikan saat berjalan pergi.
Diana menepuk jidatnya. Sedangkan Levi baru sadar, mereka pastilah sedang dikerjai oleh Agusta.
"Kenapa aku nggak cari tahu dulu ya? Bodoh benar kita ini. Pak Agusta lagi mengerjai kita rupanya," ucap Levi dengan memanyunkan bibirnya.
***
"Apa yang kau katakan pada gadis itu?" tanya Valentino curiga.
Saat Valentino dan Agusta saat masuk tadi, dia sempat melihat ada seringai yang terbit dari bibir Agusta.
"Apa ini penting untukmu?" tanya Agusta balik. Dia menyeringai lagi.
Valentino semakin penasaran.
"Tentu saja. Katakan! Aku jadi semakin curiga jangan-jangan kau mengatakan identitasku yang sebenarnya. Kau tidak sedang bermain-main kan, Agusta?" tanya Valentino serius.
Agusta menoleh.
"Aku tak akan mungkin membongkar identitasmu meski nyawaku taruhannya, brother. Aku sudah berhutang banyak kepada almarhum ayahmu, jadi aku bisa jamin kesetiaanku ada sama kamu," janji Agusta.
"Lalu? Apa yang kau katakan sampai gadis itu terlihat pucat?" desak Valentino.
"Akan kukatakan tapi berjanjilah kau tak akan mencekik aku. Oke?" ucap Agusta.
"Iya, oke. Cepatlah!" ucap Valentino tak sabar.
Agusta tersenyum miring lagi.
"Aku mengatakan kepadanya kalau kita ada hubungan khusus. Aku penting bagimu dan kau penting bagiku," ucap Agusta tenang.
Valentino tercenung. Sedangkan Agusta menunggu reaksi temannya itu dan bersiap-siap untuk menyelamatkan dirinya.
Valentino langsung menatap ke arah Agusta yang sedang menyeringai lagi.
"Sialan, itu berarti kau mengatakan kalau kita itu sepasang kekasih?" pekik Valentino.
Agusta langsung lari duluan dan masuk ke dalam ruangannya untuk mengindari Valentino yang sedang mengamuk.
"Kau tahu, aku ini masih sangat normal, Agusta. Jadi jangan macam-macam!" peringat Valentino.Agusta tergelak."Valen, menurutmu memangnya aku doyan dada rata? Aduh, maaf saja. Aku masih doyan gunung besar," ucap Agusta."Bagus. Karena asal kau tahu saja tipeku cukup tinggi," sahut Valentino.Agusta tertawa."Oh, aku sekarang mengerti kenapa sampai sekarang kau belum memiliki seorang kekasih. Pasti karena tipe yang kau mau itu terlalu tinggi itu. Makanya tak ada yang bisa menarik hati kamu," ucap Agusta."Memang. Aku tentu saja tak ingin menyerahkan hatiku kepada sembarangan wanita. Lagi pula aku juga tak ingin membuang-buang waktuku dengan bersenang-senang dengan wanita yang enggak jelas," terang Valentino.Agusta tersenyum masam. Valentino sedang menyindirnya karena Agusta memang terkenal sebagai seorang player. Dan berkali-kali pria itu terlihat menggandeng wanita yang berbeda hanya dalam beberapa pekan."Kita itu masih muda, man. Tidak masalah kan kalau aku sedang menyeleksi calon
Aryan mengepalkan tangannya untuk menahan rasa kesalnya pada Rosa Melinda.Pemuda itu tak masalah jika dirinya dipanggil dengan sebutan anak kepala pelayan. Baginya itu adalah hal yang biasa saja. Karena dia pun juga tak pernah malu akan profesi ibunya dan memang seorang kepala pelayan."Apakah sedang menjenguk ibu tercinta kamu?" tanya Rosa."Iya, Bu. Baiklah, maaf saya harus permisi karena banyak sekali pekerjaan yang harus saya lakukan."Rosa menjadi tak suka karena melihat ada kesombongan di dalam diri anak kepala pelayan itu."Heh, anak kepala pelayan. Apa kau tak punya sopan santun, hah? Kau datang ke rumahku tanpa permisi kepadaku dan kau pun sekarang seenaknya saja pergi begitu saja."Sriani menahan lengan anaknya agar anaknya itu tidak berbuat yang tidak-tidak. Bagaimanapun juga Sriani mengenal anaknya dengan baik. Dia tentu bisa menduga jika saat ini anaknya sedang mati-matian untuk menahan rasa kesalnya.Sriani menggelengkan kepalanya ke arah Aryan.Aryan mengerti apa yang d
David Araya langsung mendorong Almyra ke dinding dan mengunci tubuh wanita cantik itu.Pria bertubuh padat itu dengan lapar melahap bibir Almyra yang ranum. David tak lupa mengabsen satu per satu gigi yang putih nan rapi milik Almyra.Setelah puas mengeksplor mulut Almyra, David beralih pada leher Almyra dan juga bahunya yang sangat mulus.Namun sayang, sebelum kegiatan panas itu berlanjut ke atas ranjang, David Araya harus mengakhirinya karena ponsel mewahnya yang harganya sama dengan harga motor itu berdering."Oh, shit!" umpat David.Dia menghela napasnya dengan kasar dan bergegas mengambil ponselnya yang dia letakkan di atas meja tamu.Almyra segera merapikan dirinya dan ikut penasaran siapa yang telah menganggu olahraga panasnya dengan David."Iya, Ma. Apa? Sekarang?"David mengambil napas sebelum mengembuskannya dengan perlahan. Rupanya dia harus menunda acara bercintanya dengan Almyra."Maaf, Sayang. Aku tak bisa melanjutkannya. Mama meminta aku untuk segera pulang," ucap David.
Valentino sedang kebingungan sekarang. Dia masih belum keluar dan pergi bekerja karena dia masih agak parno soal Almyra yang tiba-tiba saja kini menjadi tetangganya. Meskipun mereka tidak tinggal di lantai yang sama, Valentino tetap merasa tidak tenang. Kekhawatiran terbesarnya tentu saja berkaitan dengan penyamarannya yang bisa saja terbongkar karena terpergok oleh Almyra. Maka dari itu saat ini dia menunggu Almyra keluar dari unitnya dan pergi dulu ke kantor. Sebagai pemilik gedung Apartemen Gardenia Hills, tentu sangat mudah bagi Valentino untuk meminta anak buahnya mengawasi salah satu penghuni apartemen itu. Valentino tak ingin mengambil resiko karena jika identitas aslinya terbongkar, dia bisa saja gagal untuk mengungkap dibalik kematian ayahnya. Dan Valentino masih belum ingin identitasnya terbongkar. "Tuan, Nona Almyra sudah pergi ke kantor dijemput oleh Pak David," ucap Ruslan. Valentino tak terkejut sama sekali. Dia juga sudah mengetahui jika mereka berdua memang sepasan
"Di mana tetangga baru kamu itu?" tanya David yang melihat ke arah beberapa orang yang sudah hadir di dalam apartemen miliknya yang dia berikan pada Almyra itu. "Sebentar lagi pasti datang," ucap Almyra yakin. David yang melihat kekasih hatinya itu sedang bersemangat karena menunggu kehadiran tetangganya yang mereka temui di lift itu merasa sangat kesal. "Almyra, aku nggak mau ya kamu nanti bikin masalah," ucap David. Almyra menoleh ke arah David. "Masalah apa? Perasaan aku nggak pernah buat masalah sama siapapun deh, Sayang." "Maksud aku, aku nggak mau kamu nempel terus dekat-dekat dengan si pria di lift itu," ucap David. Almyra baru saja menyadari hal yang tidak disangkanya. "Kamu cemburu, Sayang?" tanya Almyra. David menatap Almyra dan memegang dagunya yang lancip namun tetap memesona. "Bukan cemburu lagi. Tapi aku benci jika ada laki-laki yang berusaha mendekati kamu. Aku benci jika kamu dekat dengan orang lain. Jadi jangan coba-coba, Almyra! Karena aku tak akan suka meli
"Tunggu dulu!" ucap David setengah berteriak saat dia melihat Valentino yang akan segera pergi dari acaranya. Valentino membeku di tempatnya. Mungkinkah dia ketahuan? Apakah penyamaran yang baru saja dilakukannya selama satu bulan lebih ini sudah terbongkar? Astaga, dia segera menyalahkan diri sendiri yang sangat bodoh karena mengambil resiko menggunakan nama 'Miller' untuk nama belakangnya. Tapi apakah mungkin David mengetahui jika marga itu adalah marga dari ayah tirinya? Pikiran Valentino sudah tak karuan saat David sampai ke tempatnya berdiri. Namun yang aneh, David malah menyunggingkan senyum ramah kepadanya. Alisnya terangkat sebelah. "Iya, Pak David. Ada apa?" tanya Valentino. "Ah, jangan panggil saya begitu. Panggil saya dengan nama saya saja. Kita sepertinya seumuran," ucap David. Valentino malah semakin ketar-ketir karena David sepertinya mulai mengetahui tentang Valentino lebih detail. "Ah, iya baik," jawab Valentino namun dia masih gelisah. "Oh iya, ada apa Anda ta
Valentino langsung berdiri, bukan karena takut tapi karena kaget. "Ma-af, Pak David. Sa-saya tadi disuruh Pak Agusta un-tuk... Untuk... " "Apa-apaan sih? Udah culun, sekarang tambah gagap. Aku heran kenapa kau bisa diterima perusahaan milikku ini? Apa ada orang dalam yang mendukungmu, Culun?" tanya David. Agusta melirik ke arah Valentino yang nampak menahan kesal. Kalau Agusta menjadi dirinya, sudah pasti dia akan membuat David babak belur karena sudah menghina dirinya apalagi David sudah mengatakan jika perusahaan ini miliknya. "Ti-dak Pak. Saya masuk lewat tes," jawab Valentino. "Ah ya sudahlah, sana keluar. Aku mau ada urusan dengan Agusta," ucap David. David mengibaskan tangannya ke arah Valentino yang saat ini sudah berdiri kaku. "Kenapa kamu masih diam saja?" tanya David yang melihat Valentino masih juga tak bergerak dari tempatnya. "I-iya, Pak. Maaf. Saya permisi dulu," pamit Valentino. Agusta melirik ke arah sahabatnya itu. Sebelum Valentino pergi, dia sempat mengedi
"Bersabarlah, Valen. Aku masih mencoba untuk memikirkan cara yang tepat untuk mengeksekusi rencana ini," ucap Agusta. Valentino hanya manggut-manggut. "Baiklah kalau begitu. Aku harap kau segera menemukan cara yang tepat untuk menyingkirkan salah satu peranku. Karena bagaimanapun juga aku tak ingin menjalani tiga peran yang pasti cukup melelahkan untukku," ucap Valentino. "Yeah. Dan apa yang harus kita lakukan setelah bertemu dengan Antonio Cassano nanti?" tanya Agusta penasaran. "Bukan kita. Tapi kau. Karena aku sudah mengenal Antonio jadi yang perlu kau lakukan nanti adalah kau harus mencoba untuk meyakinkan si David untuk bertemu dengan Antonio. Dia harus menjalin kerjasama bisnis dengan Antonio agar kita bisa mengendalikan kerjasama ini," ucap Valentino. Agusta hanya memandang teman masa kecilnya itu dengan tatapan jengah. "Tapi Valen, bagaimana caranya kau membuat si Antonio Cassano itu mau membantu kita?" tanya Agusta. Valentino tersenyum misterius. "Aku punya banyak cara