Davina syok masih belum bisa menerima kenyataan. Tubuhnya terasa lemas luar biasa, terlintas memori soal Amaira. Bagaimana gadis itu tertawa, selalu ceria dan juga seorang sahabat sejati yang tidak bisa dilupakan! Davina menahan air matanya, Amaira ... panggilnya dalam hati lirih. Mengapa, mengapa bisa sampai begini?“Antar aku ke kampus!” Davina meminta, karena Jagad hanya diam menatap. Napas Davina serasa memburu, serba salah lihat situasi di dalam. Udara panas serasa menyelimuti ruangan itu. Davina akhirnya menarik tangan kekar Jagad, hingga mereka ada di garasi. Tempat dimana mobil Jagad diparkir.“Cepat buka pintunya,” suruh Davina suaranya gemetar hebat. Matanya berkaca-kaca, Jagad sudah menduga, ini adalah hal yang Davina tidak sangka-sangka. Kematian Amaira sudah sangat memukul perasaannya. Dan sekarang, Davina tahu siapa yang sebenarnya membunuh Amaira. Dunianya seperti hancur, udara di sekitarnya seakan habis. Belum masuk ke dalam mobil, Davina sesenggukan, lama kelamaan me
Setelah tiga puluh menit, Davina merasa tenang. Masih di ruangan praktek kakaknya, dia melirik ke jam tangannya. Dan perawat tadi bilang, dalam waktu tiga puluh menit. Jagad memakai jas dokternya, lantas mengambil dokumen salah satu pasien. “Kau akan mulai praktek?” tanya Davina sambil menatap Jagad. “Ya. Tapi kalau kau masih ingin di sini, silakan. Belum ada pasien sama sekali. Aku mau visited ke ruang perawatan dulu.” Davina lantas berdiri dengan cepat dari kursinya. “Aku pergi saja,” katanya dengan cepat sebelum Jagad keluar dari ruangannya. “Apa kau yakin?” ulang Jagad bertanya, masih khawatir dengan keadaan Davina. Tapi tangisannya sudah lama berhenti memang. “Ya, aku sudah jauh lebih baik. Mungkin aku akan menjenguk Danas,” ucap Davina. “Aku ingin tahu bagaimana keadaannya sekarang.” Mata Jagad makin membesar, kali ini dia mendekat ke arah adiknya itu. “Tapi kamu bisa hati-hati, kan?” Davina beberapa saat terdiam. “Paling tidak, jangan membuatku khawatir. Kamu tahu itu ada
Davina menutup pintu kamar Danas dan berjalan ke arah ranjang sahabatnya itu dengan kaki menghentak-hentak. Kedua tangannya dilipat di depan dada. "Langit belum juga datang, dia selalu seperti ini? Tak memedulikanmu? Padahal kamu sedang sakit," cerocos Davina seraya menjatuhkan bokongnya di pinggiran kasur Danas.Danas yang berusaha memejamkan matanya pun akhirnya membuka kembali kelopak mata itu."Ini lebih baik, Dav," kata Danas singkat sebelum akhirnya ia kembali memejamkan matanya.Davina tentu saja mengernyitkan keningnya heran. "Lebih baik? Suami yang tidak peduli dengan kondisi kesehatan istrinya sendiri?" Nada bicara Davina meninggi.Danas menganggukkan kepalanya. Ia membuka mata. "Itu lebih baik daripada dia yang di sini hanya untuk memarahi aku saja."Davina mendesah panjang. Melihat Danas yang mengatakan itu justru dengan wajah yang biasa saja seakan hal itu memang sudah biasa."Tidak bisakah kau mengatakan yang sebenarnya pada Langit?"Ucapan itu terlontar begitu saja dar
"Kak Jagad," panggil Davina saat ia membuka pintu kamarnya dan berpapasan dengan kakaknya itu.Jagad yang sudah membawa tas kerjanya menoleh ke arah Davina. Kedua alisnya terangkat."Ya?" tanyanya. Tidak biasanya Davina sudah memanggilnya bahkan saat pintu kamar mereka baru saja terbuka.Davina berjalan maju. Seakan tak ingin berbicara dengan nada yang cukup tinggi. Jagad makin penasaran dibuatnya."Untuk masalah Amaira." Davina mulai berkata. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri seperti memastikan kalau yang ada di sekitarnya memang hanya ada Jagad dan Davina."Kakak tau dari mana kalau yang membunuh Amaira adalah Renata, bukan Danas?" tanya Davina. Davina sendiri cukup penasaran. Dari mana kakaknya tahu. Apalagi mengingat kalau kakaknya adalah sahabat dari Langit."Yang mengetahui rahasia ini, kan, hanya aku, Danas, dan Renata saja. Ini sangat aneh mengingat aku tidak pernah mengatakan apa-apa kepada Kakak. Ditambah lagi aku yakin Danas ataupun Renata tidak akan memberitahukan keben
Renata dan Langit menghabiskan waktu makan malam romantis berdua. Di sebuah restoran berbintang bergaya eropa dengan langit malam sebagai pemandangan yang dapat dilihat melalui kaca jendela.Keduanya terlihat berbincang, saling menggoda satu sama lain. Terutama Renata, wanita itu bersikap begitu manja ketika hanya berduaan bersama kekasihnya.“Selepas ini aku akan mengantarmu pulang,” kata Langit setelah menenggak cairan berwarna kemerahan dari gelas bening yang ada di atas meja.“Ehh~ … aku belum mau pulang. Habis ini kita bisa keliling-keliling dulu. Atau kalau mau, kita juga bisa ke hotel,” jelas wanita itu sembari memberikan tatapan yang mengundang. Walau begitu, Langit kelihatan tidak menggubrisnya.“Aku masih harus bekerja besok. Lagi pula, bukankah aku sudah menuruti semua kemauanmu?”Mendengar penjelasan pria itu, Renata sontak kesal. Wanita itu merengut sembari menggelembungkan pipi.
Bara api amarah dalam diri Davina belum juga mereda. Danas baru saja pergi karena ada jadwal konsultasi, sedangkan Davina sudah selesai konsultasi sebelum bertemu Danas tadi. Meski kini sudah saatnya pulang karena tak ada lagi urusan di perkuliahan, Davina tak lantas beranjak dari tempat di mana ia berada.Davina merogoh ponsel dari dalam tas. Mencari kontak sang kakak dan mengeklik tombol panggil. Dalam beberapa detik saja teleponnya langsung tersambung.“Halo, Dav?” sapa Jagad dari balik sambungan telepon.“Kak Jagad!” sembur Davina, membuat Jagad terkejut.“Hei, hei, hei ... ada apa ini? Kamu sedang menangis?” tanya Jagad menggoda sang adik. Pria itu tahu jelas dari nada suaranya kalau Davina bukan menangis, tapi marah.“Aku sedang emosi, Kak!” pekik Davina lagi, tak sadar suaranya mengundang perhatian mahasiswa lain yang lewat di dekat tempat dirinya berada saat ini.“Kali ini kamu ke
Kelopak mata Danas bergerak. Keningnya sedikit mengerut kala ia mendengar suara dering alarm dari ponselnya. Tangan Danas terulur ke nakas yang berada di samping ranjangnya. Lalu ia meraba permukaan nakas itu untuk mencari letak benda pipih kesayangannya.Saat ia berhasil meraih benda pipih itu, Danas langsung mematikan alarmnya. Wanita itu pun bangkit dari tidurnya. Matanya masih sulit terbuka. Ia menggaruk kepalanya. Kemudian mengucek matanya. Berusaha sedikit membuka mata untuk mengecek jam yang tertera di layar ponselnya itu, Danas sedikit terkesiap karena ia telat setengah jam dari jam bangun ia biasanya.Wanita itu pun segera beranjak dari kasurnya dan berlari masuk ke dalam kamar mandi. Danas harap Langit tidak akan memarahinya kali ini.Usai mandi, Danas keluar dari kamarnya tepat saat ia keluar Renata kelua
Seringkali Danas berpikir apakah akan lebih baik jika dirinya menghilang dari dunia ini. Berpikir kalau ia tidak sanggup lagi melanjutkan kehidupannya. Namun, setiap kali ia berpikir untuk menyerah selalu ada hal yang membuatnya yakin kalau ia masih sanggup melewati ini semua. Ia selalu menemukan satu alasan untuk kembali bertahan.Danas merapikan bukunya ke dalam tas. Hari ini, ia memiliki kelas siang. Wanita itu sudah bersiap untuk berangkat ke kampus. Danas kembali mematutkan dirinya di cermin. Membubuhi concelear di bawah matanya untuk menutupi bengkak matanya karena habis menangis.Setelah itu Danas pun merapikan alat make up dan beranjak dari duduknya. Wanita itu menyambar tas yang ia letakkan di atas meja. Melangkahkan kakinya lebar-lebar keluar kamar.Kepala pelayan yang berpapasan dengan Danas melemparkan s