Bab 57: Kisah Seram Masa LaluTiba di pendakian Gunung Lawu, yang tingginya mencapai 3.265 mdpl merupakan sebuah rencana yang paling jadi prioritas mereka setelah Pak Parjo sudah bisa sadar.Pak Kades berhalangan datang malam itu, hingga ia memutuskan tiba esok pagi.Rendy meminta maaf dan mencoba menceritakan detail awal, meskipun sedikit tak masuk akal.Pak Kades diminta menanyakannya sendiri pada Pak Parjo.Untung saja Pak Kades tak berpikir bahwa ini semacam trik untuk melakukan percobaan pencurian mobil untuk melarikan diri dari masalah pribadi.Malam ini memang sudah membuat tenaga mereka terkuras habis, sampai harus mengisi perutnya dengan banyak porsi makanan.Penduduk lain yang tadinya mau menolong mereka sebenarnya ingin membantu lebih banyak, tapi merekapun masih ada pekerjaan yang tak mungkin ditunda."Pasien masih belum sadarkan diri, nanti saya coba bawa bantuan lagi dari kampung saya. Beliau pasti butuh baju ganti dan makanan," ujar Bapak itu."Oh, kalau masalah itu beso
Bab 58: Rangkaian Kejadian Di Pos 4"Yang saya dan teman-teman lihat, Muji berbicara dengan bahasa Jawa. Arwah itu adalah korban yang hilang karena kena hipotermia. Ada tiga orang yang meninggal bersama arwah itu, mereka semua pendaki."Dua korban lainnya sudah ditemukan, tapi hanya dia yang masih hilang. Dua korban itu adalah sepasang laki-laki dan perempuan. Mereka asalnya dari Solo."Beberapa kali Muji menangis, lalu tersenyum dan tak lama malah tertawa mengerikan. Ternyata ia suka dengan si pria yang sudah menjadi kekasih sahabatnya itu."Istilahnya, mati penasaran karena cintanya tak kesampaian."Keempatnya mulai sedikit merasa geli tapi juga iba secara bersamaan. Mereka tak boleh menertawakan peristiwa tragis itu."Saat Muji siuman, ia langsung bertanya pada kami. Ada apa, kenapa pada berkumpul disini? Yah, kami tidak ada yang jawab."Putrapun merasakan ada kesamaan dengan apa yang dialami Muji. Ketika kala itu ia sempat akan mengalami kerasukan saat melihat perempuan di jurang.
Bab 59: Dibalik Cerita Sebenarnya Pagi menjelang, Pak Karto masih duduk di sisi teras dekat tempat wudhu. Tapi sejak semalam Ryan sengaja memasang minicamnya dibalik jaket tanpa sepengetahuan yang lain, termasuk Pak Karto sendiri.Ryan memasangnya saat ia membereskan bungkus makanan yang berserakan.Rendy dan Deny mandi di kamar mandi Mushola yang jumlahnya ada dua. Satu hanya untuk mandi saja dan semuanya harus membayar infak seikhlasnya di kotak samping pintu.Tinggal Rendy yang masih baru terbangun, ia mengulet. Memang wajar saat ini ia kesusahan bangun, karena paling larut tidur.Ia bertanya pada Pak Karto karena sempat mengobrol semalam, "Bapak tidurnya nyenyak sekali tadi malam, kalau capek istirahat saja."Pak Karto masih diam, duduk sambil menyesap rokoknya yang hampir habis itu. Ia mengeryit, lalu mematikan puntung rokoknya dan menjawab Rendy yang masih malas-malasan. "Tadi pagi waktu kalian sholat Shubuh, aku kan tidur. Kenapa tidak dibangunkan?" tanyanya kebingungan.Henda
Bab 60: Berdalih Dari KesalahanSeringnya mereka mengalami hal-hal mistis membuat, membuat merek tak terlalu takut. Seperti sudah jadi makanan mereka sehari-hari. Mereka cenderung bersandar pada kepercayaan yang masih kental unsur tradisinya. Mereka yang hidupnya penuh kesederhanaan, tentunya tidak terlalu membuat nyali mereka seperti kebanyakan orang jaman sekarang.Pak Karto enggan berlama-lama di ruangan yang sama dengan Pak Kades. Ia salah tingkah saat beradu pandang dengan orang terpenting di desa itu.Mungkin jika Pak Kades tidak mencurigainya, pasti Pak Karto juga biasa-biasa saja.Terlebih isi rekaman itu sebenarnya tidak mengindikasikan sesuatu. Tak ada yang membuat Pak Kades harus marah padanya, begitu semestinga pola pikir Pak Karto."Saya mau pamit, nanti kita bisa saling berkabar lagi." Singkat ia berpamitan, dan menyalami semuanya yang ada di ruang itu.Meski tampak cukup tergesa, tapi ia merasa wajar saja.Pak Kades berusaha menahannya, "Kok terburu-buru sekali sih. Ki
Bab 61: Hal Yang Tak Bisa DitawarPak Karto mulai merasa suatu ancaman yang menyerangnya secara bersamaan, dan itu sanggup membakar emosinya hingga tanpa sadar ia mengepalkan tangannya.Semakin dihujat, semakin kuat ia mempertahankan prinsipnya. Ia menggertakkan rahangnya, tapi masih sanggup menahannya. Terbersit di wajahnya seperti tidak terjadi masalah yang besar.Setiap kali ia mendengarkan ucapan penuh kebencian itu, ia menyungging senyum sekilas. Tapi siapapun yang melihat pasti paham artinya.Hatinya mulai terbaca Pak Kades sampai terpaksa memaksanya mengambil satu keputusan.Pak Kades mulai cermat, ia tidak menekan Pak Karto lebih lama."Saya akan mengamankan saja, tidak akan membakarnya. Nanti kita simpan di brankas besi. Jimat Bapak tidak akan ada masalah, saya jamin," jelas Pak Kades sebatas candaan satir."Tapi, benda ini harus ada didekat orang. Dan ini tidak boleh ditaruh di sembarang tempat." Kembali pemilik jimat itu berargumen. Ia mengingkari ucapannya sendiri, dan mak
Bab 62: Dendam dan Amarah Pak KartoSuster Renata telah meninggalkan ruangan mereka. Tapi jelas saja Putra masih ingin menyimpan nomornya meskipun masih belum ia dapatkan."Kita tidak perlu meributkan hal-hal yang tidak perlu. Asal ada Iman saja, kita percaya ada rizki dari Alloh. Bukankah yang kita cari dalam hidup adalah keberkahan?" ulas Pak Kades melanjutkan topik yang sempat terjeda tadi."Bukan hanya itu saja, kasus yang sekiranya tidak pernah kita tahu jadi terbongkar. Jadi miris saya mendengarnya. Apalagi jaman seperti sekarang yang sudah sangat modern dan tidak patut dijadikan bahan pembicaraan. Bagaimana dengan generasi penerus kita nanti?" imbuhnya panjang lebar."Banyak dari kita yang masih kurang edukasi, tapi khayalan terlalu tinggi." Pak Parjo yang lebih tua menambahkan opininya."Sama saja dengan istilahnya mendaki gunung tapi hanya dalam mimpi. Ya jelas tidak kamana-mana," ujarnya mempertegas opini tadi."Iya, yang terlihat saat itu orang kaya itu hidupnya enak. Tidak
Bab 63: Kehilangan Jejak RendyRendy mulai merasa saat ini ia harus memutuskan sesuatu, meski tujuannya belum jelas. Tak mungkin ia mengubah perspektifnya hanya dalam sedetik waktu."Enak saja, mereka pikir bisa senang-senang. Sementara aku, tidak seberuntung mereka. Aku nggak mau dijadikan bahan lelucon si Arya, nggak sudi lah!" gerutunya saat duduk di bangku ruang tunggu.Ia mulai memikirkan untuk menuliskan sepucuk surat yang cuma seadanya untuk semua teman-temannya di Rumah Sakit tempat Pak Parjo dirawat."Sepertinya aku harus membuat mereka lebih paham perasaanku. Aku bukan pecundang, aku tidak menyedihkan. Mereka akan tahu kalau aku sudah pergi nanti!" lanjutnya masih dalam emosi yang membutakan pikiran jernihnya.Meski sedikit berat, ia mencoba memusatkan pikirannya agar mampu menuntaskan permasalahan seputar konflik perselisihan kisah romansa mereka.Diawali dengan sedikit rasa ragu, ia mencoba menata niat yang mulai bulat. Dalam hati ia berdo'a mengambil keputusan final itu.
Bab 64: Munculnya Sosok Dari Jaman KerajaanDetik waktu mulai terasa lambat, seperti tidak ada arah dan tujuan. Tapi hal itu makin mendesak Rendy untuk mengeksplor dan memanfaatkan lebih banyak kesempatan sebagai seorang publik figur dadakan. Meskipun masih dalam lingkup yang terbatas, dan iapun masih belum yakin sepenuhnya akan berhasil di langkah pertama.Saat ini Rendy berdiri diantara lengangnya situasi, bergelut dengan pikirannya sendiri. Mensiasati sebuah pencapaian ditengah udara yang tak lagi pengap dengan aroma khas rumah sakit. Dalam kesendirian, Rendy mengumpulkan nyali dan tenaga yang masih ia sisakan untuk pendakian solonya.Yang ada di pikirannya saat ini mengarah pada satu cara untuk tetap eksis. Ia mencari banyak info tentang seputar aktifitas seperti 'Solo Camping' yang kini jadi trend ditengah banyaknya para Youtuber. Satu yang tampaknya ingin ia jalani demi menjaga pamornya. Tentunya ia memilih hal ini karena merasa mampu dan yakin akan memiliki banyak pengikut baru