Aku meraih tas yang ku simpan di sampingku untuk mengambil handphone, dengan niat memberitahu Mamah dan Nina bahwa aku sudah sampai di Desa tempat rumah Mas Bayu berada.
“Mas kok gak ada sinyal?” tanya ku sambil menautkan kedua alis mata dan menoleh pada Mas Bayu yang sedang menunggu pintu gerbang dibuka.“Memangnya Mas belum bilang sama kamu, kalau di sini memang gak ada sinyal sayang,” jawab Mas Bayu. Aku menggelengkan kepala, perasaan aku tidak ingat Mas Bayu pernah bilang kalau di rumahnya nanti gak akan ada sinyal untuk handphone ku ini ataupun internet.Kalau begitu berarti aku tidak dapat menghubungi siapa pun, dan terputus dari dunia luar sana. Aku berada di tempat yang asing dan baru kukunjungi dengan jarak hampir dua belas jam dari rumah, tanpa bisa menghubungi keluargaku.Tapi kan sekarang ini Mas Bayu suamiku, satu-satunya keluarga ku. Walaupun baru hampir sebulan yang lalu aku mengenalnya, dia adalah suami dan keluarga yang sebenarnya sekarang.“Kemana lagi nih Pak Halim,” ucap Mas Bayu. Sepertinya kesal karena asisten rumah tangganya itu tak kunjung datang membuka gerbang, lalu Mas Bayu menoleh padaku yang sedang tertegun memikirkan bahwa aku kini berada di tempat yang asing seorang diri tanpa bisa menghubungi keluargaku.“Kenapa sayang?” tanya Mas Bayu.“Mas gimana aku bisa menghubungi keluargaku kalau gak ada sinyal kaya gini? Trus gimana aku bisa tahu keadaan di luar sana kalau gak ada internet?” jawabku, dengan balik bertanya lebih tepatnya mengeluh.“Mamah kamu sudah tahu kamu pergi ke rumah orang tuaku, dan keluarga kamu satu-satunya sekarang ya aku suamimu dan kamu tidak perlu tahu dengan keadaan di luar sana. Kamu sudah menjadi seorang istri, yang harus kamu lakukan sekarang fokus mengurus dan memperhatikan suamimu ini. Lagi pula kamu kan sudah tidak bekerja untuk apa tahu keadaan di luar sana!” jawab Mas Bayu dengan tegas.Baru kali ini Mas Bayu berkata dengan nada tegas seperti itu padaku, aku mengerti mungkin Mas Bayu kesal karena aku selalu mengeluh. Dengan menundukan kepala merasa menyesal telah banyak mengeluh dan menyadari apa yang dikatakan Mas Bayu itu benar adanya aku pun berkata, “Iya Mas maaf.” Namun Mas Bayu tidak menanggapi permintaan maafku, dia seperti pura-pura tak mendengar aku yang mengucapkan kata maaf, biasanya dia akan menoleh dan tersenyum lalu mengusap rambutku dan berkata “Iya tidak apa-apa sayang.” Tapi tidak kali ini, mungkin Mas Bayu kesal padaku, beberapa saat suasana pun hening hingga akhirnya ada suara seseorang membuka kunci dan terdengar suara gerbang yang terbuat dari besi itu terbuka. Seorang pria tua dengan berbadan tegap memakai blangkon di kepala nya keluar dari dalam gerbang, menghampiri Mas Bayu yang masih duduk dibalik kemudi mobilnya. Pria itu menganggukan kepala sambil berkata, “Maaf Tuan tadi saya ketiduran,” ucap pria itu, lalu menoleh padaku tanpa tersenyum dia menganggukan kepalanya. Aku membalasnya dengan menganggukan kepala dan tersenyum, mencoba untuk memberi kesan yang ramah pada orang yang baru saja mengenalku.“Ayo cepat buka gerbang nya kami sudah sangat kelelahan,” balas Mas Bayu tanpa basa basi, setidaknya menanyakan kabar pria itu. Aku yakin pria tua itu Pak Halim yang pernah di ceritakan Mas Bayu. Pria tua dan istrinya yang sudah puluhan tahun bekerja untuk keluarga Mas Bayu. Aku heran dengan sikap Mas Bayu yang tiba-tiba berubah, apakah sikapnya memang seperti ini kepada asisten rumah tangganya, padahal Pak Halim kan sudah tua dan sudah puluhan tahun bekerja di rumah keluarganya. Seharusnya Mas Bayu bisa bersikap lebih sopan dan akrab dengan Pak Halim layaknya seperti pada keluarga atau menganggap Pak halim seperti orang tua yang harus dihormati. Padahal yang aku tahu selama ini Mas Bayu orangnya baik dan ramah, apakah ini karena dia masih kesal padaku karena banyak mengeluh di sepanjang perjalanan tadi dan membuat nya kesal?.{Bersambung}Dengan tergesa-gesa Pria tua itu beranjak dan membukakan pintu gerbang, aku menoleh pada Mas Bayu dan berkata, “Itu Pak Halim kan Mas?” tanyaku.Mas Bayu hanya mengangguk, tanpa sepatah kata atau pun menoleh padaku, pandangannya lurus ke depan memperhatikan Pak Halim yang sedang membuka pintu gerbang. Mas Bayu pun mulai menjalankan mobil melewati pintu gerbang memasuki halaman rumah.“Mas masih marah?” tanyaku lagi. Mas Bayu menoleh padaku sambil menautkan kedua alis matanya.“Sama siapa?” jawabnya balik bertanya.“Sama aku, karena aku selalu mengeluh,” jawabku sambil menundukan kepala.“Aku juga lelah Sarah sama seperti kamu, aku ingin segera beristirahat.” Aku jadi makin merasa bersalah mendengar perkataan Mas Bayu, dari tadi aku yang hanya duduk diam selalu mengeluh cape lah, kesal lah, kenapa belum sampai, kejauhan, badan pegal-pegal padahal Mas Bayu yang dari tadi hampir dua belas jam di perjalanan dengan menyetir mobil lebih lelah dariku, tapi dia tidak bisa mengeluh.“Nanti S
Mas Bayu tak menjawab pertanyaanku....Lantas, apakah itu hanya pendengaranku saja? Tapi suara tangisan dan suara seseorang yang berlari itu makin jelas. Jadi, aku pun beranjak dari tempatku berdiri dan bergegas melangkah kan kakiku menghampiri tangga. Aku berdiri mematung sambil menatap ke atas tangga menunggu seseorang yang akan datang dari atas tangga itu. Mataku seketika terbelalak ketika melihat seorang gadis dengan berpakaian kebaya putih seperti seorang pengantin, gadis pengantin dengan sanggul rambutnya yang sudah berantakan. Dia berlari dari atas tangga yang tinggi itu, namun kakinya terpeleset dan dia pun jatuh dari atas tangga berguling-guling sampai ke bawah dan jatuh tepat di bawah kaki ku. Dengan mata melotot dan baju kebaya yang sudah berlumuran darah yang membuat ku spontan berteriak histeris.“Aaaahhhhhhkkkkk!” teriakku histeris, dengan membelalakan mata melihat pemandangan yang mengerikan tepat di depan mataku.“Sarah! Sarah! Kamu kenapa?! Ada apa?!” seru Mas Bay
“Ayo Sarah….”Mas Bayu meraih lengan ku dan menuntun tangan ini berjalan menaiki anak tangga, dengan ragu aku pun mulai melangkahkan kaki mengikuti langkah kaki Mas Bayu menaiki tangga lantai dua rumah ini. Aku yakin pernah datang dan menaiki setiap anak tangga yang sedang ku jejaki dan lagi kenapa perasaan ku mengatakan pernah terjadi sesuatu yang mengerikan terjadi di rumah ini, aku pun penasaran dengan gadis berkebaya putih, siapa gadis itu? Aku merasa pernah melihatnya tapi dimana? Aku pernah bertemu dengan gadis berpakain pengantin kebaya putih itu, tapi kapan, dimana dan siapa dia?.Setelah menjejaki tangga satu persatu akhirnya kami sampai di lantai dua, terdapat empat kamar yang saling berhadapan di sana. Lagi dan lagi aku merasa sedang mengalami dejavu sesuatu yang pernah terjadi dan terulang berulang kali, ruangan ini, ke empat kamar ini aku pernah berada di sini sebelumnya. Sepertinya yang menempati kamar-kamar ini adalah kedua orang tua Mas Bayu dan adik perempuannya keti
“Mas…” ucapku dengan manja sambil memeluk punggungnya.“Lihat Sarah kolam renang yang pernah aku katakan padamu,” ujar Mas Bayu sambil menyingkapkan gorden jendela kamar. Aku pun melepaskan pelukanku dan menghampiri jendela, benar saja kulihat di bawah sana ada sebuah kolam renang yang besar dan terlihat uap putih yang keluar dari dalam kolam itu, menandakan air dalam kolam itu air panas.“Kita berenang yuk Mas,” ajakku pada Mas Bayu.Berharap Mas Bayu menyetujuinya, pasti sangat menyenangkan bisa berenang di kolam air panas itu malam-malam seperti ini berdua saja dengan Mas Bayu, menikmati bulan madu kami seperti yang sudah di rencanakan.Namun dari raut wajah Mas Bayu sepertinya dia sedang tidak bersemangat, aku yakin dia akan menolak ajakanku. Tapi aku bisa mengerti, karena pasti Mas Bayu kecapean setelah hampir dua belas jam mengendarai mobil dari Jakarta menuju ke rumah orangtuanya di desa terpencil ini.“Besok pagi-pagi saja yah Sarah, sekarang sudah tengah malam, lagi pula kita
Nenek uban aku memanggilnya seperti itu karena hampir seluruh rambut yang tumbuh di kepalanya penuh dengan uban. Aku bertemu dengannya ketika itu aku masih berusia delapan tahun, di saat kesedihan dan merindukan Mama dan Papah mengusik hatiku, aku selalu pergi ke sungai di desa yang tempatnya tidak begitu jauh dari rumah Kakek karena di sana adalah tempat paling nyaman untuk menumpahkan perasaan. Di sungai itulah aku bertemu dengan Nenek Uban. Saat itu aku hanya seorang gadis kecil berusia delapan tahun, yang sedang kebingungan dengan keadaan orang tuanya yang bercerai dan aku hanya bisa menyetujui permintaan Kakek yang mengajakku tinggal bersama nya, setelah Mamah dan Papah berpisah. Papah memutuskan untuk kerja di luar negeri sebagai TKW di Taiwan dan Mamah menikah lagi dengan Papah Hadi, yang sudah mempunyai dua orang anak laki-laki, usia mereka lebih tua tiga dan lima tahun dariku. Papah Hadi yang bekerja sebagai pegawai instansi pemerintah di Jakarta dan mempunyai rumah di J
Aku menautkan kedua alis mata merasa heran, main di sungai dengan duduk di atas batu di tengah-tengah derasnya air sungai apa Nenek itu tidak takut? Pikirku saat itu.“Nenek tidak takut jatuh? Kalo Nenek jatuh nanti Nenek kebawa arus air sungai Nek,” ujar ku setengah berteriak mengkhawatirkannya, namun Nenek itu malah tertawa lagi.“Ini tempatku, Nenek tidak takut karena sudah biasa disini hihihi…,” balasnya lagi.“Ayo sini kamu ikutan main air sama Nenek,” lanjut Nenek uban, sambil melambaikan tangan memintaku untuk menghampirinya.Aku menggelengkan kepala karena takut menghampirinya, bukan takut padanya tapi takut pada derasnya air sungai yang harus dilintasi dengan arusnya yang sangat deras.“Kenapa? Kamu takut? Ayo di sini menyenangkan sekali. Kamu bisa melihat ikan di dalam sana, ini pegang tongkat Nenek. Berjalan kesini hati-hati sambil berpegangan pada tongkat Nenek, ayolah jangan jadi penakut seperti itu. Kalau kamu jatuh nanti Nenek akan menolong kamu,” bujuk Nenek Uban sambil
“Tunggu di sana jangan turun dari batu itu, Kakek akan menghampiri dan membawamu dari sana, tetap di sana Sarah jangan bergerak sedikitpun!” Perintah Kakek dengan berteriak dan nada suara yang sangat khawatir, dapat dipastikan Kakek khawatir kalau aku bergerak dan terpeleset lalu jatuh dari batu besar ini, tentu akan hanyut terbawa derasnya air sungai. Sedangkan saat itu aku masih berusia delapan tahun, dengan badan yang juga kurus ini pasti akan sangat cepat hanyut terbawa derasnya arus air sungai.Itulah tentunya yang Kakek khawatirkan, sedangkan dia berada cukup jauh mungkin tidak akan sempat untuk menyelamatkan aku.Aku yang sedang berdiri di atas batu besar dan berada di tengah-tengah sungai, kebingungan apa yang harus dilakukan. Lalu aku pun menoleh dengan menundukan kepala pada Nenek Uban yang sedang duduk di batu besar itu.Nenek Uban tersenyum menyeringai memperlihatkan giginya yang tinggal tidak seberapa lagi dan berwarna hitam. Tetapi kenapa bulu kuduk ini merinding ketika
Nenek Uban masih tetap menundukan kepalanya di depan pintu rumah yang sudah kubuka, dengan kedua tangan memegangi tongkat yang dipakai untuk menopang tubuhnya yang sudah bungkuk. Aku menautkan kedua alis mata melihat Nenek uban yang tidak bergeming di tempatnya, apakah dia tidak mendengar perkataanku?.“Ayo Nek, kenapa diam saja, ayo masuk ke dalam, aku akan memperkenalkan Nenek pada Kakek,” pintaku.Namun tetap saja Nenek Uban tak bergeming seolah tak mendengar perkataanku, dia hanya terpaku berdiri di depan pintu rumah dan masih saja menundukan kepalanya. Tiba-tiba aku mendengar suara Kakek dari belakang, “Kamu bicara dengan siapa Sarah? Siapa yang datang?” tanya Kakek.Aku langsung membalikan badan menoleh pada Kakek, yang sudah berada di belakang sekitar tiga langkah dariku. Kakek sedang berdiri di belakang menatapku sambil mengerutkan keningnya sepertinya Kakek sedang kebingungan.“Ini Kek, Nenek Uban yang aku ceritakan tadi pada Kakek, dia yang datang mengetuk pintu rumah. Sekar