Lenyepp...nyepp..! Splashh..! Permadi pun tenggelam dalam alam keheningan. Kedua matanya terpejam dengan ‘mata ketiga’ terbuka terang, menelusuri jejak sang ayah angkatnya. Satu jam lebih Permadi tenggelam dalam meditasi samuderanya, dirinya serasa bersila melayang di tengah samudera luas. Sementara pancaran ‘mata ketiga’nya tak henti mencari energi Ki Sentanu yang sangat di kenalnya itu. Namun jejak energi sang ayah angkat tak jua di lihat dan di temuinya. Pancaran aura Ki Sentanu bagai menguap begitu saja. Sirna, bagai asap tertiup angin. Pemulihan energinya telah selesai. Namun Permadi tetap memancarkan sinyal pencarian dari ‘mata ketiga’nya, dengan daya pancar maksimalnya. Beberapa saat kemudian, kedua matanya terbuka kembali, dalam keadaan berkilat kebiruan dalam amarah. Pencariannya nihil..! Ya, hanya ada satu kesimpulan yang terpikir di benak Permadi. Ayah angkatnya, Ki Sentanu telah menemui ajal.! “Huaarrkkhhs...!!" Teriakkan membadai Permadi yang dilambari powernya,
“Pagi Reva, Ibu. Maaf Elang telat ya,” Elang berkata sambil tersenyum dan menghampiri mereka. Dia pun ikut duduk di salah satu kursi meja makan. “Ahh, nggak telat kok Elang. Kami yang kepagian dari biasanya. Hehe,” ucap Resmi sambil terkekeh. “Mas Elang, hari ini Bi Rina dan mamah masak menu spesial lho. Ada nasi goreng sapi, bakwan udang jagung, dan sambal goreng,” Reva menyebutkan menu spesial, pada sarapan mereka kali ini. “Wahh. Sepertinya Elang bisa makan banyak ini. Hahaa..!” Elang tertawa lepas, menu yang disebutkan Reva memang menggugah selera makannya. Tudung saji pun di buka, dan mereka semua makan dengan nikmat sambil berbincang hangat. ‘Ahh, Elang. Cepatlah kau kembali lagi ke sini Nak’, bathin Resmi berharap. Hatinya merasa hangat dengan kehadiran Elang, di meja makan rumahnya. Usai sarapan mereka pun lanjut berbincang di ruang teras, “Elang, sampai kapan kau akan hidup dalam perantauan? Ibu sungguh tak memahamimu Elang,” Resmi bertanya pada Elang pelan. Dia meman
"Mas Elang tampak gagah memakai jam tangan ini,” ucap Reva memuji. “Ahh, Reva. Jam ini pasti mahal harganya ya?” tanya Elang, sambil melihat jam tangan di pergelangan tangannya. Menurut Elang jam itu terlalu bagus, untuk melingkar di tangannya. Sebenarnya Elang enggan menerima pemberian Reva itu. Namun melihat ketulusan Reva memberi, dia tak ingin mengecewakannya.“Harganya jauh lebih rendah, dibanding budi baik Mas pada Reva dan keluarga Reva, Mas Elang,” sahut Reva tersenyum, sambil mendekat lalu memeluk Elang dengan erat. Reva mencium bibir Elang dengan lembut, Elang menyambutnya hangat. Lumatan lembut pun berubah menjadi panas, dan secara naluriah keduanya saling melepas pakaian mereka satu persatu. Kamar villa yang lama dingin tak dihuni itu pun kini memanas, dengan masuknya dua insan yang hendak mencurahkan hasratnya. *** Permadi melesat dan terus melesat, hingga akhirnya dia sampai di wilayah Purwokerto. Dia bermalam di sebuah losmen dekat Andang Pangrenan. Permadi masi
"A-akhu mau sampai Re..vahh.! Akhgss.!" Elang tersengal, seraya hendak mencabut batang kemaluannya. “Ohgsss.! Aku .. juga..! J-jangan di ca..but Massh..! Uhgsss..!” Untuk kesekian kalinya tubuh dan pinggul Reva tersentak-sentak. Sementara Elang pun tak mampu lagi bertahan, “Asghsh..!” Elang membalikkan tubuh Reva, dan memacu cepat di atasnya. Beberapa saat kemudian mereka pun saling berangkulan erat. Dengan pangkal paha yang saling merapat dan meregang kaku. Ya, keduanya memuntahkan kenikmatannya, dalam waktu yang bersamaan. Tak lama kemudian tubuh Elang pun bergulir rebah disisi Reva yang masih terlentang dan tersengal meresapi sisa-sisa multi orgasmenya. “Terimakasih Reva,” ucap Elang, seraya mengecup pipi Reva. “Aku yang berterimakasih sama Mas Elang, permainan kali begitu indah Mas,” balas Reva sambil mengecup bibir Elang. Lalu Reva pun merebahkan kepalanya di dada bidang Elang. “Reva, apakah kau dengar? Helikoptermu sudah kembali di atas,” Elang berkata pelan. Dia men
“Silahkan Mas,” si ibu tersenyum, mempersilahkan Elang menyantap menu yang dipesannya. “Terimakasih Bu,” Elang tersenyum dan mulai menyantap menu makan siangnya. Tak memerlukan waktu lama, hidangan di atas mejanya pun ludes tandas. Elang tersenyum puas, ‘Masakkan Ibu ini benar-benar mantap, bumbunya pas sekali’, bathin Elang puas. “Masakkan Ibu sedap sekali, tapi kok agak sepi pembeli ya Bu?” Elang memuji, sambil memancing keterangan dari si ibu pemilik warung. “Terimakasih Mas. Memang sudah 3 bulan ini, warung ibu kok tiba-tiba jadi sepi. Padahal sebelumnya selalu ramai pembeli lho Mas,” si ibu merasa sangat senang masakannya di puji Elang, lalu dia juga mengemukakan keluhannya. “Sepertinya memang ada yang ‘mengganjal’ warung makan Ibu,” Elang berkata pelan, namun jelas terdengar oleh si ibu. “A..apa yang mengganjal di warung saya Mas..?!” ibu itu berseru kaget, mendengar ucapan Elang. “Ada pihak yang menanam sesuatu di depan tangga masuk ke warung Ibu,” sahut Elang tenang.
Dini sungguh tak menyangka akan menemui ‘pelanggan’ luar biasa seperti Permadi. Karena biasanya ‘pelanggan’nyalah yang megap-megap kehabisan cairan, hanya dalam waktu satu ronde. Entah apa yang dirasakan Dini saat ini, anugerah atau musibah baginya. Ukuran vital pemuda tampan ini sebenarnya hanya sedikit lebih besar, dari rata-rata pelanggan yang pernah memompa dirinya. Namun stamina dan ‘kerasnya’ kemaluan pemuda itu, sangat menggedor titik-titik G spot dalam dirinya. Hingga meledakkan titik ‘tertinggi dan terpekanya. Maka melayanglah Dini dalam klimaksnya tiga kali berturut-turut malam itu. Hal yang tak pernah di alaminya, selama menjadi ‘kembang’ di wisma ‘Roses’ ini. 'Pemuda ini sungguh luar biasa..! Sesungguhnya siapakah yang sedang melayani? Aku atau dia?’ bathin Dini kagum, dan merasa terpuaskan malam itu. Hanya selang istirahat sejenak. Permadi kembali melesakkan ‘milik’nya ke liang Dini, yang terasa masih lumayan menggigit baginya. “Ohkss..! Mas nggak pakai obat kuat
‘Emperor Lounge n Club’ yang berlokasi di Seminyak - Bali, malam itu nampak cukup semarak. Dengan latar dentuman musik menghentak, yang cukup menggugah adrenalin. Devi duduk di sofa mewah, yang ada di ruang dalam club. Duduk di sisinya Tuan Schafer dari Jerman, yang terus memandang kagum dan penuh hasrat pada Devi. Devi adalah putri Aditya, seorang pengusaha menengah yang bergerak di bidang kerajinan dan souvenir khas Bali. Usia Devi barulah 20 tahun, namun kedewasaan berpikirnya melampaui usianya. Soal kecantikkan tidaklah perlu ditanyakan lagi. Kesan anggun dan cantik akan langsung ‘parkir’ dalam benak pria, yang menatapnya walau hanya sesaat. Rambutnya hitam berkilau dan agak bergelombang panjang, sebatas pertengahan lengannya. Wajahnya agak oval, dengan ornamen hidung mancung sedangnya. Kulitnya kuning langsat, dengan dahi mulus cerah. Inner beauty gadis itu juga memancar, akibat rajin dan khusyunya Devi bersemedi, baik di pura maupun di rumahnya. Devi dan keluarganya adal
Tak berapa lama kemudian, sampailah mereka di depan hotel bintang lima 'Kalila’. Kedua pengawal Schafer turun dari mobilnya, lalu membawa sosok Devi dari mobil bos mereka. Schafer juga ikut turun di depan hotel itu, dengan di ikuti oleh kedua pengawalnya yang memapah tubuh Devi. Dan mobil pun lanjut parkir di area parkir hotel.Sayangnya Schafer cs tak menyadari, kalau sepasang mata tajam dari luar hotel tak lepas mengikuti gerak-gerik mereka, sejak mereka turun dari mobil di depan hotel. Ya, Elang telah menerapkan aji ‘wisik sukma’nya, sejak dia melihat sosok seorang gadis cantik di papah dalam keadaan tak sadarkan diri. Elang bahkan sempat membaca isi bathin si Schafer, yang terlihat sebagai bos di antara mereka. ‘Hmm. Kali ini kena kau Devi, tiga hari sudah aku menanti kesempatan ini. Akhirnya aku bisa juga ‘mencicipi’ tubuh molekmu ini. Kau takkan bisa lagi menolak menikah denganku..! Dan akan kuboyong kau ke Jerman dengan mudah, hahaaa..!’ Slapph..! Elang melesat cepat ma
"Bedebah..! Mereka pasukkan kerajaan Dhaka.! Sepertinya ada yang berkhianat dan memberitahukan lokasi markas kita! Ini pasti Nalika! Keparath!" seru murka Bhasuta, seraya menuduh Nalika sebagai pengkhianatnya. Ya, otak Bhasuta yang cerdik segera mengarahkan dugaannya pada Nalika. Karena memang hanya Nalika, satu-satunya orang diluar pasukkannya, yang mengetahui lokasi markas pasukkannya itu. Dan hal itu memang tak salah adanya..!"Bedebah..! Tahu begitu semalam kuhabisi saja dia..!" teriak Layangseta marah sekali. "Ayo, kita maju bersama..!" seru Bhasuta, seraya melesat ke arah belakang markas. Sementara nampak ratusan kuda masih berlarian kesana kemari, di dalam area markas. "SERANG..!!" Sethh..! Patih Kalagama berseru lantang, seraya mengacungkan kerisnya ke udara. Lalu dia mendahului maju bersama Nalika di sampingnya. "Hiyyaahhh....!!!" Seruan menggelegar ribuan prajurit Dhaka pun membahana, bak gelombang tsunami. Mereka berlarian menyerbu masuk, melalui celah pagar belaka
Matahari belum sepenuhnya terbit, saat pasukkan kerajaan Dhaka tiba, di lokasi belakang markas pasukkan pemberontak. Keadaan di belakang markas itu, masih berupa rerimbunan hutan belantara yang lebat. Disebut sebagai hutan Kandangmayit. Karena memang dalam sejarahnya, hutan itu pernah menjadi tempat pertarungan antar kerajaan, antar suku, dan juga antar para pendekar. Banyak tulang belulang tengkorak berserakkan di hutan belantara itu. Hal yang dibiarkan begitu saja, dan menimbulkan rasa ngeri dan seram, bagi orang-orang untuk masuk ke hutan itu. Sehingga akhirnya lambat laun, orang-orang terbiasa menyebut hutan itu sebagai hutan 'Kandangmayit'..! Patih Kalagama segera membagi pasukannya menjadi 4 pasukkan. Sebanyak 1200 prajurit masuk dalam pasukkan utama, yang berada di belakang markas. Pasukkan itu dipimpin langsung olehnya dan Elang. Sementara sisanya dibagi menjadi 3 pasukkan, dengan masing pasukkan berkekuatan 600 prajurit. Ketiga pasukkan yang masing-masing dipimpin ole
"Paduka Raja. Hamba dan Nalika sudah mengamati dengan teliti, daerah sekitar markas pasukkan Panglima Api berada. Dan rasanya kita akan bisa mengatasi pasukkan mereka. Jumlah pasukan mereka sebanyak 1700 orang. Mereka juga dibantu oleh beberapa orang tokoh dari rimba persilatan. Dan celah terbaik untuk menyerang mereka, adalah dari arah belakang markas mereka paduka," Elang mengungkapkan hasil pengintaiannya, pada sang Raja beserta jajarannya. "Hmm. Kenapa harus dari belakang Elang..? Bukankah bagian belakang biasanya terpagar rapat..?" tanya sang Raja agak bingung, dengan celah penyerangan yang dikatakan Elang. "Benar Paduka Raja. Bagian belakang markas mereka memang terpagar rapat. Namun hamba akan menjebol pagar itu dengan pukulan hamba. Karena di bagian belakang markas mereka, adalah tempat mereka menambatkan ratusan kuda di sana. Kita bisa menjebol dan mengagetkan kuda-kuda itu, agar mereka berlarian panik ke tengah tengah markas. Dengan melepaskan panah api ke arah kuda, d
"Heii..! Siapa yang bersamamu Nalika..? Aku baru melihatnya," seru bertanya Bhasuta, dengan mata menatap tajam pada Elang. Dia bisa merasakan aura energi Elang, yang dirasanya cukup besar. Susah payah Elang menyembunyikan 'aura power'nya. Namun ternyata masih tertangkap juga oleh mata awas Bhasuta. Elang memang berhasil meredam getar energi dalam dirinya. Namun aura dasar seorang pendekar, yang memiliki power pastilah tetap nampak. Terlebih di mata orang linuwih seperti Bhasuta ini. "Ahh, dia hanya seorang pengawal pribadi yang saya bayar Panglima. Karena disaat genting ini, posisiku cukup rawan di mata pihak istana. Makanya aku harus berjaga-jaga Panglima," sahut Nalika tenang. 'Hmm. Memang masuk akal. Nalika pasti ketakutan jika rahasianya terbongkar oleh kerajaan', bathin Bhasuta, memaklumi alasan Nalika. "Baiklah Nalika. Siapa namamu anak muda?" tanya Bhasuta pada Elang. "Saya Prayoga, Tuan Panglima," sahut Elang, hanya menyebutkan nama belakangnya. "Bagus..! Bantulah Nalik
"Nalika. Sekarang saatnya kita ke berdua ke markas pusat Pasukan Panglima Api, di hutan Kandangmayit. Laporkan saja pada Panglima Api itu, kalau semuanya beres dan sesuai rencana. Sementara aku hendak mengamati dan mempelajari situasi di markas itu. Sebelum penyerangan pasukkan kerajaan Dhaka esok hari," ujar Elang, memberikan arahan. "Baik Mas Elang..!" sahut Nalika patuh. "Para prajurit..! Segera bereskan mayat-mayat pasukan pemberontak itu, dan berjagalah..!" seru Nalika tegas, pada para prajurit yang berada di situ. "Baik Kanjeng Adipati..!!" seru mereka semua. Taph..! Slaph..! Elang langsung menyambar tubuh Nalika, dan membawanya melesat cepat, menuju ke arah selatan. Dan seperti yang sudah-sudah, Nalika hanya bisa memejamkan matanya. Dia tetap saja masih merasa ngeri untuk membuka matanya, saat dibawa Elang melesat. Dengan kecepatan yang berada diluar nalarnya itu. Dan benar saja, hanya kira-kira 15 helaan nafas saja. Elang sudah menghentikan lesatannya, dan hinggap di
"Ba-baik Mas Elang..! Pengawal..! Tutup pintu ruangan ini..! Jangan biarkan siapapun masuk..! Katakan saja sedang ada pertemuan, bila ada ada teman mereka yang bertanya..!" perintah Nalika, pada para prajurit yang berjaga. "Ba-baik Kanjeng Adipati..!" seru para pengawal itu. Nalika segera menuju ke ruang dalam kadipaten yang merupakan ruang keluarganya, tampak beberapa kamar di ruangan itu. Brethk..! Terdengar suara kain tersobek, di sebuah kamar yang pintunya setengah terbuka. "Keparat bajingan kau..! Belum puas kau menggauli pelayan-pelayan di istana ini..?! Tidakk..!! Mmphh!" terdengar pula teriakkan seorang wanita dalam kamar itu. Ya, rupanya benar, kamar itu adalah kamar Nalika dan istrinya. "Hhh.. hh..! Hahahaa..! Menyerahlah cantik..! Kau milikku malam ini," suara kasar seorang lelaki terdengar, seraya terbahak dengan nafas memburu. Dia baru saja melumat paksa bibir ranum milik Anjani, istri sang Adipati. "Nimas Anjani..!!" Braghk..! Nalika langsung berseru marah, se
"Ahh..!" terdengar seruan Nalika, yang sejak tadi memejamkan kedua matanya. Dia memang sangat terkejut dan jerih, melihat betapa cepatnya lesatan Elang membawa tubuhnya. Suatu kecepatan yang baginya tak mungkin, dimiliki oleh seorang manusia. Dan Elang memang sengaja membawa Nalika, ke tempat sunyi ini lebih dulu. Untuk memberikan sedikit peringatan pada Nalika. Agar tiada lagi 'keinginan' berkhianat di hatinya, terhadap kerajaan. "Nalika..! Inilah yang akan terjadi pada tubuhmu, jika kau berani berkhianat. Kau lihatlah bukit batu di kejauhan itu," seru Elang, seraya menunjuk sebuah bukit batu. Bukit batu itu terletak sekitar ratusan langkah, dari posisi mereka berada. Seth! Daambh..! Elang acungkan genggaman tangan kanannya ke atas, lalu hantamkan kaki kanannya deras ke bumi. Grghks..! Grrghkkh..!! Bumi di sekitar area itu pun berguncang dahsyat bak dilanda gempa. Gemuruhnya bagai puluhan ekor gajah, yang berlarian menabrak pepohonan. "Jagad Dewa Bhatara..!" Seth..! Nalika
"Nalika..! Kau sudah dengar apa yang dikatakan Elang. Apakah kau masih hendak berkhianat atau tidak, itu terserah kau..! Namun jangan salahkan pihak kerajaan. Jika sampai seluruh keluargamu kami babat habis..! Kau mengerti..?!" seru sang Prabu, memberikan peringatan keras pada Nalika. "Ba-baik Paduka Prabu! Hamba mengerti," sahut Nalika, terbata penuh rasa gentar. "Pengawal..! Lepaskan ikatannya.!" perintah sang Raja, pada kedua pengawal yang berdiri di belakang Nalika. "Baiklah Paduka Raja. Hamba mohon diri dulu bersama Nalika. Agar kami tak terlalu malam sampai di hutan Kandangmayit," Elang pun pamit undur diri, dari hadapan Raja Samaradewa. "Baiklah Elang. Pergilah dengan restu dariku," ucap sang Prabu. Taph..! Slaphh. ! Elang langsung menyambar tubuh Nalika, lalu mereka pun langsung lenyap seketika, dari ruang dalem istana. Bagai tak pernah ada di ruangan itu. 'Luar biasa..! Siapa sebenarnya pemuda bernama Elang itu..? Baru kali ini aku mendengar dan melihatnya. Ternyata
"A-ampun Gusti Prabu. Hanya hamba yang berkhianat dalam hal ini. Istri dan putra hamba bahkan telah mengingatkan hamba. Namun hambalah yang berkeras kepala. Panglima Api juga mengancam dan menekan hamba Gusti Prabu. Hingga akhirnya hamba tak bisa menolak, untuk berkhianat terhadap kerajaan," sahut Nalika tergagap, dengan tubuh gemetar gentar bukan main. Namun rupanya dia masih ingat, untuk meminta ampunan bagi anak dan istrinya. "Nalika..! Aku bertanya apa rencana Panglima Api pada kerajaan ini..?! Bukan soal alasanmu berkhianat! Cepat katakan, Nalika..!!" seruan sang Raja Samaradewa memgguntur, di dalam ruangan dalem istana tersebut. Hal itu membuat siapapun yang berada di dalam ruangan tergetar ngeri. Karena sang Prabu, tak sengaja telah mengeluarkan aji 'Sabdo Guntur'nya. Sebuah ajian yang memang rata-rata dimiliki oleh seorang Raja, atau pun pemimpin tertinggi. Ajian yang diperoleh dengan laku bathin yang cukup sulit. "Ba-baik Gusti Prabu. Panglima Api beserta pasukkannya a