Dengan tergesa-gesa Pria tua itu beranjak dan membukakan pintu gerbang, aku menoleh pada Mas Bayu dan berkata, “Itu Pak Halim kan Mas?” tanyaku.
Mas Bayu hanya mengangguk, tanpa sepatah kata atau pun menoleh padaku, pandangannya lurus ke depan memperhatikan Pak Halim yang sedang membuka pintu gerbang. Mas Bayu pun mulai menjalankan mobil melewati pintu gerbang memasuki halaman rumah.“Mas masih marah?” tanyaku lagi. Mas Bayu menoleh padaku sambil menautkan kedua alis matanya.“Sama siapa?” jawabnya balik bertanya.“Sama aku, karena aku selalu mengeluh,” jawabku sambil menundukan kepala.“Aku juga lelah Sarah sama seperti kamu, aku ingin segera beristirahat.” Aku jadi makin merasa bersalah mendengar perkataan Mas Bayu, dari tadi aku yang hanya duduk diam selalu mengeluh cape lah, kesal lah, kenapa belum sampai, kejauhan, badan pegal-pegal padahal Mas Bayu yang dari tadi hampir dua belas jam di perjalanan dengan menyetir mobil lebih lelah dariku, tapi dia tidak bisa mengeluh.“Nanti Sarah pijitin di kamar yah Mas,” bujukku mencoba untuk menghiburnya.“Gak usah Sarah, kamu juga capek harus istirahat,” balas Mas Bayu dengan sikap dingin. Aku tak tahu apa yang harus aku katakan, sepertinya suasana hati Mas Bayu sedang tidak baik-baik saja sekarang, kesal dan cape mungkin sebaiknya aku diam daripada memperburuk suasana hatinya.Mas Bayu menghentikan mobilnya tepat di depan rumah, aku menoleh ke arah jendela mobil untuk melihat keadaan rumah dari balik jendela. Rumah ini benar-benar besar seperti sebuah istana di tengah-tengah perkebunan ada rumah yang semegah ini.Pak Halim membuka kan pintu mobil untukku, sedangkan Mas Bayu sudah keluar dari mobil dan beranjak pergi menghampiri pintu rumah yang besar dan berwarna emas itu. Aku pun keluar dari mobil lalu mengucapkan terima kasih pada Pak Halim karena telah membuka kan pintu mobil, Pak Halim hanya mengangguk dan pergi ke belakang mobil untuk mengeluarkan barang-barang kami. Aku beranjak melangkah kan kakiku menuju pintu rumah yang sudah dibuka oleh Mas Bayu, ketika tiba di ambang pintu aku merasa rumah ini tidak asing lagi, aku merasa pernah datang ke rumah ini, tapi kapan?Setelah tertegun beberapa saat untuk mengingat-ingat apa benar rumah ini pernah ku kunjungi sebelum nya? Aku menoleh pada Mas Bayu yang sedang berbicara dengan seorang wanita tua, penampilannya sangat rapi seperti wanita jawa jaman dulu, dengan rambutnya yang disanggul memakai kebaya dan kain batik. Padahal ini kan sudah tengah malam, kenapa penampilannya begitu rapih, apa dia tidur dengan berpakaian dan rambut rapi seperti itu?.Wanita itu menoleh padaku dengan tatapan tajam, aku tersenyum dan mengangguk namun wanita itu tanpa ekspresi dan tanpa membalas senyumku, lalu kembali menoleh pada Mas Bayu. Aneh apa kedua suami istri ini tidak bisa tersenyum pikirku, padahal aku kan istri dari tuan mereka seharusnya mereka menyambutku dengan ramah.Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, rumah yang benar-benar megah seperti sebuah istana, furniture di dalam rumah ini pun semuanya antik pasti sangat mahal harganya, karena bisa aku pastikan sudah tidak ada lagi di pasaran. Tentu saja semua barang ini peninggalan kedua orang tua Mas bayu, pasti mereka pun membeli furniture ini di Mebel barang antik, tapi semuanya begitu berkilauan sepertinya Mbok Dasmi asisten rumah tangga ini mengurus rumah dengan baik.Ada sebuah tangga berwarna emas yang tinggi dan berkelok dari ruang utama menuju ke lantai dua, mungkin ada beberapa ruangan atau kamar di lantai dua itu. Sekali lagi aku tertegun, seperti nya aku pernah melihat tangga itu sebelum nya. Namun ketika aku sedang tertegun, tiba-tiba kudengar ada suara tapak kaki yang berlari dari lantai atas itu dan seorang gadis yang sedang menangis, aku menautkan kedua alis mataku bukankah tidak ada penghuni lain di rumah ini hanya Mbok Dasmi dan pak Halim.Mendadak terlihat gadis itu kembali berlari sambil menangis--seolah dikejar sesuatu.“Mas siapa itu yang menangis?” tanyaku akhirnya pada Mas Bayu sambil menunjuk ke arah tangga.Mas Bayu sontak mengerutkan keningnya seperti kebingungan.(Bersambung)Mas Bayu tak menjawab pertanyaanku....Lantas, apakah itu hanya pendengaranku saja? Tapi suara tangisan dan suara seseorang yang berlari itu makin jelas. Jadi, aku pun beranjak dari tempatku berdiri dan bergegas melangkah kan kakiku menghampiri tangga. Aku berdiri mematung sambil menatap ke atas tangga menunggu seseorang yang akan datang dari atas tangga itu. Mataku seketika terbelalak ketika melihat seorang gadis dengan berpakaian kebaya putih seperti seorang pengantin, gadis pengantin dengan sanggul rambutnya yang sudah berantakan. Dia berlari dari atas tangga yang tinggi itu, namun kakinya terpeleset dan dia pun jatuh dari atas tangga berguling-guling sampai ke bawah dan jatuh tepat di bawah kaki ku. Dengan mata melotot dan baju kebaya yang sudah berlumuran darah yang membuat ku spontan berteriak histeris.“Aaaahhhhhhkkkkk!” teriakku histeris, dengan membelalakan mata melihat pemandangan yang mengerikan tepat di depan mataku.“Sarah! Sarah! Kamu kenapa?! Ada apa?!” seru Mas Bay
“Ayo Sarah….”Mas Bayu meraih lengan ku dan menuntun tangan ini berjalan menaiki anak tangga, dengan ragu aku pun mulai melangkahkan kaki mengikuti langkah kaki Mas Bayu menaiki tangga lantai dua rumah ini. Aku yakin pernah datang dan menaiki setiap anak tangga yang sedang ku jejaki dan lagi kenapa perasaan ku mengatakan pernah terjadi sesuatu yang mengerikan terjadi di rumah ini, aku pun penasaran dengan gadis berkebaya putih, siapa gadis itu? Aku merasa pernah melihatnya tapi dimana? Aku pernah bertemu dengan gadis berpakain pengantin kebaya putih itu, tapi kapan, dimana dan siapa dia?.Setelah menjejaki tangga satu persatu akhirnya kami sampai di lantai dua, terdapat empat kamar yang saling berhadapan di sana. Lagi dan lagi aku merasa sedang mengalami dejavu sesuatu yang pernah terjadi dan terulang berulang kali, ruangan ini, ke empat kamar ini aku pernah berada di sini sebelumnya. Sepertinya yang menempati kamar-kamar ini adalah kedua orang tua Mas Bayu dan adik perempuannya keti
“Mas…” ucapku dengan manja sambil memeluk punggungnya.“Lihat Sarah kolam renang yang pernah aku katakan padamu,” ujar Mas Bayu sambil menyingkapkan gorden jendela kamar. Aku pun melepaskan pelukanku dan menghampiri jendela, benar saja kulihat di bawah sana ada sebuah kolam renang yang besar dan terlihat uap putih yang keluar dari dalam kolam itu, menandakan air dalam kolam itu air panas.“Kita berenang yuk Mas,” ajakku pada Mas Bayu.Berharap Mas Bayu menyetujuinya, pasti sangat menyenangkan bisa berenang di kolam air panas itu malam-malam seperti ini berdua saja dengan Mas Bayu, menikmati bulan madu kami seperti yang sudah di rencanakan.Namun dari raut wajah Mas Bayu sepertinya dia sedang tidak bersemangat, aku yakin dia akan menolak ajakanku. Tapi aku bisa mengerti, karena pasti Mas Bayu kecapean setelah hampir dua belas jam mengendarai mobil dari Jakarta menuju ke rumah orangtuanya di desa terpencil ini.“Besok pagi-pagi saja yah Sarah, sekarang sudah tengah malam, lagi pula kita
Nenek uban aku memanggilnya seperti itu karena hampir seluruh rambut yang tumbuh di kepalanya penuh dengan uban. Aku bertemu dengannya ketika itu aku masih berusia delapan tahun, di saat kesedihan dan merindukan Mama dan Papah mengusik hatiku, aku selalu pergi ke sungai di desa yang tempatnya tidak begitu jauh dari rumah Kakek karena di sana adalah tempat paling nyaman untuk menumpahkan perasaan. Di sungai itulah aku bertemu dengan Nenek Uban. Saat itu aku hanya seorang gadis kecil berusia delapan tahun, yang sedang kebingungan dengan keadaan orang tuanya yang bercerai dan aku hanya bisa menyetujui permintaan Kakek yang mengajakku tinggal bersama nya, setelah Mamah dan Papah berpisah. Papah memutuskan untuk kerja di luar negeri sebagai TKW di Taiwan dan Mamah menikah lagi dengan Papah Hadi, yang sudah mempunyai dua orang anak laki-laki, usia mereka lebih tua tiga dan lima tahun dariku. Papah Hadi yang bekerja sebagai pegawai instansi pemerintah di Jakarta dan mempunyai rumah di J
Aku menautkan kedua alis mata merasa heran, main di sungai dengan duduk di atas batu di tengah-tengah derasnya air sungai apa Nenek itu tidak takut? Pikirku saat itu.“Nenek tidak takut jatuh? Kalo Nenek jatuh nanti Nenek kebawa arus air sungai Nek,” ujar ku setengah berteriak mengkhawatirkannya, namun Nenek itu malah tertawa lagi.“Ini tempatku, Nenek tidak takut karena sudah biasa disini hihihi…,” balasnya lagi.“Ayo sini kamu ikutan main air sama Nenek,” lanjut Nenek uban, sambil melambaikan tangan memintaku untuk menghampirinya.Aku menggelengkan kepala karena takut menghampirinya, bukan takut padanya tapi takut pada derasnya air sungai yang harus dilintasi dengan arusnya yang sangat deras.“Kenapa? Kamu takut? Ayo di sini menyenangkan sekali. Kamu bisa melihat ikan di dalam sana, ini pegang tongkat Nenek. Berjalan kesini hati-hati sambil berpegangan pada tongkat Nenek, ayolah jangan jadi penakut seperti itu. Kalau kamu jatuh nanti Nenek akan menolong kamu,” bujuk Nenek Uban sambil
“Tunggu di sana jangan turun dari batu itu, Kakek akan menghampiri dan membawamu dari sana, tetap di sana Sarah jangan bergerak sedikitpun!” Perintah Kakek dengan berteriak dan nada suara yang sangat khawatir, dapat dipastikan Kakek khawatir kalau aku bergerak dan terpeleset lalu jatuh dari batu besar ini, tentu akan hanyut terbawa derasnya air sungai. Sedangkan saat itu aku masih berusia delapan tahun, dengan badan yang juga kurus ini pasti akan sangat cepat hanyut terbawa derasnya arus air sungai.Itulah tentunya yang Kakek khawatirkan, sedangkan dia berada cukup jauh mungkin tidak akan sempat untuk menyelamatkan aku.Aku yang sedang berdiri di atas batu besar dan berada di tengah-tengah sungai, kebingungan apa yang harus dilakukan. Lalu aku pun menoleh dengan menundukan kepala pada Nenek Uban yang sedang duduk di batu besar itu.Nenek Uban tersenyum menyeringai memperlihatkan giginya yang tinggal tidak seberapa lagi dan berwarna hitam. Tetapi kenapa bulu kuduk ini merinding ketika
Nenek Uban masih tetap menundukan kepalanya di depan pintu rumah yang sudah kubuka, dengan kedua tangan memegangi tongkat yang dipakai untuk menopang tubuhnya yang sudah bungkuk. Aku menautkan kedua alis mata melihat Nenek uban yang tidak bergeming di tempatnya, apakah dia tidak mendengar perkataanku?.“Ayo Nek, kenapa diam saja, ayo masuk ke dalam, aku akan memperkenalkan Nenek pada Kakek,” pintaku.Namun tetap saja Nenek Uban tak bergeming seolah tak mendengar perkataanku, dia hanya terpaku berdiri di depan pintu rumah dan masih saja menundukan kepalanya. Tiba-tiba aku mendengar suara Kakek dari belakang, “Kamu bicara dengan siapa Sarah? Siapa yang datang?” tanya Kakek.Aku langsung membalikan badan menoleh pada Kakek, yang sudah berada di belakang sekitar tiga langkah dariku. Kakek sedang berdiri di belakang menatapku sambil mengerutkan keningnya sepertinya Kakek sedang kebingungan.“Ini Kek, Nenek Uban yang aku ceritakan tadi pada Kakek, dia yang datang mengetuk pintu rumah. Sekar
Kakek menganggukan kepalanya menjawab pertanyaanku dengan tersenyum tipis, meyakinkan bahwa dia percaya bahwa aku memang melihat Nenek Uban yang bukan manusia itu, tapi makhluk halus tak kasat mata yang tidak bisa dilihat oleh Kakek ataupun manusia lainnya, dan hanya akulah yang bisa melihatnya.“Kakek percaya kamu bisa melihatnya Sarah, tapi Kakek dan orang lain tidak bisa melihatnya. Karena yang kamu lihat sebagai Nenek-nenek itu adalah makhluk halus tak kasat mata, yang tidak bisa dilihat oleh manusia. Hanya kamu yang bisa melihatnya atas seijin Tuhan dan mungkin, karena kamu anak kecil yang masih polos dan tidak berdosa, atau entahlah Sarah mungkin Tuhan punya rencana lain untuk mu, hingga kamu bisa melihat makhluk halus yang tidak bisa dilihat oleh manusia,” jawab Kakek lalu tertegun, seperti sedang memikirkan sesuatu.“Entahlah hanya Tuhan yang tahu kenapa kamu bisa melihatnya, tapi untuk saat ini Kakek sebagai Kakekmu yang sangat menyayangimu. Kakek hanya ingin melindungi Sarah