"Ayah, boleh ga aku tinggal di sini, bukan sebagai anak Ayah tapi sebagai asisten Kak Zara, aku akan kerja di sini buat biaya kuliah," pinta anak itu sambil memelas.Aku diam sambil menatapnya prihatin, rasanya tak tega mempekerjakan Tiara di sini."Ayah aku mohon." Anak itu merengek lagi."Kalau kamu mau, nanti bilang sama Kak Zara ya, kalau dia mengizinkan maka Ayah juga setuju, sekarang makan dulu ya," jawabku."Ya sudah aku akan bilang nanti ke Kak Zara setelah pulang."*******(POV TIARA)Usai makan aku berpamitan pada ayah untuk mengunjungi rumah nenek sesuai perintah mama, letaknya memang agak jauh sekitar satu jam perjalanan.Aku sangat lega karena ayah masih menyayangiku, buktinya ia tak berani mengusirku dari rumah mewah itu.Beruntung juga aku memiliki pegangan uang hasil penjualan tas-tas branded Mama, karena perhiasan Mama mungkin sudah dijual oleh ayah, begitu pula dengan bajunya, aku kalah cepat dari lelaki tua itu.Andai saja aku gerak cepat, mungkin aku bisa pergi dar
"Syaratnya apa, Kak?" Tiara menatapku dengan penasaran.Aku menyeringai, sepertinya kesempatan ini harus kujadikan ajang balas dendam pada si gundik sekaligus pada anaknya yang tak kalah rese itu.Kalian berfikir aku jahat? silakan, tapi Tante Miranda jauh lebih jahat dari yang kulakukan."Syaratnya lu harus pokus kerja sama gue, ga boleh sekolah dan ga boleh ke mana-mana, gimana?" tanyaku dengan tatapan remeh.Tiara melongo terkejut, tentu saja ia akan keberatan dengan syarat yang kuajukan, tapi itu bukan suatu masalah, mau dia menerima atau tidak ya terserah."Ya ampun, Kak, masa ke sekolah ga boleh 'kan sayang sebentar lagi aku lulus. Aku tuh kerja sama Kakak buat biaya kuliah, nanti aku ambil kuliah kelas karyawan deh," jawabnya.Aku tersenyum kecut, bilang saja mau dibiayai kuliah oleh ayah, secara tak langsung memang begitulah tujuannya."Iya, Zara, peraturannya terlalu kejam, Tiara itu masih punya masa depan, jangan gitu-gitu amat lah kasihan." Terdengar ayah membela.Kutatap w
"Ini anak saya dari istri pertama, Bu," ucap ayah, obrolan dua insan itu terhenti karena kehadiranku."Oh iya." Perempuan bergamis coklat itu tersenyum ramah, aku pun bersalaman dengannya."Ini ibunya Tante Miranda, Ra, kalian baru ketemu ya," Aku pun tersenyum lalu duduk di samping ayah karena penasaran dengan obrolan mereka."Jadi itu semua bukan fitnah, Bu, bahkan ada saksi yang mengatakan kalau Miranda membunuh ipar saya itu melalui dirinya," ujar ayah lagi dengan serius."Maksudnya?" Perempuan itu nampak belum faham."Iya Miranda menyuruh pengasuh anak ipar saya untuk meracuni ipar saya itu, dan sekarang dia bersaksi di depan kami dan di pengadilan, ga ada yang fitnah Miranda, Bu, itu nyata."Ayah bicara panjang lebar memberitahukan kronologis pembunuhan Tante Dina."Astaghfirullah," gumam ibunya Tante Miranda sambil menutup mulut."Memang motif pembunuhannya apa, Nak Damar? kok bisa Miranda bunuh adik ipar Nak Damar?" tanya nenek itu lagi."Jadi gini, Bu, dulu sebelum saya kena
(POV TIARA)Tak ada pilihan aku menuruti setiap inginnya, Zara gadis rese itu, termasuk memasak di dapur bersama Mbak Sita.Memang menyebalkan!Selama ini aku tak pernah memegang bau anyir ikan ataupun ayam, jangankan memasak, mencuci celana dalam sendiri saja aku tak pernah.Tapi lihatlah sekarang, gadis sombong itu malah menyuruhku ini itu, mencuci pakaian dalamnya, bajunya, bahkan mencuci sepatunya yang bau terasi.Mending kalau digaji puluhan juta, aku hanya menerima dua juta, ini seperti penghinaan, aku tak tahan!Tapi aku harus ke mana jika pergi? rumah nenek? aku malas mendengar cibiran Tante Devi dan Tante Meri, belum lagi aku pasti tidur sekamar dengan nenek karena kamar di sana penuh oleh cucu nenek yang lain, aku tak bisa hidup seperti itu."Tiara, cuci ikannya udah belum?" tanya Mbak Sita.Si*lan! Padahal babu itu biasanya memanggilku dengan sebutan nona."Iya ini udah." Aku cemberut."Bawa cepet sini!" Nada suaranya sedikit membentak.Kurang ajar memang! Mbak Sita seolah
"Iya iya!"Terpaksa aku menghampiri lalu menyodorkan gelas-gelas pada sang tuan raja."Kamu di sini aja, jadi kalau ada perlu aku ga perlu teriak," bisik Zara membuatku mendelik kesalLihatlah anak songong itu menyuruhku berdiri seperti seorang dayang yang menunggu ratunya, aku sudah tahan!"Zara, sebenarnya ini acara apa sih? kok tumben ngajak kita kumpul?" tanya ibunya Zara yang super kolot.Mataku mendelik saat meliriknya.Sebel!"Oh iya aku lupa ngasih tahu." Si rese terkekeh."Sebenarnya ini acara syukuran kecil-kecilan aja sih, untuk merayakan tertangkapnya Miranda."Mataku membeliak mendengar Zara bicara, jadi sejak tadi aku berlelah-lelahan itu ternyata untuk menghina ibuku sendiri, kurang ajar sekali kau Zara!"Oh merayakan Miranda yang udah tertangkap, kok kamu happy banget gini sih?" tanya seorang perempuan berambut pendek dan pirang "Iya dong, dari dulu aku tuh pengen nyingkirin itu kuntilanak, dan baru kesampeannya sekarang, ya jelas aku happy dong, dan setelah ini aku h
"Omset kita setiap bulan semakin meningkat, Yah, apalagi cabang di kota, sepertinya kita harus memperluas area supermarket dan menambah fasilitas yang lebih menarik untuk memikat pengunjung."Aku menyerahkan data-data yang sudah kunalisis dari para staf karyawan bagian office, wajah ayah nampak berseri melihat data-data itu lembar demi lembarnya."Kita juga harus adakan sale besar-besaran pada produk yang sudah numpuk lama di gudang, Yah, itu juga salah satu cara memikat minat pengunjung."Lagi ayah mangut-mangut mendengar usulanku."Baik, kita akan adakan rapat esok hari membahas usulanmu itu ya, beberapa hari ke depan Ayah akan ajak kamu survey ke seluruh cabang supermarket, gimana?""Ok, siap, Yah.""Anak Ayah semakin dewasa ya." Ayah tersenyum sambil mengelus kepalaku."Iyalah dikasih makan." Aku mengerlingkan mata, sedangkan ayah tertawa.Sudah satu bulan tak terasa waktu cepat berlalu, sidang putusan Tante Miranda pun sebentar lagi akan digelar, rasanya sudah tak sabar melihat w
Bisa saja begitu."Ayah, aku tuh ga pernah nyuruh dia nyetrika sampai malam, dianya aja kalau kerja lelet, kalau kerja sambil main hape, ya jelas aja kelarnya malem," sahutku sambil mencebik.Lelaki ini juga menyebalkan, selain kerap membela anak pembunuh itu, ia juga seperti tak tertarik ketika kusarankan rujuk dengan bunda.Apa ia tak mikir masa tuanya seperti apa tanpa istri? atau jangan-jangan ia mau cari yang lain?"Ayah rasa kamu ngasih dia gaji terlalu kecil, Ra, setidaknya tambahin lagi lah satu juta, gaji asisten rumah tangga emang pasarannya segitu, kamu jangan zalim dong sama orang."Aku mengerlingkan mata melihat ayah begitu peduli pada anak mantan istrinya, lama-lama bisa bahaya jika anak itu terus tinggal di sini."Udah deh Ayah ga usah ikut campur urusanku, lagian kenapa sih Ayah peduli banget sama tuh anak? Ayah sayang sama dia? mau angkat dia jadi anak?" Aku memandanginya dengan tajam.Ayah terlihat mengusap wajah dengan gusar "Zara, kamu sudah dewasa, sebaiknya hila
Sore usai pulang dari kantor aku melajukan mobil menuju rumah bunda, otakku berfikir keras, siapakah seseorang yang ia ingin kenalkan pada anaknya ini?Bunda sudah menunggu sambil duduk di kursi terasnya, bibirnya tersenyum ketika melihat mobilku datang."Baru pulang?" tanya bunda."Iya, baru banget." Aku masuk ke dalam bersamanya."Nih minum dulu." Kali ini bunda menyodorkanku segelas teh manis hangat yang dipadukan dengan perasan jeruk lemon."Siapa sih yang mau Bunda kenalin ke aku?"Bunda tersenyum malu-malu, aku jadi curiga mungkinkah ia ingin memperkenalkan kekasihnya? kutatap mata bunda dengan serius."Sebentar lagi dia datang." Bunda tersenyum."Ia siapa?"Sebuah klakson mobil mengalihkan perhatian, kami berdua lantas menoleh ke arah depan, sebuah mobil Pajero hitam terparkir di sana.Lalu keluarlah seorang lelaki yang berpenampilan gagah, dari usia sepertinya ia tak jauh beda dengan ayah, hanya penampilanhya saja yang membuat ia tak terlihat tua.Kaca mata hitam itu dilepas,